Oleh: Askar Nur
Gambar: Yayak Yatmaka
The American Dream died for me the day I entered kindergarten. Before that, I was an incredibly
bright child, self-assured and besotted with learning. In this environment, I learned how inequality is transmitted from one generation to the next. I was “taught” that my existence was problematic. I was labeled unintelligent, inferior, less, terms all interchangeable with Black, brown, and
female. I emerged with some aspect of myself intact, albeit cast into a woke state of American
dreamlessness.
—Zahira Shaalan (Philadelphia)
Kutipan di atas bersumber dari salah satu artikel reflektif dalam “2020 Council on Anthropology & Education Presidential Address” tentang Decolonizing Education: Roles for Anthropology yang ditulis oleh Peter Demerath, seorang professor dari Universitas Minnesota, Amerika Serikat dalam disiplin kepemimpinan dan kebijakan pendidikan.[1] Artikel tersebut menguraikan urgensi pendidikan dari aspek sosial dan budaya yang kerapkali luput dari perjalanan sebuah institusi pendidikan. Bagi Demerath, membebaskan pendidikan dari belenggu kepentingan “pihak” tertentu merupakan upaya dalam mengembalikan core value pendidikan berbasis pada kepentingan individu maupun masyarakat atau dalam hal ini pendidikan demokratis seperti yang diuraikan oleh Ben K.C laksana dalam artikel serialnya yang dimuat di Indoprogress.[2]Sementara itu, “pihak” dalam konteks tulisan ini lebih merujuk pada satu atau beberapa orang yang terlibat langsung dan secara massif dalam mengontrol arah dari sistem pendidikan berdasarkan pada kepentingan perorangan maupun kelompok. Di Indonesia, berdasarkan tulisan saya sebelumnya tentang “Kapitalisme Pendidikan dan Reinventing Paradigma Pendidikan Indonesia: Sebuah Tinjauan Antropologi Pendidikan” [3], arah sistem pendidikan setidaknya dikendalikan oleh tiga sistem utama, meliputi sistem pasar, sistem komando negara, dan sistem kerakyatan. Akan tetapi, dari ketiga sistem tersebut, yang paling dominan dan memiliki kuasa lebih dalam mengatur orientasi pendidikan yakni sistem pasar dan komando negara.[4]
Pendidikan dalam kendali sistem pasar lebih mewujud pada ideologi pendidikan yang cenderung pada developmentalisme, yakni konsep pembangunan berkelanjutan dengan prioritas utama pada pertumbuhan ekonomi di segala aspek kehidupan masyarakat termasuk aspek pendidikan.[5] Sementara itu, developmentalisme dalam perjalanannya didukung penuh oleh dua kekuatan besar, yakni modernisasi dan kapitalisme. Modernisasi dimaknai sebagai bentuk perubahan yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi melalui praktik industrialisasi dan menekankan aspek rasionalitas, sekuler dan pemikiran ilmiah sebagai jalur kemajuan, sementara, kapitalisme sebagai sebuah paham ekonomi yang menggantungkan hidup sepenuhnya pada developmentalisme dan modernisme. Untuk bertahan, kapitalisme harus memaksakan masyarakat menjadi konsumtif dan materialistik.
Lebih lanjut, sistem pasar dengan muatan neoliberalisme dalam pendidikan membutuhkan landasan untuk berpijak sesuai aturan main yang berlaku di Indonesia sebagai negara hukum, yakni legalitas hukum. Oleh karena itu, sebagai upaya dalam melanggengkan kekuasaannya dan agenda-agenda neoliberalisme tetap berjalan baik maka dibutuhkan regulasi atau kebijakan khusus secara normatif.[6] Dalam konteks ini, sistem pasar membutuhkan peran negara sebagai legal standing untuk tetap hidup, maka lahirlah sistem komando negara dalam menentukan arah pendidikan di Indonesia.[7] Peranan utamanya hanya berpusat pada perumusan kebijakan tentang pendidikan dan meratifikasi segala ultimatum berdasarkan kebutuhan pasar global di dalam sektor pendidikan.[8] Salah satu bukti bahwa negara hanya sebagai alat legitimasi kepentingan (neo)liberalisme dalam bentuk produk hukum di sektor pendidikan dapat dilihat melalui traktat World Trade Organization (WTO)[9] dalam General Agreement on Trade in Services (GATS) yang berisi 12 sektor jasa yang diperdagangkan khususnya di Indonesia termasuk pendidikan khususnya pendidikan tinggi dengan menyematkan sebagai private goods (barang privat yang dapat diperdagangkan) dan diratifikasi melalui UU Nomor 7 Pasal 4 ayat (2) huruf d tahun 2014 tentang perdagangan:
“Selain lingkup pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diatur jasa yang dapat diperdagangkan meliputi: d. Jasa Pendidikan”.
