Siasat Politik Rampas Lahan Korporasi Hutan di Pedesaan

Catatan Kecil atas Jejak dan Dampak Konflik Agraria Oleh Inhutani di Gowa

Oleh: Suherman

Gambar: Yayak Yatmaka

Catatan lapang ini berasal dari suatu penelitian lapangan di dua desa di Kecamatan Parangloe, Kabupaten Gowa pada tahun 2018. Narasi ini hendak menunjukkan pengalaman langsung yang dialami oleh masyarakat sejak korporasi hutan-Inhutani beroperasi di desa. Tapak krisis sosial yang diakibatkan oleh proses penyingkiran petani (enclosure) dari lahan produksinya memunculkan konflik agraria, berbagai upaya perlawanan pernah dilakukan petani untuk merebut kembali tanah yang dirampas-ada yang berhasil tapi tidak sedikit juga yang berujung pada kriminalisasi petani. Gejolak, dinamika hingga siasat licik oleh Inhutani untuk meredam ketegangan sosial tersebut yang direkam dalam tulisan pendek ini.

Jejak Konflik Inhutani & Warga Alukeke

Senin, 29 Oktober 2018, kami berempat dengan menggunakan dua sepeda motor mengunjungi Kepala Dusun Alukeke, Desa Belapunranga, kecamatan Parangloe, Gowa. Kami tiba di rumah dg. Timung, pada pukul 18.23 wita dan harus menunggu beberapa saat sebab kepala dusun sedang ke kebun untuk menyirami rambutan yang dikelolanya. Sekitar pukul 18.00, ia datang dan segera mempersilakan kami untuk duduk di ruang  tamu di teras rumahnya.

Kami lalu memperkenalkan diri, memberitahukan maksud dan tujuan kedatangan kami dan memaparkan apa saja aktivitas yang akan kami lakukan untuk maksud dan tujuan tersebut. Kepala dusun dengan celana pendek yang dikenakannya menyambut dengan ramah dan perlahan-lahan menjelaskan situasi dusun yang menghidupinya.

Saat teh hangat telah disajikan, ia memantik korek api lalu membakar rokok Dunhill yang telah melekat di bibirnya. Kami turut melakukan hal yang sama, mengepulkan asap rokok. Setelah beberapa saat berbincang ringan, membahas aktivitas akademik anaknya dan sesekali membahas kebunnya, tiba-tiba ia menyinggung persoalan yang dihadapinya dan juga warganya: PT. Inhutani. Sebenarnya kami mencoba untuk berhati-hati untuk menyinggung hal tersebut terlebih dahulu, namun ia sepertinya paham apa yang akan kita bincangkan bersama.

“Saya itu sejak tahun 2007 sudah tidak baku cocok dengan Inhutani,” tuturnya membuka perbincangan.

Menurutnya, sejak 2007, atau sejak tahun pertama periode keterpilihannya sebagai kepala dusun Allukeke, ia sudah kontra dengan aktivitas-aktivitas Inhutani yang dinilainya merugikan warganya. Warga Allukeke sendiri malah dinilainya sudah kontra sejak awal masuknya PT. Inhutani. “Sejak Inhutani masuk di tahun 1986, kita di sini sudah mulai kesulitan air, puncaknya sekarang, karena sudah mulai menebang lagi, biar tanaman atau kayu lokal di sapurata,” ungkapnya kepada kami.

Berdasarkan pengetahuannya, di tahun 1986, paska hengkangnya PKG (Pabrik Kertas Gowa) beberapa tanaman lokal seperti jati putih, nangka, mangga, dan pohon-pohon liar lokal ditebang habis untuk kemudian digantikan dengan tanaman Akasia oleh pihak Inhutani. Akasia ini dinilainya tidak mengandung hidrogen yang malah menyebabkan kekeringan. Selain dampak lingkungan, keberadaan Inhutani melahirkan pula dampak sosial: warga dipaksa meninggalkan wilayah kelolanya.

