Desa Hilang, Tambang dan Lubang Menyerang

Catatan Malapetaka Tambang

Oleh Sartika Nur Shalati

“Tambang itu seperti malapetaka di kampung saya. Tidak ada bagus-bagusnya. Air kami hilang, mata pencarian kami juga hilang, bencana di mana-mana. Sekarang kampung kami seperti kampung hantu. Seperti tidak ada peradaban di dalamnya. Warga juga jadi terpecah belah. Dan banyak dari kami yang sudah terusir, pindah dari kampung ini. Semuanya gara-gara tambang!” (Dewi Sartika, 2017)

Karya Penulis
Sungguh kalimat skeptis. Mengukuhkan kepercayaan, bahwa rejim ekstraksi membawa penderitaan bagi rakyat. Derita berbalut slogan kesejahteraan, sebagai tipu muslihat para PENGUSAHA dan PENGUASA memperkaya diri dengan menghisap harta kekayaan Ibu BUMI. Tambang membawa malapetaka. Selain bencana ekologis, ia juga merangsek menjadi bencana sosial. Pengalaman Ibu Dewi Sartika menjadi contoh. Saya akan bercerita bagaimana tambang memperlakukan alam dan manusia. Menempatkan PENGUSAHA dan PENGUASA sebagai aktor antagonis yang paling diuntungkan, sementara BUMI dan Manusia menjadi pihak yang dikorbankan.

Tentang sesuatu yang hilang

Namanya Dewi Sartika (40), perempuan yang berjuang mempertahankan ruang hidup melawan tambang batubara, yang mengawali api perlawanannya dari meja dapur. Rumahnya berada di RT 17, Kelurahan Mugirejo Kecamatan Sungai Pinang, Samarinda. Di sana, ia tinggal menjanda dengan 3 anak yang kesemuanya perempuan.

Hampir setiap bulan saya menyempatkan menginap di rumahnya. Melakukan perjalanan  melihat kondisi kampung, sambil mendengar cerita tentang apa saja yang telah dihilangkan industri keruk ini?

Setiap hari ia selalu menyempatkan berdiri di teras rumah. Sambil memperhatikan mobil perusahaan PT. Cahaya Energi Mandiri lalu lalang di area tambang yang hanya berjarak 30m dari rumahnya. Juga pemandangan alat berat yang kadang muncul tanpa malu-malu menggali salah satu gunung yang menjadi sumber mata air.

Dalam hati ia geram sambil mengomel panjang. Ia menyimpan dendam membara. Selama ini, warga kampung selalu memperlakukan dan memnghormati alam dengan layak. Karena, dari BUMI mereka bisa makan dan bekerja. Sebuah relasi harmonis tercipta antara manusia dan alam. Tapi tentu tidak bagi perusahaan tambang.

Ia bercerita, mengingat masa kejayaan kampungnya ketika menyandang sebagai salah satu kawasan lumbung pangan di Samarinda. Mayoritas warga bermata pencarian sebagai petani. Ia pun sempat memimpin sebuah Kelompok Wanita Tani (KWT) bernama “Kelompok Tani Dewi Sartika”, beranggotakan 8 orang perempuan. Mereka mengolah hasil pertanian kolektif menjadi produk rengginang, kripik pisang, dendeng daun singkong, bumbu pecal untuk dipasarkan.

Orang perusahaan pernah nanyai. Kalau saya diam, bakal dikasi uang 50 juta. Tapi saya tolak. Karena yang saya mau, tambangnya pergi dari kampung ini

Cerita itu kini menjadi konon belaka sejak PT CEM menambang wilayahnya. Usaha tani yang mereka bangun sirna. Produk pertanian terhenti karena proses menjemur bahan terpapar debu dan ditolak di pasaran, karena berada di area tambang yang dianggap tidak menyehatkan. Ditambah lagi, bahan untuk pembuatannya memang sudah tidak ada lagi. Lahan pertanian pun banyak yang hilang.Telah berubah menjadi bekas tambang.

