Kapitalisme Dari Bawah

Potret Petani Kecil Komoditas di Pegunungan Sulawesi

Oleh: Imamul Hak

Gambar: Yayak Yatmaka

Pada kisaran tahun1990-an, peristiwa ‘booming kakao’ bisa dibilang sebagai salah satu momentum penting pemicu terjadinya dinamika perubahan agraria khususnya di Sulawesi Tengah (Li, 2002; Savitri, 2007). Perubahan agraria yang dimaksud sebagaimana dijelaskan Tania Li antara lain, berupa terciptanya diferensiasi agraria di perdesaan; privatisasi tanah yang kemudian ditransformasi menjadi komoditi, sehingga bisa diperjualbelikan.  Pola umum dari transaksi tanah yang begitu tinggi antara masyarakat lokal dengan pendatang, utamanya etnis Bugis. Kondisi tersebut menyebabkan konsentrasi tanah kepada segelintir petani kaya, dan menyingkirkan petani kecil lalu mengubahnya menjadi buruh tani tak bertanah (proletariat). Petani perempuan juga tersingkir dari lahan produksi akibat semakin maskulinnya corak pertanian tanaman komersil seperti kakao. Singkatnya perubahan agraria akibat momen kakao itu menyebabkan diferensiasi berbasis kelas dan gender di dalam masyarakat petani pegunungan.

Introduksi komoditi kakao kepada petani pegunungan sudah berlangsung sejak masa kolonial (Aragorn, 2001). Akan tetapi kakao menjadi tanaman komersil yang dibudidayakan secara meluas ketika harga di pasar global begitu tinggi pada medio 1997-2000-an, seiring dengan anjloknya produktifitas kakao di Pantai Gading dan Ghana. Momen itu mendorong dengan segera petani mengganti tanaman kopi, jagung, vanili menjadi kakao. Namun revolusi komoditi komersil tersebut tidak berlangsung lama, harganya turun drastis hingga menyebabkan krisis (Yanuardi, 2010). Salah satu wilayah perdesaan yang mengalami dinamika agraria dari gejolak revolusi kakao itu adalah suatu kampung di pedalaman Tobaku di Kulawi, Sulawesi Tengah. Tulisan ini akan berupaya menampilkan cerita tentang pengaruh komoditas dagang terhadap petani dan pertanian di Tobaku.

Kapitalisme sebagai Relasi Sosial

Saya bersama Yeri berjalan kaki menyusuri punggung-punggung bukit hendak menuju ke ladang padi tadah hujan atau disebut bonea dalam bahasa lokal. Sembari melihat situasi kampung juga usaha untuk membangun ikatan sosial dengan masyarakat. Kami berjalan sekitar 20 menit, melewati kebun-kebun kakao yang dilatari vegetasi hutan sekunder.

Ladang yang kami tuju adalah ladang padi yang digarap oleh keluarga Tama Sinyo, lokasinya terletak paling ujung dan berada di tepi sungai. Setelah melintasi satu bukit kecil akhirnya kami tiba di ladang tersebut, ada dua pondok kecil dan sebuah ‘panggung mini’ yang dijadikan tempat menjemur gabah. Tina Sinyo sedang menapih gabah yang telah kering lalu dimasukkan ke dalam karung. Saya menanyakan ke Tina Sinyo tentang proses berladang yang telah mereka kerjakan dan hasil panennya:

“Kami belum tau berapa hasilnya, karena masih belum dipanen semua, dan masih dijemur sebagian. Nanti kalau sudah kering semua baru dihitung lalu dimasukkan ke lumbung. Untuk bibitnya kami pakai satu setengah blek saja, biasanya kalau panen berhasil bisa sampai 11-13 karung strip’.[1] Kami agak lambat panennya, karena salah seorang anak kami sakit dan sudah beberapa minggu dirawat di rumah sakit di kota Palu sampai sekarang, jadi bapak dan beberapa saudaranya harus menemani dan menjaga di rumah sakit, daripada kasih makan-gaji (mengupah tenaga kerja) orang lebih baik tunggu mereka pulang baru panen”.

Bagi keluarga Tina Sinyo mengolah ladang pertanian mampu menutupi kebutuhan pangan keluarga. Mereka mengerjakan ladang seluas 0,5 ha, dengan hasil panen kurang lebih satu ton gabah kering. Sementara bagi beberapa keluarga lain yang sudah dua musim tanam ini tidak berladang padi (hanya menanam jagung), membeli gabah atau beras ke tetangga atau di kios untuk makan sehari-hari keluarga. Bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga dewasa akan memilih untuk menggarap ladang karena tidak membutuhkan tenaga kerja lain yang harus diupah per hari (makan gaji).

