Romansa Sang Demonstran

Oleh Abrisal

Gambar: Jumaadi, Prahu. Enamel on galvanum 2019
Gambar: Jumaadi, Prahu. Enamel on galvanum 2019
Pagi terasa dingin. Kipas angin di atas plafon, berputar, berisik. Pajangan karikatur tokoh revolusioner Ernesto Che Guevara, Soekarno, Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer dan beberapa tokoh lain memadati seisi kamar. Kasur berukuran 1,5×2 meter memojok persis di dekat meja belajar. Di sampingnya sebuah rak menampung buku-buku berbagai genre yang tertata rapi. Sastra, kajian sosial, filsafat, ataupun zine sepertinya ada di situ.

Di meja itu, lampu duduk yang sejak tiga tahun lalu dibeli Alarta pada seniornya di kampus masih setia menemani dan meneranginya. Jam weker bergambar Naruto, Sasuke, Sakura dan Kakashi dengan pose ikoniknya terhias di tengah-tengah jarum jam itu. Entah kapan, Alarta mulai suka serial anime Naruto, sepertinya weker ini mungkin amat istimewa sebab dihadiahi langsung oleh Andini, kawan sekaligus kekasihnya.

Weker itu sudah menunjuk pukul 06.30. Alarta masih sibuk dengan tumpukan buku yang digagahinya sejak pukul dua dini hari tadi. Sudah lima gelas kopi yang turun ke dalam perut. Ini sudah gelas keenam.

“Hmm, sudah pukul berapa?” Ia terkejut. Jam weker hadiah dari kekasihnya pagi ini tidak bunyi seperti biasanya.

“Walahh, Andini…”.

Ia baru ingat, kekasihnya sejak dua minggu lalu itu akan ujian.

“Ooh, iya. 15 September,” sambar Alarta memecah keheningannya sendiri. Tanggal dan bulan yang penting itu adalah saat dimana Andini menerimanya sebagai kekasih. Andini pun kini sebentar lagi akan menyelesaikan masa kuliahnya. Alarta minggat dari kursi. Kopi yang baru saja ia buat dibiarkan mendingin. Ia bergegas mandi.

*****

Kampus, seperti kebanyakan waktu, sangat membosankan untuk Alarta. Baginya, kampus nyaris seperti rumah tahanan. Kampus tak tampak sebagai institusi yang mengajarkan sesuatu, tak mendidik. Malah menurutnya, di dalamnya kini hanya ada relasi yang murahan, hanya bicara untung-rugi. Mahasiswa lebih sering sibuk dengan kelas sosial yang dibentuknya sendiri atau warisan kuno di kampus. Kisruh di sana-sini terus terjadi dan biasanya berakhir tragis. Ia berusaha keras hanya untuk melihat kampus sebagai tempat berjuta cinta dapat menyebar.

Tak khayal, kebiasaannya yang kerap membolos dari kelas dan lebih suka nongkrong di sekretariat organisasi ini membuatnya risih dengan semua rutinitas itu. Ia biasanya akan berakhir di warung kopi yang berjejalan di sekitaran kampus. Tapi kali ini ia malah duduk di lobi fakultas. Meskipun telah 4 tahun lebih berkuliah dan dibosankan banyak hal, belum terbersit juga keinginannya selesai dalam waktu dekat.

Ia ingat-ingat, beberapa hari lalu ia menyempatkan pulang ke kampung halaman. Selain untuk memenuhi panggilan orangtua, ini juga bagian dari penuntasan rindu. Setidaknya itu yang akan selalu ia ucap jika ditanyai alasan pulang kampung.

Baca juga:  Akhirnya Kau Hilang

“Nak, kapan kau selesaikan kuliahmu? Sudah KKN? Judulmu sudah ACC? Skripsimu sudah sampai mana? Utangmu di warung sudah kau lunasi apa belum?”

Pertanyaan-pertanyaan ini adalah hantu yang tiba-tiba mengikuti dan mengutukinya sepanjang waktu jika mengingat kampung halaman. Sejatinya, Alarta tidak ingin membandel. Tumpukan tanya itu hanya belum siap ia jawab dengan benar.

“Kupikir aku akan selesai di waktu yang tepat,” jawabnya mantap.

Lamunan Alarta kian dalam, sampai remeh-temeh kisah pacarannya di kampus ikut nimbrung di kepalanya. “Ahh, dasar suram. Andini sudah kau miliki bung.” Tegurnya pada diri sendiri.

“Oi, Alarta. Kau bikin apa di sini sendiri?” Suara itu masuk ke rongga telinga Alarta.

“Oii, tidak bung. Cuma menunggui Andini.” Ucapnya pada Rangga.

