Antropologi, Pendidikan dan Lonceng Kematian Ilmu Pendidikan

Oleh: Askar Nur

Gambar: Yayat Yatmaka

Ilmu Pendidikan di Indonesia telah mati”. Ungkapan demikianlah yang dituangkan oleh Mochtar Buchori dalam buku Pendidikan Nasional dalam Reformasi Politik dan Kemasyarakatan yang ditulis bersama dengan H.A.R Tilaar, Darmaningtyas, dkk. Baginya, arena ilmu pendidikan sangatlah sempit saat ini. Ilmu pendidikan acapkali dimaknai hanya sebatas ilmu tentang mengajar di sekolahan formal dan tidak mampu menjangkau dinamika sosial yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat.

Lebih lanjut, ilmu pendidikan dianggap tidak mampu memberikan solusi terhadap fenomena sosial dan sekelumit permasalahan tersendiri yang terjadi di Indonesia. Bagi mereka, perkara demikian terjadi dikarenakan ilmu pendidikan kurang tertarik dengan paradigma kritis sehingga pandangan normatif-moralistik mengalami proses reproduksi secara berkelanjutan. Tak ayal, segala permasalahan yang terjadi seperti korupsi hanya dikategorikan sebagai perilaku menyimpang dan murni lahir dari dalam diri para pelaku tanpa menyadari bahwa setiap orang mampu bergerak dinamis untuk mengubah sistem nilai.

Hal tersebut kemudian diperparah pula oleh lahirnya solusi dari ilmu pendidikan dalam hal menindaklanjuti segala bentuk penyalahgunaan dalam kehidupan sosial seperti tindakan korupsi, yakni dengan menghadirkan pendidikan moral dan memperkuat sistem normatif tanpa menyentuh analisa struktur sosial masyarakat yang memiliki peranan dalam perubahan sosial yang lebih emansipatoris. Hilangnya paradigma kritis dalam ilmu pendidikan menjadi malapetaka tersendiri bagi sifat alamiah manusia yang cenderung kepada prinsip nilai keadilan dan kemanusiaan. Keduanya mampu berjalan hanya dengan kebebasan dan nalar kritis.

Luputnya ilmu pendidikan dalam memandang arena pendidikan sebagai arena relasi kuasa, antara kekuatan dominatif dan subordinatif dan juga pertautan pengetahuan sebagai bentuk kehendak untuk berkuasa semakin menjadi arena khusus dalam melanggengkan status quo berikut memperkuat jaring kekuasaan-privilese-prestige.

Tak hanya itu, ilmu pendidikan juga ikut terserat arus deras pasca Orde Baru. Lahirnya konsep developmentalisme (gagasan pembangunan berkelanjutan dengan prioritas utama pada pertumbuhan ekonomi) di segala aspek kehidupan masyarakat termasuk aspek pendidikan membawa pengaruh besar pada sum-sum tulang kehidupan manusia. Keyakinan terhadap pengunaan teknologi sebagai pilar kemajuan suatu bangsa (Indonesia) dewasa ini menghadirkan paradigma baru bahwa tolok ukur kemajuan adalah “apa” yang terlihat secara kasat mata bukan “siapa” yang melakoni dan hidup di dalam “apa” yang terlihat tersebut. Di dalam “siapa” yang melakoni juga terdapat “bagaimana” proses kehidupan yang dilakoni dan “mengapa” kondisi kehidupan demikian hadir. Developmentalisme seakan-akan menampik perkara demikian

Selain itu, developmentalisme juga meniscayakan hadirnya modernisasi yang ditopang kuat oleh kapitalisme. Sementara itu, kapitalisme sebagai sebuah paham ekonomi menggantungkan hidup sepenuhnya pada developmentalisme dan modernisme. Keduanya tak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, ilmu pendidikan yang menjadikan developmentalisme sebagai dasar ideologis saat ini, di waktu yang sama secara tidak langsung juga mengikuti alur modernisasi dan berpangku tangan pada kapitalisme.

Dilansir dari arsip artikel Kompas, 6 Mei 1997 yang ditulis oleh Bayu Wahyono tentang Renungan Pendidikan Nasional: Pasang-surut Humaniora bahwa dorongan developmentalisme dalam ilmu pendidikan menghadirkan prinsip link and match (kesesuain dan kesepadanan) yang menyandingkan antara arena pendidikan dengan konsep ketenagakerjaan. Meskipun hal demikian mampu memecahkan masalah ketenagakerjaan di Indonesia akan tetapi muatan teknokratiknya sangatlah tinggi.

Apa yang ingin disampaikan oleh Wahyono bahwa kiblat ilmu pendidikan di Indonesia hanya bergantung pada hembusan kebijakan dari pemerintah dan menanggalkan perspektif kritis sebagai bentuk counter-hegemony dari sistem (kebijakan) yang diterapkan oleh pemerintah yang sama sekali tidak mempertimbangkan aspek sosial dan budaya dari manusia yang menjalani kebijakan tersebut.