Gambaran petani subsistensi, yang pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarga dengan produksi pertanian sendiri bisa direpresentasikan oleh keluarga Tina Sinyo. Meski keluarga ini memiliki kebun kakao yang hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan reproduksi lainnya. Tetapi saat produktifitas kakao menurun, mereka harus bekerja kepada petani lainnya sebagai buruh pemetik buah-bapete’ kakao. Sementara anak laki-lakinya ‘makan gaji’ sebagai penarik bantalan kayu dan operator senso di industri kayu logging yang ilegal. Pekerjaan yang disebut terakhir menjadi tumpuan pendapatan sebagian besar tenaga kerja produktif (utamanya laki-laki). Sementara, perempuan dan anggota keluarga yang usianya relatif tua mengurus kebun kakao.

Relasi kerja lainnya seperti ditunjukkan oleh ilustrasi berikut: Alim seorang pemuda yang berasal dari pantai barat, sebagai pendatang, dia dan adiknya ikut kepada bapaknya yang bekerja sebagai operator chainsaw di bisnis logging. Tenaga kerja seperti Alim yang masih muda bisa melakukan kerja apa saja yang tersedia, selain terlibat dalam kerja pembalakan kayu, dia juga memburuh pada Basri. Merawat, baparas dan memetik (bapete’) kakao menjadi pekerjaan Alim selama ikut sama Basri, Alim juga tinggal dan makan di rumah Basri. Alim diupah sesuai dengan walaupun tidak seperti standar upah yang berlaku secara sosial yakni Rp. 35.000 – Rp. 50.000/hari. Sementara Doris yang memburuh pada papa Harma, dia pendatang yang menikah dengan perempuan setempat dan tinggal bersama mertuanya. Relasi Doris dengan Papa Harma murni upahan.

Baca juga:  Siasat Politik Rampas Lahan Korporasi Hutan di Pedesaan

Dengan demikian, produksi perladangan padi di Tobaku sebagaimana uraian diatas, sudah tidak sepenuhnya subsisten, karena dalam usahanya untuk memproduksi pangan itu telah mengalami komodifikasi. Artinya, pertanian ladang padi yang mencirikan subsistensi petani itu diproduksi dengan cara-cara diluar subsistensi tersebut, yakni berlangsung dalam relasi-relasi komoditas yang ditandai oleh model relasi kerja upahan sebagai disiplin yang diberlakukan oleh relasi-relasi komoditas pasar. [2]

Menurut Tania Li dalam bukunya “Land’s End; Capitalist Relation in an Indigenous Fronteir (2014)”, menjelaskan bahwa kapitalisme adalah hubungan sosial yang mengkondisikan seluruh rangkaian proses sosial orang Lauje ditujukan bagi produksi pasar. Untuk pemenuhan kebutuhan hidup, kaum petani seperti orang Lauje tidak memiliki pilihan selain berproduksi dengan ikut terlibat dalam produksi tanaman komersil yang paling kompetitif, entah sebagai pemilik atau pekerja. Kondisi tersebut yang menunjukkan bahwa kualitas defenitif dari relasi sosial yang kapitalistik adalah suatu pengkondisian yang memaksa elemen produksi bekerja untuk pasar. Dengan kata lain, pilihan yang dimiliki oleh petani komoditas untuk bertahan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya sangat dikondisikan oleh tarikan pasar komoditas.

Petani Kecil Komoditas dalam Tarikan Pasar

Ketika Tama Nuri masih muda, bailir rotan hutan sudah menjadi pekerjaannya dan menjadi sumber ekonomi bagi orang Tobaku masa itu. Dia mengenang masa itu:

“Rotan-rotan itu dikumpulkan dalam satu ikatan sebanyak 10 batang, lalu dipikul sampai Kulawi untuk dijual ke pengepul dan dihargai Rp.700 -800/kg. Butuh waktu berhari-hari membawa rotan-rotan itu dengan berjalan kaki hingga sampai ke Kulawi-Gimpu. Uang hasil jual rotan langsung dibelikan kebutuhan sehari-hari, seperti gula, kopi, garam, tembakau, minyak tanah dll”. 

Rotan sudah menjadi sumber penghasilan bagi orang Tobaku sebelum mereka mengenal tanaman tahunan seperti kakao. Barotan-begitu orang lokal menyebutnya. Selama saya berada di desa, memang sudah tidak ada lagi warga yang barotan di dalam hutan untuk dijual. Kini, salah satu layanan alam yang cukup melimpah di dalam hutan itu hanya dimanfaatkan sebagai komponen penunjang dalam aktivitas kerja sehari-hari. Misalnya sebagai bahan dasar tikar dan pengikat (pengganti tali) ketika membangun rumah dan pondok di bonea, atau untuk mengikat susunan kayu gelondongan kayu sehingga membentuk seperti rakit.

