Hari Kasih Sayang dan Rayuan Konsumerisme

Tentang Valentine

Oleh Muh. Fardan N.

Love Tank karya S Teddy
Tanggal 14 Februari mungkin sama saja dengan hari-hari lain di bulan Februari. Namun, bagi sebagian orang—khususnya remaja dan anak muda hari tersebut tak pernah tertinggal dari pesta dan perayaan. Mereka lazim menyebutnya hari Valentine dan memaknainya sebagai hari “Kasih Sayang”. Ibarat sebuah hari raya, perayaan Valentine selalu ditandai oleh berbagai tradisi dan ritual yang khas.

Nuansa berbentuk hati warna merah muda, berserta gambar sebuah cupid bersayap marak kita jumpai di mana-mana. Bila bertanya kepada sebagian dari mereka, mengapa merayakan hari Valentine? jawabannya cukup klise, “untuk menunjukkan rasa kasih sayang kita kepada orang yang dikasihi”. Meski tak sedikit dari mereka yang merayakan mungkin tak pernah menelisik sejarah Valentine lebih dalam. Bagi sepasang muda-mudi Hari Valentine adalah momen penting yang tak boleh terlewatkan begitu saja.

Bila ditinjau dari berbagai literatur tentang asal muasal dan latar belakang sejarah perayaan hari Valentine mungkin terdapat banyak versi. Tak ada yang pasti versi mana yang benar. Namun yang pasti hari Valentine kini telah menjadi gejala budaya yang mengglobal ke hampir seluruh penjuru dunia tak terkecuali di Indonesia. Dari kota megapolitan hingga ke pelosok pedesaan. Perayaannya telah menjangkiti alam bawah sadar kebanyakan remaja dan anak muda. Seolah ada kewajiban yang ditinggalkan bila hari Valentine tersebut berlalu begitu saja tanpa ada perayaan.

Dari budaya inilah kemudian, mendorong berbagai industri untuk menarik kawula muda agar ikut terlibat dalam ritual-ritual perayaan menyambut hari Valentine. Melalui film salah satunya—bergenre romantis dan kisah berlatar valentine— berbagai praktik dan tradisi Hari Valentine dicontohkan kepada para remaja dan anak muda.

Cara inilah yang banyak ditiru untuk menunjukkan rasa kasih sayang dengan ritual konsumerisme dan penyaluran hasrat (baca: Hari KASIH SAYANG). Dari pemberian kartu ucapan, bingkisan kado, cokelat, bunga, hingga perhiasan. Kencan, makan malam romantis, hingga pesta hura-hura melengkapi perayaannya.

Budaya perayaan Valentine sendiri mendapat momentum kala industrialisasi di awal abad 19 mulai berkembang di Inggris, di mana teknologi percetakan mulai maju. Hal ini memudahkan kartu ucapan Valentine dicetak secara massal, yang kemudian makin populer di sejumlah tempat. Laman HistoryExtra mencatat, pada pertengahan 1920an terdapat 200.000 kartu ucapan beredar untuk wilayah London sendiri. Kehadiran Uniform Penny Post pada 1840 turut membuat popularitas kartu ucapan Valentine meningkat dua kali lipat. [1]

Baca juga:  Kapitalisme, Masyarakat Adat, dan Covid-19

Sementara itu, budaya pemberian kartu ucapan juga menyebar ke Amerika.  Sejak tahun 1847, adalah Esther A. Howland (1828-1904) yang berasal dari Massachussets, Amerika Serikat, memberi andil besar atas popularitas kartu Valentine diproduksi secara massal pertama kali. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia sekitar satu milyar kartu Valentine dikirimkan per tahun.[2]

Hal ini menjadikan Valentine sebagai hari raya terbesar kedua setelah Natal di mana kartu-kartu ucapan dikirimkan. Hingga kini budaya dan tradisi Valentine senantiasa terus berkembang. Dengan disusul oleh semakin gencarnya promosi berbagai produk bernuansa Valentine yang menjadikannya sebagai perayaan yang berlandaskan pada gaya hidup (lifestyle).

Ekonomi “Bujuk-Rayu”

Bagi pasar—yang digerakkan oleh budaya konsumerisme— halal dan haram, suku, agama, ras ataupun identitas anda tak lagi jadi soal. Terpenting adalah anda menjadi konsumen yang baik. Perayaan Hari Valentine salah satunya. Apapun dalih yang melekat dari hari Valentine, kasih sayang, cinta kasih, berbagi dan sebagainya. Bagi konsumerisme itu hanyalah satu jalan menuju ritus paling agung baginya; belanja, belanja, dan belanja.

Kondisi kehidupan di dalam masyarakat konsumer, menurut Yasraf A. Piliang, adalah sebuah kondisi yang di dalamnya hampir seluruh energi dipusatkan bagi pelayanan hawa nafsu—kekayaan, kekuasaan, seksual, ketenaran, popularitas, kecantikan, kebugaran, keindahan, kesenangan; sementara hanya sedikit ruang bagi penajaman hati, penumbuhan kebijaksanaan, dan pencerahan spiritual.

Rayuan hari ‘kasih sayang’ memang merupakan godaan luar biasa khususnya bagi remaja dan anak muda. Dengan mendorong hasrat konsumsi dan seksualitas bukanlah hal yang sulit di tengah relasi sosial dan ekonomi yang semakin kapitalistik.

