Islam dan Ilmu Pengetahuan

Disampaikan Pada Acara Forum Bicara Buku di Universitas Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia

Oleh: Muhammad Ridha

Nizam al-Mulk Mosque, Shiraz/Dok. Muhammad Ridha

Semua yang harys dilakukan orang-orang seperti Copernicus adalah mengambil salah satu dari model-model Ibnu al-Shatir, dengan anggapan bahwa matahari tidak bergerak, lalu buat lingkaran bumi, berikut semua lingkaran planet-planet lainnya yang terpusat di situ, untuk berputar sebaliknya mengitari matahari… Itulah Langkah paling pertama yang diambil Copernicus dimana dia kelihatannya mengambil model geosentris yang sama seperti model yang dibuat Ibnu al-Shatir, lalu mengartikannya menjadi heliosentris jika situasi menghendakinya.

[George Saliba]

Ada banyak nilai-nilai baru yang dibawa oleh Islam ketika pertama kali muncul di ‘dunia lama’ di abad ke-7 M. Di antara yang terpenting dan membuat ajaran ini begitu mudah tersebar dan menyerap banyak umat manusia dari begitu banyak spektrum kebudayaan, wilayah geografis yang luas dan suku-suku bangsa adalah etosnya kepada ilmu pengetahuan. Kecendekiaan, menurut sebuah ayat suci, lebih mulia di hadapan Allah daripada kebodohan. Sebuah titah suci pertama dalam agama ini dikenal luas kemudian di dunia Islam sebagai peristiwa yang menggetarkan sang nabi pembawa ajaran: Iqra’, bacalah.

Dalam perkembangan sejarahnya, Islam hanya butuh waktu tak lebih dari seratus tahun untuk sampai ke seluruh batas-batas kekuasaan dunia lama yang dikuasai oleh kemaharajaan besar, Romawi dan Sasaniah. Dua kekaisaran yang terus berperang memenangkan pengaruh atas wilayah, manusia dan tentu saja pajak dari penduduk taklukannya. Saat nabi masih hidup, ajaran ini telah menguasai arabia. Semua pemimpin-pemimpin suku telah takluk di bawah ajaran ini. Beberapa tahun setelah nabi wafat, ajaran ini telah meluas jauh hingga ke magrib, wilayah Romawi dan merebut tahta Sasaniah saat sahabt nabi, Umar menaklukkan Yezdegir dan menghancurkan selamanya kekaisaran Persia yang penduduknya kemudian beralih memeluk Islam. Bahkan Islam telah sampai di Dagestan dan India. Juga barat daya Tiongkok.

Dari kebudayaan-kebudayaan lama ini, Islam menimba ilmu pengetahuan yang mendorong agama baru ini, yang pemeluknya meningkat secara drastis di satu abad pertama, membentuk sebuah kebudayaan khas. Bukan sesuatu yang sama sekali baru, tetapi diserap dari begitu banyak kebudayaan. Kata seorang ilmuwan muslim ahli Sains Islam dari Iran, Sayyid Hossein Nasr[1] Islam dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan lama dari banyak penjuru. Nasr menggambarkan seperti di bawah ini:

Ilustasi di atas menggambarkan betapa kompleks pembentukan suatu epistemology kebudayaan dan sains islam hingga hampir seluruh ‘dunia lama’ memberikan sumbangan bagi keilmuwan Islam. Mulai dari budaya Hellenis, budaya orang Sabean, Mesir, Iran, India bahkan Tiongkok. Kenyataan ini juga disampaikan oleh Jhon Freely, seorang ahli sejarah sains Islam di Universitas Marmara, Turki, dalam bukunya Cahaya dari Timur Peran Ilmuwan dan Sains  Islam dalam Membentuk Dunia Barat (2011). Islam menyerap ilmu-ilmu perbintangan dari orang Persia, Sabean atau Mesir. Juga arsitektur, metalurgi dan kedokteran. Juga sains dan filsafat Hellenis. Matematika India. Ilmu-ilmu praktis dari Tiongkok.

Sistem penanggalan pertama yang membagi jumlah hari dalam setahun menjadi dua belas bulan adalah orang-orang Mesir. Setiap bulan adalah tiga puluh hari. Dan dalam setiap tahun selalu ada lima hari yang tidak masuk ke dalam pembagian. Sistem penanggalan inilah yang diperbaiki oleh orang Hellenis dan Persia. Kemudian para astronom Islam mengambil karya-karya astronom Hellenis seperti Almagest untuk disarah, diterjemahkan lalu diberi catatan kritis. Intelektual di dunia Islam mengambil Geographic lalu kemudian diterjemahkan, disarah lalu dikritisi. Begitu seterusnya sampai begitu banyak karya-karya dari peradaban lama diterjemahkan, disarah dan diberi catan kritis hingga para intelektual Islam melahirkan karya orisinal dari menerjemah, mensarah dan memberi catan kritis itu.