Baca juga:  Bahasa dan Masa

Hilangnya lahan pertanian di Mugirejo mengantarkan warga pada fase kehilangan pekerjaan tetap yang bergantung pada alam, beralih menjadi buruh serabutan di Kota. Hanya sekitar 5% warga terserap bekerja di perusahaan pada posisi paling bawah seperti menjaga alat berat.

Kini, mereka kehilangan air bersih, dan terpaksa menggunakan air parit tercemar karena berasal dari limbah lubang tambang yang belum direklamasi, untuk mandi, mencuci, dan irigasi pertanian. Ketika hujan, banjir lumpur menggenangi kawasan tersebut. Rumah-rumah dan lahan pertanian menjadi sasaran genangan air.

Warga Mugirejo kini mengalami bencana di tengah emas hitam yang terus digali dari tanahnya. Ongkos sosial dan ekologis menjadi bayaran mahal yang harus ditanggung oleh rakyat, dan negara enggan bersuara menebus semua kerugian itu.

Mugirejo hanya salah satu kelurahan di Samarinda yang menjadi korban ganasnya tambang batubara merampas ruang hidup rakyat. Kota ini menyumbang 71 % lahannya untuk itambang, dan hanya menyisakan 0,1% ruang terbuka hijau[1]. Kota yang menjadi contoh daerah yang menggerogoti keuangan Negara akibat bencana banjir. Hingga 2013, lebih dari Rp. 600 miliar digelontorkan dari APBD Kaltim tiap tahun untuk menangani banjir Samarinda. Tapi permasalahan banjir tak kunjung selesai, malah titik banjir semakin bertambah setiap tahun.[2]

Tambang dan Ongkos Sosial

Ibu Dewi dulu tidak sendiri mengawal kampungnya dari cengkraman tambang. Ada beberapa perempuan tani yang turut melawan. Tapi, perusahaan lebih pintar. Ia melakukan berbagai cara penaklukan. Satu persatu warga terbuai oleh iming-iming perusahaan berupa ganti rugi yang diberikan secara tidak merata jumlahnya.“Orang perusahaan pernah nanyai. Kalau saya diam, bakal dikasi uang 50 juta. Tapi saya tolak. Karena yang saya mau, tambangnya pergi dari kampung ini” ucapnya serius.

Suamiku mukuli aku, tidak diberinya aku uang belanja. Dia tidak suka aku bergaul dengan Bu dewi

Hal ini juga dialami oleh sahabatnya-Minah, yang mundur jadi karyawannya dan tidak pernah lagi bertegur sapa. Belakangan diketahui, Minah menerima uang dari PT. CEM, 1 juta perbulan. Mengingat cerita itu, ia lantas mengusap dada sambil tertawa gelisah

Baca juga:  Dehumanisasi Pendidikan?

Minah sebenarnya korban. Saya tidak melihatnya sebagai wujud pengkhianatan. Minah belakangan bermasalah dengan suaminya karena sering mengikuti Ibu Dewi. “Suamiku mukuli aku, tidak diberinya aku uang belanja. Dia tidak suka aku bergaul dengan Bu dewi” ucap Minah padaku.

Ketika memasuki kampung ini, pemandandangan berupa operasi alat berat, gunung terkelupas, jalanan rusak serta lubang tambang yang dibiarkan menganga terlihat begitu mencekam. Kampung ini pun seketika seperti kampung hantu. Sunyi sepi. Sebagian orang banyak yang terpaksa pindah, karena tanahnya telah dibeli perusahaan.

