Oleh: Muhammad Ridha
Sumber: Rano ‘bukan’ Karno, 170810, Acrilic On canvas
Saya amat senang dengan dua buah artikel yang ditulis oleh seorang pejabat utama dalam jawatan penelitian plat merah. Judulnya Covid-19 dan Kelas Sosial[1] seri 1 dan 2. Argument pokoknya mengkritisi solusi pemerintah Indonesia atas permasalah wabah Corono Virus Desease (Covid-19) yang menyerang hampir seluruh kota besar di Indonesia. Wabah yangpertama kali ditemukan di Kota Wuhan, Tiongkok kurang-lebih tiga bulan lalu dianggap oleh penulis direspons oleh pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin dengan memilih alternative penanganan isolasi mandiri seluruh masyarakat. Solusi ini juga sering disebut social distance, yakni upaya agar setiap orang tidak bertemu (mengurangi interaksi) atau menjalin kontak secara fisik dengan orang lain agar rantai penyebaran wabah bisa ditekan atau malah diputus. Presiden dalam pidatonya menghimbau semua orang untuk bekerja dari rumah (work from home), beribadah di rumah (prayer in home) dan (bagi siswa atau mahasiswa) belajar di rumah (learning from home) dengan mekanisme pembelajaran online melalui aplikasi yang tersedia seperti lentera, zoom atau whatsapp group, dll.Wal hasil, imbauan presiden ini diikuti dengan imbauan lembaga-lembaga di bawahnya seperti kementerian, kampus-kampus atau sekolah dan jawatan lainnya menerapkan himbauan presiden tersebut. Kampanyenya yang popular di social media adalah work from home atau dua lainnya yang disebutkan di atas. Kelas menengah, seperti ditulis oleh Saprillah, memperluas jangkauan himbauan itu dengan menginterpretasi mekanisme bekerja dari rumah itu dengan kampanye-kampanye “please tetap di rumah”, “ayo tinggal di rumah untuk menekan laju persebaran virus”, “Rumahmu adalah surgamu”, “lock down” atau yang lebih sarkastik seperti “keluar bekerja dan mati atau tetap di rumah!.” Pertanyaannya tepatkah anjuran itu diberikan kepada semua kelas social? Atau apakah semua kelas social dapat memperoleh keamanan (higienitas) atau keselamatan dari wabah jika tetap tinggal di rumah? Jawaban sederhananya mungkin ‘iya’. Ini berdasarkan nalar bahwa virus ini berkembang biak dan menular dari satu orang ke orang lainnya melalui kontak fisik. Maka himbauan itu betul. Tapi bagaimana dengan kelas miskin yang harus bekerja sehari lalu konsumsi dan habis hari itu juga lalu mencari lagi besok? Apakah kampanye itu efektif? Untuk masalah dari pertanyaan yang sama, seminggu yang lalu saya menuliskan sebuah gugatan di timeline facebook saya: “…Kelas kaya punya banyak alternative dan menyerukan work from home atau isolasi diri atau social distancing atau apalah-apalah. Tapi pertanyaan paling dasarnya begini: bisakah rakyat miskin puluhan juta orang itu, yang penghasilannya dibawah 760.000 rupiah di Indonesia yang didapat dari bekerja sehari-hari lalu disuruh berdiam diri? Dia mungkin akan selamat dari wabah, tapi mati karena lapar!” untuk persoalan ini, Saprillah dalam tulisannya juga memberi deskripsi yang sependirian dengan argument terakhir. Saprillah menuliskan:
“…warga kelas bawah sudah lama hidup dalam kekhawatiran karena ekonomi. Ancaman untuk kelaparan dan tidak mendapatkan penghasilan adalah ancaman klasik, yang sudah mereka rasakan bertahun-tahun.
Untuk bertahan hidup, warga kelas bawah ini sudah terbiasa ‘berdamai’ dengan penyakit yang ada dalam tubuh. Demam, flu, batuk, TB, asalkan masih bisa berkeringat mengangkat batu, mereka pasti keluar rumah. Tinggal di rumah sama saja mempercepat kematian”.
