Oleh Abrisal
Malam temaram. Weker yang berdiam di atas meja menunjukkan pukul dua dini hari. Lusinan buku tampak berserakan. Saling tindih-menindih, beberapa kalimat masih berserakan dan membayang di kepala Alarta. Alarta masih sibuk mengagahi laptopnya. Di sampingnya, 8 gelas kopi hening menikmati irama sentuhan jemari Alarta yang masih menari di atas keyboard. Beberapa kali, jemari di tangan kirinya menjemput rokok yang sedang berdialog dengan abunya. Sesekali asap rokok mengunjungi mata Alarta. Mata yang beberapa hari terakhir dipaksanya untuk terjaga. “Alarta, jangan tidur. Selesaikan skripsimu, Segera” pintahnya agar mata tetap bisa menjaga sikap.Garis hitam tampak kian menghitam, persis berada di bawah matanya. Puluhan puntung rokok di atas asbak, masih saja sibuk menunggui satu puntung rokok lain yang sebentar lagi akan gugur. “Uhuk.uhuk.uhuk” Alarta terbatuk. Ia meraih tumbler berwarna biru yang setiap hari ia bawa kemana-mana. Baginya, tumbler itu tidak hanya sebagai wadah pengisi air. Lebih dari itu, baginya tumbler adalah pengingat sekaligus yang membuatnya tetap merasa hidup. Apalagi tumbler ini kian istimewa, sebab kali terakhir Ia menemui Andini, tumbler inilah yang menjadi saksi sekaligus hadiah perpisahan antara Alarta dan Andini.
Alarta membuka tutupnya, lalu menenggaknya dengan sigap. “untung masih ada kamu” Ucap Alarta dengan mata yang masih sibuk mengawasi tumbler. Tetiba Alarta mengingat kekasihnya, Andini. “Andini, Andini, kasihan Andiniku yang malang” Ucap Alarta.
“Sudah, sudah, sudah. Tak usah kau ingat aku lagi” Ucap Andini yang berdiam di permukaan lingkar botol.
“Asu. Fokus, fokus, fokus lagi Alarta”Ucapnya pada diri sendiri.
Alarta menggeser kursi. Ia berdiri dan meraih tumbler biru tadi. Langkah kakinya sedang merabai lantai. Tampak Beberapa lembar kertas, pembungkus dan abu rokok berserakan begitu saja, Ia tak peduli. Alarta mempercepat langkah dan keluar dari kamar. Ia berjalan menyusuri lorong pondokan. Beberapa bagian dinding sudah menjadi kanvas. Permukaannya kini penuh gambar dan kata. Satu gambar, mirip alat kelamin pria, diapit bibir wanita yang tampak begitu menikmati bak lollipop. Satu gambar berbentuk hati yang berukuran cukup besar. Alarta terhenti dan mengamati kalimat di dalam gambar
Sebongkah ciuman liar masih membekas, menjelma bintang, menyala abadi di semesta mengembang.
Siapakah dirimu? Menyeru-nyeru meminta nama, layaknya benda-benda mengepung tak dikehendaki1 Baca Alarta dalam hati.
“Sejak kapan kalimat indah ini ada di sini?”
“Ini lagi, suram-suram”
Aku Mencintaimu, maka Aku Ada2 Alarta menggeleng.
“tak” tetiba Alarta menapok jidatnya.
“Waduh, kenapa aku setidak tau ini. Mungkin di pondok ini pernah ditinggali penyair atau mungkin saja aktivis” fikir Alarta.
Alarta kian penasaran dari banyaknya gambar maupun tulisan yang memenuhi dinding lorong.
Tubuhku adalah Otoritasku3
“ini gugatan” fikir Alarta.
Mata Alarta masih terus menikmati lusinan kata-kata puitis dan beberapa gambar yang cukup jorok.
Duhai Kasih, Sekali Lagi Aku Berharap
Bukankah Kau Tau
Revolusi Butuh Pejuang
Maka, Siapkan Dirimu
Sebab, akan kutanamkan Benih Revolusi Di Rahimmu4
“Pasti ini puisi Che Guevara” ucap Alarta berusaha mengingat.
Matanya masih terus melacak beberapa potong kalimat. Alarta belum bisa mempercepat langkahnya, meski pantatnya kikuk tak mampu menahan fesesnya lagi. Matanya masih terus merekam beberapa kalimat lain yang dirasai penting.
Jika kami Bunga
Engkaulah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan : Kau harus hancur5
Memang, beberapa bulan belakangan, Ia hanya sibuk di dalam kamar. Apalagi belum genap setahun Ia tinggal di Pondok ini. Mirip laboratorium, kamarnya di pondokan baru begitu tak terurus. Ia hanya sibuk dengan diri dan sunyi yang dinikmatinya sendiri. Entah untuk baca. Kadang juga untuk nulis. Kadang tiduran. Kadang menghayal. Kadang sedih. Kadang senyum. Kadang hanya tertawa-terbahak dari malam hingga pagi. Baru kali ini, fikirannya digugat oleh beberapa potong kalimat yang bersemayam dan tertata acak pada dinding lorong.