Sementara Coklat atau kakao mulai dikenal di kawasan pegunungan Sulawesi Tengah pada awal tahun 1990-an, bersamaan dengan datangnya gelombang besar pendatang Bugis dari Sulawesi Selatan (Li, 2012; 199, Aragon, 2000; 63). Di kecamatan Kulawi dan Palolo, kakao sudah menjadi sumber penghasilan bagi petani sejak tahun 1980-an (bahkan sebelum Lore Lindu menjadi Taman Nasional), bentuk pengetahuan tentang tanaman kakao diperoleh dari petani di pantai Barat di Kab. Donggala (Savitri, 2007).

Di desa yang saya teliti, kakao mulai dibudidayakan oleh petani pada kisaran tahun 1982 dan masih menjadi salah satu sumber ekonomi hingga saat ini. Luas wilayah desa secara keseluruhan adalah 15.000 Ha, dan penggunaan lahan untuk tanaman kakao sebesar 115 Ha dan menjadi jumlah pemakaian lahan terbesar untuk tanaman komoditi tersebut. Dengan luas areal kebun kakao tersebut dibandingkan jumlah kepala keluarga petani sebesar 108 kepala keluarga bisa mengindikasikan bahwa setiap keluarga mengelola satu hektar lahan. Namun, faktanya apa yang tertuang di atas kertas berbeda dengan kenyataan bahwa proporsi luas lahan kakao dengan jumlah kepala keluarga petani tidak seideal itu, hanya keluarga petani yang memiliki modal dan tenaga kerja domestik saja yang sanggup mengelola kebun kakao di atas satu hektar.

Di Tobaku, sejak akhir tahun 1990-an, tanaman tahunan kakao ini perlahan-lahan menjadi penting sebagai tanaman dagang menggantikan komoditas ekspor kopi, vanili, cengkeh atau tembakau (diperkenalkan oleh kolonial Belanda pada 1940-1950-an). Tingginya harga di pasaran menjadi alasan ketertarikan petani memilih kakao, juga didorong oleh tingkat konsumsi pada barang-barang kebutuhan sehari-hari yang makin beragam dan meningkat, seperti gula pasir, sabun, pasta gigi, pakaian modern, minyak goreng, minyak tanah, seng dan semen untuk lantai rumah dan lain-lain (Lihat Aragon, 2000: 277).

Baca juga:  Kapitalisme, Masyarakat Adat, dan Covid-19

Hal itu juga yang mendorong pada tahun 1999-2000 terjadi migrasi spontan, dari desa Towulu ke desa Banggaiba. Tingginya populasi penduduk di desa dan makin berkurangnya areal lahan pertanian menjadi alasan utama terjadinya migrasi lokal tersebut. Masa itu juga merupakan masa dimana kakao sudah mulai dibudidayakan oleh petani Tobaku, sehingga mendorong para petani yang tidak mendapatkan lahan di desa untuk ‘hijrah’ ke desa lain demi kelangsungan hidup keluarga. Menurut Tama Dani waktu itu sebagian besar warga yang pindah adalah para keluarga-keluarga baru dan pemuda-pemuda yang menaruh harapan besar di masa depan untuk hidup yang lebih baik.[3]

Di wilayah Tobaku, kecuali desa Banggaiba, desa-desa lainnya masih memakai jalur darat untuk memasarkan hasil panen kakaonya di Kulawi. Ketika musim panen, dalam sebulan biasanya dua-kali para tukang ojek dari Tobaku akan membawa hasil panennya ke Kulawi, terutama di hari senin dan kamis (hari pasar). Setiap orang sanggup mengangkut sekitar 100-300 kg atau sekitar 3-5 karung dengan motor. Pedagang di Kulawi membeli kakao dari petani dengan harga Rp. 28.000 – Rp. 30.000/kg. Seperti yang terlihat, pedagang ini merupakan juragan besar di Kulawi, dia memiliki gudang yang besar, mempekerjakan banyak buruh, memiliki 2-3 mobil truk, dan menjadi pembeli biji kakao dari sejumlah desa yang ada di Kulawi, sebagian besar petani Tobaku menjual biji-biji kakaonya kepada pedagang tersebut melalui perantara pengepul di tingkat desa.[4]