Sampai di titik argument tersebut, saya setuju. Meski argument terakhir merendahkan kaum miskin sebagai yang sakit-sakitan dan terbiasa dengan hal itu tidak bisa saya terima dengan sejumlah alas an. Tapi alasannya mungkin akan saya kemukakan pada kesempatan lain. Artikel ini ingin memberi tambahan diskusi mengenai covid-19 dan dunia kita di bawah kapitalisme yang sungguh carut marut dengan memulai dari tanggapan atas artikel Saprillah yang meski saya setuju beberapa hal, tapi saya jelas berbeda pendapat dalam soal bagaimana masa depan rakyat miskin di hadapan covid-19 dan rezim pemerintahan pro pasar yang menghindari subsidi dan menonjolkan karitas saja.
Mengapa Kelas Menengah? Mengapa Bukan Kelas Kaya?
Dalam artikel saprillah digunakan istilah kelas menengah sebagai lawan dari kelas bawah tanpa dijelaskan asal-usul dan bagaimana kelas menengah itu dalam realitas dan dalam perdebatan teoritik. Berikut secara konseptual dan historis bagaimana konsep kelas menengah itu sendiri, alih-alih jelas secara teoritik, justru memberi kekeruhan yang tidak selesai.
Konsep kelas menengah adalah konsep yang masih belum selesai secara teoritik. Namun sejumlah besar kalangan telah berupaya menguraikannya. Dia adalah sebuah konsep yang datang dari kebudayaan barat modern. Bagi Ariel Heryanto misalnya mendefenisikan batasan mengenai kelas menengah: “Pada umumnya kelas menengah dipahami sebagai komunitas lintas nasion atau kosmopolitan, biarpun ada variasi sesuai dengan perbedaan tempat dalam pembagian kerja internasional. Mereka punya kesamaan selera bahasa, berdandan, bersantap, berlibur bercanda atau bekerja” (1996:x). Sebuah defenisi yang, bagi Francisia Seda (2012), dianggap masih terlalu kabur dan belum jelas untuk dijadikan acuan.
Karena defenisi tersebut yang belum jelas, kelas menengah ini ditanggapi oleh Daniel S Lev (1996): “Untuk suatu jangka waktu, kita tampaknya tertinggal dalam pemahaman tentang realitas stratifikasi Indonesia di bawah kesan, yang pernah benar, bahwa kelas-kelas menengah terlalu kecil untuk menciptakan perbedaan. Sekarang, tiba-tiba saja, ketika mereka hadir untuk menciptakan perbedaan, atau paling tidak cukup besar untuk menarik perhatian, kita seperti kehilangan jejak untuk mengenali siapa sesungguhnya mereka, mengapa mereka menjadi penting, dan perbedaan apa sesungguhnya yang mereka ciptakan”[2].
Konsep kelas menengah ini tidaklah mudah didefenisikan dalam batasan-batasan yang jelas. Kaum borjuis Eropa abad ke 11 sering diakui sebagai generasi pertama kelas menengah. Mereka juga sering disebut kelas menengah lama, untuk membedakannya dari knosep kelas menengah baru yakni kaum profesional, intelektual serta manajer (Ricard dan Tanter: 1996). Misalnya mengukur pendapatan, gaji, kepemilikan alat-alat tahan lama seringkali tidak berkaitan dengan praktik kelas menengah itu sendiri. Akan lebih baik jika kelas menengah ini dipahami dalam kaitannya dengan cara mereka mengkonsumsi (H.W.Dick: 68)[3]. Apakah konsep ini cukup untuk menjelaskan fenomena kelas menengah? Tentu tidak sepenuhnya. Bagi kalangan Marxis membaca kelas menengah juga masih berbeda-beda. Apakah struktur kelas borjuis, menengah dan proletar meruntuhkan dominasi tafsir mengenai struktur kelas hanya ada dua yakni borjuis dan proletar (Heryanto;1996). Lalu siapa yang merupakan kelas menengah jika ingin dimaterialkan dalam contoh-contoh kelas yang ada di Indonesia? Bagi harian Kompas[4], kategori kelas menengah diukur dengan jumlah pengeluaran per hari per orang berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP), posisi dalam pekerjaan dan pendidikan.
