Oleh: Muhammad Ridha
Penginapan di Rawa Bokor ini tempat persinggahan sementara sebelum besoknya (hari ini) melakukan perjalanan dengan penerbangan panjang yang lama karena musti singgah di dua bandara negara lainnya sebelum tiba di Teheran, Iran. Penerbangan normal dengan flight direct mungkin hanya akan menghabiskan waktu 9 atau 10 jam. Tapi Indonesia ke Iran belum ada penerbangan langsung. Semua harus transit di negara yang punya penerbangan langsung ke Iran seperti Turki, Oman atau UEA. Jadinya saya, di penerbangan ini, harus singgah di Mumbai, India dan singgah setengah hari di Muscatt, Oman.
Ini adalah penerbangan internasional saya terlama. Harus ditempuh selama 30 jam (Ditambah waktu singgah). Dulu pernah selama empat belas jam, pernah juga selama 11 atau 16 jam. Ketika ke Khazakstan dan ke Istanbul. Kali ini jadinya sedikit lebih melelahkan, mungkin. Tapi tak apa. Lagi pula ini adalah harga yang harus saya bayar karena memilih penerbangan dengan pesawat kelas ekonomi yang sedang memberi promo murah. Jadinya ribet. Begitulah. Sebagian besar dari kita hanya punya diri kita dan waktu. Sementara sebagian kecil lainnya mungkin sedikit waktu tapi lebih banyak sumberdaya. Karenanya bisa beterbangan ke manapun dengan cepat tapi dengan harga yang tentu saja aduhai.
Kawan, saya berencana keluar dari Mumbai untuk melihat sebentar kota Mumbai. Tapi takut skim. Saya punya pengalaman buruk di India meski saya selalu menyimpan kerinduan untuk kembali lagi ke sana kelak. Dua tahun lalu saya harus segera meninggalkan India menuju Asia tengah agar bisa menghindari makanan dan lingkungan India yang mungkin akan membuat saya sakit perut berkali-kali. Saya juga dua tiga kali ditipu selama di Amritsar dan Delhi. Dan jadilah saya meninggalkannya lebih cepat dari jadwal yang saya rencanakan sebelum berangkat. Kemungkinan yang lebih asyik mungkin bisa lari pagi di Muscat atau keliling kota Muscat sembari menunggu penerbangan lanjutan. Semoga diberi kemudahan…***
Saya meninggalkan penginapan di Rawa Bokor siang hari dengan motor yang melayani ojek secara online menuju terminal 2F untuk melakukan check in dan merasakan mengular di depan counter check in maskapai. Tapi sebelumnya saya sempat lari pagi masuk ke belakang jalan-jalan besar bandara sembari melihat denyut kota di tepian luar Jakarta.
Koleksi pribadi/Muhammad Ridha
Sambil mendengar lagu-lagu Betawi mengalun dari radio kecil penjual gorengan. Juga sambil singgah mengecap bubur ayam Bandung yang justru dijual oleh Mas Tono dari Klaten! Lari pagi ini juga menunjukkan sisi lain dari gemerlap sebuah ibukota.
Bubur Ayam Bandung yang di jual Mas Tono/Koleksi Pribadi Muhammad Ridha
Saat semalam ada pesta, saat orang-orang berlalu lalang melintasi Rawa Bokor menuju keluar dari bandara atau datang ke bandara dan akan terbang entah kemana, pagi harinya rakyat di kampung-kampung rawa ini terbangun dan mulai lagi hari baru: bekerja dan banting tulang lagi!
Kawan, kali ini saya terbang dengan Indigo dan Salam Air. Yang satunya maskapai internasional dari India dan satunya lagi dari Oman. Ada banyak orang di depan counter. Ada tiga counter tersedia tapi hanya ada satu counter yang dibuka. Jadinya harus ngantri lama. Tapi mari kita nikmati… ini awal mula sebuah perjalanan ke barat. Ke Persia, pusat imperium dunia lama. Kekuatan peradaban yang sungguh besar dan punya sejarah malang melintang mengisi rentang waktu yang panjang. Wilayah dan manusia dengan peradaban yang menjuntai jauh ke belakang dan mengingatkan kita kepada kisah-kisah Agung: Cyrus, Rustam, Alexander Agung, Umar bin Hattab, Imam Ali, Kisah seribu Satu Malam atau malah Harun Al Rasyid, sang khalifah di kemewahan dinasti Islam Abbasid tapi memilih dimakamkan di Masyhad, Iran.
Atau mungkin Umar Kayam, Ibnu Sina di Hamadan, atau Maragha Mongol di Azerbaijan, atau Fariduddin Attar dan burung Simurgnya di buku syair puitiknya yang indah Musayawarah Burung. Buku-buku di masa lalu telah memberi bayang-bayang nama-nama dan peristiwa, mengenai monumen dan waktu yang membekas lama, tentang waktu yang terbang jauh tapi ingatan terus mengajaknya kembali sejenak.