Disiplin keilmuwan awal di dunia Islam adalah kesarjanaan yang berkaitan dengan yurisprudensi Islam baik dari Al-Quran maupun kitab-kitab hadis. Maka sarjana-sarjana awal adalah sahabat, tabi’in. lalu tabi-tabi’in. tidak berjauhan dengan ini, para astronom, filsuf dan saintis islam lain lahir di pusat-pusat Islam terutama di Bagdad, Andalusia, Kairo dan dunia Islam lainnya, yang kala puncaknya hingga beberapa abad setelahnya “dunia di bawah kendali Islam”.[2]

Observatorium Awal

Menurut Aydin Sayih, observatorium pertama di zaman Islam didirikan oleh Khalifah al-Ma’mun, pada tahun 828 di Sammasiya, Bagdad dan observatorium Dayr Murran di atas Gunung Qasiyun di Damaskus. Salah satu ilmuwan yang dikait-kaitkan dengan observatorium ini adalah al-Khawarizmi, yang kala itu bekerja di bayt al-Hikmah sekaligus meneliti astronomi di observatorium Sammasiya. Sementara Abi Mansur mengepalai observatorium di Damaskus. Hasil-hasil dari kerja-kerja penelitian di observatorium ini di antaranya adalah Zij, tabel-tabel astronomi. Abdul Malik al-Mawrudhi, pengganti Abi Mansyur setelah beliau wafat, berhasil menyelesaikan sebuah zij di Dair Murran juga sebuah instrument siap pakai untuk mengamati benda-benda di angkasa.

Baca juga:  Tashkent yang Cantik, yang Hangat

Instrument yang digunakan di observatorium Sammasiya dan Qasiyun adalah austolabe, gnomon, mural quadrant dan armillary spheres. Alat-alat inilah yang digunakan untuk menghasilkan zij, pengukuran angkasa seperti orbit matahari dan bulan yang berhasil dihitung oleh Abdul Malik, atau mempelajari gerakan planet-planet, menghitung ekliptika juga equinox dan panjangnya tahun tropis.[3]

Dinasti Fatimiyah di Mesir juga membiayai penelitian Abdul Rahman Ibnu Yunus untuk melakukan penelitian astronomi di Kairo. Hasil penelitian di observatorium di Kairo dituliskan dalam kitab astronomi berjudul Zij al-Hakimi al-Kabir. Di Afrika Magribi dan Andalusia juga terdapat penelitian astronomi yang kuat. Tokoh-tokohnya seperti al-Bitruji yang menulis karya astronomi Kitab fil Haya’; juga al-Idrisi seorang ahli geografi kenamaan yang dipekerjakan oleh raja Roger II di Sisilia untuk menulis buku ensiklopedi dan kitab kartografi awal yang menggambarkan bumi dan koordinat kota-kota besar di dalamnya. Kitabnya yang terkenal di antaranya adalah Kitab Nuzhat al-Mushtaq fi Ikhtiraq al-Afat dan Un-Nas wa Nuzhat al-Nafs yang ditulis untuk raja William I.

Perkembangan Berikutnya

Penelitian-penelitian astronomi terus berkembang di dunia Islam secara luas. Setelah Baghdad hancur, para ilmuwan astronomi banyak yang berpindah ke Maraga dan Tabris di mana observatorium yang dibiayai oleh pemimpin Mongol yang menjadi seorang muslim, Hulagu Khan. Hasil-hal dari penelitian di Maraga menghasilkan karya tulis yang Zij-I Ilkhani yang ditulis oleh Nasiruddin al-Tusi. Pemimpin observatorium Maraga ini juga menulis buku Tadhkira fi ‘ilm al-Haya’. Di sebelah timur laut laut Kaspia, setelah berdiri kekhanan mongol lain yang berkuasa di Uzbekistan dan sekitar Asia Tengah serta beberapa wilayah lain juga mendirikan observatorium di Kuhik, Samarkand. Observatorium ini baru saja ditemukan kembali oleh arkeolog beberapa dekade lalu. Meski bentuknya tak sempurna lagi karena usi dan karena bencana alam, tapi masih jelas alat utama observatorium tersebut untuk mengukur hari dan waktu yang dihabiskan matahari dalam setahun. Dari sini penelitina astronomi menghasilkan Zij Jadidi Ko’Regoniy yang dianggap sangat berpengaruh kepada dunia sains eropa abad berikutnya yang mulai merintis revolusi sains. Tokoh utama di balik penelitian-penelitian di sini adalah seorang pangeran, cucu pendiri kesultanan Timurid, Ulugh Beg. Tabel astronomi yang dikembangkan di sini adalah table astronomi yang paling banyak mengukur koordinat bintang-bintang di angkasa melampaui Ptolomeus. Yang menarik juga adalah Ulugh Beg disetarakan di Eropa dengan para ahli astronomi dunia yang paling menonjol seperti dipajang di observatorium Urania. Bahkan observatorium di Eropa yang didirikan untuk penelitian-penelitian yang mendorong revolusi sains di Eropa meniru bentuk observatorium yang dibuat oleh Ulugh Beg di Samarkand.

