Kuasa Ekonomi Politik ‘Korporasi Hutan’: Relasi Kelas dan Enclosure di Pedesaan Gowa

Oleh: Imamul Hak

Gambar: Yayak Yatmaka

Tulisan ini merupakan catatan lapang dari suatu penelitian lapangan di dua desa di Kec. Parangloe, Kab.Gowa pada tahun 2018. Penelitian itu bertujuan untuk menampilkan dampak ketimpangan penguasaan lahan oleh Inhutani terhadap masyarakat sekitar yang seringkali menyulut konflik agraria dan berujung kepada kriminalisasi petani karena dituduh sebagai pencuri kayu atau perambah hutan. Tidak hanya itu, konsekwuensi sosial lain yang paling terasa adalah penciptaan kelas petani berlahan kecil (petani gurem), yang bertahan hidup dengan cara memburuh kepada tetangganya- petani yang memiliki lahan luas, atau berangkat ke kota Makassar bekerja sebagai buruh bangunan. Catatan singkat ini berupaya merekam narasi masyarakat yang jadi korban eksklusi oleh Inhutani dan pilihan-pilihan penghidupan yang mereka jalani dalam setting sosial yang timpang tersebut.

Ekslusi oleh ‘Korporasi Hutan’-Inhutani

Di pulau Jawa, masyarakat yang tinggal di sekitar Kawasan hutan mengenal Perhutani. Di luar Jawa, seperti di Sulawesi selatan, padanannya adalah Inhutani, suatu korporasi bisnis hutan berkedok pelestarian kawasan hutan.  Keberadaan Inhutani di desa Belapunranga Kec. Parangloe, dimulai sejak tahun 1986 yang merupakan peralihan dari Pabrik kertas gowa (PKG). Selain Inhutani, lahan eks-PKG (pabrik kertas Gowa) juga diberikan ke PTPN untuk ditanami tebu sementara Inhutani menanam Akasia.

Pihak Inhutani memulai proses penanaman Akasia dengan memberikan janji manis ke masyarakat-kelak ketika pohon sudah besar nantinya masyarakat juga yang akan menikmati, tapi nyatanya sebelum Akasia berumur tua masyarakat malah mendapatkan sebaliknya yakni, pelarangan untuk masuk (mengakses) ke kebun sendiri, bahkan masyarakat mendapatkan pengusiran hingga dikriminalisasi-dipolisikan.  Menurut Jamal yang juga pimpinan dusun Allukeke, keberadaan dan pengguasaan lahan masyarakat oleh Inhutani sejak beroperasi selalu berkonflik dengan masyarakat. Sebabnya karena penguasaan lahan oleh Inhutani di dusun itu hampir 70 persen dari luasan dusun. Sampai sekarang klaim kami atas lahan yang dirampas (berupa kebun dan sawah) oleh Inhutani bisa dibuktikan yaitu batas batu dan pohon-pohon lokal yang keberadaannya masih bisa ditemukan di dalam lahan-lahan yang diklaim oleh Inhutani, tutur Pak Dusun.

Bukti lainnya bisa ditelusuri melalui sejarah kampung. Dusun Allukeke sebelum masuk sebagai wilayah administrasi desa Belapuranga merupakan kampung tua sejak masa kekuasaan kerajaan Borisallo di bawah kekuasaan kerajaan Gowa. Setelah status daerah swapraja dihapus, Borisallo kemudian menjadi desa yang di tahun 2007, terpecah menjadi dua desa yakni desa Borisallo dan desa Belapunranga, di mana dusun Allukeke, tetap menjadi wilayah dusun di daerah administrasi desa Belapunranga. Sebelum desa Belapunraga menjadi defenitif, Allukeke sudah ada sebagai dusun yang masuk dalam wilayah administrasi Borisallo. Sejarah itu menunjukkan secara kuat bahwa jauh sebelum Inhutani masuk mengklaim lahan-lahan masyarakat, warga Allukeke sudah menggarap tanah dan kebun, bukti penguasaan lahan oleh masyarakat.

Peryataan dg. Timung di atas, dikonfirmasi oleh dg. Tamma, selaku tetua kampung yang selama puluhan tahun menjabat sebagai RT dan RK di Panaikang Dusun Alukeke. Dia menceritakan bahwa jauh sebelum PT. Inhutani beroperasi, masyarakat termasuk dirinya sudah menggarap lahan yang dijadikan kebun untuk ditanami jagung, kacang tanah dan padi. Ia sendiri yang dulunya membabat hutan lalu dibuat jadi kebun. Dulu sebelum penyeragaman pohon Akasia dan Ekaliptus milik Inhutani, terdapat banyak jenis pohon lokal, seperti; Beringin (kajuara), pohon Batti, Mahoni, Jabon (sunggumanai) dan banyak jenis kayu lainnya.

