Oleh: Muhammad Ridha
Gedung National Of Art Iran/ Dok.Muhammad Ridha
Dia tersenyum dalam percakapan kami itu bersama beberapa peziarah dari Afganistan dan Iran. Dia menyambut hangat bahwa sikap kita yang jauh di sana justru sangat dekat dengan perjuangan Palestina. Baik pemerintahannya secara formal maupun rakyatnya. Meski sedikit nelangsa karena belum pernah bisa betul-betul membebaskan rakyat Paletina.
Kami harus segera mengakhiri diskusi singkat setelahnya. Ada banyak peziarah datang untuk menanyakan banyak hal kepadanya. Meminta didoakan olehnya atau diberikan saran-saran keagamaan untuk masalah yang dibawanya. Ada banyak yang menunggu kuliah dan kajian darinya.
Kami lupa menanyakan namanya. Wajahnya teduh dan hangat. Setelah kami berdoa bersama, kami undur diri. Saya menuju makam dan berdoa di sisi makam. Makam tempat seorang ulama besar, negarawan, politisi, ilmuwan dan pemimpin perang yang tangguh, juga pejuang anti imperialis yang mengguncang kekuasaan imperialis di tengah kedua paru abad kedua puluh. Dia menumbangkan pemerintahan Iran peliharaan imperialis. Mendirikan sebuah republik yang didasarkan oleh keadaban dan kecendekiaan para ulama dan tentu saja demokrasi. Republik yang secara terhormat sekarang diwariskan kepada bangsa Iran.
Makam ini berada di Tehran, ibu kota republik Islam Iran. Sebuah kompleks makam yang menyatu dengan masjid dan pusat kegiatan sosial, auditorium untuk konferensi ilmiah, klinik dan pusat olah raga. Juga taman yang indah. Saya menaiki kereta metro yang padat dari Istana Golestan, pusat pemerintahan dinasti Qajar Iran yang mewah (yang telah kami kelilingi selama siang sampai sorr hari). Dari stasiun langsung keluar melewati kolam dan taman menuju bangunan kompleks makam.
Makam ini dikunjungi oleh jutaan peziarah setiap tahun. Ada banyak peziarah syiah. Juga peziarah sunni. Dari Eropa, Asia atau Afrika. Dari banyak penjuru dunia. Ada begitu banyak yang mengirimkan doa dan mengunjunginya.
Sungguh kepulangan yang manis…
Sepintas, kompleks ini terlihat seperti sebuah masjid. Masjid megah, tepatnya. Tapi ini bukan masjid seperti yang sesungguhnya secara formal bisa digunakan untuk shalat Jumat. Ini adalah kompleks makam yang dibangun sebagai monumen peringatan atasnya. Atas kiprahnya memberi harapan bagi sebuah dunia baru, terutama untuk rakyat Iran, bahwa republik berdasarkan anjuran-anjuran etik agama adalah mungkin. Negara dan agama menyatu. Sesuatu yang kerap dikampanyekan oleh barat sebagai sesuatu yang buruk. ****
Tehran adalah kota yang tambun. Ada lebih dari sembilan juta orang berjejalan. Ada begitu banyak urusan ditumpuk di kota ini. Pemerintahan, politik, ekonomi, pertahanan, sosial-budaya di urus di sini. Ada begitu banyak kementerian, ada begitu banyak perusahaan, ada banyak pabrik. itulah mungkin, mengapa metro sore yang saya tumpangi menuju ke haram Imam Khomaini begitu penuh sesak. Penumpang berjejalan naik dan turun di stasiun-stasiun yang disinggahi.
Itu hanya bersi resmi sensus badan pemerintah. Kenyataannya: di siang hari ada lebih banyak lagi orang menyerbu untuk mencari penghidupan di kota ini dari kota-kota sekitar. Seperti kota-kota besar di dunia ketiga, Tehran sungguh kota yang padat.
Saya menikmati kota ini selama dua malam. Saya tiba setelah penerbangan panjang dari Jakarta-Mumbai-Muscat dan tiba di kota ini. Saya menginap di sebuah hostel, kapsul kecil yang hanya cukup untuk seorang tamu rebahan dan satu loker untuk barang bawaan. Selebihnya ada kamar mandi umum, toilet dan restoran serta ruang umum untuk baca dan ngobrol. Hostel ini berada tak jauh dari madrasah Baharistan, Istana Golestan dan National Art Museum Iran.