 Zij Jadidi Ko’Regoniy karya Ulugh Beg di Museum Ulugh Beg, Samarkand/Dok. Muhammad Ridha

Ketika penulis mengunjungi Samarkand selama musim panas pada agustus 2023 dan musim dingin di 2024, lokasi observatorium di Kuhik ini telah diubah menjadi museum arsitektur mini di mana miniatur utuh observatorium ini dipamerkan, alat-alat yang digunakan dan perkembangan-perkembangan terkini dari dunia astronomi yang telah diraih oleh republik Uzbekistan, negeri di mana Samarkand menjadi bagian darinya. Di museum ini juga ditunjukkah berbagai lukisan para pemimpin dinasti Timurid, peta kekuasaan ekspansi kesultanan Timurid serta posisi kota ini jalur sutra yang menghubungkan Eropa dan Tiongkok. Juga termasuk bola dunia dan alat yang diciptakan dari ‘Tusi couple’.

Di kesultanan Utsmani juga sains berkembang pesat. Pada puncaknya di abad ke-16 di era Mehmed, sultan yang menaklukkan konstantinopel dari Byzantium dan mendirikan kota Istanbul, didirikan observatorium Utsmani yang dipimpin dipimpin oleh Taqiuddin, seorang astronom Islam sejawah tokoh revolusi sains di Eropa, Tycho Brahe. Observatorium ini hanya beroperasi sebentar sebelum akhirnya, pada tahun 1580 dihancurkan atas perintah Sultan.

Ketika kesultanan Timurid mundur dan warisan-warisannya terpecah-pecah menjadi kegubernuran kecil karena ketiadaan penerus yang memiliki kepemimpinan sekuat pendirinya, Timur Lenk, gairah sains berpindah ke selatan di anak benua India dimana seorang keturunan Timurid Bernama Babur, mendirikan dinasti Mughal yang pada abad ke18 menggiatkan Kembali penelitian astronomi dari beberapa observatorium yang didirikan dan dioperasikan terutama dengan mengikuti katalog buatan Ulugh Beg, Zij Jadidi Ko’Regoniy. Observatorium Mugal setidaknya didirikan dilima tempat, yakni di Jaipur, Delhi, Benares, Ujayyin dan Mathura.

Baca juga:  Harta Karun di Escurial dan Kenangan Sains Islam

Institusi Pendidikan Islam

Salah satu yang paling menonjol dalam kemunculan peradaban Islam masa-masa formatif, adalah etos pelembagaan pendidikan yang tinggi di madrasah-madrasah yang jumlahnya sangat besar. Untuk hal ini, islam punya sejarah dan kisah yang bisa disebutkan amat panjang dan mencakup wilayah-wilayah yang sangat luas dari ujung Afrika hingga ke Kaukasus atau dari Kordova hingga ke India. Di antara yang paling menonjol dalam sejarah mungkin bisa disebutkan seperti Madrasah al-Qarawiyyin (859) di Fez, Maroko saat ini, Al-Azhar (970) di Kairo, Nizamiyah (1065) di Bagdad, Mustansiriyah (1233) di Bagdad dan tempat-tempat lain di dalam darul Islam. Semua institusi pendidikan tinggi ini secara umum lebih tua dari institusi pendidikan tinggi di Eropa.