Hubungannya dengan Inhutani kian meruncing tatkala ia mengeluarkan keputusan untuk melarang kendaraan operasional Inhutani maupun mitra-mitranya beroperasi di jalan dusunnya. Menurutnya volume kendaraan operasional seperti truk yang biasa memuat beban hingga 4-6 kubik dapat merusak jalan dusun yang baru dirampungkan 2016 silam. Dg. Timung mengatakan bahwa dusunnya adalah dusun yang paling terakhir merasakan jalan yang beraspal di Desa Belapunranga, tepatnya dua tahun silam.

Dg. Timung sebelumnya pernah mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan. Ia pernah diminta untuk meninggalkan rumahnya dan pindah ke lokasi lain di luar kawasan hutan yang diklaim Inhutani.  Di waktu yang lain ia juga kerap diintimidasi dengan ancaman hukuman kurungan penjara jika tetap tinggal. Suatu kali ia pernah memperbaiki masjid dan terpaksa ia menebang beberapa pohon untuk keperluan perbaikan tersebut, lantas ia tertangkap basah dan dilaporkan ke kepolisian oleh pihak Inhutani. Tapi ia memutuskan untuk berani mempertanggungjawabkan hal tersebut, karena ia sama sekali tak merasa material yang ia peroleh dari penebangan tersebut untuk kepentingan pribadinya, tapi untuk kepentingan sarana sosial. Menurutnya apa yang dilakukannya sudah diketahui dan disetujui oleh kepala desa dan camat setempat. Saat itu ia tidak sampai dipenjarakan karena posisi pembelaannya cukup kuat meski ia sempat diancam kasusnya akan dilimpahkan ke pengadilan.

Baca juga:  Dari Erangpolea Ke Jagung Kuning

“Lebih baik saya dipenjara dari pada meninggalkan dusun ini,” tegasnya.

Petugas dari Inhutani justru pernah datang memintainya uang sebesar Rp500.000, untuk keperluan biaya penarikan laporan terkait penebangan tersebut. Hal tersebut dianggapnya lucu dan semakin membuktikan ia sama sekali tidak dalam posisi bersalah.

“Sempat itu datang ke sini, minta 500 ribu, katanya untuk biaya pencabutan laporan. Terus saya bilang, yang melapor siapa yang mau mencabut siapa? kenapa mesti saya yang bayar.” Ungkap Dg. Timung sambil sedikit tersenyum.

Ia juga sempat ditanyai mengenai asal usulnya oleh pihak Inhutani. Pihak Inhutani mempertanyakan asal usulnya ketika ia rencananya akan direlokasi ke luar kawasan. “Saya bilang, waktu ditanya apakah saya asli sini? Kalau bapak saya bilang, nenek saya itu punya nenek, dan neneknya itu punya nenek, dan itu sudah di sini sejak dulu, saya di sini generasi ke-8 mi (generasi ke-8).”

Dg. Timung mengungkapkan hampir sebagian besar warga Allukeke pernah mendapatkan perlakuan intimidatif dari pihak Inhutani. Menurutnya warga yang tersisa saat ini adalah orang-orang yang memilih bertahan dan menghadapi ketakutan tersebut. Sebagian besar lainnya memilih pindah dan meninggalkan Allukeke karena tidak tahan lagi dan merasa tidak aman dengan situasi tersebut. Hal itu ia buktikan dengan grafik peningkatan jumlah populasi di dusunnya.

Saat ini terdapat 88 KK yang menduduki dusun Allukeke, sementara menurut keterangan dg. Timung, sejak ia terpilih sebagai kepala dusun tahun 2007 silam, jumlah KK di dusunnya sudah mencapai 70-an KK. Jadi dalam kurun waktu 2007-2018 peningkatan populasinya hanya belasan KK. Ini dilihatnya bukan karena rendahnya angka kelahiran atau tingginya angka kematian, tetapi karena orang-orang yang pergi, bermigrasi, yang sebagian besar alasannya adalah karena adanya kekerasan psikis yang menimpa mereka. Ini dinilainya sebagai akibat penguasaan Inhutani atas lahan yang disertai dampak sosial dan ekologi yang buruk.