Konsekuensi logis dari pendidikan sebagai private goods di Indonesia adalah pondasi awal pendidikan akan berganti dari pendidikan untuk mempertahankan nilai dan tradisi yang dianut (refleksi dari filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara) dan pendidikan adalah hak kebutuhan dasar manusia (refleksi dari Pasal 28c ayat 1 dan 31 UUD 1945, Pasal 26 ayat 1 DUHAM, dan Pasal 13 ayat 1 Kovenan Intenasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) menjadi pendidikan harus menciptakan individu berkompeten untuk menghadapi perkembangan (sistem ekonomi dan politik yang penuh persaingan), pendidikan menjadi sarana reproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil bukan sebagai strategi humanisasi, dan Pendidikan untuk akumulasi kapital dan memperoleh keuntungan. Pendidikan tidak netral. Pendidikan menjadi komoditas.
Tak hanya itu, hampir semua kebijakan pendidikan di Indonesia lahir dari sistem ekonomi pasar global yang diratifikasi oleh pemangku kebijakan pendiikan melalui produk hukum, seperti PP Nomor 60 & 61 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dan Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Amanah dari PP ini adalah lahirnya konsep otonomi dan kemandirian PTN. Begitupula dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 Sisdiknas Pasal 53 yang membahas tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Keduanya secara genealogis merupakan agenda Structural Adjustment Program (SAP) yang ditangani langsung oleh International Monetary Fund (IMF).[10] Program tersebut ditengarai sebagai bentuk solusi dari krisis finansial kawasan Asia dalam kurun 1997-1998 termasuk Indonesia dengan cara mengajukan permohonan bantuan ke IMF yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998. Implikasi program ini terhadap pendidikan di Indonesia adalah PTN diharapkan untuk mencari sumber pendanaan sendiri termasuk dengan menaikkan biaya pendidikan untuk mempertahankan kualitas. Langkah tersebut didukung kuat oleh kebijakan pemerintah melalui penerapan BHP.
Kendati demikian, peraturan murni BHP dalam UU BHP Nomor 9 Tahun 2010 memperoleh respon penolakan dari aktivis mahasiswa, sejumlah akademisi dan praktisi pendidikan sehingga pada 31 Maret 2010, melalui Ketetapan MK, UU tersebut dihapus. Lantas, apakah konsep otonomi pendidikan di PTN telah hilang? Meskipun UU BHP dihapus, akan tetapi rahimnya dalam UU Sisdiknas Pasal 53 masih tetap ada sampai saat ini. Alhasil, kelahiran produk hukum baru merupakan keniscayaan, hal tersebut dapat dilihat melalui pengesahan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dengan tujuan untuk mengisi kekosongan hukum dan iming-iming sebagai jawaban atas permasalahan pendidikan. Namun, yang terjadi adalah UUPT justru menjadi masalah pokok Pendidikan Tinggi saat ini dengan semangat (neo)liberalisme sebagai pijakan utama. Salah satu dampak dari restrukturisasi pendidikan melalui UUPT adalah munculnya sistem pembiayaan pendidikan di PTN melalui sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Biaya Kuliah Tunggal (BKT).[11] Di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN), sistem UKT-BKT menjadi bentuk pembayaran uang kuliah mahasiswa menggantikan sistem Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP).