Sebagai contoh Universitas Al-Qarawiyin, yang didirikan tahun 859 di Fez, sebuah kota Islam yang maju di Afrika Utara adalah Lembaga Pendidikan tertua di dunia yang masih beroperasi hingga kini.[4]Didirikan oleh seorang wanita salehah bernama Fatima al-Fihri, lembaga pendidikan ini telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan dan intelektual terkemuka yang berkiprah di dunia Islam juga di Eropa. Tokoh terkemuka alumni al-Qarawiyyin mewakili daftar nama beberapa pemikir terbesar di dunia Islam abad pertengahan. Pada abad ke-12 cendekiawan Yahudi, Maimonides- filsuf Yahudi terkemuka pada abad pertengahan dan pernah menjadi dokter di rumah tangga Salahuddin- belajar di sini, bersama dengan guru terhebat, Ibnu Arabai- mistikus, penyair dan filsuf Andalusia. Ibn al-Khatib- Polimatik Granadan, penyair, sejarawan, dokter, politikus dan orang yang diasingkan – datang ke Qarawiyyin pada abad ke-14 bersama koleganya yang juga penyair dan politikus Andalusia, Ibnu Zamraq dan Ibnu Marzuq, pengarang Maroko yang mengagungkan dirinya dalam hagiografi The Correct and Fine Traditions -About the Glorious Deeds of Our Master Abul Hasan (memerintah 1331-1351). Ibnu Khaldun – sejarawan perintis, ahli sejarah, dan penulis Mukaddimah sejarah universal yang mendobrak sejarah, bapak sosiologi, pecandu politik – menjulang tinggi di antara rekan-rekannya di abad ke-14.[5]

Al-Qarawiyyin tidak hanya menjadi perguruan tinggi terkemuka di dunia Islam, tetapi juga lembaga pendidikan yang menjadi media penghubung kebudayaan antara dunia Islam dan Eropa. Banyak di antara ilmuwan muslim dan Eropa lainnya menempuh pendidikan formalnya di sini atau sekedar datang untuk belajar singkat seperti yang pernah dilakukan oleh penasehat raja Roger II Sisilia, seorang kartograf besar era klasik, al-Idrisi. Jarak yang dekat dengan Andalusia menjadikannya lebih terhubung secara intens dengan dinamika intelektual, politik dan kebudayaan di Eropa tetapi juga tidak terlepas dari kebudayaan Islam.

Sementara itu Universitas Nizamiyah didirikan oleh Nizam al-Mulk, wasir di dinasti Abbasiyah di Bagdad. Di kampus ini, Al-Gazali, intelektual, ahli fiqh, sufi dan filsuf moral di dunia Islam pernah menjadi rektornya. Salah satu intelektual yang dianggap mematikan gairah berfikir di dunia Islam karena menetapkan pintu ijtihad yang teramat sulit dilewati karena syarat-syaratnya yang rumit dan sulit dipenuhi. Dia berpolemik dengan Ibnu Rusyd  filsuf di dunia Islam terutama mengenai problem-problem filsafat[6]. Universitas Mustansiriyah juga memerankan proses transformasi penting di dunia Islam. Perguruan tinggi ini didirikan oleh sultan terakhir dinasti Abbasiyah sebelum dinasti ini hancur oleh serangan Mongol.Kampus ini meski pernah berhenti beroperasi karena bebagai macam persoalan yang melanda kota Bagdad dan kesultanan Abbasiyah, tetapi saat ini di Irak modern kembali diaktifkan sebagai Universitas modern.

Di Mesir, Universitas Al-Azhar memberi peran besar dalam kehidupan modern dan transformasi pengetahuan di Mesir dan dunia Islam kontemporer. Perguruan tinggi ini telah beroperasi secara terus menerus lebih dari seribu tahun dan masih terus mencetak sarjana-sarjana dan intelektual terkemuka dunia Islam. Baik untuk kajian ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu umum. Perguruan tinggi ini dibangun pertama kali oleh dinasti Fatimiyah, lalu berpindah-pindah pengelolaan di bawah dinasti-dinasti yang berganti menguasai Mesir mulai dari Ayyubiyah, Mamluk hingga Utsmaniah.

Baca juga:  Bolshevik Membela Kekhalifahan Islam,Imperialis Menghancurkannya

Lembaga-lembaga pendidikan ini sebagian lebih dulu berdiri dari kampus-kampus tertua di Eropa seperti Oxford, Bologna, Cambridge dan yang lain[7]. Beberapa perguruan tinggi di atas hanya sebagai representasi dari girah penemuan etos utama dunia islam untuk menuntut ilmu dan mengembangkan Pendidikan sebagai perangkat peradaban. Pada kenyataannya, kota-kota dunia Islam tercatat memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang berjumlah besar. Setiap dinasti atau kesultanan-kesultanan Islam di banyak wilayah dunia Islam membangun sarana-sarana pendidikan seperti madrasah, perpustakaan, pusat penerjemahan atau pusat studi (observatorium untuk studi astronomi atau pusat studi hadis, dll). Kampus-kampus yang disebutkan ini juga di dalamnya terdapat pusat-pusat studi, perpustakaan-perpustakaan besar dan penunjang-penunjang lain pembelajaran.