Saya sudah terbayang Syahrazad dan atau Syahzaman dalam ‘kisah seribu satu malam’ di buku bacaan anak saya yang peristiwa utamanya dikisahkan berlatar Persia. Wilayah luas yang dulu meliputi Irak, Iran, sebagian Suriah sebagian Asia Tengah juga Afganistan. Baru belakangan, wilayah Persia di Asia Tengah yang disebut mawar an nahar, wilayah di antara dua sungai, atau sebagiannya disebut Kurasan, bercampur dengan Mongol dan Turkik yang turun dari dataran tinggi Kirgizstan.
Saya terbayang-bayang sudah berada di peradaban paling awal yang mengenal sistem huruf dan literasi. Peradaban yang menulis dengan huruf paku jauh sebelum agama baru seperti Yahudi, Kristen dan Islam datang bergantian memasuki wilayah ini. Saya sudah terbayang Rostam yang patungnya dipahat sedang di atas kudanya menghadapi Raja Romawi yang dia kalahkan dan Pilip si Orang Arab tunduk menyembah kepadanya.
Saya sudah membayangkan berada di peradaban yang pertama kali menggunakan roda untuk keretanya, pertama kali menggunakan anak panah yang ditarik dan bertumpu di bahu, raja di raja zaman perunggu, tempat api abadi pertama-tama dijadikan petanda monoteisme baru, zaratustra.
Mungkin saya akan ke Isfahan, kota yang disebut oleh ahli sejarah sebagai “separuh dunia”. Bayangkanlah bagaimana spesialnya sebuah kota yang setara dengan separuh dunia yang luas ini! Atau ke Masyhad, tempat Imam Ridha juga Harun Al-Rasyid dimakamkan, atau ke Hamadan, tempat Ibnu Sina, sang filsuf, dokter, ilmuwan, matematikawan, ahli perbintangan, sufi dan professor Islam dalam arti yang paling baik dari kata yang baru disemat-sematkan ke orang-orang yang dianggap cendekia secara akademik belakangan. Saya membayangkan menemui kembali observatorium Maragha, monumen kebangkitan kembali sains dan peradaban Islam setelah serangan Mongol. Dan lagi. Dan lagi. Ada terlalu banyak nama, ada terlalu banyak kota, ada terlalu banyak peristiwa penting berjejal di kepala. Meski tentu saja pengetahuan kami amat sedikit, tapi cahaya peradaban dari sini, terlalu terang untuk tak diketahui bahkan oleh penulis yang tinggal nun di ujung dunia Islam di tenggara anak benua India ini.
Begitulah. Anak lorong yang fakir ilmu tapi selalu haus kebijaksanaan mencoba mengingat-ngingat. Mencoba merefleksikan ulang ukiran-ukiran paku di atas buku yang disebut tablet dua ribu lima ratus tahun lalu melalui buku-buku arkeologi dan sejarah yang menafsirkannya.
***
Saat pesawat yang mengangkut saya terbang ke angkasa menuju Anak benua India, di ibukota ekonomi India, Mumbai, daratan menjadi kecil. Kota-kota, kampung halaman, lautan rasanya hanya seperti titik pijak untuk pergi mengangkasa. Kawan, perjalanan kecil ini saya harapkan memberi berkah. Menambah khazanah, terutama bagi saya, al-fakir, agar hidup tidak melulu menjadi hitungan benda-benda. Kita butuh benda-benda sebagai asupan itu semua untuk mengarungi hidup. Tapi itu sungguh tak cukup. Kita membutuhkan kisah. Nyawa di belakang peristiwa dan benda-benda, dan orang orang, dan apapun itu. Dunia manusia diberi makna karena itu. Tanpa kisah, yang karenanya akal budi dihaluskan, tindakan dihitung baik, keinginan-keinginan diberi batasan, rasanya dunia menjadi gelap. Dan, kawan, kisah-kisah itu akan lebih mengalir dan hidup dari perjalanan-perjalanan dan pengalaman.
Karena itulah perjalanan ini, dari Rawa Bokor hingga ke Teheran dan balik lagi ke kampung halaman, saya tempuh. Semoga ada ibrah datang setelahnya. Semoga tumbuh kebijaksanaan dan kasih sayang yang sungguh dibutuhkan bagi dunia yang kalut dan amburadul yang kita hidupi saat ini. Semoga, seperti juga Rumi sang sufi, berjalan dari Balk ke Naisabur, ke Damaskus atau ke Konya dan merasakan getaran batin yang melahirkan karya-karya liris, perjalanan ini juga demikian. Menggetarkan. Menggerakkan. Seperti Ernesto di Amerika Latin yang berkeliling dan berupaya memahami realitas. Dan dari situ, letupan Kuba menjadi lebih besar.
Billahi taufiq wal hidayah. Seperti doa-doa penutup salam dari orang-orang di podium dan mimbar-mimbar, saya juga memanjatkannya. Saya tak pernah ada artinya apa-apa selain dari taufiq dan hidayah yang diberikan kepada saya. Wallahualam bi sawab.***
Muhammad Ridha, traveler dan pengajar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar