Kapitalisme, Masyarakat Adat, dan Covid-19

Oleh Surahmat Tiro

Eko Nugroho
Dalam masyarakat terdapat hubungan-hubungan sosial pokok yang diatasnya seluruh hubungan-hubungan seperti hubungan kekuasaan, kekerabatan, keagamaan dan lain-lain terbangun, yaitu hubungan-hubungan antar orang dalam kaitannya dengan pengolahan daya-daya alam dalam upaya menghasilkan pemenuhan kebutuhan hidup atau ringkasnya hubungan produksi. Ibnu Khaldun dalam Dede Mulyanto (2012: 67) menganggap bahwa tanpa proses produksi atau kerja yang terkandung didalamnya, maka tidak akan ada kehidupan.

Dede Mulyanto (2012:67) melihat kerja yang menopang tata nilai kehidupan manusia di muka bumi. Kerja itu semacam jembatan antara potensi, baik yang ada dalam diri manusia maupun yang ada di alam, dan aktualisasinya di dalam kehidupan. Istilah perekonomian masyarakat, kerja merupakan titik awal sekaligus motor pelanggengnya. Pengorganisasian kerja dengan cara yang berbeda-beda sangat berpengaruh terhadap hubungan sosial di atasnya.

Marx dan Engels dalam The German Ideology (1846) menyebutkan terdapat beberapa bentuk corak produksi dalam sejarah manusia. Pertama, corak produksi komunal primitif yang sistem kerjanya adalah berburu dan meramu. Kedua, corak produksi feodal yang sistem kerja terbangun di atasnya adalah perbudakan. Ketiga, corak produksi kapitalis yang sistem kerjanya eksploitasi, alienasi dan komoditifikasi. Dari beberapa corak produksi yang digambarkan oleh Marx dan Engels, mereka berdua lebih memfokuskan perhatiannya kepada corak produksi kapitalis yang menjadi sebuah corak produksi termutakhir dan paling dominan saat ini, dengan berbagai macam latar belakang sejarah perkembangannya.

Ellen Meiksins Wood (2021:107) mengakui bahwa kapitalis, dengan segala dorongan akumulasi nilai lebih dilahirkan bukan di kota melainkan di perdesaan. Menurutnya, kapitalis memerlukan, bukan hanya perpanjangan dan perluasan sederhana dari kegiatan pertukaran tetapi transformasi penuh dalam hubungan dan praktik manusia yang paling mendasar, suatu keterputusan dalam pola-pola kuno interaksi manusia dan alam.

Berangkat dari argumentasi tersebut, tulisan ini berupaya melihat hubungan kapitalis di dalam masyarakat adat Teko di Dataran Tinggi Gowa, yang kadang kita bayangkan bahwa masyarakat adat masih bertumpuh pada komunalitas dan dianggap tidak terseret masuk ke dalam hubungan kapitalis di perdesaan.

Namun pada kenyataannya mereka telah terintegrasi oleh sistem sosial kapitalis secara luas dan diperkuat setelah masyarakat adat Teko mengenal sistem pertanian pasar (holtikultura) yang dimana telah menciptakan kesusahan yang amat dalam karena hasil taninya tidak memiliki pasar dimasa pandemi covid-19.

Merujuk pada hasil penelitian Tania Li (2020:5-6) di perbukitan Lauje Sulawesi Tengah, dengan melihat bagaimana proses yang menyebabkan orang-orang Lauje kehilangan kendali atas lahan yang dimiliki bersama. Proses integrasi corak produksi kapitalis masuk di perbukitan Lauje yang digambarkan oleh Tania Li, tidak seperti yang digambarkan oleh Marx tentang “Akumulasi Primitif” bahwa proses pencerabutan tanah yang dilakukan oleh perusahaan perampas tanah atau lembaga pemerintah. Melainkan justru seperti kejadian biasa sehari-hari. Justru orang-orang Lauje sendiri yang menanam jenis komoditas tanaman pasar tersebut.