“Tapi Siapa dan sejak kapan coretan-coretan ngeyel dan metaforis ini ada?” ucap Alarta, heran.
Alarta tiba di ujung lorong. Ia berbelok, memastikan kaki siap menuruni anak tangga menuju lantai satu. Langkahnya Ia teruskan menuju kamar mandi. Alarta meraih gagang pintu, masuk lalu kembali menutupnya. Setelahnya Alarta meraih sebatang rokok dan korek yang sejak tadi bercengkaraman di dalam saku celananya. Kedua benda yang tak bisa terpisah itu, nyatanya baru saja akan jadian, tetiba Alarta menggagalkannya, Ia membakar rokok lalu membuka dan menggantung celana maupun kolornya. Setelahnya, Iapun berjongkok. Alarta menganggap kamar mandi ruang tumpah-ruahnya imajinasi. Pernah sekali waktu, Alarta membaca artikel tentang alasan orang Eropa mencipta dan menggunakan WC Duduk. “Dengan WC Duduk, Buang apapun pasti kamu nyaman” tulis plan iklan yang terterah di bagian akhir artikel yang ternyata sedang memasarkan produk.
“Selalu saja akan begitu. Pada akhir penemuan selalu berujung pada iklan” Celoteh Alarta.
Ia tak ambil pusing, Alarta masih tetap khusyuk dengan isapan rokok yang begitu dalam. Mata Alarta tak pernah diam, apalagi Alarta akan selalu mendialogkannya langsung dengan matanya. Khususnya, jika harus berurusan dengan menyelesaikan skripsi. Sebisa dan semampu mungkin, Alarta dengan otoritasnya sebagai pemilik tak begitu adil dengan matanya sendiri. Meskipun tiap kali matanya akan mengernyit, meminta untuk tidur lebih awal. Alarta selalu berhasil menyakinkan Mata dengan menghadiahinya kopi, agar mata tetap ingin menemaninya.
“Reformasi gagal total, Kawan! Mari tuntaskan revolusi demokratik!6
Satu kalimat ini begitu menggugah Alarta dan matanya tetiba terbelalak.
“Siapa lagi yang nulis ini?” Alarta kembali heran.
“tidak hanya di lorong, di kamar mandipun ada.”
Alarta membuang puntung rokok. Ia meraih timbah. Lalu membasuh pantatnya dengan teliti. Memberinya sedikit sabun agar nanti pantatnya wangi. Ia berdiri, menyelesaikan perkara lain. Ia bergegas keluar dan mempercepat langkah menaiki anak tangga.
“satu, dua, tiga….. lima, …tujuh… sebelas” hitung Alarta.
“Kriiiiiiiiiiinnnnggggg. Kriiiiiiiiiiiinnnnnggg, kriiiiiiiiiiiiiiinnnnggggg”.
Terdengar ponsel dari arah kamar Alarta. Ia lantas mempercepat langkah dan memasuki kamar. Alarta berusaha mencari sumber suara. Ia lupa meletakkannya dimana. Beberapa buku yang berserakan, satu persatu Ia bukai. Ponselnya masih berdering dan Alarta masih belum ingat meletakkannya dimana. Ia mencari dan terus mencari. Ia terhenti dan meminta telinga untuk lebih peka pada suara. Matanya yang sigap melihat tonjolan di buku yang berada tepat di bawah pendar cahaya lampu duduk. “syukurlah, ketemu” ucapnya sembari meletakkan Buku Tuhan Ijinkan Aku jadi Pelacur.
“Assalamualaikum, siapa yah?” sapa Alarta pada orang yang baru saja menelponnya.
“Waalaikumsalam. Benar ini dengan Alarta?” ucap orang itu.
“Iya, benar. Saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”
“Kami dari pihak rumah sakit. Ingin memberitahukan kepada Anda, bahwa…”
Tetiba ponsel yang di pegang Alarta jatuh. Bulir air matanya menetes tak terbendung.
“Halo, Halo, Halo, Alarta, Alarta, Alarta”
“Asu. Bangsat. Brengsek. Kampret. Dosen Bajingan.” Umpatan itu tetiba keluar begitu saja dari bibir Alarta.