Gerbang Sebuah Madrasah di Bukhara/Dok. Muhammad Ridha

Gambaran tentang luas dan besarnya jumlah lembaga pendidikan bisa dilihat dari banyak kota-kota islam saat ini yang masih menyimpan warisan klasik institusi-institusi semacam itu. Kota Bukhara dan Samarkand mungkin bisa menjadi contoh menarik bagaimana sebuah kota kecil yang ditopang oleh puluhan madrasah, perpustakaan dan observatorium yang amat berpengaruh. Di antara warisan-warisan tersebut masih ada yang berdiri dengan utuh Gedung-gedungnya dan ada juga yang telah rusak atau bahkan hilang sama sekali dan hanya ada dalam catatan sejarah.  Di Bukhara misalnya sampai saat ini bangunan-bangunan madrasah dengan mozaik-mozaik ubin biru tosca atau hijau muda Persia masih berdiri. Di antaranya adalah madrasah Ulugh Bek, Mir Arab madrasah, Nadir Divan Begi madrasah, Modarykhan madrasah, Kukeltash madrasah dan yang lain yang menjadi bagian dari lebih dari 140 bangunan lama di kota tua tersebut. Madrasah ini biasanya sekaligus juga adalah sebuah masjid atau sebaliknya masjid tetapi difungsikan juga sebagai madrasah. Samarkand juga menyimpan banyak sekali tinggalan bangunan, dokumen dan sisa-sisa era klasik Islam. Beberapa di antaranya adalah madrasah-madrasah seperti Ulugh Bek, Registan Square, atau Sherdor madrasah atau Tilya-Kori madrasah yang datang dari era klasik islam yang dipulihkan dan telah diakui UNESCO sebagai warisan dunia pada tahun 2001 sebagai cross culture city. Bahkan di abad ke-14 kota ini menjadi pusat pencerahan Islam yang berpusar pada dinasti Timurid. Karenanya renaisans yg berpusat di sini disebut renaisans Timurid[8].

Refleksi

Apa yang ditunjukkan dalam kelahiran peradaban Islam ke panggung sejarah dalam konstalasi dunia lama lalu kemudian memberi pembaharuan nilai-nilai bisa dilihat sebagai hasil-hasil logis dari upaya-upaya menyejarah dari proses kerja intelektual dan ilmuwan dunia Islam mempelajari, menerjemahkan, mengumpulkan karya-karya lama, lalu mengkritisi serta menulis karya-karya orisinil. Lalu dalam perkembangannya karya-karya yang lahir dari aktifitas tersebut, dari aktifitas penunjang lainnya telah menyebabkan dunia islam dipenuhi dengan girah sains yang menerangi dunia. Kampus-kampus dan pusat-pusat penelitian di dunia Islam mungkin belum seunggul posisinya dahulu di masa keemas an, tetapi jika kita melihat beberapa kampus di dunia Islam seperti yang terutama Malaysia, University Malaya salah satu dari kampus terbaik dunia dalam kategori 100 kampus terbaik. Terbaik di Asean untuk urutan yang ketiga. Sebuah asa benderang. Semoga segera, dari sudut dunia Islam yang jauh, di Asia Tenggara, terang itu kembali lagi kepada kita. ***

Muhammad Ridha adalah Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar dan Ketua Program Studi Agama-agama.

Referensi

[1] S.H. Nasr Islamic Scence an Illustrated Studi (USA;World of Islam Festival Publishing Company Ltd;1979)

[2] Tamim Ansary Dari Puncak Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam (Jakarta:Baca:2016)

[3] Lihat John Freely Cahaya dari Timur Peran Ilmuwan dan Sains Islam dalam Membentuk Dunia Barat (Jakarta: Elexmedia Komputindo; 2011) Hal. 126

[4] Medina Fez dalam situs UNESCO.

[5]Justin Marozzi Islamic Empires Kota-Kota Yang Membentuk Peradaban: dari Makkah hingga Dubai (Jakarta:Republika Penerbit: 2024) Hal. 220-221

[6] Ziauddin Sardar Kembali ke Masa Depan Syariat Sebagai Metodologi Pemecahan Masalah (Jakarta: Srambi Ilmu Semesta; 2005) Hal. 82

[7] Dr. Abdul Halim Muntashir Sejarah Ilmu Pengetahuan Kontribusi Penting Muslim pada Zaman Keemasan Islam (Jakarta: Alvabet2023) Hal. 355

[8] Justin Marozzi Islamic Empires Kota-Kota yang Membentuk Peradaban: dari Mekkah hingga Dubai (Jakarta: Republika Penerbit:2024) Hal. 249

0%