UUPT dapat dikategorikan sebagai paket komplit dari semangat (neo)liberalisme pendidikan di Indonesia baik dari segi otonomi pendidikan maupun pembiayaan pendidikan yang melibatkan peran serta masyarakat. Perkara tersebut kian membuktikan eksklusivitas pendidikan yang hanya mampu diakses oleh kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas sekaligus mengubur misi suci pendidikan sebagai hak asasi untuk semua golongan masyarakat. Selain karena biaya kuliah yang mahal, juga dikuti oleh kenaikan setiap tahunnya. Sebagai bahan analisa, hal tersebut dapat dilihat dari salah satu PTKN/PTKIN yang ada di Sulawesi Selatan yang mengalami peningkatan nominal UKT setiap tahunnya. Meskipun dalam hal status pengelolaan keuangan, PTKIN tersebut masih berstatus PTN-BLU, akan tetapi konsep otonomi pendidikan telah dipraktikkan melalui peran serta masyarakat (orang tua mahasiswa) dalam menanggung biaya pendidikan.
Kondisi kenaikan nominal UKT setiap tahunnya khususnya pada PTKIN tersebut merupakan implikasi langsung dari campur tangan WTO, IMF, dan World Bank dalam hal pengelolan institusi pendidikan di Indonesia. Berdasarkan hasil temuan tentang kenaikan UKT setiap tahunnya, di bawah digambarkan siklus kenaikan UKT di salah satu fakultas yang ada di PTKIN tersebut, yakni Fakultas Adab dan Humaniora yang terdiri atas 4 program studi atau jurusan.
Gambar 1. Kondisi UKT jurusan Bahasa & Sastra Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam dari Tahun 2013-2022
Gambar di atas merupakan gambaran kondisi UKT di jurusan Bahasa & Sastra Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam di Fakultas Adab dan Humaniora dengan keterangan Warna Kuning menandakan nominal UKT Tetap, Merah untuk nominal UKT Naik, dan Hijau untuk nominal UKT Turun. Berdasarkan presentase di atas, kenaikan UKT di dua jurusan tersebut setiap tahunnya yang paling dominan. Kenaikan nominalnya setiap tahun mulai dari Rp. 2.500 hingga Rp. 1.092.000. Sementara itu, untuk dua jurusan lainnya, Bahasa & Sastra Inggris dan Ilmu Perpustakaan juga mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda, akan tetapi pada dua jurusan tersebut tidak terdapat penuruan nominal UKT dari sejak pertama diterapkan pada 2013 hingga 2022 dan kenaikan nominalnya dari Rp. 2.500 hingga Rp. 827.000, seperti digambarkan di bawah ini:
Gambar 2. Kondisi UKT jurusan Bahasa & Sastra Inggris dan Ilmu Perpustakaan dari Tahun 2013-2022
Faktor UKT mahal dan kenaikan nominal UKT setiap tahunnya selain sebagai bentuk pembatasan akses pendidikan, juga membawa pengaruh besar terhadap aktivitas mahasiswa di dalam kampus masing-masing seperti degradasi nilai aktivisme dan meredupnya budaya berorganisasi. Dari segi aktivitas akademik, pengaruhnya adalah perubahan orientasi pendidikan tinggi yang semata-mata memprioritaskan konsep link and match. Nilai intelektualitas bukan lagi sebagai nilai utama yang dianut dalam ruang pendidikan, melainkan pendidikan berubah menjadi arena pelatihan para calon pekerja yang telah disesuaikan dengan tuntutan dan kepentingan dunia industri.