Penelitian dari Angeline Close Scheinbaum (2012) A Holiday Loved and Loathed: A Consumer Perspective of Valentine’s Day[3] berupaya menyelidiki bagaimana perilaku, ritual, makna, dan berbagai tema perbincangan yang berkaitan erat dengan hari Valentine. Penelitian ini menganalisis perilaku anak muda di AS melalui survei, wawancara, analisis postingan di sosial media di mana umumnya mereka merupakan anak muda yang sedang menjalin hubungan percintaan. Dia menemukan bahwa produk komersial dan bujuk raju pemasaran sangat mempengaruhi bagaimana konsumen mengekspresikan perasaan maupun pengalamannya pada perayaan Valentine.

Baca juga:  Desa Hilang, Tambang dan Lubang Menyerang

Dari sisi praktik perilaku dan ritual di hari Valentine, tercatat ada lima kategori praktik yang dominan. Penelitian tersebut mencatat bertukar hadiah dan kartu ucapan menempati posisi teratas. Hal ini tidak mengherankan bahwa di AS sendiri ritual ini bisa dikatakan sudah lazim dan dipraktikkan sejak lama.  Saling memberi hadiah kejutan berupa cokelat, bunga, kartu ucapan, perhiasan mewah, maupun barang kesukaan pasangan. Selain itu, menunjukkan kasih sayang berada pada kategori yang kedua. Mayoritas informan menyatakan jika aktivitas seksual yang intim merupakan tren yang umum untuk mengungkapkan perasaan kepada yang terkasih pada perayaan Valentine. Meski ada pula yang menghabiskan waktu berkumpul bersama dan saling memberi ucapan dengan teman dan sanak keluarga. Selanjutnya, pesta makan malam romantis lengkap dengan sajian berbagai hidangan makanan mewah dan sajian minuman sebagai pelengkap. Tidak sedikit pula menggunakan momen Valentine untuk menyatakan lamaran pernikahan kepada kekasih tercinta.

Dari fenomena tersebut, bahwa Valentine lengkap dengan atribut-atributnya menunjukkan apa yang disebut oleh Jean Francois Lyotard (dikutip dari Yasraf A. Piliang) sebagai ekonomi libido. Menurutnya, ekonomi libido merupakan sebuah sistem ekonomi yang didalamnya apapun diproduksi. Sebuah tatanan yang melepaskan dirinya dari kriteria moral/amoral, baik/buruk, nilai guna/nilai tukar: manfaatkanlah potensi kesenangan dan gairah yang tersimpan dalam dirimu tanpa takut akan tabu dan adat; gunakan dan pertontonkan sebebas-bebasnya keindahan-keindahan penampilan, kepribadian, wajah dan tubuhmu untuk membangkitkan gairah perputaran modal.

Seperti itulah yang sedang kita saksikan dalam praktik perayaan hari Valentine. Praktik ini kini tidak hanya dinimati oleh warga negara maju seperti AS dan Inggris, tempat dimana ritual perayaan Valentine pertama kali tumbuh dan berkembang. Nun jauh di sana, Indonesia, juga sudah mempraktikkan hal yang serupa. Mulai dari restoran dan rumah makan, hotel dan penginapan, pusat perbelanjaan di sekitar kita menawarkan bujuk-rayu kepada hasrat konsumsi. Promosi diskon dan potongan harga dengan kemasan khas Valentine menjadi penampakan yang lazim di mata kita. Tak heran pula bila penjualan kondom tiap tahun dilaporkan meningkat jelang perayaan hari Valentine. Di Indonesia entah berapa banyak uang yang dihamburkan untuk memenuhi hasrat dalam melaksanakan ritus konsumsi oleh masyarakatnya di hari Valentine.

Baca juga:  Antropologi, Pendidikan dan Lonceng Kematian Ilmu Pendidikan

Kasih sayang adalah sesuatu yang lahir dan hadir secara natural sebagai fitrah dari dalam diri manusia. Sementara perayaan Hari Valentine hanya menunjukkan penyaluran hasrat tanpa batas pada aktivitas konsumsi dan hasrat seksualitas semata. Dengan demikian rayuan hari “kasih sayang” hanya akan menjerumuskan kita—khususnya remaja dan anak muda— kepada ritus simbolik yang berdalih retoris untuk menunjukkan rasa kasih sayang.

Rayuan-rayuan yang beroperasi di Hari Valentine tersebut menurut Baudrillard, hadir melalui pengosongan-pengosongan makna dan pesan—dalam hal ini makna kasih sayang. Maka jangan heran bila semakin tahun perayaan hari Valentine semakin meriah dan semakin mempercantik diri untuk melirik orang-orang yang belum tergoda oleh rayuannya. Karena rayuan tersebut bukan untuk menyampaikan pesan dan makna kasih sayang, melainkan memunculkan keterpesonaan dan ketergiuran pada gelora nafsu: nafsu seksual dan nafsu belanja.

Padahal di sekeliling kita, tidak sedikit golongan yang kurang beruntung, masyarakat miskin kota dan anak terlantar yang membutuhkan perhatian, empati, kasih sayang, dan bantuan secara materil maupun non-materil. Apalagi kehidupan mereka semakin tersingkir dan disingkirkan oleh struktur sosial yang sangat timpang.  Menebarkan cinta dan kasih sayang kepada sesama adalah praktik yang wajar sebagai manusia yang diciptakan memiliki empati dan perasaan, namun jangan mudah tertipu oleh bujuk rayu konsumerisme atas dalih “kasih sayang”. []

Disclaimer

Tulisan ini pertama kali dimuat di harian Cakrawala, dimuat ulang dengan sejumlah revisi untuk kepentingan edukasi.

0%