Baca juga:  Kapitalisme, Masyarakat Adat, dan Covid-19

Sewaktu PKG beroperasi di situ masih banyak jenis pohon-kayu lokal, karena PKG hanya menanam bambu untuk kebutuhan pabrik kertas. Bahkan bambu-bambu milik PKG ditanam di lahan-kebun milik warga (mereka juga diupah untuk menanam bambu), dan tidak pernah melarang warga untuk berkebun. Nanti ketika Inhutani datang menebang semua pohon-pohon lokal lalu kemudian diseragamkan dengan Akasia dan Ekaliptus. Jadi dulu waktu peristiwa penebangan besar-besaran itu hutan gundul betul, kenang Dg. Tamma.

Sebagai bukti juga kalau Dg. Tamma dan warga sebagai penggarap lahan, mereka menanam pohon kemiri, mangga, kapuk, jabon di sekitar lahan garapan mereka, sekaligus sebagai penanda batas kebun antar warga. Sampai sekarang pohon-pohon tersebut masih berdiri kokoh dalam kawasan yang diklaim oleh Inhutani. Dulunya, kebun-kebun warga yang berada di dalam kawasan hutan Inhutani merupakan sumber penghasilan utama. Seperti Loho dg. Ngerang (36 Tahun) warga RK Panaikang yang menggarap kebun seluas 100 are di dua titik lokasi, di mana satu titik seluas 80 are digunakan untuk menanam jagung dan kacang tanah, dan yang 20 are ditanami pohon jati putih sebanyak 600 bibit pohon. Hasil dari kebun 20 are yang ditanami kayu jati dipanen 5-6 tahun sekali. Pada tahun 2017, dg. Ngerang meraup hasil senilai 7 Juta rupiah dari hasil penjualan kayu jati, ia tidak tahu secara pasti berapa banyak jumlah kayunya karena si pembeli menaksir sejumlah harga itu untuk pohon kayu dalam kebun seluas 20 are tersebut, si pembeli juga yang melakukan penebangan.

Penciptaan Buruh Upahan di Desa       

Tiga dekade penguasaan lahan oleh Inhutani, tidak hanya menciptakan konflik agraria, pengusiran dan kriminalisasi petani.  Situasi lain yang kronis tapi laten adalah munculnya diferensiasi kelas di desa. Pelapisan sosial akibat ketimpangan penguasaan lahan dan proses enclosure bisa diamati dengan melihat masyarakat di RK Panaikang. Di sana, hampir seluruh warganya tidak memiliki lahan sawah irigasi, meskipun mereka pada dasarnya memiliki lahan berupa kebun tetapi kebun-kebun tersebut berada dalam klaim penguasaan hutan PT. Inhutani. Di lokasi itu mereka biasanya menanam padi jika masuk musim hujan (sawah tadah hujan) yang hanya bisa panen sekali dalam setahun dengan rata-rata hasil produksi jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan sawah irigasi. Sementara sawah irigasi di Allukeke bisa panen dua kali dalam setahun. Sebagian besar sawah produktif orang-orang Allukeke tidak berada dalam kawasan hutan produksi yang dikuasai oleh Inhutani. Dalam kondisi yang seperti itu, terjadi dua relasi kerja. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan pangannya, warga di Panaikang akan menjadi buruh tebas (assangki’) ketika musim panen di Allukeke, upah jadi buruh Rp. 50.000/hari atau dengan sistem bagi hasil dengan pembagian setiap orang dalam satu hari kerja mendapatkan upah satu ember gabah, dalam satu karung gabah berisi tiga ember. Jadi seorang buruh panen harus bekerja tiga hari, baru dapat satu karung gabah. Relasi kerja upahan ini yang umumnya berlaku di desa.

Baca juga:  Kapitalisme Dari Bawah

Relasi kerja yang kedua misalnya; seperti yang dilakukan oleh Tinri dg. Naba (68 tahun), yang menggarap lahan milik Sekdes Belapunranga untuk menanam jagung. Modal produksinya ditanggung oleh pemilik lahan tetapi ketika hasil kebun yang digarap dg. Naba sudah panen maka ia harus mengganti modal produksi yang sudah dikeluarkan oleh pemilik lahan. Tidak hanya itu, dg. Naba punya kewajiban lain untuk mengurus kebun rambutan si pemilik lahan. Pertanyaannya kemudian, mengapa ada warga seperti dua buruh tani di atas mau menjalani relasi kerja seperti ilustrasi di atas?