Sekilas Tentang Masyarakat Adat Teko

Secara administrasi wilayah adat Teko masuk ke dalam Desa Manimbahoi Kecamatan Parigi Kabupaten Gowa. Satu jam mengendarai sepeda motor dari ibu kota kabupaten, dengan rute jalan pegunungan kita tiba di lokasi. Masyarakat adat Teko’ hidup secara turun-temurun di sekitar kaki gunung Bawakaraeng, dengan menggantungkan hidup dari bertani padi, kopi, tomat, dan cabai.

Meskipun secara kelembagaan adat Teko telah terdominasi oleh pemerintahan desa, namun beberapa praktik-praktik kelembagaan adat masih dijalankan oleh dua belas pemangku adat seperti pertemuan tengah tahun atau mereka meyebutnya Ulu Bara’, Ulu Timoro, kemudian pertemuan tahunan disebut A’bali Sumanga’, ketiga pertemuan tersebut dilakukan di rumah Pinati atau ketua adat.

Adapun beberapa pembahasan di dalamnya, dikhususkan untuk pengembangan pertanian bagi masyarakat adat Teko’ sebagai basis utama penghidupannya. Praktik yang menandakan bahwa mereka adalah masyarakat adat dapat dilihat dalam pengelolaan pertanian maupun ritual adat yang masih sering dilakukan, khususnya dalam pesta perkawinan dan membangun rumah.

Baca juga:  Kuasa Ekonomi Politik ‘Korporasi Hutan’: Relasi Kelas dan Enclosure di Pedesaan Gowa

Masyarakat adat Teko sebagian kecil kini bekerja di pemerintahan, guru, dan pedagang. Tetapi orang-orang tersebut masih terlibat sebagai seorang petani di kampungnya, yakni bertani secara holtikultura. Sedangkan dari aspek penguasaan tanah yang terbangun di dalam masyarakat adat Teko, selain banyak kebun masyarakat yang masuk ke dalam klaim Kawasan hutan, sebagian dimiliki oleh garis keturunan bangsawan dan beberapa diantaranya dimiliki oleh orang yang berhasil di perantauan. Pendapatan yang dihasilkan selanjutnya akan di kirim dan digunakan untuk membeli tanah di kampungnya. Seperti yang dilakukan oleh Pak Hasan (49 tahun) salah satu masyarakat adat Teko yang pernah merantau dan membeli tanah beberapa petak di kampungnya. Belum genap dua tahun hidup di perantauan, Ia memutuskan untuk kembali bertani secara holtikultura dengan kemungkinan-kemungkinan kesejahteraan sebagai harapannya. Namun keadaan berbalik, sebab Ia harus menghadapi krisis karena pandemi covid-19 yang berdampak terhadap ketiadaan akses pasar dari komoditas hasil taninya.

Melihat kasus pak Hasan sebagai seorang petani yang memiliki tanah, Henry Brenstein (2015:3-4) menyebutnya sebagai Petty commodity Producer (Produsen Komoditas Skala Kecil) yang menggambarkan kondisi petani yang tidak bisa mereproduksi diri di luar sirkuit kapitalisme atau komoditifikasi subsistensi, yang selanjutnya mereka dengan sendirinya terdiferensiasi menjadi petani pasar.

Daeng Buang: Penghidupan Masyarakat Adat Teko Dimasa Pandemi Covid-19

“Bertani Dimasa Pandemi, Kita Seperti Bermain Judi” Pak Hasan, 2021

Daeng Buang adalah istilah yang dihadirkan oleh masyarakat adat Teko selama Pandemi Covid-19 berlangsung dan menghantam seluruh aspek penghidupannya. Apalagi Masyarakat adat Teko yang mendiami Desa Manimbahoi, secara dominan menggantungkan hidup pada pola pertanian holtikultura. Cara bertani seperti ini telah dilakukan, setidaknya mulai berlangsung sejak awal tahun 2000-an. Dimana ketersediaan lahan garapan mereka, banyak ditanami jenis sayuran seperti cabe dan tomat.