Ia tak pernah membayangkan perilaku Dosen yang Ia kenali akan sebejat itu. Apalagi kedudukannya sebagai tenaga didik di salah satu Kampus Islam kenamaan. Baginya, Dosen itu adalah satu-satunya yang berbeda dari tenaga didik lain yang ada di kampusnya. Tetapi, belakangan satu per satu kecurigaan Alarta terbukti. Berawal dari keluhan Andini, kekasihnya yang merasai mual setiap kali Alarta menemuinya. Alarta kian heran dengan perubahan sikap dan semua romantisme yang begitu singkat Ia jalani dengan Andini.
“Assalamualaikum, Alarta kita putus yah? Aku tidak bisa bersamamu lagi” pesan Andini beberapa waktu lalu.
Alarta terkejut, Ia bingung dengan semuanya. Menurutnya, tak pernah memiliki masalah apapun dengan Andini. Semuanya mulus, lancar. Intensitas pertemuan mereka cukup. Baik Alarta maupun Andini, sebisa mungkin untuk saling memberi kabar. Berdialog bersama dalam pesan-pesan Whatsapp yang kadang menjelma menjadi ruang curhat dari keduanya. Kadangkala saling melempar puisi. Kadang Alarta hanya jadi telinga, bagi keluh dan resah Andini sepanjang proses bimbingan skripsi. Semua tampak baik-baik saja. Malah, beberapa kali Andini meminta Alarta menemaninya untuk menemui Dosen pembimbingnya yang berlokasi tak jauh dari pusat Kota M. Meskipun ini tampak biasa, menurut Alarta, pertemuan kekasih dengan Dosennya yang cukup membuatnya was-was. Baginya, jika hanya bimbingan kenapa mesti ketemunya di luar. Apalagi jika ajakan itu, bernada “Waalaikumsalam dek, iya saya sedang ada dirumah. Bimbingannya dirumah saja yah. Saya masih ada kerjaan rumah soalnya” jika sudah begini, Andini sudah pasti akan pangling dan memintai pendapat Alarta.
“Saya temani yah kerumah Dosennya” Ucap Alarta setiap Andini memberitahukan kapan dan dimana akan bimbingan.
“ihh, jangan. Pembimbingannya tak ingin jika ada lelaki yang bertamu kerumahnya, apalagi kau bukan mahasiswa bimbingannya” balas Andini setiap kali menolak keinginan Alarta.
“jangan. Cukup temani aku belanja. Pembimbingnya minta dibelikan KFC biar dapat ACC” ajak Andini dalam satu waktu.
“kok KFC, tak usah. UKTmu kan sudah masuk dalam proses kewajiban Dosen untuk membimbing” balas Alarta.
“tapi Dosennya sedang lapar katanya. Istrinya sedang tidak ada di rumah”
“kenapa harus di rumah, kenapa bukan di kampus?”
“iya. Tapi Dosennya lebih nyaman bimbingannya di rumah”
“kalau begitu, aku temani yah, Andini?” pinta Alarta.
“tak usah Alarta. Semoga ini pertemuan terakhirku dengannya”
“tapi kenapa? Aku cukup mengantarmu kan? Bagiku itu tidak masalah. Apalagi aku masih mahasiswa kampusnya juga.”
“jangan Alarta, Aku takut kehadiranmu malah membuat Dosennya tak nyaman. Apalagi jika Draft hasil dan tutup nantinya bisa saja Ia urungkan untuk di ACC”
Jika seperti ini, Alarta dengan sendirinya akan luluh di hadapan kekasihnya. Baginya, segala urusan penyelesaian Andini adalah hal yang paling utama. Meskipun terkadang Andini mengeluhkan sakit. Ketika ditanyai kenapa? Andini selalu menjawab “Aku, tak apa-apa Alarta”.
Beberapa kali Andini menangis, jika seperti ini Alarta berusaha semampu mungkin untuk menyambangi kontrakan Andini. Meskipun Andini tidak pernah sendiri jika sedang di kontrakan. Alarta dengan khawatir yang berlebih, dengan sendirinya akan memberanikan diri. Begitu seringnya Alarta mengunjungi rumah inap Andini di perantauannya ini, perempuan lain yang belakangan Alarta ketahui adalah sanak dari Andini, yang juga berasal dari luar kabupaten yang jaraknya sekitar empat jaman dari Kota M. Karena rutinnya Alarta datang, si perempuan begitu mengenali dan tahu siapa Alarta.
“Dini, itu Alarta. Menungguimu di depan rumah.”
“Iya, Kak. sebentar”
Beberapa menit berlalu, seperti biasa. Mata sembab, wajah murung, bibir kering milik Kekasihnya kian wajar saja di mata Alarta. Alarta tak akan bertanya banyak, apalagi dengan kata “kenapa?”. Bagi Alarta, tanya itu tak akan pernah dapat jawaban dari bibir kekasihnya. Jika sudah seperti itu, Alarta hanya akan jadi pendengar atas apa yang diinginkan Andini. “Aku rindu Alarta denganmu, temani yah.”