Pada masa lalu, kelas menengah cukup mudah diidentikasi, kata Gusdur, yakni para petani kaya dan pedagang di pedesaan sedangkan di perkotaan para pengusaha batik, pengusaha rokok, kerajinan kulit, perak dan emas (Abdurrahmman Wahid: 20[5]). Pada tahun 60-an kelas menengah di Indonesia ini tumbuh cukup signifikan. Mereka di antaranya adalah kaum profesional, pengacara, dokter, insinyur arsitek dan mungkin akuntan.[6]
Defenisi yang lebih banyak digunakan dalam tulisan ini adalah defenisi yang dikeluarkan oleh Asia Development Bank (ADB). ADB (2010) mendefiniskan kelas menengah dengan rentang pengeluaran perkapita sebesar USD 2-20. Rentang pendapatan itu dibagi lagi ke dalam tiga kelompok yakni masyarakat kelas menengah bawah (lower middle class) dengan pengeluaran perkapita perhari sebesar 2-4 dollar AS; kelas menengah tengah (middle middle class) sebesar 4-10 USD; dan kelas menengah atas sebesar (upper middle class) USD 10-20. Argumen ‘kelas menengah’ dalam artikel Saprillah mungkin hanya akan pas dengan defenisi yang tidak Marxian seperti yang dikategorikan oleh ADB berdasarkan rentang pendapatan, bukan dengan argument kelas Marxian.
Menurut saya, penggunaan terminology kelas menengah oleh Saprillah dalam artikel pendeknya itu dengan menurunkan secara serampangan dari analisa Marxian kategori borjuis dan proletar menjadi tidak relevan. Jika konsisten menggunakan analisa Marxian terminoligi elit (yang juga disitirnya) atau kelas kaya, atau kelas borjuis, lebih tepat di banding ‘secara malu-malu’ menggunakan kelas menengah sebagai lawan dari kelas bawah.
Analisa kelas Marxian
Kelas, menurut Marx merupakan pengelompokan social yang terbentuk dari hubungan produksi utama dalam masyarakat (Dede Mulyanto,2011; Erick Olin Wright: 2009). Di dalam masyarakat yang menggunakan hubungan produksi kapitalis, kelas utama adalah kelas borjuis dan proletar. Sementara kelas yang lain yang muncul dalam masyarakat adalah derivasi keduanya. Karena itu, sebagian penulis berpandangan bahwa kelas menengah itu adalah konstruksi politik dari produksi kapitalis.[7] Marx menyebutkan dalam manifesto partai Komunis, Sejarah seluruh masyarakat adalah sejarah perjuangan kelas.”[8]
Marx menganggap ciri utama kapitalisme terletak pada hubungan produksi (production relation), yang melibatkan tidak hanya hubungan kepemilikan dan distribusi yang menentukan corak produksi, siapa yang memiliki apa dan mengapa, tapi juga bagaimana kepemilikan itu diorganisasikan dan kemudian muncul dalam bentuk konntrol atas kerja dan hasil kerja (produk), serta aspek-aspek organisasi social lainnya. Dalam pengertian ini, menurut Marx, ciri utama kapitalisme ditandai oleh hubungan antara mereka yang memiliki alat-alat produksi (kelas kapitalis) dan mereka yang hanya bisa hidup dengan menjual tenaga kerjanya kepada pemilik alat-alat produksi tersebut, yakni kelas pekerja di pasar.di sini pasar tidak hanya berfungsi sebagai medium pertukaran dan distribusi, tapi sebagai medium utama yang mengatur dan menentukan reproduksi social. (Coen Husain Pontoh:2011) tetapi, sebagaimana Marx menunjukkan dalam manifesto Partai Komunis, bahwa dalam industry kapitalisme yang semakin maju, akan muncul kelas baru yang disebutnya Petty Borgeoisie atau bisa disepadankan dengan istilah kelas menengah saat ini. Meski tak benar-benar sepadan. Tapi kelas tersebut sebagian besar akan terhempas oleh kompetisi dengan kelas borjuis yang lebih besar dan sebagian kecil akan berubah menjadi kelas borjuis baru.[9]
Secara lebih mendetil, Nicos Polantzas dalam Classes in Contemporary Capitalism sebenarnya memberikan penjelasan mengenai siapa kelas menengah itu dengan menjelaskan bahwa kapitalisme (borjuis) terdiri dari dua kelas dalam realitas kontemporer. Yakni, kapitalisme monopolistic dan kapitalisme non-monopoli. Dalam tataran empirirs keduanya dapat dibedakan dari ‘besaran’ perusahaan atau jumlah pekerja yang dipekerjakan. Kapitalisme monopolistic biasanya adalah kapitalisme dengan jangkauan yang amat luas dan jumlah pekerja yang besar. karena besaran modalnya, dan keterhubungannya dengan kapitalisme finansial, mereka dapat mempengaruhi perekonomian secara lebih luas. Perusahaan-perusahaan multi nasional atau perusahaan nasional skala besar bisa menjadi contoh. Sementara borjuis kecil yang dibagi polantzas menjadi dua, yakni borjuis kecil dan borjuis tradisional adalah dua identitas yang berbeda. Yang pertama merujuk pada borjuis yang sukses memperbesar skala usahanya dalam keterkaitannya dengan kapitalisme monopolistic sementara borjuis tradisional adalah usahawan-usahan lama yang memiliki pabrik atau industry skala kecil yang berasal dari system social lama non kapitalistik.[10]