Selama pandemi covid-19 hadir, Daeng Buang kerap digunakan sebagai istilah oleh masyarakat Adat Teko. Istilah ini dimaksudkan sebagai tanda hasil pertanian mereka tidak memiliki pasar. Sebagai imbasnya, banyak petani yang pada akhirnya memilih untuk membuang hasil panennya. Entah itu, di jurang maupun sungai.Oleh karena itu, Daeng Buang memiliki makna negatif yang berarti kerugian bagi Masyarakat Adat Teko.

Seperti yang dialami Pak Hasan (46 tahun),Ia mengatakan pernah membuang hasil panennya di sungai. Cara ini ditempuh setelah proses panen dilakukan tetapi justru hasilnya tadi tidak lagi dapat terdistribusi sampai kepasar.Hal ini diperparah dengan banyaknya pedagang yang tidak membeli dan membawa hasil panenan menuju Kota Makassar. Ditambah dengan hadirnya kebijakan pembatasan sosial yang dilakukan oleh pemerintah untuk meretas penyebaran virus covid-19.Menurutnya, mulai saat itu Daeng Buang menjadi frasa yang cocok dan populer di kampungnya. Konon menurut pengetahuan masyarakat, Daeng Buang menerima berapa pun jumlah hasil pertanian, selama petani menginginkan. Anutan ini begitu lekat dari pengalaman pak Hasan dan petani lainnya sebagai cara untuk menghibur diri ditengah ketidaktentuan akan diapakan dan dikemanakan hasil panen, jika pasar tidak dapat lagi dijangkau.

Selanjutnya, dalam pemenuhan makan setiap hari, pak Hasan dan keluarga terbilang masih bisa memenuhi kebutuhannya, khususnya untuk keberlangsungan makan sehari-hari.

Apalagi sebagai salah seorang petani, Pak Hasan tergolong sebagai petani yang masih memiliki beberapa petak sawah. Menurutnya, meskipun hasil dari pertanian holtikultura tidak terdistribusi lagi sampai ke pasar, Ia tetap dapat memanfaatkan sawah miliknya untuk ditanami padi. Dimana saat panen tiba, hasilnya masih terbilang cukup untuk menutupi kebutuhan makan setiap hari bahkan sampai panen berikutnya. Kadangkala, Ia akan memanfaatkan beras untuk didagangkan. Cara ini dilakukan agar Ia tetap bisa mendapatkan uang untuk membeli kebutuhan lain.

Baca juga:  Dari Erangpolea Ke Jagung Kuning

Selain itu,Pak Hasan masih memiliki kebun kopi yang biasa dipanen setiap tahun dan dianggap sedikit membantu kebutuhan finansial rumah tangganya.

Selang beberapa bulan, pemberlakuan pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah mulai mengalami kelonggaran. Sebagian Masyarakat adat Teko mendengar desas-desus, cabe dan tomat sudah dapat lagi dijual-belikan di Makassar, tidak terkecuali Pak Hasan.

Informasi ini didapatkan dari buah cerita tetangga kampung maupun dari mulut pedagang. Dalam benak masyarakat adat Teko, kabar ini sebagai tanda adanya peluang. Olehnya, pak Hasan dan beberapa petani lain menginisiasi untuk kembali menanam cabe dan tomat. Meskipun di tengah ketidaktentuan dan minimnya kejelasan atas informasi ini, Pak Hasan mengaku selalu siap untuk mengambil resiko untuk memulai kembali menanam dengan sistem pertanian holtikultura.

Resiko ini tetap harus diambil, mengingat kopi dan padi hanya dapat dipanen satu kali dalam setahun. Baginya, menggantung hidup dengan hanya mengandalkan hasil penjualan beras, tidak akan cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Hal yang sama ikut dirasakan oleh petani lain. Untuk meminimalisir segala bentuk ketidakcukupan, Pak Hasan dan petani lain secara terpaksa akan menggadaikan sawah maupun menjual ternak. Selain itu, Pak Hasan mengambil uang Kredit Usaha Rakyat(KUR) di BRI sebagai modal agar dapat kembali bertani secara holtikultura. Sisanya akan disisipkan untuk keperluan finansial rumah tangga, seperti untuk kebutuhan sekolah dua orang anaknya, dll.

