Lapis-lapis Waktu di Kota Shiraz

Oleh: Muhammad Ridha

Gerbang di Persepolis/Dok. Muhammad Ridha

Waktu menunjukkan jam 8 pagi saat bus yang kami tumpangi dari kota Qom ke kota Shiraz berhenti di terminal Karandhis, pinggiran kota Shiraz yang bersejarah. Kami turun dari bus dengan segar karena perjalanan panjang selama tiga belas jam kami habiskan dengan tidur sepanjang malam. Benar-benar banyak tidur. Terbangun sebentar. Liat keluar. Tertidur lagi. Dan tau-tau, bus yang berlari kencang di atas jalan-jalan antar kota yang sungguh lebar dan mulus di negeri yang disebut barat sebagai negeri miskin atau dunia ketiga atau terbelakang atau yang lain lagi yang konotasinya buruk, kami sudah tiba.

Saat kami turun matahari bersinar terik tapi sungguh lembut menyentuh permukaan kulit. Angin pagi masih sejuk. Kami langsung mencari jalan keluar terminal untuk mencari angkutan menuju tujuan kami yang paling penting mendatangi kota ini: Naqsy e Rostam, Cyrus Tomb dan Persepolis. Warisan dinasti Aciemenid dan Sasaniah yang masyur di dunia lama menguasai seperempat dunia lama dan hanya, kira-kira, bisa disepadankan dengan kekaisaran Romawi! Bahkan mengalahkan Romawi, seperti relief Sapur I menghadapi Kaisar Romawi, Valerianus yang dia tawan dan bersujud di hadapan kudanya serta Pilipus Si Orang Arab yang berdiri di dekatnya. Saya takjub melihat relief di bukit kapur ini. Tapi biarkan saya lanjut cerita perjalanan saya dulu di terminal, kawan yah.

Kami mula-mula cuci muka di westafel toilet terminal. Lalu keluar mencari kopi. Saya dan Syaip ngopi di sebuah kedai tepi jalan yang penjualnya punya mesin ekspreso besar tapi tidak bisa membuat late. Kami akhirnya minta ekspreso lalu kami campur susu kotak murni. Nampaknya mesin kopi ini digunakan hanya untuk menyiapkan air panas setiap saat untuk seduhan yang membutuhkan air panas. Juga sedikit tambahan untuk membuat ekspreso. Penjualnya adalah seorang lelaki muda bernama Reza. Dia sangat bersemangat menanyai kami siapa juga asal negara kami dan begitu senang mengetahui bahwa kami dari Indonesia. Lalu cuapcuap macam-macam dan minta foto. Dia tidak mengerti bahasa Inggris. Hanya Persia. Untungnya teman perjalanan saya seorang mahasiswa yang sudah lima tahun di Iran dan fasih berbahasa Persia. Jadinya sebuah pagi di depan terminal yang hangat dan ramai dengan candaan Reza dan Syaip. Saat kami berfoto seorang penyapu jalan kami panggil bergabung di dalam selfie group kami. Jadinya empat wajah di dalam hasil foto di layar handphone saya.

Kami meminta izin mengisi daya baterai handphone yang baterainya makin melemah karena jalan dengan bus tanpa colokan yang cocok untuk handphone tua saya. Sembari ngecarge kami minum kopi dan makan roti. Sambil foto-foto kota Shiraz yang pertama kali saya kunjungi. Sambil duduk santai menghela-hela nafas, mencatat beberapa hal, lalu mengambil foto dengan kamera yang saya bawa, lalu mencari snapp untuk pergi ke tujuan kami di Pasargadae dan situs-situs di dekatnya. Setelah beberapa saat aplikasi snapp kawan saya menemukan driver.

