Oleh Muhammad Ridha
Salah satu aspek yang sangat ditekankan oleh Karl Marx dalam salah satu bukunya yang terpenting, Kapital (jilid I), adalah bahasan tentang komoditas. Apa itu komoditas? Bagaimana ia tercipta dalam sistem sosial tertentu? Darimana ekspresi nilai komoditas itu berasal? Darimana timbunan kekayaan para kapitalis berasal? Bagaimana komoditas itu dipertukarkan dan bagaimana relasi pertukaran ini terbentuk dan melahirkan suatu penyetara universal (uang) atas komoditas?Baiklah mari kita uraikan berdasarkan apa yang disebutkan Marx dalam buku Kapital jilid I dan para penulis yang menerjemahkan pemikiran-pemikiran Marx ke dalam tulisannya. Baik dalam bentuk suatu buku dengan tema tertentu di mana aspek ‘komoditas dan fetisisme’ dibahas maupun buku pengantar memahami buku Kapital. Di sini saya menggunakan dua buku menarik. Pertama, Kajian Kritis Das kapital Karl Marx karya Antony Brewer (2000) dan Budaya Konsumen Terlahir Kembali Arah Baru Modernitas dalam Kajian Modal Konsumsi dan Kebudayaan karya Martin J Lee (2006).
Marx (2004) mendefiniskan komoditas sebagai “benda di luar kita, sesuatu yang sifat-sifatnya dengan satu atau lain cara memenuhi kebutuhan manusia”. Dengan demikian, komoditas adalah segala sesuatu di luar kita yang berfungsi memenuhi kebutuhan kita. Dalam perkembangannya, “segala sesuatu itu” dihasilkan dari curahan kerja manusia atau diukur berdasarkan curahan kerja manusia.
Komoditas terkandung di dalamnya nilai guna dan nilai. Nilai guna dihasilkan dari curahan kerja berguna. Sementara nilai/nilai tukar dihasilkan oleh kerja abstrak. Bagaimana mengukur nilai suatu komoditas? Antony Brewer (2000:38) menyebutkan “Nilai suatu komoditi tergantung banyaknya jumlah ‘kerja sosial’ yang diperlukan yang tercakup oleh komoditi itu”. Dalam Bahasa Marx ukuran kerja sosial ini disebut necessary labour time atau waktu kerja yang dibutuhkan.
Dari ciri semacam inilah maka komoditas adalah suatu ekspresi dari nilai guna dan nilai tukar. Setiap komoditas dipertukarkan berdasarkan pada nilai yang terkandungnya. Dan nilai itu, seperti dalam ukuran Marx dihitung berdasarkan durasi waktu kerja yang diukur dari rata-rata waktu kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi komoditas tersebut secara sosial.
Dari kebutuhan akan pemenuhan berbagai kebutuhan manusia, maka dilakukanlah pertukaran. Dari sinilah hubungan antara nilai suatu komoditas dan komoditas lainnya diukur. Marx mencontohkan (20 yar kain linen sama dengan 1 jas). Di contoh ini jas menjadi unit ukuran dari nilai. Persamaan di atas bisa berkembang menjadi 20 yar kain linen setara dengan 1 jas, setara dengan satu karung beras, atau setara dengan sebuah meja, dst.
Dari bentuk unit ukur atas pertukaran komoditas di pasar, maka dibutuhkan penyetara. Dalam kasus di atas jas. Di era Marx emas menjadi ukuran penyetara dan uang (yang dijaminkan oleh nilai setara emas) dianggap ekspresi pertukaran yang umum.
Dengan ciri pertukaran semacam itu dengan nilai sebuah komoditas ditentukan oleh relasinya dengan komoditas yang lain, maka di dalam pertukaran semacam ini, tidak lagi diperhatikan seberapa kerja yang dicurahkan atas komoditas itu. Tapi justru nilai komoditas itu atas komoditas yang lain dan sebaliknya.
Dari sinilah, komoditas muncul sebagai sesuatu yang suci dan diberi tirai yang menghalangi pandangan dan penilaian seseorang atas bagaimana komoditas itu diproduksi oleh kerja manusia. Fenomena ini disebut Marx sebagai fetisisme komoditas. Begini Marx mendefinisikan yang disebutnya fetisismme:
“Bentuk komoditas….sama sekali berhubungan dengan hakekat fisik komoditas dan hubungan material yang muncul darinya. Bentuk-komoditas tidak lain hanyalah relasi sosial yang bersifat tetap antara manusia yang dalam hal ini mendapatkan bentuk hubungan fantastic antar benda… saya menyebutnya fetisisme yang melekatkan dirinya pada produk kerja begitu produk-produk tersebut dihasilkan sebagai komoditas, dan dengan demikian tidak dapat dipisahkan dari produksi komoditas (Marx, 43).
Antoni Brewer menyebut ini sebagai ‘pemujaan komoditi’. Proses yang menutupi praktik kotor eksploitasi kerja di belakang bungkus sebuah komoditas. Hingga seperti dunia kita saat ini dimana kita tidak lagi punya kontrol atas nilai suatu benda. Tapi nilainya ditentukan oleh relasinya antar komoditas yang, sejauh ini, telah mengisi pasar dan membentuk persepsi kita mengenai nilai suatu barang. Gambaran yang lebih metaforis disebutkan Martin J Lee (24): “Cara bersatu dan berkumpulnya komodtas di pasar, tampilannya yang tak lekang ketika mereka muncul sebagaimana kupu-kupu dari kepompong kotor, fakta bahwa komoditas hanya berbicara tentang diri mereka sendiri sebagai objek dan tidak tentang kerja sosial dari proses produksi mereka adalah hal menciptakan fetisisme komoditas”.
Atau pencontohannya yang menakjubkan tentang relasi eksploitasi dibelakang tampilan komoditas yang disebunyikan oleh fetisisme komoditas ini: “penghapusan total dan niscaya terhadap relasi sosial produksi konkret dari permukaan komoditaslah yang merepresentasikan signifikansi proses misterius ini. Indahnya buah dari Afrika Selatan, atau mobil Ford terbaru, masing-masing hanya menerima nilainya dari perbandingan dengan kopmoditas lain dan nilai gunanya; masing-masing mengklaim hanya merepresentasikan “harga yang pantas” bila dibandingkan dengan buah Prancis atau buah Inggris, atau bila dibandingkan dengan Toyota atau General Motor. Dengan demikian mustahil mengetahui bahwa di belakang objek yang seolah alamiah ini, di belakang cara komoditas-komoditas itu tampil di rak-rak supermarket atau dalam ruang pamer mobil, terdapat relasi sosial universal eksploitasi kapitalis yang menimpa pekerja Afrika Selatan, Inggris, Prancis, Amerika atau Jepang, yang, meskipun dipisahkan oleh geografi, sejarah, kebudayaan, ras dan Bahasa dan sebagainya, pada dasarnya disatukan oleh posisi kelas dalam sistem produksi kapitalis” (Martin:25).