Sementara itu, fokus para pemangku kebijakan pendidikan di Indonesia saat ini justru tidak mengupayakan melakukan revitalisasi pendidikan dan reorientasi tujuan pendidikan, melainkan justru semakin memperparah dan memperpanjang nafas (neo)liberalisme di sektor pendidikan melalui perangkat kebijakan. Selain kebijakan-kebijakan yang telah diuraikan sebelumnya, pada tahun 2022, Kemendikbudristek kembali mencanangkan produk hukum baru tentang pendidikan dengan menerapkan model Omnibus Law dengan mencabut dan menyatukan tiga undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan, yakni UU Sisdiknas 2003, UU Guru dan Dosen 2005, dan UUPT 2012, menjadi UU Sisdiknas. Meskipun sampai saat ini, status UU Sisdiknas terbaru masih dalam Rancangan Undang-Undang (RUU).[12]
Secara kritis, RUU tersebut justru semakin nyata menunjukkan batang hidung dari (neo)liberalisme dalam pendidikan di Indonesia dan semakin mempromosikan otonomi pendidikan. Hal tersebut dilihat dari naskah RUU versi Agustus 2022 pasal 40 ayat 3 dan 141 bahwa PTN diberikan waktu paling lama 8 tahun setelah UU ini disahkan untuk menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). Kondisi tersebut juga diperkuat melalui kebijakan Merdeka Belajar, Kampus Merdeka (MB-KM) yang sebelumnya telah disahkan. Salah satu pokok kebijakannya adalah PTN-BLU dan Satker diberikan kebebasan menjadi PTN-BH dengan cara memberikan kemudahan dari segi persyaratan meliputi akreditasi PTN tidak menjadi persyaratan utama dan PTN dapat mengajukan diri menjadi PTN-BH kapanpun.[13]
Secara spesifik, kebijakan pendidikan yang dimotori oleh skema (neo)liberalisme juga berdampak besar terhadap aspek sosial dan budaya individu dalam dunia pendidikan, seperti yang diutarakan oleh Zahira Shaalan di awal tulisan ini yang dikutip dari tulisan Peter Demerath tentang proses dekolonisasi pendidikan dan peran antropologi dalam mewujudkan hal tersebut. Shaalan memandang bahwa pendidikan telah merenggut keceriaannya, kepercayaan dirinya, dan juga semangatnya untuk belajar. Labelisasi bodoh-pintar dan baik-buruk yang dipraktikkan dalam pendidikan merupakan mesin penghancur utama jati diri seorang manusia untuk berkembang. Praktik pendidikan yang cenderung menjadikan gaya hidup modern sebagai permodelan utama dan perbedaan latar belakang kebudayaan bukan merupakan pertimbangan dalam menjalankan sebuah kebijakan. Sebagai sebuah konsekuensi, pendidikan akan tampil dengan wajah monokultur (wajah neoliberalisme) dan meninggalkan entitas pendidikan sebagai arena sosial yang multikultural.
Demerath dalam tulisannya menguraikan konsep yang dapat dilakukan oleh para antropolog khususnya pada disiplin antropologi pendidikan dalam upaya proses dekolonisasi pendidikan meliputi membangun konsep pendidikan anti rasisme yang menghargai cara hidup dan budaya setiap manusia, merevitalisasi konsep kepemimpinan dan orientasi pendidikan yang memiliki kecenderungan menciptakan ketidaksetaraan dan rasis, melakukan perubahan terhadap model pembelajaran dan lebih menekankan pada aspek penghargaaan cara setiap individu dalam belajar, menciptakan kesetaraan dalam hubungan antara tenaga pendidik dan peserta didik (dosen-mahasiswa) secara dialektis, dan membudayakan konsep pendidikan berbasis realitas khususnya pembelajaran berbasis kenyataan (hadap masalah). Dalam konteks ini, Demerath mendefinisikan dekolonisasi pendidikan sebagai upaya melepaskan pendidikan dari kepentingan elit ekonomi dan politik sehingga pendidikan mampu tampil sebagai ruang humanisasi. Sementara itu, pendidikan anti rasis yang dicanangkan lebih dimaknai sebagai model pendidikan yang tidak hanya memprioritaskan satu kebudayaan tertentu dalam hal ini budaya modern dan mengeliminasi multikulturalisme dalam pendidikan khususnya mengesampingkan latar belakang kebudayaan setiap peserta didik (mahasiswa).