Saat mobil taxi yang kami pesan datang, kami langsung minta izin kepada Reza sembari naik ke mobil sedan tua merk lokal berwarna abu-abu yang ternyata bisa dipacu cukup kencang. Jarak kota Shiraz ke pasargade sejauh 120 KM dan kami menempuhnya sekira 1,5 jam. Dalam perjalanan, Salman, sang driver yang juga seorang sarjana sejarah dari Shiraz University menjelaskan situs-situs yang akan kami tuju. Batu-batu yang digunakan di Cyrus Tomb di Pasargade dengan lubang di tengahnya sebagai pengunci, dikatakannya berasal dari sebuah bukit di sebelah kiri jalan kami. Dia singgah memotret dan memperlihatkan kepada kami lubang tengah batu-batu yang ada di atas bukit. Sementara batuan lebih tua sebelah kanan sedikit lebih jauh dari tempat pertama dikatakannya adalah tempat pengambilan batu-batu pualam untuk bangunan di Persepolis. Dikatakannya pula dengan sedikit kocak dan agak sombong: “jika ada yang ingin kau tanyakan tentang apa saja di dalam situs yg kita datangi ini, saya akan menjawab lebih dari buku-buku akademis mengenai tempat ini. Saya adalah seorang yang lahir dan besar di Pasargadae” katanya. Kami tertawa terbahak-bahak mengetahui kesombongan driver kami ini.

Muhammad Ridha bersama Sopir Salman dan Syaip/Dok. Koleksi Pribadi

Kami melanjutkan perjalanan. Salman yang berpenampilan brewok dengan rambut lusuh dan lebih panjang, janggut dan kumis dibiarkan panjang sambil mengobrol dengan Syaip. Atau sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Sesekali dia menyela saat kami salah mengira apa yang kami lihat. Seperti ketika kami menyebut padi di saat melihat ladang gandum. Dia bilang lebih lanjut “Shiraz adalah penghasil gandum yang cukup tinggi di Iran. Sayangnya delapan tahun terakhir produksi menurun karena hujan seringkali tak turun. Itu menyebabkan air tanah makin turun ke bawah dan bagian atas tanah mengering. Tidak baik menumbuhkan gandum” katanya dalam Persia yang saya mengerti tentu saja setelah diterjemahkan oleh Syaip.

Kawan, selain bergembira melewati ladang-ladang gandum dan bukit kapur. Saya melihat pemandangan yang sedikit menyejukkan. Sebelumnya saya hanya melihat bukit kapur dan padang pasir yang luas, atau padang savana dengan sedikit rumput dan pohon-pohon kecil. Di sini saya melihat pemandangan hijaunya ladang gandum di lembah dan di ujungnya bukit-bukit kapur coklat. Hijau coklat. Saya senang memandanginya. Di kampung halaman di Indonesia, terutama di desa, pemandangan hijau cukup luas. Padi dan hutan masih ditumbuhi hijauan. Meski sebagiannya telah rusak. Tapi pemandangan umumnya adalah warna hijau. Di sini hijau, coklat dan biru tua terang di langit. Jadinya: suatu pemandangan pagi yang bermandi cahaya matahari dengan warna-warna yang indah.

Baca juga:  Ada Revolusi Dalam Lagu Makassar?

Kawan, saya sedang berjalan-jalan di antara wilayah-wilayah istimewa kekaisaran Persia. Atau wilayah-wilayah yang menjadi bagian dari darul Islam di masa Kulafaur Rasyiddin, atau pusat-pusat kekuasaan Abbasid, kekaisaran Islam yang sering diceritakan melahirkan sebuah masa keemasan peradaban Islam. Semua kekaisaran yang disebut ini tidak berpusat di kota ini. Tetapi menjadikan kota Shiraz sebagai kota yang istimewa. Kekaisaran Achaemenid membangun ibukotanya di Pasargadae di mana makam Cyrus berada. Kekaisaran Persia juga diperkirakan menjadikan Persepolis, sebuah situs enam puluh kilometer di timur laut kota Shiraz sebagai tempat upacara dan perayaan besar kerajaan. Atau mungkin sebuah bangunan penyambutan. Di bagian depannya sebuah gerbang tinggi dikenal sebagai gerbang bangsa-bangsa.