Setiap hari biji-biji kakao kering akan berdatangan dari warga, biasanya anak-anak dan ibu-ibu yang datang dengan membawa setengah karung. Setelah ditimbang, berlembar-lembar uang tunai langsung berada di tangan. Beberapa saat kemudian, beberapa lembar uang tunai tersebut akan kembali ke tangan pemilik kios setelah si anak merengek meminta jajan permen, makanan ringan, atau es limun. Tidak lupa pula si ibu akan membeli sabun, minyak goreng, gula, kopi, mie instan, dan segala macam kebutuhan dasar lainnya ataukah untuk melunasi utang. Pola umum itu menjadi pemandangan hari-hari di kios, artinya kakao menjadi sumber pendapatan harian bagi warga, karena dari hasil produksi tanaman kakao kebutuhan hidup sehari-hari dapat terpenuhi. Kebutuhan akan biaya sosial-reproduksi lainnya, seperti pendidikan anak, seremonial (pesta nikah dan acara keagamaan), dipenuhi dengan terlibat dalam usaha komodifikasi hasil hutan (basenso) sebagai pekerja upahan, atau menjual lahan ke kerabat atau tetangga yang tergolong petani kaya di desa. Petani kaya yang mampu mengakumulasi tanah kemudian memulai untuk membudidayakan komoditas baru yakni sawit.

Terdapat beberapa alasan kenapa sawit mulai dibudidayakan baik oleh petani di Banggaiba dan petani kakao lainnya di Sulteng. Menurut ketua Askindo (asosiasi kakao Indonesia) Sulawesi Tengah,[5] dalam kurun waktu lima tahun terakhir, terjadi penurunan ekspor kakao secara drastis. Hal itu disebabkan antara lain karena serangan hama pengerek buah sehingga produktifitas jadi menurun, begitu pula pada lahan tanaman kakao juga semakin sedikit. Luas areal perkebunan kakao di Sulawesi Tengah saat ini sekitar 281,7 ribu Hektare dengan produksi 926 kilogram per hektarnya. Penurunan itu diperkirakan mulai sejak tahun 2010 hingga saat ini, pada 2010, Sulawesi Tengah mampu mengekspor biji kakao sebanyak 109.512 Ton dengan nilai 297,4 juta dolar AS. Sementara, pada tahun 2013, hanya mampu mengekspor sebanyak 20.750 ton, dan pada tahun 2014, hampir tidak melakukan ekspor biji kakao lagi ke luar negeri.

Akibat menurunnya produktifitas tanaman kakao tersebut, sebagaimana ditunjukkan data di atas. Di sejumlah daerah petani menebangi pohon kakao dan menggantinya dengan sawit. Di Banggaiba sendiri, ada beberapa keluarga tani kaya yang sudah memulai melakukan pembibitan sawit. Mereka yang menjadi pelopor sawit adalah keluarga tani mapan yang rata-rata memiliki luasan lahan satu hektar atau lebih, termasuk untuk kebun kakao yang dimiliki. Tetapi, ketika penelitian ini berjalan, usia bibit sawit beberapa keluarga itu sudah memasuki 2 tahun dan tengah siap untuk ditanam di lahan. Terkait rencana pemasarannya kelak – karena ini masih uji coba (spekulatif), salah seorang petani itu menjawab:

Kalau memang nanti berhasil menghasilkan buah baru kami akan memikirkan caranya, bisa tanya-tanya sama bos yang ada di Toveora, karena mereka sudah punya pengalaman dan jaringan luas ke perusahaan. Tapi nanti kalau sudah ada ribuan pohon ditanam di desa maka perusahaan janji mau bikin pabrik atau membangun jalan”.[6]

Pengenalan komoditas baru seperti sawit semakin mempertegas relasi kepemilikan atas tanah dan eksploitasi atas tenaga kerja yang melimpah di desa. Sebagian besar pemuda dan warga yang menjadi narasumber mengutarakan alasan yang hampir senada, mereka makan gaji (memburuh) karena butuh uang cash untuk digunakan membeli sepeda motor, pakaian, membangun rumah, membuat kamar mandi, untuk biaya nikah, beli mesin-katinting, buat ongkos bikin perahu, biaya anak sekolah di Kulawi atau di kota Palu, membiayai anggota keluarga yang sakit dan lain-lain.