Terhadap apa yang diuraikan oleh Demerath, jika direfleksikan dengan kondisi pendidikan di Indonesia tentu memiliki kemiripan dan menjadi konsep ideal untuk mengembalikan hakikat pendidikan. Berangkat dari analisis kebijakan pendidikan di Indonesia yang telah diuraikan sebelumnya, kolonialisasi pendidikan masih menjadi mimpi buruk. Hal tersebut dilihat dari tata kelola institusi pendidikan dan konsep pembelajaran yang cenderung pada penyeragaman dan menjadikan kepentingan pasar global sebagai mode utama dalam menjalankan pendidikan khususnya di salah satu PTKIN di Sulawesi Selatan yang disebutkan di atas. Dalam penelitian Tesis S2 yang saya lakukan tentang fenomena terlambat sarjana di PTKIN tersebut, salah satu hasil temuan menunjukkan bahwa faktor metode dan kebiasaan belajar mahasiswa menjadi salah satu faktor penghambat dalam menyelesaikan studinya, yakni ketidaksesuaian antara metode yang dipraktikkan oleh dosen dan kebiasaan belajar mahasiswa yang mempengaruhi tingkat pemahaman mahasiswa.
“…penghambat lainnya juga adalah bagaimana dalam ruang perkuliahan khususnya waktu saya masih aktif kuliah, metode yang diajarkan oleh dosen itu mungkin agak apa ya agak agak terhambat itu masuk ke pikiran saya begitu atau dalam artian susah saya pahami apa yang dijelaskan oleh dosen. Hal tersebut berbeda dengan apa yang saya temukan waktu di pesantren bagaimana cara mengajarnya para ustadz khususnya dalam materi Bahasa Arab yang bisa buat saya paham”. (Wawancara dengan Ocang, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab, pada 25 Oktober 2022)
Cara belajar antara satu dengan lainnya memiliki perbedaan yang tumbuh dan berkembang sejak lama berdasarkan kondisi budaya pembelajaran dari jenjang pendidikan sebelumnya. Hasil wawancara di atas menunjukkan perbedaan signifikan antara tingkat pemahaman tentang Bahasa Arab waktu masih belajar di Pesantren dan pada saat menjalani perkuliahan. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh tata kelola atau manajemen pembelajaran dalam ruang perkuliahan yang tidak terintegrasi dengan aspek latar belakang kebudayaan mahasiswa dalam menghadapi pembelajaran. Efek domino dari model pembelajaran yang tidak sesuai dengan aspek penerimaan mahasiswa akan berdampak besar terhadap minat belajar hingga berujung pada perasaan malas dalam menjalani aktivitas perkuliahan dan mempengaruhi penyelesaian studi.
Kondisi tersebut di atas hanyalah satu contoh dari banyaknya polemik pendidikan tinggi yang lahir dari manajemen sistem yang berjalan dan tidak mempertimbangkan aspek latar belakang kebudayaan, serta tidak menutup kemungkinan kondisi demikian juga dirasakan oleh mahasiswa di kampus masing-masing. Dalam disiplin antropologi, antropologi pendidikan sebagai disiplin baru berusaha menelusuri masalah pendidikan seperti fungsi sosialisasi sekolah, transmisi budaya dari yang lama ke baru dalam proses pendidikan, peran etnosentrisme dalam mereproduksi ketidaksetaraan dan kemungkinan relativisme budaya di sekolah. Secara khusus, antropologi pendidikan berfungsi menjembatani antara kebijakan pendidikan yang diterapkan dengan dampak dari kebijakan tersebut terhadap mahasiswa.[14][15]
Studi antropologi pendidikan memberikan pemahaman tentang perbedaan budaya dan pengaruhnya terhadap pendidikan, bukan hanya budaya yang telah ditentukan oleh pendidikan tetapi juga bagaimana pendidikan mempengaruhi penentuan budaya.[16] Pengaruh latar belakang budaya daerah tiap-tiap peserta didik juga harus dipandang penting dalam penerapan kurikulum yang mana merupakat suatu alat dalam mencapai tujuan pendidikan. Jika transformasi kebudayaan dilepas dalam proses pendidikan hanya akan menuai kepunahan terhadap kebudayaan tersebut dan tak ayal konsep pendidikan hanya akan menjadi sarana dehumanisasi, bukan humanisasi, serta akan kembali mengulang cerita kelam Zahira Shaalan yang menyaksikan “kematian” The American Dream saat ia pertama kali menginjakkan kaki dalam dunia pendidikan di negara yang berbeda di Bumi Pertiwi, Indonesia.