Sebagian besar dari 88 KK yang menetap tersebutlah yang saat ini dinyatakan masuk dalam kawasan hutan dan mesti seringkali berhadap-hadapan dengan pihak Inhutani. Menurut dg. Timung, terdapat  70% warga Alukeke berada dalam kawasan hutan yang wilayah kelola utamanya pun sebagian besar diklaim masuk dalam kawasan. Saat ini, hal tersebut masih menjadi ancaman bagi warga, sebab sewaktu-waktu mereka akan mendapatkan tindakan intimidatif. Ketiadaan sertifikat bagi sebagian besar warga membuat mereka terus berjuang sembari merasakan ketidakpastian hukum atas wilayah kelola dan pemukimannya.

Padahal, jejak-jejak fisik penguasaan lahan oleh warga Allukeke hingga saat ini masih ada dan menjadi bukti bahwa orang-orang terdahulu telah lebih dulu menggarap lahan ketimbang kehadiran Inhutani itu sendiri. Dg. Tamma selaku orang yang dituakan sekaligus saksi dan pelaku sejarah di Allukeke setidaknya dapat merefleksi bahwa ada beberapa bukti penguasaan lahan warga atas wilayah kelolanya selama berpuluh tahun lampau.

Menurutnya, ada banyak bukti penguasaan lahan yang dikelola warga, seperti batas-batas yang ditandai dengan pohon mangga berukuran besar, pohon kelapa, pohon kapok dan batu-batu gunung. Dg. Tamma juga sempat menjelaskan perbedaan sikap antara PKG dengan Inhutani. PKG dinilainya tidak terlalu mengganggu aktivitas berkebun warga kala itu, sebab PKG hanya fokus pada penanaman bambu dan penebangan bambunya, tidak mengganggu dan menebang tanaman lain seperti kebun dan pohon yang tumbuh liar. Hal tersebut dinilainya sangat kontras dengan Inhutani.

Inhutani telah menghilangkan beberapa jenis pohon hanya untuk penanaman Akasia di tahun 1986. Dg. Naba mengungkapkan bahwa sebelum tahun 1986 atau masuknya Inhutani, di Allukeke ini terdapat banyak pohon beringin. Saking banyaknya, dg. Naba mengilustrasikan Allukeke seperti kawasan hutan lindung kala itu. Menurutnya ada banyak jenis pohon selain beringin dengan kandungan air yang tinggi juga ikut dilenyapkan oleh Inhutani, seperti Cempa (Asam), Cendana dan Jabon.

Baca juga:  Kuasa Ekonomi Politik ‘Korporasi Hutan’: Relasi Kelas dan Enclosure di Pedesaan Gowa

Pada kenyataannya, dengan latar historis itu warga Allukeke tetap membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) atas wilayah kelolanya. Sebenarnya warga telah menunaikan kewajiban tiap tahunnya, namun hak-haknya malah tidak pernah diberi kepastian hukum.

Belakangan, Inhutani telah melakukan sosialisasi mengenai kemitraan dalam skema Perhutanan Sosial yang sebelumnya telah didorong oleh salah satu LSM dan kelompok-kelompok tani. Perhutanan Sosial telah menjadi harapan warga Allukeke sebagai solusi untuk akses legal ke wilayah kelolanya, namun pada dasarnya tak sedikit pula yang menyangsikan kebijakan tersebut dikarenakan pihak Inhutani belum cukup terbuka kepada warga, tetap eksklusif, dan cenderung melakukan keputusan sepihak di lapangan.

Penghasilan Utama Warga Alukeke Terancam oleh Aktivitas Inhutani

“Di sini ada sawah di belakang lumayan luas, kalau orang luar lihat pasti bilang dusun ini sejahtera, karena hanya ada 80-an KK, padahal tidak begitu. Itu hasilnya sawah rata-rata lari keluar, ka orang-orang luar yang punya, bukan orang sini. Orang di sini penghasilannya itu dari kebun,” tutur Dg. Timung.