Sebagai bagian dari Masyarakat Adat Teko, pilihan pak Hasan pernah dilihat oleh Ellen Meiksins Wood (2021:155) di Inggris, bahwa sistem perbankan di Inggris berakar tidak dari perdagangan luar negeri melainkan berasal dari perdagangan domestik, khususnya dalam memfasilitasi sebuah distribusi dari Ibu Kota ke seluruh penjuru melalui agen-agen yang beroperasi berdasarkan komisi dan kredit.

Menurut Ellen Meiksins Wood (2021) tidak sulit untuk melihat bahwa sistem perdagangan dan keuangan khas seperti ini memiliki akar dari kapitalisme agraria, dalam perubahan relasi sosial yang menghasilkan kebutuhan pasar seperti itu, demi menyokong penduduk non-pertanian yang semakin tumbuh dan juga kapasitasnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Selanjutnya, meskipun hasil panen sudah memiliki pasar di Makassar, namun harga pasarnya belum dapat dipastikan oleh petani. Banyak dari petani masyarakat adat Teko hanya akan mengetahui harga cabe dan tomat setelah pedagang datang membeli dan membawa hasil panen tadi menuju Makassar.

Menurut pak Hasan, pedagang tidak akan mau membeli barang yang belum pasti harganya di Makassar. Dengan begitu, para pedagang di Pattiro hanya akan menghitung jumlah barang yang diambil dari petani. Pedagang baru akan memberi tahu harga barang setelah kembali dari Makassar, beriringan dengan proses pembayaran barang yang sebelumnya dibeli dari petani. Relasi dagang ini tetap harus dilakukan oleh Masyarakat adat Teko, dimana anggapan petani semacam barang tidak akan memiliki harga sama sekali menjadi sebab dari pilihan yang mesti diambil oleh banyak petani.

Pak Hasan menganggap model dagangan ini secara terpaksa menjadi pilihan terakhir apalagi di tengah situasi krisis.
Menurut pak Hasan, semua kebutuhan dasar pertanian selama masa pandemi semakin naik, harga bibit cabe dalam satu kantong mencapai Rp.200.000, padahal sebelum pandemi Rp.185.000/kantong.Begitu pun dengan harga pupuk dasar naik menjadi Rp.145.000/sak, yang sebelumnya seharga Rp.130.000/sak dan pupuk lanjutan seperti Mutiara, pupuk yang biasa digunakan setelah tanaman dipindahkan dari lokasi pembibitan ke ladang, harganya ikut naik dengan harga Rp.500.000/sak, yang biasanya Rp.380.000/sak. Dalam satu kali tanam cabe, biasanya menghabiskan bibit dua kantong, dengan pupuk sebanyak 10 sak, dan biaya sewa traktor Rp.400.000 untuk membuat ladang, gaji orang yang biasa Ia pekerjakan untuk membantu menanam bibit dengan upah sebesar Rp.80.000/hari sebanyak lima orang. Seluruh rangkaian ini berlangsung selama tiga hari penanaman, berlaku pula pada saat memasuki waktu panen.

Baca juga:  Dehumanisasi Pendidikan?

Pak Hasan, menghitung dan memperkirakan biaya produksi cabe yang dikeluarkan mulai dari pembibitan sampai panen sekitar Rp. 7.000.000;ini belum termasuk tenaga sendiri dan istrinya yang merawat setiap hari.Jika tanaman cukup subur, hasil panen pak Hasan dengan bibit dua kantong tadi kadang mencapai dua ton atau lebih dengan perhitungan harga saat ini sebesar Rp.3.000/kg. Menurutnya sebagai seorang petani holtikultura dimasa krisis seperti ini, bertani itu seperti orang bermain judi karena tidak ada kepastian.