Referensi
[1] P. Demerath, “2020 Council on Anthropology & Education Presidential Address Decolonizing Education: Roles for Anthropology,” Anthropol. Educ. Q., 2022, doi: 10.1111/aeq.12435. [2] B. K. C. Laksana, “Kumpulan Tulisan tentang Pendidikan Demokratis,” https://indoprogress.com, 2020. https://indoprogress.com/penulis/ben-k-c-laksana/. [3] A. Nur, “Kapitalisme Pendidikan dan Reinventing Paradigma Pendidikan Indonesia,” Al-Ubudiyah: Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, vol. 3, no. 1. Sekolah Tinggi Agama Islam Darud Dakwah Wal Irsyad Makassar, pp. 69–84, 2022, doi: 10.55623/au.v3i1.94. [4] F. X. Wahono, Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetisi dan Keadilan. INSIST Press, Cindelaras bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2001. [5] A. Asnawan, A. Bashith, and K. I. Ratnasari, “Dinamika Pendidikan Islam dan Liberalisasi Pendidikan di Indonesia,” Attanwir J. Keislam. dan Pendidik., vol. 13, no. 2, pp. 185–196, 2022. [6] H. M. Precalya, “LINK & MATCH PENDIDIKAN SEBAGAI IDEOLOGI NEOLIBERALISME (Analisis Wacana tentang Dominasi Elit dalam Pendidikan Kejuruan di Indonesia),” JISIP (Jurnal Ilmu Sos. dan Pendidikan), vol. 5, no. 4, 2021. [7] V. Adriany, “Neoliberalism and practices of early childhood education in Asia,” Policy Futures in Education, vol. 16, no. 1. SAGE Publications Sage UK: London, England, pp. 3–10, 2018. [8] R. M. P. Silalahi, U. Yuwono, and Y. J. Aminda, “Values of neoliberalism in education: A comparative study of Indonesian presidential speeches in the New Order and Reform Era,” in Cultural Dynamics in a Globalized World, Routledge, 2017, pp. 899–906. [9] R. Rehulina, R. W. Putri, and Y. M. Putri, “Pengaturan Sektor Jasa Pendidikan Indonesia Dalam Kerangka Liberalisasi WTO,” PROGRESIF J. Huk., vol. 15, no. 1, pp. 1–30, 2021. [10] A. K. Putra, “Resistensi finlandia terhadap global educational reform movement.” UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015. [11] A. Nur, “Uang Kuliah di Masa Pandemi: Mendaras SK Rektor UIN AM tentang Keringanan UKT Mahasiswa.” Center for Open Science, 2020, doi: 10.31219/osf.io/8qets. [12] Kemendikbudristek, “Naskah RUU Sisdiknas 2022,” https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/naskah-ruu-sisdiknas/, 2022. https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/naskah-ruu-sisdiknas/. [13] Kemendikbudristek, “Mendikbud Luncurkan Empat Kebijakan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka,” Kemdikbud.go.id, 2020. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/01/mendikbud-luncurkan-empat-kebijakan-merdeka-belajar-kampus-merdeka. [14] C. Emdrup, “Anthropology of Education and Globalisation ( AEG ),” 2021. [15] R. Satria, N. A. Hanum, E. B. Shahbana, A. Supriyanto, and N. Ulfatin, “Landasan Antropologi Pendidikan dan Implementasinya Dalam Pembangunan Indonesia,” Indones. J. Soc. Sci. Educ., vol. 2, no. 1, pp. 49–65, 2020. [16] T. Budiharso et al., “Anthropology of Education : Discourses and Dilemmas in Analysis of Educational Patterns and Cultural Configurations Towards Pursuit,” Sustain., vol. 42, no. 01, pp. 39–51, 2020.