Ada banyak yang lain yang memberi respons atas problem siapa kelas menengah itu. Atau respons atas bagaimana membaca realitas kontemporer dari dua kelas dalam konteks Marxian. Untuk asia tenggara saya kira studi mengenai Kelompok-kelompok strategis yang ditulis oleh hans Dieters Ever bisa mewakili bagaimana dia berupaya memberi penjelasan mengenai kelas di Asia tenggara. Dia memulai pertanyaan dengan problem siapa itu proletar dan bagaimana defenisi proletar itu dalam dunia kita saat ini, danseterusnya dan seterusnya. Tapi yang ingin disampaikan oleh artikel ini bahwa penggunaan terminology kelas menengah dalam artikel Saprillah, meski disebutkan menggunakan kategori umum Marxian, sungguh tak jelas. Sebab jika mengikuti analisa polanzas, yang lebih dekat sekalipun, kita tidak menemukan posisi kelas menengah dalam tata produksi kapitasis kecuali kemiripannya dengan apa yang disebut petty buorguoise atay borjuis kecil yang perannya amat tidak menentukan dibantik borjuis monopolistic.
Corona dan Kelas Kaya Bangsat
Ketika Corona baru saja merebak di Wuhan, China di Indonesia seperti tidak ada kejadian berarti yang mengancam jiwa rakyat. Bahkan ketika banyak analis telah memperingatkan pemerintah bahwa mustahil corona belum masuk ke Indonesia. Dengan dunia yang relative terbuka saat ini, dengan pergerakan orang dan barang dengan skala mobilitas yang amat luas dan cepat, bagi banyak kalangan Indonesia amat mustahil belum terjangkit. Ada puluhan penerbangan perpekan dari china maupun ke cina dari Indonesia, sementara transmisi virus ini memang arusnya mengikuti arus interaksi orang-orang. Tapi pemerintah berkukuh belum ada corona positif di Indonesia. Bahkan menyiapkan insentif pariwisata untuk sejumlah daerah destinasi turisme di Indonesia berupa pengurangan harga, subsidi kepada industry perhotelan dan langkah-langkah lainnya. Pemerintah baru terhenyak ketika ada kasus pertama yang setelah tracking ditemukan jejak interaksi dengan seorang kawan dari jepang yang telah terjangkit corona. Kasus ini kemudian berpindah ke kasus kedua. Barulah kemudian diperiksa beberapa kasus yang ternyata angkanya telah membengkak. Sampai ketika artikel ini ditulis, jumlah kasus positif corona telah lebih dari 1000 yang tersebar di sejumlah daerah tapi terbanyak di Jakarta.
Rezim neoliberal ini tak ingin rugi, tak juga mau melakukan apa yang secara internasional dikenal sebagailock down, penutupan sementara arus keluar dan masuk orang untuk tujuan yang ditentukan. Malah ingin memberi insentif bagi kelas kaya di Industri pariwisata agar tidak tumbang. Bukan memberi subsidi bagi para pekerja di Indutri pariwisata agar tidak dipecat karena akibat wabah ini. Tapi karena desakan public dan dunia internasional yang sudah panic oleh corona, pemerintah menangguhkan subsidi 298 Milliar.[11]Bahkan ada dana 72 Milyar untuk influencer untuk membangkitkan kembali pariwisata.[12]
Sementara para korban yang terinfeksi corona atau yang suspect corona tapi belum positif harus membayar untuk melakukan tes corona di rumah sakit-rumah sakit pemerintah sebesar 500ribu rupiah. Untuk ini anda bisa searching informasinya di sejumlah berita online yang kredibel seperti detik.com, kompas.com atau yang lain. Untuk para pegawai, dosen atau guru dianjurkan melaksanakan perkuliahan secara online sementara mahasiswa dan para siswa yang sebagiannya adalah kelas bawah dipaksa membeli kuota internet sendiri tanpa subsidi Negara. Dengan ini kita melihat suatu lanskap mengenai Negara hari ini: baik hati dan melayani kaum modal sementara kepada rakyat, kepada kelas miskin, mereka tak memberikan apa-apa. Dibiarkan begitu saja tanpa perlindungan kecuali himbauan busuk yang membunuh itu!