Pagi hari setelah istirahat, saya lari pagi sekitar hostel. Keliling wilayah ini dengan sedikit berhati-hati kalau-kalau saya berlari tanpa mengingat-ngingat dengan pasti jalan tempat saya belok, penanda apa yang menunjuknya dan seterusnya bisa berat urusan. Saya bisa tidak tau jalan pulang ke hotel dan tentu saja saya tidak bisa mengontak teman yang menjadi tour guide saya karena kuota roaming Telkomsel tidak bisa dipakai di sini. Setiap orang asing yang masuk ke Iran harus menggunakan nomor telepon dari sim card Iran. Itupun saat aktif hanya bisa beberapa fitur dan aplikasi yang aktif. Beberapa lainnya tidak bisa diaktifkan seperti Facebook atau instagram. Jadinya tidak bisa membuka dua aplikasi itu. Tapi tak apa. Tehran tetap kota yang sangat mempesona. Paduan unik antara peninggalan klasik, kesederhanaan dan upaya-upaya memodernkan ruang dan fungsi-fungsi kota. Jadinya terasa beda.
Di Tehran kita bisa merasakan berada dua tiga abad lalu, sembari melihat lanskap motor dan mobil-mobil tua seperti pemandangan kota-kota tahun 2000an awal, tapi juga sekaligus bisa merasa seperti di kota modern dengan infrastruktur transportasi, pembayaran dan transaksi menggunakan transaksi digital. Cashless, begitu katanya. Di Tehran kita bisa mengalami istana Qajar sisa peninggalan dinasti Qajar dengan ornamen yang amat mewah dan taman-taman yang indah sekaligus menikmati mal dan gedung-gedung tinggi serta transportasi modern seperti kereta listrik dan bus. Juga pencakar langit dan monumen modern. Begitulah. Sebuah kota dengan ingatan masa lalu yang panjang dan masa kini yang terhimpit di antara norma-norma etik dan aspirasi-aspirasi baru. Di antara gedung-gedung kotak tempat tinggal sebagian masyarakat di blok-blok apartemen dan masjid-masjid indah peninggalan Persia dan Islam klasik.
Salah Satu Sisi Istana Golestan/Dok. Muhammad Ridha
Rasanya hanyut ke dalam keindahan: ornamen Persia di gerbang Madrasah Baharistan, kubah dan dinding cantik di Haram imam Khomeini, atau istana Golestan yang berkalang kemewahan dari sebuah dinasti yang makan rente dari minyak Iran yang diambil Inggris! Kawan, ubin Persia, jendela kaca perca, atau langit-langit berhias kaca putih seperti memabukkan. Rasanya ini adalah perjalanan aneh ke taman istana yang asing tapi sungguh indah.
Gerbang Madrasah Baharistan/Dok. Muhammad Ridha
Selain itu semua, adalah ibukota revolusi Iran, sekaligus rumah bagi pemimpin revolusinya, Imam Khomeini. Tokoh legendaris yang teduh dan saleh. Tokoh yang konsisten memegang prinsip, asketik sekaligus juga juru kritik ekonomi politik yang handal. Beliau melawan dinasti Pahlevi yang korup dan hanya merupakan kaki tangan imperialisme. Yang hidup bergelimang kemewahan di atas rakyatnya yang menderita dan miskin. Karenanya harus tumbang agar tak lebih banyak orang Iran lagi yang dihisap oleh struktur ekonomi imperialis: rakyat Iran miskin, elit dan pengusaha kaya dengan menyerahkan sebagian besar sumberdaya kepada imperialis! ***
Pagi hari yang dikabuti dingin musim semi, saat saya lari pagi di antara National ART Museum, madrasah Baharistan dan pasar kota yang sedang bergiat, saya diberi teguran hangat berbahasa Persia oleh dua orang: seorang pemilik toko buah dan seorang sopir taxi kuning (taxi resmi tanpa aplikasi). Keduanya berusia paruh baya. Setidaknya dari tampilannya. Dia bilang: salwartun bulan bi sawin, dalam Persia.
Tau kawan apa artinya? Panjangkan lagi celananya yah. Hehehe
Imam Masjid Haram Imam Khomaini Bersama Muhammad Ridha
Saya jadi malu karena tidak mengerti peraturan publik berpakaian dan jadi menyinggung perasaan. Saya lalu merasakan nilai-nilai revolusi tidak hanya terstruktur kan transformasinya ke dalam aturan-aturan agar Iran menuju suatu tata nilai yang baik, tapi juga nilai-nilai etik meresap ke dalam kesadaran rakyat. Saya membayangkan revolusi Islam yang dipimpin Imam Khomaini baru seminggu yang lalu pecah dan nilai-nilai yang dibawanya begitu membekas.
Selamat malam, kawan. Saya menulis catatan ini di perjalanan dari kota Qom menuju Shiraz, ibukota Persia lama. Sampai jumpa besok.***
Muhammad Ridha adalah Traveler dan Pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Uin Alauddin Makassar.