“Walahh. Kau nampak seperti pacarnya saja, kemana-mana dan di mana pun Andini, Kau ada mengekorinya. Andini, pacarmu yah?”

Alarta kembali merenungi Andini yang pagi tadi mengiriminya pesan WhatsApp. “Alarta, bangun. Shalat subuh sana.” Ia tersenyum. Sesekali menikmati sepoi angin yang menggerakkan daun mangga.

“Oi, Alarta. Kau melamun?” Rangga nampak terganggu dengan sikap Alarta yg tidak menghiraukan pertanyaannya.

“Alarta, kau tidak turun aksi hari ini?” Rangga menanyainya lagi.

“Oh iya, semalam sudah kubagi-bagikan pamflet dan flayer di beranda sosial media yang kupunya. Aksi siang ini mesti dipersiapkan matang. Beberapa waktu lalu represi para petugas merusak gerakan aliansi. Tuntutan tidak sampai, yang ada hanya luka memar sepanjang badan beberapa massa aksi akibat dipopor moncong senjata, mata perih karena gas air mata, dan badan pegal-pegal karena kejar-kejaran dengan aparat” ucap Alarta.

“Jadi? Kau turun aksi apa tidak?” Tekannya.

“Iyaa mana mungkin aku tidak ikut. Tapi aku ingin pergi dulu dengan Andini. Pagi tadi aku janjian dengannya.”

“Janjian kemana? Belum pacaran sudah buat janji-janji. Dasar tidak jelas.”

“Ada. Kau tak perlu tau. Yah, biar kami berdua yang tahu dan rasa, privasi itu perlu bung.” Ketus Alarta sembari cekikikan.

*****

Pagi kian tertelan matahari yang bergerak sejajar dengan kepala. Sudah lewat pukul sebelas. 30 September, petanda hari berduka. Alarta dan Andini baru saja jadian. Ada kepiluhan, jika Alarta mengingat-ingat seputar bulan ini, yang penuh luka dan air mata. Mulai dari Tragedi Semanggi, Kematian Munir, Kasus Tanjung Priok, Pembantaian G30S, dan beberapa kasus lain yang sama kurang ajarnya. “Paling tidak, dalang dibalik itu semua, ada keterlibatan negara didalamnya” Ucap Alarta dalam lamunannya.

Baca juga:  Selamat Siang Penganggur

Lalu lalang mahasiswa beralmamater padati lobby fakultas siang ini. Alarta dengan Rangga masih sibuk dengan urusan masing-masing. Alarta dengan lamunannya, kawannya dengan gadget di tangannya. “Ada apa, Alarta? Kau begitu rapi pagi ini.” Tanya itu memecah keheningan. Baru saja, Dani karib Andini duduk di sebelahnya. Entah apa yang dirasai Alarta sejak tanya itu keluar dari bibir perempuan itu. “Ditanya, malah diam. Oi, Alarta”

“Kenapa, Dani?” Senyum Alarta menguak. Mencoba memecah kekikukannya di hadapan Dani, Kawan wanitanya.

“Aku heran. Kenapa pagi ini Kau begitu rapi?” Sambil mengendus-ngendus, “ini lagi, kau pakai parfum yah?” ejek Dani sambil terbahak-bahak.

“Kau ini, sedang jatuh cinta yah? Ngaku kau?”

“Adik junior siapa yang kau suka?”

“Sudah jadian?”

“Masih PDKT?”

“Cantik tidak?”

“Kau ini, dengan kawan sendiri main rahasia-rahasia?”

“Ayo, jujur. Siapa yang kau sukai?”

Lusinan tanya ini keluar begitu saja dari mulut Dani. Bak mesin produksi komoditi, tanyanya tanpa ada peran tangan dari buruh pabrik, mesinnya tetap menyala, kecuali jika bahan bakarnya habis. Keluar begitu saja, tanpa ada spasi.

“Tidak ada. Aku berpenampilan seperti ini, tidak karena apa-apa” jawab Alarta dengan sigap. Menurutnya Ia tak perlu memberi tahu alasannya kepada Dani. “Lagi usaha untuk beda. Sudah semester tua masih begitu-begitu saja, kan bosan” lanjut Alarta penuh percaya diri.