Profil Tinri dg. Naba sebagai warga miskin di desa dengan indikator pemilikan lahan yang kecil hanya seluas 90 are dan juga bekerja sebagai buruh upahan pada orang lain disebabkan oleh beberapa faktor. Antara lain karena; pertama, peristiwa migrasi lokal dan perampasan tanah oleh PT. Inhutani. Loho dg. Ngerang, Tinri Dg. Naba dan sebagian besar warga yang tinggal di Panaikang (RK 2) dulunya tinggal di Manuju (sekarang Kec. Manuju-dulunya distrik Borisall0). Mereka melakukan migrasi lokal ke Allukeke paska bencana banjir bandang akibat meluapnya sungai Jeneberang yang menyapu pemukiman dan lahan-lahan garapan masyarakat. Allukeke dipilih karena terikat hubungan kekeluargaan dan kultural (ikatan perkawinan diantara orang-orang di kedua kampung sudah terjalin sejak lama), oleh karena itu biasanya dari pihak laki-laki atau pihak perempuan memiliki tanah di Allukeke. Seperti yang terjadi dengan keluarga Loho dg. Ngerang, dimana bapaknya lahir di Manuju tetapi ibunya berasal dari Allukeke. Setelah peristiwa banjir, orang tuanya pindah ke Allukeke bersama puluhan keluarga lainnya, kemudian membuat pemukiman yang sekarang dikenal dengan RK Panaikang (dulunya masih status RT ketika masih desa Borisallo). Orang tua Loho yang bernama dg. Tamma, kemudian membabat hutan buat dijadikan kebun yang kemudian ditanami jagung, kacang tanah dan padi sekali dalam setahun musim tanam. Nah, kebun-kebun garapan warga inilah yang kemudian diklaim oleh pihak Inhutani secara sepihak sejak tahun 1986 dan melarang mereka untuk berkebun di dalam kawasan hutan yang dikuasai secara paksa oleh Inhutani. Padahal kebun-kebun tersebut menjadi sumber penghasilan utama warga.

Baca juga:  Dari Erangpolea Ke Jagung Kuning

Cerita sedikit berbeda dengan yang dialami oleh Tinri dg. Naba, dimana Ia pindah dari Manuju ke Allukeke sejak tahun 2000-an. Dan menggarap kebun seluas 90 are yang diperoleh dengan jalan ganti rugi (membeli) dari sepupunya sebesar Rp500.000. karena lahan pemukiman yang semakin terbatas untuk dijadikan rumah tinggal akhirnya sepetak lahan hasil pemberian sanak keluarga seluas 3-4 are yang lokasinya di dalam kebun dan kawasan hutan milik Inhutani dijadikan lokasi untuk membangun rumah panggung. Rumah tinggalnya juga semi permanen yang terbuat dari kombinasi kayu dan bambu seluas 10×6 meter. Tidak ada sekat dalam rumah hanya ada dua ruang tanpa sekat dinding, satu ruang utama sekaligus kamar tidur bersama seorang istri dan 3 anak perempuannya, ruangan lain buat dapur yang dinding dan lantainya dari bilah-bilah bambu. rumah ini tidak memiliki kamar mandi, harus menumpang ke kamar mandi tetangga buat mandi dan urusan buang hajat.

Alasan paling mendasar penyebab kemiskinan di desa kawasan hutan adalah karena perampasan lahan oleh PT. Inhutani. Hampir 98% lahan garapan warga di Panaikang itu masuk dalam kawasan hutan yang dikuasai secara paksa oleh Inhutani. Pelarangan, pengusiran hingga kriminalisasi warga menjadi narasi harian untuk mengambarkan ketegangan sosial antara masyarakat dengan Inhutani. Alhasil, teror demi teror, laporan penyerobotan, pencurian kayu ke pihak kepolisian sudah berkali-kali terjadi, ada yang selesai di kantor polisi sampai ada juga warga yang di bui. Akibat desakan dan himpitan kebutuhan untuk bertahan hidup, para warga yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani mau tidak mau melabrak seluruh larangan pihak Inhutani, terkadang untung juga kadang-kadang buntung. Akibatnya warga menjadi takut tapi tak sedikit juga yang akhirnya nekat untuk tetap mempertahankan kebun-kebun mereka dengan resiko yang sudah mereka bisa perhitungkan.

Ironisnya, di tengah krisis penguasan lahan dan konflik agraria di desa, terdapat orang luar desa yang menguasai sejumlah 80 hektar tanah di dusun Allukeke. Namanya H. Ilyas yang berdomisili di Makassar tetapi memiliki lahan yang hampir ratusan hektar di desa. Ia mendapatkan dengan cara membeli dari orang lokal bernama Karaeng Sau’. Asal usul lahan yang dibeli H. Ilyas juga menarik, karena tanah tersebut merupakan tanah yang dibagikan untuk para hansip desa sebagai upah/gaji pamong (di Jawa biasanya dikenal dengan istilah tanah bengko). Ternyata di kemudian hari ketika sertipikatnya terbit hanya atas nama satu orang yakni karaeng Sau’, yang posisinya sebagai komandan hansip. Ia kemudian menjual lahan seluas 80 hektar kepada H. Ilyas yang digunakan untuk menanam ubi dan kebun rambutan. Pekerjanya sebagian besar didatangkan dari luar desa, dalam sekali panen rambutan bisa sampai ratusan juta. H. Ilyas adalah seorang pengembang perumahan(pengusaha properti) di kota.

0%