Di lain kesempatan, Dr. Yahya, M.A dalam sebuah presentasinya pada mata kuliah Antropologi Terapan program Magister Antropologi, Unhas mencoba mengelaborasi konsep antropologi, kebijakan dan pembangunan serta efek modernisasi bagi kehidupan manusia. Modernisasi sebagai sebuah produk tulen yang lahir di Eropa Barat pada awal abad-17 dengan penekanan pada aspek rasionalitas, sekuler dan pemikiran ilmiah sebagai jalur kemajuan. Semangat tersebutlah yang mendukung persebaran modernisasi ke seluruh dunia. Tujuan utama dari modernisasi adalah kemajuan materi dan peningkatan individu.

Baca juga:  Borok Kapitalisme dalam Corona dan Apa yang Sebaiknya Kita Lakukan

Dengan kata lain, modernisasi merupakan bentuk perubahan yang ditandai pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi. Seiring perjalanannya, terdapat dukungan dan kritikan yang dialamatkan pada modernisasi. Bagi sebahagian yang mendukungnya mengklaim bahwa manfaat modernisasi seperti transportasi yang lebih baik, pendidikan yang lebih modern dan berkualitas, perawatan kesehatan dan telekomunikasi yang canggih sebanding dengan biaya yang dikeluarkan bagi lingkungan dan masyarakat. Sementara itu, bagi pengkritiknya memandang bahwa modernisasi sebagai problematika tersendiri sebab hanya berfokus pada tingkat konsumsi yang terus mengalami peningkatan dan penggunaan sumber daya yang terbarukan secara berlebihan memicu kehancuran lingkungan hidup.

Modernisasi sebagai pendukung utama developmentalisme yang menjadi dasar ideologis bagi ilmu pendidikan dewasa ini juga ikut berkontribusi dalam perumusan kebijakan di tataran pendidikan yang berfokus pada proses kapitalisasi pendidikan baik pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Hal tersebut terbukti dari beberapa kebijakan pendidikan skala nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah dan terikat oleh regulasi global (GATS dalam WTO, SAP milik IMF, dan Asistensi World Bank).

Ratifikasi WTO melahirkan UU Nomor 7 Tahun 1994 yang mengatur empat bentuk perdagangan dalam GATS untuk pendidikan dan juga UU Nomor 7 Pasal 4 ayat (2) huruf d Tahun 2014 tentang perdagangan yang berbunyi, “Selain lingkup pengaturan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), juga diatur jasa yang dapat diperdagangkan meliputi: …. d. jasa pendidikan”. Amanah dari GATS adalah pendidikan tinggi sebagai private goods oleh karena itu pendidikan sebagai jasa yang diperdagangkan harus dilegitimasi melalui produk hukum di Indonesia.

Selanjutnya, IMF yang menjadi pilihan di masa pemerintahan Soeharto di tengah krisis finansial tahun 1997-1998 untuk mengajukan permohonan bantuan untuk Indonesia. Pada 15 Januari 1998, Soeharto menandatangani LOI (Letter of Intent) dengan IMF yang isinya tentang keharusan bagi PTN untuk mencari pendanaan sendiri dan salah satu caranya adalah PTN harus menaikkan biaya yang harus dibayar oleh pelajar untuk mempertahankan kualitas pendidikan dan hal tersebut harus dilegitimasi melalui produk hukum di Indonesia. Sehingga lahirlah PP Nomor 60 dan 61 Tahun 1999 tentang pendidikan tinggi dan penetapan PTN sebagai Badan Hukum sebagai semangat otonomi dan kemandirian PTN. Selain itu, lahir pula lah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) khususnya Pasal 53 yang mendukung PP Nomor 60 dan 61 Tahun 1999.

Kemudian, IMF juga didukung kuat oleh Word Bank dan Asian Development Bank (ADB) yang berkolaborasi dengan Kementerian Pendidikan Tinggi dan melibatkan konsultan serta pinjaman dari World Bank melakukan program restrukturisasi pendidikan tinggi di Indonesia yang menghasilkan konsep liberalisasi pendidikan tinggi dan dilegitimasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi dengan tujuan mengisi kekosongan hukum setelah UU BHP Nomor 9 Tahun 2009 dihapus pada 31 Maret 2010 melalui ketetapan MK. UU PT ini dianggap sebagai solusi atas permasalahan pendidikan tinggi di Indonesia namun yang terjadi justru sebaliknya, kebijakan ini menjadi masalah utama di sektor pendidikan tinggi.