Dani bingung. 4 tahun belajar bersama, satu kelas dan satu jurusan membuat Dani cukup mengenal Alarta. Alarta yang sejak awal semester lebih suka berorganisasi ketimbang hura-hura tidak jelas, sekenanya saja dalam berpakaian. Kadang memakai baju yang kusamnya sudah tidak termaafkan, entah warnanya apa. Celana robek dibagian lutut, pantat, dan jahitan pinggir sudah tak berbenang. Belum usai sampai situ, rambut ikalnya yang sama acaknya dengan wajah yang tidak pernah bersentuhan dengan sabun muka sekalipun, penanda Alarta dasarnya memang urak-urakan dalam berpenampilan. Dani mengingat, pernah beberapa kali Alarta diusir dari kelas gara-gara penampilannya yang urakan. Sudah gondrong, celana robek, muka kusam, berkaos yang warnanya sudah tidak jelas, bersendal jepit lagi, ayo keluar sana. Umpatan ini biasanya diterima oleh Alarta dari Dosen-dosen yang seringkali kalah argumen dengan Alarta jika perihal diskusi kelas.

Dengan kegagahan dan kepiawaian Alarta mendasari perilakunya yang nyaman berpenampilan acak-acakan dengan bacaan yang sudah tak terhitung jumlahnya, selalu saja mampu mendiamkan Dosen-dosen seperti itu. Acap kali Dosen tak memberi ruang bicara bagi Alarta untuk menyampaikan gagasan walau berkali-kali mengangkat tangan. Hal ini yang membuat Alarta kadang bermalas-malasan untuk masuk kelas untuk berkuliah. Baginya kuliah tidak seluarbiasa bayangannya sebelum berangkat dari kampung halamannya. Ia memimpikan ruang kuliah sebagai instrumen mendidik, membebaskan, dan mampu menata dirinya yang sedari awal ia bersekolah tak pernah mendapat sekalipun kesempatan belajar dengan baik. Baginya kuliah adalah pintu menuju masa depan.

Baca juga:  Selamat Siang Penganggur

Persepsi ini kian kabur dan mematikan mimpinya saat melihat perilaku buruk pendidik kepada dirinya. Untungnya, Alarta yang mudah bosan dengan rutinitas monoton, memilih untuk lebih banyak berorganisasi, ikut berdiskusi, dan rutin ikut aksi. Apa tak lagi, senang Ia memimpikan dengan rutinitas seperti itu mungkin kelak akan tercipta satu kondisi dimana manusia akan bebas memilih untuk hidup seperti apa, Pendidikan diilhami oleh pemikiran-pemikiran mendidik, dan negara senantiasa merealisasikan sistem politik, sosial, kebudayaan, tanpa adanya hirarki kekuasaan dan dominasi sebagian pihak. Dimana kaya dan miskin bisa hidup sebagaimana manusia awal kehidupan di bumi, petani tak diambil tanahnya, kaum miskin kota mendapat hak hidupnya di kota, nelayan tak direklamasi lautnya, dan buruh diupah sebagaimana mestinya. Seringkali harapan-harapan itu menyeruak begitu saja dalam ungkapan-ungkapan Alarta kala memberi diskusi untuk adik-adik juniornya yang seringkali dibodohi oleh keseharian kuliah-pulang-kuliah-pulang. Pada akhirnya, adik-adiknya sedikit demi sedikit tahu bagaimana kerja-kerja institusi pendidikan bergerak, utamanya dalam dunia Kemahasiswaan.

“Alarta, dari tadi nunggunya?” Suara itu melarutkan lamunan Dani yang sejak beberapa menit lalu menemani Alarta.

“Iya, Andini. Ujiannya sudah selesai?” Balas Alarta.

“Iyaa, ayo sini aku punya makanan buatmu. Kita makan sama-sama yah. Kamu belum makan siang kan?”

“Walah. Kalian berdua jadian?” Silang Dani, heran.

Dengan senyum, Alarta dan Andini berbalik meninggalkan tanya Dani yang masih dibingungkan oleh heran.

******

Aku menutup buku. Tertidur dan tidak sadarkan diri. Kisah Alarta dan Andini melarutkanku sampai terbawa mimpi. Baru saja Aku terbangun pukul 05.00 subuh hari. Satu kontak perempuan masih sibuk membangunkanku dengan nada panggilan di WhatsApp. “Assalamualaikum, Kamu Sudah bangun?”

“Iya. Ini baru saja.” Balasku.

“Shalat subuhnya sudah?”

“Iya, ini sudah mau shalat”

“Sampai ketemu di kampus, pagi ini yah!” Sambung perempuan itu.

“Assalamualaikum” tutupnya.

Aku beranjak dari tidur.berlari menuju kamar mandi. Kubasuh muka sejadi-jadinya.” Ini mimpi?” Tanyaku pada diri sendiri.

Selepas wudhu, aku kembali ke kamar. kucek kembali hpku. Benar, perempuan yang kusuka subuh tadi tidak hanya menelpon, ia memberi selamat pagi padaku, selamat atas bertambahnya usiaku, dan selamat karna ia mengatakan ingin jadi pacarku.

Aku lupa diri. Aku shalat dan tidak sadarkan diri sampai pukul 08.00 pagi.

0%