Jika sudah seperti ini, Alarta dengan seluruh pengetahuannya akan luluh. Alarta hanya akan menunggui Andini semampunya. Sampai kekasihnya tertidur. Terkadang Alarta menyiapkan makanan bagi kekasihnya. Mulai dari nasi, sayur, tempe, telur dan beragam olahan lain yang cukup mudah dan pas dibeli oleh Alarta. Meskipun Alarta tak tau, seberapa piawai Ia memasak. “makasih banyak yah Alarta untuk semuanya” tutur Andini.
“Iya. Makan yang banyak. Ingat saja, Aku bukan Chef Juna”
Sudah dapat Ia pastikan, senyum Andini akan begitu saja terbebas dari bibir manisnya.
“kamu itu, biarpun belum mandi sejak kemarin. Bagiku, kau selalu mempesona” gombal Alarta, yang sebenarnya kikuk di hadapan kekasihnya.
“Iya. Akupun selalu merasa beruntung di cintai lelaki sepertimu” balas Andini.
Jika sudah begini, dapat dipastikan sanak Andini akan terpingkal mendengar gombal balas gombal sepasang kekasih ini.
“Kalian ini, mirip remaja yang baru puber saja” celetuk perempuan itu.
Setelahnya, sepasang kekasih ini hanya akan terpingkal. “Biarin. daripada kakak, 8 tahun pacaran tak kunjung dilamar” ejek Andini.
Jika seperti ini, perdebatan alot akan terjadi pada kedua perempuan. Untung saja, kritik demi kritik, ejek berbalas ejekan, satire berbalas satire akan selalu berakhir dengan tawa yang memenuhi seluruh ruang. Biasanya, tiga manusia ini akan tertawa terpingkal menikmati komedi dan jenaka yang begitu saja menyeruak dari bibir ketiganya.
Ketika malam kian larut dan Alarta merasa kekasihnya tak lagi merasai murung, Alarta selalu memutuskan untuk meninggalkan rumah inap kekasihnya.
“Makasih banyak Alarta untuk hari ini. Aku beruntung karena di cintai oleh lelaki sepertimu” ucap Andini setiap kali Alarta pamit untuk pulang.
*****
Ingatan-ingatan ini kian memuncak dari fikiran Alarta. Baru saja Rumah Sakit tempat autopsi Mayat Andini memberitahukan “sebelum bunuh diri, Saudari Andini telah mengandung, usianya sudah 3 bulan” Alarta kembali terdiam. Matanya masih saja sembab, meluruhkan genangan air. Ia tak dapat membendungnya. Tangisnya kian memuncak. Mengisahkan seribu kenangan indah bersama Andini. Dukanya begitu pasti. Tanpa izin, mata liarnya menemui potongan puisi yang terkulai di lantai.
Akhirnya kau pergi dan aku akan menemukanmu dimana-mana.
Di Udara dingin yang menyusup di bawah pintu
atau di baris-baris puisi lama yang diterjemahkan dari bahasa-bahasa jauh
di sepasang mata gelandangan yang menyerupai jendela rumah
berbulan-bulan tidak dibersihkan
atau di balon warna-warni yang melepaskan diri dari tangan seorang bocah.
Akhirnya kau pergi dan aku akan menemukanmu
Di jalan-jalan yang lengang atau bangku-bangku taman yang kosong.
Aku menemukanmu di salju yang menutupi kota
Seperti perpustakaan raksasa yang meleleh
Aku menemukanmu di gerai-gerai kopi,
udara dan aroma makanan yang kurang atau terlalu matang
Aku menemukanmu berbaring di kamarku yang kosong
Saat aku pulang dengan kamera dan kepala berisi orang-orang murung yang tidak kukenal
Kau sedang menyimak lagu, yang selalu kau putar
Buku cerita yang belum kelar kau baca telungkup bagi bayi tidur di dadamu
Tidak sopan, katamu
Mengerjakan hal lain sambil menyimak kesedihan dinyanyikan
Akhirnya Kau hilang, kau meninggalkan aku
Dan kenangan kini satu-satunya masa depan yang tersisa.7
1Potongan Puisi Fadjroel Rachman berjudul Berapa Lama Aku terlelap di sini
2Parafrase Ungkapan Filsuf Socrates “Aku Berfikir, Maka Aku Ada”
3 Diambil dari satu ungkapan Victoria Wolf dalam Mitos Kecantikan Karya Naomi Wolf.
4Potongan Puisi Che Ghuevara berjudul Duhai Kasih
5 Potongan Puisi Widji Thukul berjudul Bunga dan Tembok
6 kutipan dari Buku Eka Kurniawan berjudul Coret-coret di Toilet
7 Potongan Puisi Aan Mansyur berjudul Akhirnya Kau Hilang