Keterangan dg. Timung menjelaskan bahwa warga Allukeke tidak memetik hasil dari pertanian atau dari sawah. Sebagian besar warga tidak memiliki sawah, jika pun terdapat sawah itu dimiliki oleh orang luar, atau warga Allukeke yang sudah tidak lagi tinggal di dusun tersebut. Ada juga warga yang mempunyai sawah tapi dalam luasan yang sangat kecil. Penghasilan utama warga Allukeke diperoleh dari aktivitas berkebun. Sebelumnya warga menanam jambu mente, durian, mangga, rambutan, jagung, hingga kemiri.

Loho Dg. Ngerang yang juga ketua RK 2 Panaikang menanam jagung, durian, mangga, jati putih dan padi di sawah berukuran kurang lebih 20 are. Meski ia menanam padi penghasilan utamanya tetap dari hasil kebun. Dg. Ngerang memiliki kebun sekitar 80 are yang saat ini masuk dalam kawasan. Begitu pun Dg. Naba dan warga lainnya. Dg. Naba malah menanam padi dalam sekali setahun di kebun bukan di sawah. Setelah panen, lahan itu kembali digarap untuk ditanami jagung. Warga juga kadang memperoleh pendapatan dari aktivitas ‘ma’sangki’ di sawah milik orang lain. Warga yang ‘ma’sangki’ kadang diupah seember padi per sehari kerja atau jika dalam bentuk uang senilai 50 ribu rupiah.

Namun saat ini warga Allukeke mulai resah dengan kondisi ekologis yang dinilai kian memburuk. Saat ini mata air berhenti mengalir sehingga warga mengalami kesulitan, baik untuk keperluan konsumsi maupun untuk keperluan berkebun. Meski saat ini sedang memasuki musim kemarau, Dg. Timung menjelaskan bahwa bukan hal tersebut yang menyebabkan kekeringan dan menipisnya ketersediaan air. Karena krisis air seperti saat ini baru pertama kali terjadi, sebelumnya meski kemarau panjang air tetap berlimpah. Dg. Ngerang menilai bahwa ini disebabkan oleh aktivitas penebangan pohon oleh Inhutani. Menurutnya, setelah beberapa kali penebangan, ketersediaan air kian menipis. Hal ini disebabkan penebangan oleh Inhutani tidak hanya terbatas pada pohon yang ditanaminya seperti kayu Akasia, melainkan juga pohon-pohon lokal dan juga pohon liar yang tumbuh alami di hutan.

Penebangan pohon liar atau pohon lokal inilah yang pernah diprotes keras oleh Dg. Timung selaku kepala dusun. Menurutnya, pihak Inhutani semestinya hanya berhak memanen apa yang ditanamnya. Tumbuhan liar, pohon-pohon lokal adalah tumbuhan yang seharusnya dibiarkan untuk menjaga ekosistem hutan. Tidak hanya itu, Dg. Timung dan warga lainnya juga memprotes penebangan yang mengorbankan kebun-kebun warga. Pihak Inhutani dilihatnya bertindak semaunya dan tidak mempunyai pertimbangan-pertimbangan sebelum melakukan penebangan.

Baca juga:  Kapitalisme, Masyarakat Adat, dan Covid-19

“Itu semua kayu di sekitarnya itu ditebang semua, biar kayu lokal, karna itu penebangnya sembarangji dia di situ, dia sandar di situ ditebang lagi, sapu rata, jagungnya masyaraka’ semua mau habis nakenna kayu,” ungkap Dg. Ngerang kala berbincang dan dibenarkan oleh Dg. Naba.

Dg. Ngerang sempat menemani kami mengunjungi lahan-lahan yang mengering dan mata air yang dikelola secara sosial berhenti mengalir. Suhu di lahan tersebut memang terasa sangat panas kala berjalan sekitar satu-dua kilometer menuju ke beberapa titik mata air. Beberapa mata air tersebut memang telah berhenti mengalir dan tampak mengeruh. Kondisi mata air tersebut terlihat memburuk dengan sekeliling yang tampak tandus.