Ibu Yuli, tetangga Ibu Dewi yang dulu tinggal di atas gunung RT 17 terpaksa mengontrak rumah di RT 16, karena tanah beserta rumahnya, dibayar perusahaan. Saya sempat bertemu dengannya ketika melakukan perjalanan malam menyaksikan kegiatan pertambangan dari atas agar lebih aman. Mengingat ada banyak preman perusahaan yang berjaga hilir mudik di kampung. Ia sempat bercerita rencana perusahaan akan mengganti rugi rumah dan lahannya. Ternyata, belakangan benar terjadi. Sebulan saya datang ke sana, menyaksikan rumah dan gunungnya telah rata dengan permukaan tanah.

Kenapa saya yang harus pindah? ini kampung saya, tanah saya. Di sini saya hidup. Harusnya perusahaan yang pergi!” 

Suatu hari, saya bertanya kepada Ibu Dewi, alasannya bertahan di kampung ini “Kenapa saya yang harus pindah? ini kampung saya, tanah saya. Di sini saya hidup. Harusnya perusahaan yang pergi!” ungkapnya menggebu-gebu. Ikatan emosional serta nilai historis di kampung ini membuatnya enggan berpaling. Sebab dari tanah inilah ia hidup, dari bertani dan menanam ia bisa makan. Ia menolak kalah, menolak tunduk.

Baca juga:  Antropologi, Pendidikan dan Lonceng Kematian Ilmu Pendidikan

Sejauh ini, masyarakat terdampak tidak menemukan bagaimana rupa kesejahteraan yang selama ini digembar-gemborkan menjadi slogan perusahaan ketika masuk ke kampung. Iming-iming kesejahteraan hanyalah ilusi  mengaburkan borok pertambangan yang sejatinya selalu merusak. Selain lingkungan, tambang berhasil menciptakan konflik sosial, bahkan memasuki ranah privat seperti hubungan suami istri.

Ibu Dewi bercerai dengan suaminya, yang kini menjabat ketua RT 17 sejak 2014 juga akibat ulah tambang. Mantan suaminya berbalik menjadi corong masuk perusahaan dengan menjadi aktor pembebas lahan sekaligus humas perusahaan memperluas area pengerukan emas hitam. Perusahaan berhasil menghadirkan konflik di tengah rumah tangganya. Padahal dulu, ia bersama Ibu Dewi di garis terdepan menolak tambang.

Jangan tanya, resistensi yang Ibu Dewi terima sebagai konsekuensi mempertahankan ruang hidup melawan industri keruk yang sangat maskulin ini. Ia pernah diacungkan parang oleh preman bayaran perusahaan. Juga pernah dikejar saat berusaha mengambil foto kegiatan tambang di belakang rumahnya. Dan saat melakukan demonstrasi pada 28 Juli 2016 di area tambang, warga dihadapkan dengan aparat kepolisian dan berbuntut pada intimidasi dan kekerasan fisik.

Saya sudah melalui proses hukum. Tapi belum ada hasil. Mungkin saya mengadu sama Tuhan saja. Karena tidak ada gunanya berharap ke pemerintah!

Kejadian tersebut memperkuat keyakinan bahwa di Negara ini, aparat menjadi alat para PENGUSAHA dan PENGUASA untuk melakukan penindasan kepada rakyat. Kelurahan Mugirejo hanya satu bagian terkecil yang menjadi potret bagaimana hukum bekerja dan memperlakukan rakyat. Tiba-tiba saya meningat sebuah ungkapan “Hukum itu selalunya tumpul ke atas, dan tajam ke bawah”.

Lalu, masihkah ada secercah harapan buah dari perjuangan Dewi Sartika? “Saya sudah melalui proses hukum. Tapi belum ada hasil. Mungkin saya mengadu sama Tuhan saja. Karena tidak ada gunanya berharap ke pemerintah!” ucapnya sambil menancapkan batang singkong di gundukan tanah berdampingan dengan alat berat perusahaan. Sebuah simbol perlawanan, di tanah yang pernah terhampar tanaman sayur seluas mata memandang.[]

Lukisan karya Heri Dono

Disclaimer

Tulisan ini sebelumnya telah tayang di WartaHijau.Com sebagai esai yang dilombakan.

0%