Roda kapitalisme akan selalu berputar dan menggerogoti segala lini kehidupan masyarakat. Melalui proses modernisasi, kapitalisme akan terus tumbuh subur dan membujuk masyarakat menjadi konsumtif dan materialistik. Hal yang sama pun akan berlaku dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan tinggi, bujuk dan rayuan kapitalisme nampak pada iming-iming atau tawaran kemapanan hidup bagi seluruh manusia yang berproses dalam ruang pendidikan. Melalui konsep link and match, proyeksi dunia pendidikan hanya akan menciptakan manusia-manusia yang patuh, berkiblat profit-oriented dan menjadi tenaga pekerja di sektor industri.

Baca juga:  Bagaimana Tiongkok Mempercepat Ekosida di Indonesia

Kebijakan pendidikan khususnya pendidikan tinggi dirumuskan dan diramu sedemikian rupa semata-mata sebagai bentuk legitimasi proses industrialisasi yang digalakkan di sektor pendidikan oleh pemerintah tanpa mempertimbangkan proses kehidupan manusia yang merasakan langsung efek dari kebijakan tersebut.

Kebijakan yang diterapkan di pendidikan tinggi tentu akan membawa pengaruh terhadap manusia dan kebudayaannya baik dari segi sistem nilai maupun pola perilakunya. Berangkat dari pandangan tersebut, studi antropologi khususnya antropologi pendidikan menjadi ihwal ultim dalam proses perumusan dan penetapan sebuah kebijakan dalam pendidikan tinggi. Beberapa ahli memiliki definisi tersendiri tentang antropologi namun secara sederhana antropologi dapat diartikan sebagai ilmu yang berfokus pada segala aspek dari manusia, yang terdiri atas aspek fisik dan nonfisik berupa warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, kebudayaan, aspek politik, pedidikan dan berbagai pengetahuan tentang corak kehidupan lainnya yang bermanfaat.

Kendati demikian dalam dunia pendidikan, antropologi merupakan suatu kajian yang terbilang baru. Pada pertengahan abad-20, antropologi pendidikan sebagai salah satu disiplin ilmu baru menampakkan diri di permukaan yang beranjak dari pertanyaan seberapa jauh pendidikan mampu mengubah masyarakat. Fokus utama dari antropologi pendidikan adalah menciptakan perubahan sosial dengan melibatkan manusia (mahasiswa/mahasiswi) dan dalam pembuatan kebijakan pendidikan, antropologi pendidikan berusaha mewujudkan kebijakan yang mendukung pendidikan sebagai kebutuhan dasar manusia sesuai amanah dari UUD 1945 tentang tujuan pendidikan nasional.

Hal tersebut terbukti dari beberapa antropolog berdasarkan penelitiannya melakukan penolakan terhadap proses modernisasi dalam dunia pendidikan dengan alasan bahwa modernisasi pendidikan tinggi akan semakin meningkatkan ketidaksetaraan dalam hal akses pendidikan, kebebasan akademik terancam, menghancurkan budaya asli dan mengurangi keanekaragaman budaya.

Pandangan tersebut juga didukung kuat oleh teori kekerasan simbolik dari Pierre-Felix Bourdieu, seorang antropolog perancis. Meskipun teorinya tidak hanya berfokus pada dunia pendidikan, akan tetapi pada wilayah kekerasan simbolik, Bourdieu mendudukkan analisis teorinya pada pendidikan tinggi. Kekerasan simbolik terjadi dalam ruang lingkup pendidikan tinggi murni hasil dari kebijakan pendidikan tinggi yang menjadikan developmentalisme sebagai landasan ideologis.

Bentuk kekerasan simbolik yang rawan terjadi di pendidikan tinggi yakni pembungkaman kebebasan berekspresi dan penghancuran budaya asli di kalangan mahasiswa. Kekerasan simbolik dapat dimaknai sebagai bentuk kekerasan melalui pola dominasi struktur sosial masyarakat dimana kelompok kelas atas “memaksakan” ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidupnya kepada kelompok kelas bawah yang didominasinya.

Di tataran perguruan tinggi, kekerasan simbolik dapat disimak melalui hubungan antara tenaga pendidik (dosen) dan peserta didik (mahasiswa). Pola dominasi dengan menempatkan mahasiswa sebagai objek, salah satu contohnya di dalam ruang perkuliahan dosen selalu menempatkan dirinya sebagai subjek dan mahasiswa sebagai objek sehingga tidak terjadi proses dialektika dalam kelas. Alhasil, kecenderungan yang hadir adalah bentuk “pemaksaan” terhadap  sebuah kebiasaan yang telah direformulasi melalui ideologi yang ditanamkan dan dikemas ke dalam bentuk kebijakan (sistem).