Bertani holtikultura, membutuhkan biaya yang banyak, dengan ketidakpastian harga karena pasar terbatas bahkan tidak memiliki pasar sama sekali. Dengan begitu Daeng Buang menjadi istilah yang familiar bagi keseharian masyarakat Adat Teko di Desa Manimbahoi. Meskipun masyarakat tidak memungkiri, ada ketidakterimaan yang dirasakan atas kondisi Daeng Buang yang sedang membayangi kehidupan mereka.

Situasi demikian pernah di jelaskan oleh Karl Polanyi dalam Ellen Meiksins Wood (2021) bahwa kapitalisme agraria di Inggris bergantung pada sebuah pasar domestik yang berkembang dengan mapan, dengan semakin banyak penduduk yang tidak lagi terlibat dalam produksi barang keseharian seperti makanan dan tekstil demi konsumsi diri mereka dan keluarganya. Pasar London yang begitu besar untuk barang-barang konsumsi dasar telah menjadi penghubung dari pertumbuhan pasar domestik ini, pasar yang berbeda dari yang lain dalam ukuran, subtansi dan hukum gerak.

Itulah sebabnya Tania Li (2020:5-6) melihat di perbukitan Lauje Sulawesi Tengah, dengan melihat bagaimana proses yang menyebabkan orang-orang Lauje kehilangan kendali atas lahan yang dimiliki bersama.Karena proses integrasi corak produksi kapitalis masuk di perbukitan Lauje yang digambarkan oleh Tania Li, tidak seperti yang digambarkan oleh Marx tentang “Akumulasi Primitif” bahwa proses pencerabutan tanah yang dilakukan oleh perusahaan perampas tanah atau lembaga pemerintah. Melainkan justru seperti kejadian biasa sehari-hari. Justru orang-orang Lauje sendiri yang menanam jenis komoditas tanaman pasar tersebut, dan situasi yang digambarkan oleh Tania Li di Perbukitan Lauje, tidak jauh berbeda dengan situasi di masyarakat adat Teko dataran tinggi Gowa.

Melihat situasi penghidupan masyarakat adat Teko di pedalaman dataran tinggi Kabupaten Gowa, memiliki dinamika dan masalah yang cukup kompleks, belum lagi kehadiran pandemi covid-19 semakin memperburuk keadaan hidup mereka. Introduksi pasar menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari buruknya keadaan tersebut.Struktur sosial yang dibangun oleh pasar telah gagal dalam menghadapi situasi krisis karena pandemi. Kondisi tersebut diafirmasi oleh Henry Brenstein (2015), bahwa diferensiasi kelas pedesaan berawal saat petani tidak mampu mencukupi kebutuhan untuk meneruskan pertaniannya. Petani seperti pak Hasan telah terdesak oleh beragam pengeluaran, mulai dari dana konsumsi, dana pembaruan alat produksi, dana serimoni adat, sampai dana rente. Bagi Henry Brenstein (2015) faktor-faktor tersebut akan berpontensi besar dalam mereproduksi kelas buruh yang sudah tidak memiliki apa-apa selain tenaga kerjanya untuk dijual.***

Kepustakaan
Dede Mulyanto, Antropologi Marx: Karl Marx Tentang Masyarakat dan Kebudayaan. (Bandung: Ultimus, 2011)

Dede Mulyanto, Genelogi Kapitalisme: Antropologi Dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik. (Yogyakarta, Resist Book, 2012)

Ellen Meiksins Wood, Asal – usul Kapitalisme: Kajian Secara Menyeluruh. (Yogyakarta, Penerbit Independen, 2021)

Tania Murray Li, Kisah Dari Kebun Terakhir: Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat (Tanggeran Selatan, Marjin Kiri, 2020)

Wawancara Dengan Pak Hado (2021), Pemangku Adat Teko, Galla Lolo.
Henry Brenstein, Dinamika Kelas Dalam Perubahan Agraria (Yogyakarta, Insist Press, 2015

0%