Baca juga:  Kuasa Ekonomi Politik ‘Korporasi Hutan’: Relasi Kelas dan Enclosure di Pedesaan Gowa

Relasi kepemilikan lahan juga semakin tegas sejak komoditi sawit dilihat sebagai harapan baru. Belum pernah terjadi sengketa berbasis lahan ketika lahan-lahan itu digunakan untuk padi ladang atau tanaman pangan lainnya, sementara penggunaan lahan untuk tanaman komoditi harus berurusan dengan sistem penguasaan tanah yang semakin mengarah pada watak individual, dengan sistem produksi yang berorientasi pada profit dalam bentuk uang cash. Memang tanaman sawit masih belum sepenuhnya menggantikan tanaman kakao, bahkan masih banyak petani yang masih mengupayakan agar tanaman kakaonya bisa produktif lagi dengan melakukan peremajaan atau dengan cara-cara selain itu, tapi tentu saja usaha tersebut membutuhkan modal yang tidak kecil. Dengan latar sosio-ekonomi seperti itu, mampukah petani kecil komoditas bertahan dari gempuran pasar melalui tanaman komoditas baru?

Refleksi

Secara historis, terintegrasinya petani pegunungan dengan pasar (kapitalistik) sudah terjadi sejak masa kekuasaan kolonial, terutama sejak diperkenalkannya tanaman komoditas seperti cengkeh, jagung, vanili, dan kopi. Pada masa kekuasaan kolonial Belanda melakukan pemungutan pajak di daerah pedalaman sehingga petani kecil terpaksa mengelola komoditi yang bisa dijual seperti rotan dan damar demi mendapatkan uang tunai untuk membayar pajak (Aragon 2002: 275). Tetapi menjadi semakin tergantung menjadi tumpuan pendapatan ekonomi sejak introduksi komoditi kakao lalu sawit kepada petani-petani pegunungan, membuat kaum petani makin terinkorporasi dalam mekanisme pasar. Bahkan dimensi pekerjaan dan relasi kerja semakin menunjukkan maskulinitas cara produksi, kerja basenso hanya untuk laki-laki dan yang kuat saja. Sehingga untuk urusan pertanian macam mengurus dan merawat kakao dibebankan untuk perempuan dan orang-orang tua saja.

Asumsi mapan tentang petani pedalaman atau pegunungan yang cenderung hidup guyup-rukun dan harmonis, sepertinya perlu dipikirkan ulang. Diferensiasi kelas, konsentrasi tanah, dan pendisiplinan oleh pasar, relasi kerja upahan, sepertinya telah menjadi potret kontemporer petani pegunungan di Sulawesi. Meski tidak mengalami polarisasi yang tajam sebagaimana gambaran Lenin, tetapi tidak salah juga rasanya apa yang Bernstein istilahkan lewat konsep ‘Komodifikasi Subsistensi’ (yang dalam tulisan ini menggunakan terjemahan konseptualnya ‘Komodifikasi Penghidupan’) bahwa mereka tidak bisa lagi disebut peasant yang digambarkan orientasinya selalu untuk subsistensi. Untuk pemenuhan kebutuhan produksi dan reproduksi, mereka kaum petani akibat komodifikasi menjadi petani kecil komoditas (petty commodity producer) yang dalam ungkapan agraria sering dikenal farmers (Habibi, 2018).

Jika revolusi kakao menciptakan diferensiasi agraria yang begitu signifikan di perdesaan. Babak baru dengan introduksi komoditi baru-sawit, nampaknya akan semakin mempertajam lapisan sosial penghidupan petani kecil komoditas di perdesaan. Proyeksi teoritik Lenin beberapa abad lampau mungkin saja terjadi bahwa kaum tani (peasantry) akan hilang di perdesaan dan mengarah pada polarisasi tajam antara petani kapitalis di satu sisi dan proletariat di sisi yang lain. karena perkembangan progresif corak produksi kapitalisme yang tidak hanya bergerak secara global, melainkan juga beroperasi sebagai relasi sosial yang kapitalistik dari bawah.

Referensi

[1] Blek atau kaleng minyak tanah jelantah, 1 blek bisa jadi 15 kg. sementara satu karung strip = 100 liter.

[2] Wawancara dengan narasumber pada bulan April 2015. Setidaknya selama periode itu terjadi dua gelombang migrasi, dan yang terbesar di gelombang pertama. Dan narasumber menjadi bagian dari gelombang pertama.

[3] Dato’ merupakan salah seorang warga desa Towulu, pemuda yang menjadi tumpuan keluarga dalam memasarkan hasil panen kakao. Seperti kebanyakan pemuda lainnya di Tobaku.

[4] Lihat: http://sulteng.antaranews.com/berita/18560/ekspor-kakao-sulteng-terus-merosot. Diakses pada Bulan Februari 2016.

[5]  Perusahaan sawit yang dimaksud adalah anak perusahaan PT Astra Agro Lestari di Tikke, Kab. Mamuju Utara, Sulawesi Barat.

0%