Meskipun antropologi pendidikan terbilang sebagai disiplin ilmu baru namun telah memberi kontribusi yang signifikan terhadap dunia pendidikan. Hal tersebut diutarakan oleh G.D. Spindler dalam Education and Culture: Anthropological Approaches bahwa kontribusi utama antropologi terhadap pendidikan yakni menghimpun sejumlah pengetahuan tentang pendidikan yang sudah diverifikasi secara etik dan emik sebagai sebuah pandangan dengan menganalisis proses-proses pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan sosial budayanya.

Baca juga:  Misbach: Nama dan Masa

Kaitan antara antropologi dan pendidikan dapat dilihat dari sifatnya sebagai cabang ilmu sosial yang empirik-deskriptif yang berbicara tentang sesuatu yang sebagaimana adanya. Disiplin tersebut sangat berguna bagi perkembangan dunia pendidikan yang memandang bahwa segala bentuk gejala pendidikan merupakan produk budaya manusia yang diciptakan dan dikontrol oleh manusia sendiri.

Seperti halnya kebijakan pendidikan tinggi, jika ditinjau dari sudut pandang antropologi pendidikan maka suatu bentuk keharusan dalam menciptakan kebijakan yang mampu mendukung proses kehidupan dan kebudayaan manusia yang dihidup di dalam arena tersebut. Secara historis, perkara tersebut juga turut didukung oleh teori tentang sistem yang muncul pada tahun 1960 yang dipelopori oleh para pemikir lintas ilmu seperti Herbert A. Simon (ilmu administrasi) dalam bukunya The Science of Management Decision (1960), Daniel Katz dan Robert L. Kahn (psikologi) dalam buku yang berjudul The Social Psychology of Organisations (1966) dan James G. Miller (biologi) dalam bukunya Living Systems (1978) bahwa kelahiran sebuah sistem atau kebijakan tidak terlepas daripada sub-sub sistem di dalamnya yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya (Hipolitus: 2017).

Dalam konteks pendidikan tinggi, kebijakan atau sistem harus saling berhubungan dengan sub-sub sistem di dalamnya. Dalam hal ini, perangkat pendidikan tinggi dan manusia yang berada dalam arena pendidikan merupakan sub-sub sistem tersebut. Oleh karena itu, kebijakan dalam pendidikan tinggi baik menyangkut persoalan kurikulum maupun norma-norma etik harus tetap mempertimbangkan kondisi manusia yang hidup di ranah tersebut.

Namun sebaliknya, kebijakan yang tercipta di pendidikan tinggi di Indonesia justru menampilkan corak lain yang terlepas dari pertimbangan sub-sub sistem di dalamnya. Jauh hari fenomena tersebut telah ditegaskan oleh Heidegger melalui analisis antropologi pendidikannya yang berangkat dari titik fenomenologi yang secara terang-terangan mengutarakan bahwa sistem telah mati (Heidegger: 1999). Apa yang diutarakan Heidegger berangkat dari pemahamannya terhadap proses pendidikan yang terjadi dalam masyarakat yang kian memberi jarak antara manusia dengan kehidupan masyarakat. Manusia tidak lagi tampil sebagai makhluk yang terbuka (open being) dan terbuka terhadap dunia (being open).

Kendati demikian, pandangan Heidegger tersebut mengarah pada bentuk reformasi total terhadap tatanan pendidikan tinggi yang justru bertolak belakang dengan kondisi sosial dan tatanan Negara kita saat ini yang segala sesuatunya diikat oleh sistem. Dari sudut pandang antropologi pendidikan, hal yang harus dilakukan untuk memulihkan kembali tatanan pendidikan Indonesia selain menyandingkan ilmu pendidikan dengan paradigma kritis sebagai perkara utama juga harus melakukan reformasi kebijakan pendidikan tinggi yang tidak terlepas daripada aspek kehidupan dan kebudayaan manusia.

Proses modernisasi dalam pendidikan tinggi harus dimaknai bukan hanya sekedar menampilkan “gaya” modern pendidikan tinggi melainkan “sikap” modern dari pendidikan tinggi yang dinamis dan manusiawi. Hal tersebut dapat dimulai dengan penerapan konsep dan manajemen kebijakan pendidikan tinggi yang tidak mengesampingkan kondisi sosial dan kebudayaan manusia yang ada di dalamnya.

Konsep enkulturasi/pembudayaan, sosialisasi dan interaksi, internalisasi dan model pembelajaran berdasar pada sistem nilai masyarakat sekitar merupakan ihwal penting dalam proses pembuatan kebijakan pendidikan tinggi. Implementasi dari konsep tersebut akan mengarah pada konsep Panca Dharma Taman Siswa, filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara: “Pendidikan harus menyadari bahwa manusia adalah bagian dari Kodrat Alam, mengupayakan Kemerdekaan, memelihara Kebudayaan, mempertahankan Kebangsaan dan mengajarkan Kemanusiaan”.

0%