Bahasa dan Masa

Oleh: Bandung Mawardi

Sumber Ilustrasi: lentera timur.com

Pada 1941, HB Jassin berpidato di radio. Ia berbicara tentang sastra, memberi komentar terhadap Sutan Takdir Alisjahbana dalam usaha mengumpulkan puisi-puisi lama. HB Jassin sadar Indonesia berubah. Bahasa dan sastra turut menggerakkan Indonesia. Kesadaran itu kadang menimbulkan keraguan dalam pengakuan bahasa Indonesia atau masih menganggap bahasa sedang berkembang itu bahasa Melayu.

HB Jassin memberi pendapat: “Sajang disamping kepesatan bahasa Melaju itu buku peladjaran tentang bahasa itu belum lagi mentjukupi. Ada buku peladjaran jang ditulis untuk batjaan anak-anak sekolah desa, vervolgschool dan normaalschool, tetapi umumnja buku-buku itu tidak lebih dari buku peladjaran biasa jang tidak membangkitkan minat untuk mengetahui lebih banjak tentang bahasa jang diadjarkan itu. Orang beladjar hanja terpaksa sadja.” Kita mengutip pendapat HB Jassin dari buku diterbitkan pada 1954. Kita mungkin kaget dengan pidato radio itu memasalahkan bahasa Melayu, bukan bahasa Indonesia.

Pada masa 1930-an, Sutan Takdir Alisjahbana bergairah memajukan bahasa Indonesia meski mengetahui babak-babak sastra berbahasa Melayu. Keseriusan itu memunculkan julukan Sutan Takdir Alisjahbana sebagai “insinyur bahasa”. Julukan diberikan Sumanang, tokoh penting dalam pers dan Kongres Bahasa Indonesia I (1938). Pada 1949, Sutan Takdir Alisjahbana menerbitkan Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia untuk memajukan bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu. Ia sadar bahasa Indonesia sedang berkembang tapi “penjelidikan bahasa Indonesia sekarang belum dapat dilakukan dengan baik oleh kekurangan waktu dan tenaga.”

Sutan Takdir Alisjahbana memang terbukti sebagai tokoh bahasa Indonesia. Ia mengetahui nasib bahasa Melayu masa 1940-an tapi memilih memajukan bahasa Indonesia. Ikhtiar itu mungkin turut menimbulkan keengganan orang-orang belajar sejarah bahasa Melayu. Pada masa berbeda, di hadapan kita, buku berjudul Bahasa Melayu Indis (2022) garapan John Hoffman. Kita diajak membaca sejarah bahasa Melayu dan memberi perhatian atas peran tokoh dan institusi. Sejarah juga terbaca melalui terbitan surat kabar dan buku, dari masa ke masa.

Baca juga:  Antropologi, Pendidikan dan Lonceng Kematian Ilmu Pendidikan

Halaman demi halaman, kita membaca persaingan dan nasib bahasa-bahasa digunakan di Nusantara selama ratusan tahun. Kita diingatkan terjadi gerakan berbahasa dan sesalan. Para pejabat Belanda kebingungan saat membuat kebijakan dalam pengajaran dan penggunaan bahasa Belanda untuk pelbagai kepentingan. Di Nusantara, sekian bahasa mulai digunakan dengan pesona dan dampak politik, perdagangan, dakwah, sastra, dan lain-lain.

Berlatar abad XVII, orang-orang Belanda mengaku kecewa dan mengumbar sesalan dengan ketiadaan bujukan serius agar bahasa Belanda digunakan sebagai bahasa pergaulan. Bahasa itu susah bersaing dengan bahasa Melayu telah mendapat “mufakat” dalam pelbagai peristiwa di Nusantara. “Penyesalan makin bertambah pada awal abad XVIII, ketika muncul kontroversi yang berlangsung selama 60 tahun mengenai bahasa Melayu-Tinggi atau Melayu-Rendah yang harus dijadikan bahasa dalam khotbah atau penyebaran agama serta standar bagi Alkitab di Hindia,” tulis John Hoffman.

Sejarah bahasa Melayu berkaitan dengan beragam bahasa. Di tulisan John Hoffman, kita menemukan nasib bahasa-bahasa lazim pasang-surut. Politik dan perdagangan dianggap paling berpengaruh. Bahasa pun ditentukan tata cara berdakwah. Di buku berjudul Mengikuti Jejak Leijdecker: Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-Bahasa Nusantara (2006) susunan JL Swellengrebel, kita mengingat ikhtiar besar dalam penggunaan bahasa Belanda dan pemajuan dakwah menggunakan bahasa-bahasa lokal. Kebijakan menerjemahkan Alkitab memicu sokongan pula dalam pemajuan bahasa Melayu. Bahasa itu turut bertumbuh dalam dakwah selain cepat tergunakan dalam perdagangan, sastra, pers, dan gerakan politik.