Apa yang bisa kita lakukan?
Di sejumlah daerah, rakyat bahu membahu melindungi dirinya sendiri. Negara neoliberal ini lebih banyak memikirkan keseimbangan fiscal, penambahan utang, penambalan deficit, pemberian insentif bagi kelas kaya, bahkan Dewan Perwakilan Rakyatnya diberi bonus pemeriksaan gratis covid-19 bersama seluruh kerabat dan handai taulannya. Belum cukup sampai disitu, DPR malah memaksakan rapat untuk memuluskan scenario busuk Ombibus Law yang akan memberi insentif jauh lebih luas lagi bagi investor. Rakyat kecil melakukan apa yang bisa dilakukan untuk bertahan sementara kelas kaya, pemilik sejumlah tabungan bisa melenggang memenuhi kamar-kamar hotel sejumlah Negara tetangga yang dianggap aman dari Covid-19 atau berdiam diri, seperti juga kampanye yang didengungkannya, sembari menumpuk barang-barang belanjaan berupa makanan dan kebutuhan harian untuk berminggu bahkan berbulan lamanya. Rakyat kecil, karena memikirkan keselamatannya yang sudah sejak lama nasibnya seperti di ujung bedil setiap hari, harus dipaksa mengambil tindakan sendiri. Maka jangan heran kampong-kampung di Jogja, di Makassar atau di sejumlah daerah menutup wilayahnya agar aman dari interaksi dan kemungkinan dijangkiti virus. Di tengah situasi keruh, para pemilik usaha farmasi dan kedokteran mengekspor masker dengan peningkatan jumlah ekspor yang tak pernah terjadi dalam sejarah. Cobalah ketik key word di mesin pencari daring “peningkatan ekspor masker”. Anda akan ketemu sejumlah data yang dibeberkan oleh lembaga statistic paling kredibel bahwa peningkatannya 34 kali lipat disbanding bulan sebelum corona. Saat semua orang terancam pun mereka masih mau ambil untung.
Saat Negara-negara kecil seperti venesuela memberi subsidi pangan untuk rakyatnya meski mereka dalam keadaan krisis yang akut, rakyat kecil di Wuhan disubsidi pangan agar aman isolasi mandiri di rumah, di Kuba sudah kudung kita tau bersama bahwa kesehatannya ditanggung oleh Negara, atau banyak Negara mengeluarkan biaya besar untuk menyelamatkan rakyatnya, rezim neoliberal Indonesia malah membuka rekening sumbangan dari rakyat. Di Venezuela, dari 72 kasus corona sudah sembuh 38 orang dan hanya ada 2 kasus kematian. Rakyatnya disuruh isolasi tapi semua biaya mereka ditanggung oleh Negara. Di Indonesia negaranya memoroti rakyat yang nyawanya sudah di Ujung tanduk itu. Di tengah kondisi demikian sejumlah intelektual memberi sumbangan pemikiran yang realistis. Ada juga yang optimis tapi tak berdasar dan palsu[13]. Bahkan ada organisasi yang menyebut namanya jaringan cendekiawan malah bersepakat dengan pemerintah sebuah daerah menguras kas masjid yang tak seberapa dan harus menanggung para marbot dan para pengurusnya dengan kampanye “saya yakin kas masjid akan dihibahkan untuk kemanusiaan”. Kampanye terakhir oleh cendikiawan penyusu kekuasaan itu keliatannya humanis, tapi jika dilihat logikanya amat busuk. Kas masjid yang tak seberapa, yang dikelola oleh rakyat kecil, malah akan diambil untuk membiayai yang harusnya tugas Negara kepada rakyatnya: memberi jaminan kesehatan. Mengapa tidak membuat gerakan bersama rakyat menduduki pabrik-pabrik dan memaksa pemilik usaha untuk mengeluarkan sejumlah besar dana untuk kepentingan bersama sebagimana selama ini dia hanya menikmatinya sendiri?[14] Mengapa tidak mengupayakan agar bank-bank dan industry keungan berhenti menagih angsuran tapi malah membagi-bagikan asetnya untuk sejumlah besar orang sebelum dipaksakan oleh krisis social yang lebih luas? Bukan memoroti masjid yang sudah kurus dan tak terurus itu.