Inkonsistensi Agenda Kemitraan Inhutani-Warga dalam Skema Perhutanan Sosial

Dg. Naba mengatakan bahwa dua dari tiga kelompok tani yang telah terbentuk saat ini di Allukeke meragukan kemitraan dengan Inhutani. Inhutani dinilai masih tertutup dan kerap tidak melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan lahan di kawasan hutan. Problem terbaru yang dihadapi warga kali ini adalah tindakan sepihak oleh Balai Kehutanan yang bekerja sama dengan Inhutani mematok lahan seluas 10 hektar di atas sebagian besar wilayah kelola warga Allukeke untuk agenda kebun wisata terpadu.

Menurut penuturan dg. Ngerang, yang datang mematok adalah petugas dari balai kehutanan atas persetujuan dan izin Inhutani. Patok-patok tersebut ditandai dengan patok merah (batang pohon yang dicat merah). Proyek kebun wisata terpadu ini diketahui warga sebagai proyek kerja sama antara Inhutani dan Balai Kehutanan dengan keterlibatan beberapa lembaga kedinasan. Dalam proyek tersebut, sama sekali tanpa pelibatan warga, padahal Inhutani dan PSKL bersama-sama warga telah mensosialisasikan dan mendiskusikan bersama agenda kemitraan dalam skema Perhutanan Sosial (PS) belum lama ini.

Sebelumnya, dg. Naba pernah didatangi oleh petugas balai kehutanan mempertanyakan ketersediaan lahan untuk proyek kebun wisata. Namun dg. Naba telah menjelaskan bahwa sama sekali tidak tersedia lahan untuk proyek tersebut di RK Panaikang.

“Pernahji itu ada yang datang bertanya di sini, dia bilang Inhutani cari lahan yang kosong. Saya bilang tidak ada lahan kosong. Dia bilang, bagaimana mi itu?” ungkap Dg. Naba.

Di dalam situasi yang belum jelas itu, proyek kebun wisata terpadu ini juga telah diketahui akan memproduksi rambutan dan durian. Sementara dengan luasan tertentu, lahan yang lebih tinggi akan ditanami dengan pinus. Mengetahui rencana proyek tersebut, warga kian menyangsikan konsep kemitraan yang ditawarkan sebelumnya.

Penanaman rambutan dan durian dalam skala luas diindikasikan warga akan merombak total lahan yang telah dipatok. Artinya, kebun-kebun mereka atau kayu yang mereka tanam serta pohon liar yang tumbuh alami otomatis harus dialihfungsikan secara keseluruhan. Penanaman rambutan dalam skala luas tidak akan memungkinkan adanya ruang untuk tumbuhan lain untuk tumbuh atau sebaliknya. Jadi, jika kebun wisata itu terealisasi maka kenyataan lainnya adalah hilangnya tanaman-tanaman sebelumnya yang lebih dulu ditanam.

Sementara itu pinus menjadi ancaman tersendiri bagi warga Allukeke. Pinus adalah tanaman dengan tingkat konsumsi air yang tinggi, sementara saat ini Allukeke telah mengalami kelangkaan air bahkan sebelum pinus ditanam. Dg. Ngerang memprediksi bahwa bahkan rambutan yang akan ditanam tersebut tidak akan bertahan lama jika persediaan air kondisinya seperti saat ini. Sementara itu, menurutnya pinus baru bisa dimanfaatkan, terutama getahnya, jika usia pinus telah mencapai puluhan tahun, sekitar 25-30 tahun.

“Nanti 30 tahun baru bisa digunakan getahnya. Nah, jadi sebelum digunakan itu getahnya, dari mana kita mau hidup itu?”

Sikap inkonsistensi Inhutani terhadap agenda kemitraan ini dapat memperkeruh relasinya dengan warga. Skema Perhutanan Sosial bisa jadi tidak akan dipercaya dan terus disangsikan warga jika proyek kebun wisata terpadu tersebut benar-benar terealisasi.

0%