Baca juga:  Antropologi Pendidikan, Developmentalisme dan Lonceng Kematian Ilmu Pendidikan

Leijdecker melakukan penerjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu. Semula, hasil terjemahan mendapat pujian. Sekian pihak perlahan mengetahui ada kekurangan dan kesalahan dalam kaidah-kaidah bahasa Melayu. Pada 1845, Gubernur Jenderal Van Imhoff merestui penerbitan kamus untuk menjelaskan kata-kata asing terdapat dalam terjemahan Leijdecker. Perkara itu memicu anjuran agar dilakukan usaha mendidik bumiputra agar memiliki pengetahuan mendalam mengenai bahasa Melayu. Anjuran saat ada tingkatan atau pembedaan mutu dalam penggunaan bahasa Melayu.

Bahasa itu masalah pelik dalam ajakan agar orang-orang di Nusantara beriman. Di dokumen dan catatan sejarah, bahasa Melayu di arus sebaran agama memberi dampak-dampak besar. John Hoffman mengingatkan bahwa penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu oleh Leijdecker memberi berlimpah manfaat setelah debat-debat berkepanjangan. Terjemahan mengiringi usaha membuat tata bahasa dan standarisasi bahasa Melayu berlatar abad XVIII.

Pada akhir abad XIX, pemerintah kolonial Belanda agak serba salah dalam kebijakan bahasa untuk administrasi-kolonial, pendidikan-pengajaran, dan tata sosial-kultural. Pengajuan bahasa Melayu dan Jawa memungkinkan sambutan hangat dari bumiputra berbarengan dengan benih-benih perubahan atau “kemadjoean”. Kalangan terpelajar ingin mengerti dunia “baroe” dan “madjoe” dengan bahasa Belanda, tak cukup cuma dengan bahasa Melayu dan Jawa. Pengalaman berbahasa dan situasi politik memicu perbedaan kadar dampak bahasa-bahasa digunakan di tanah jajahan.

Kebingungan dan kecanggungan berbahasa berlangsung lama. John Hoffman menjelaskan: “Ketakutan Belanda akan konsekuensi langsung dari ketidakmampuan mereka untuk mempengaruhi komunikasi antara pejabat Belanda dengan orang Jawa, serta keputusan Belanda melihat penggunaan bahasa mereka sendiri oleh orang-orang Jawa terdidik, cenderung memaksa semua pihak untuk memakai bahasa Melayu.” Pilihan setelah dilema-dilema berkaitan politik dan pendidikan.

Baca juga:  Desa Hilang, Tambang dan Lubang Menyerang

Pada awal abad XX, bahasa Melayu bergerak dan bermekaran. Bahasa itu turut mengubah nasib tanah jajahan. Penggunaan dalam pendidikan-pengajaran, pers, perbukuan, dan pergerakan politik kebangsaan memberi derajat berbeda dari masa-masa terdahulu. Bahasa itu perlahan menentukan sejarah, bersebaran ke segala penjuru. Di buku berjudul Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia (2018) susunan Harimurti Kridalaksana, terbaca penggalan sejarah: “… penyebaran itu dilakukan justru bukan oleh orang Melayu, melainkan oleh pelbagai suku lain, seperti orang Jawa, Madura, Batak, Bali yang telah menerimanya sebagai bahasa sendiri.”

John Hoffman menganggap tata cara itu mengesahkan bahasa Melayu sebagai “pemersatu” identitas beragam etnis di Nusantara. Pesona dan pengaruh bahasa Melayu makin menguat dalam kapitalisme cetak. Percetakan dan penerbitan bacaan menggerakkan bahasa Melayu untuk mengalami “pemodernan” dan berkekuatan politik-kultural di hadapan pemerintah kolonial Belanda. Bahasa itu turut membentuk gagasan-imajinasi nasionalisme. Bahasa bisa melawan kolonialisme.

Bahasa Melayu terus bertumbuh meski pengabaian dan peremehan terjadi saat kaum elite terpelajar dan keluarga-keluarga terhormat di Hindia Belanda masih terpesona bahasa Belanda. Pertumbuhan bahasa Melayu menemukan babak mendebarkan pada masa 1920-an, hadir di penentuan sastra dan agenda-agenda politik-nasionalisme. Begitu.***

 

Bandung Mawardi saat ini aktif sebagai pedagang buku bekas dan tukang kliping

0%