Saya jadi mengingat kisah yang diceritakan Pramoedya mengenai wabah pes yang merenggut ribuan nyawa dalam novelnya Anak Semua bangsa: “Pabrik gula tidak boleh tumpas karena cacar. Modal harus tetap hidup dan berkembang. Orang boleh mati”. Untuk hal ini saya diingatkan oleh artikel kawan saya Yoshi Fadjar di media perjuangan suluh Pergerakan (20 Maret 2020).
Karenanya, melihat realitas dan pelajaran dari sejumlah Negara, bagaimana sejarah wabah di tangan modal seperti diceritakan pram, bagaimana Negara yang bermartabat memperlakukan rakyatnya, kita sebaiknya sudah harus merencanakan sendiri masa depan kita bersama, bukan menunggu uluran tangan rezim yang sudah membusuk menjadi hamba modal ini. Sudah waktunya membangun sebuah imajinasi pelibatan rakyat secara luas untuk mengupayakan secara langsung keselamatan hidup dan masa depannya dengan merebut kendali pabrik, mengambil alih usaha, dan mengatakan selamat tinggal pada harapan untuk disantuni oleh rezim modal ini? Dengan pertanyaan dan pernyataan ini, karena itu, saya berbeda dengan artikel Saprillah dalam melihat apa yang sebaiknya kita lakukan: bukan meminta kepada yang kaya untuk berbagi, tapi merebut kembali hak dan martabat untuk hidup selamat dan sehat!
Sebelum berakhir. Tunggu, artikel awal yang saya tanggapi itu ditulis oleh kawan dan guru saya yang saat ini memegang jabatan pada sebuah jawatan. Artikelnya memang pendek dan berbeda dengan sejumlah argument saya, tapi saya percaya dia serupa Marx dalam dialog dengan anaknya Eleanor:
Eleanor: “Apa yang membuatmu bahagia?”
Karl : “Berjuang!”
Artikelnya menunjukkan jiwa penulisnya yang masih terus berjuang dengan batasan-batasan yang sudah diterobosnya.
Salam hangat dari rakyat biasa.
[1] Artikel ini terbit di website resmi jawatan tempat kawan saya bekerja
[2] Daniel S Lev “Kelompok” Tengah dan Perubahan di Indonesia: Sejumlah Catatan Awal dalam Politik Kelas Menengah Indonesia (Jakarta: 1996; LP3ES) h. 23
[3] H.W. Dick Refleksi Lanjutan terhadap Kelas Menengah dalam Politik Kelas Menengah Indonesia (Jakarta:LP3ES,1996) h. 69
[4] Ninuk Mardiana Pambudy Gaya Hidup Suka Mengkonsumsi dan Meniru: Beranikah Berinovasi? Jurnal Prisma 1 vol. 31 tahun 2012
[5] Abdurrahman Wahid Kelas Menengah Islam di Indonesia dalam Politik Kelas Menengah Indonesia (Jakarta: LP3ES;1996) h. 20
[6] Daniel S Lev “Kelompok” Tengah dan Perubahan di Indonesia: Sejumlah Catatan Awal dalam Politik Kelas Menengah Indonesia (Jakarta: 1996; LP3ES) h. 28
[7] (Indoprogress:2015)
[8] Karl Marx dan Friedech Engels Manifesto Partai Komunis(Makassar:Titik api, 2014) h. 1
[9] Phil Gasper (ed) “The Communist manifesto A Road Map to History’s Most Important Political Document (Haymarketbooks,2005, p. 39 via Coen Husain Pontoh Kelas dan perjuangan kelas (Indiprogress2011)
[10] Nicos Polatzas Classes in Contemporary capitalism (London; Nbl, 1976)
[11] http;//m.liputan6.com dampak Virus Corona, pemerintah siapkan insentif sector pariwisata (26 Februari 2020)
[12] Detik.com (26 Februari2020)
[13] Baru sehari artikel itu mengumbar optimism dunia sudah terhenyak oleh pukulan Covid yang berulang di sejumlah tempat di Wuhan dan membantah optimismenya yang katanya bersandar pada seorang peraih penghargaan tertinggi se galaksi itu.
[14] Sekedar tambahan: menurut data forbes tahun 2011, 20 orang terkaya Indonesia, para pemilik pabrik dan bank-bank besar, kekayaannya setara dengan 21,7 juta buruh yang terus bekerja selama setahun!