Selain itu, kota Shiraz juga menjadi istimewa karena dua kesultanan Islam pasca Mongol menjadikannya ibu kota. Dinasti zandie, dengan warisan-warisan arsitektur yang masih berdiri saat ini dan menjadi situs-situs utama di dalam kota Shiraz seperti Karim Khan Citadel, Karim alhamdulillah Madraseh, Nasir Al-Mulk Mosque dan bangunan pasar besar kuno yang dikembangkan lebih maju oleh dinasti Zandie, vakil Mosque atau Vakil Bazar. Pasar indah di tengah kota dengan arsitektur dan teknik pembangunan kuno tetapi dengan bentuk dan struktur yang masih terus lestari dan relevan hingga kini. Juga dinasti Qajar sebelum memindahkan ibukotanya ke Tehran.

Kota ini juga memiliki dua sastrawan besar, juga mistikus dan filsuf besar abad ke-13 dan 14, Sa’di dan Hafez al Shirazi. Dua tokoh yang syair-syairnya dilantunkan di musoleum dan kompleks makam keduanya yang dikunjungi oleh begitu banyak orang setiap harinya untuk berziarah atau berwisata. Kepada dua sosok ini era baru rekonstruksi Persia pasca serangan Mongol amat sulit dilepaskan dari namanya. Juga seorang ilmuwan besar zaman baru setelah observatorium Baghdad hancur, Qutbuddin al-Shirazi, seorang kepala observatorium Maraga, simbol pulihnya kembali etos keilmuwan Islam.

Makam Hafez/Dok. Muhammad Ridha

Dalam kunjungan kami ke Makam Hafez, syair-syair yang dilagukan sebagai latar dan musik pengiring taman-taman, makam, perpustakaan juga cafe di kompleks ini menjadi begitu menggetarkan dan syahdu. Sebuah potongannya kira-kira begini:

“Ya Tuhan, oh Shiraz, kota yang indah ini jagalah dengan nama-Mu (al-Hafidz), tidak ada waktu yang bisa menjaga momen keindahan Shiraz kecuali engkaulah sang maha penjaga”.

***

Cyrus tomb seperti menyembul di antara hamparan hijau ladang gandum. Berdiri di hadapan jalan yang menghubungkan situs ini dengan jalan raya. Tampak megah. Sekitar satu kilometer ke arah utara, bekas gedung istana, juga karavansarey berdiri. Sebagian masih utuh tetapi sebagian besarnya telah hancur. Gempa berkali-kali dalam rentang lebih dari 2500 tahun adalah kekuatan yang sangat cukup menghancurkan peradaban-peradaban yang dibangun dengan monumen-monumen besar, seperti di sini. Gempa telah menumbangkan tiang-tiang pualam, merusak tekstur dan relief batuan, juga menyamarkan fungsi-fungsi dari timbunan material yang masih menjadi misteri dari sebuah puzzle bagi ilmu pengetahuan untuk disusun kembali seperti bentuknya yang indah di masa lalu.

Situs seluas 160 Ha ini adalah warisan dari dinasti Achaemenid, kekaisaran Persia kuno. Di sinilah ibukota kekaisaran multikultural pertama di Asia Barat. UNESCO menetapkannya menjadi warisan dunia pada tahun 2004 karena memiliki warisan budaya universal.

Mobil Salman parkir tepat di depan pagar dan pos pembayaran untuk memasuki lokasi situs. Kami bersyukur karena masuk dengan biaya sebagai pelajar Iran. Jauh lebih murah daripada tiket untuk turis. Di dalam kompleks ada dua kumpulan situs yang berdekatan. Yang satu adalah makam Cyrus Agung yang berdekatan dengan bangunan tempat persinggahan (caravan seray) dan tempat kedua yang terdiri dari tiga kumpulan bangunan dan tumpukan materialnya yang masing-masih masih sedang diteliti oleh para arkeolog untuk mencoba mereka kembali bagaimana wujud bangunan lamanya dulu.

Muhammad Ridha di Situs makam Cyrus Agung, Pasar Gadae/dok. Koleksi Pribadi

Tak begitu lama saya di dalam kompleks lalu keluar. Menuju ke mobil carteran kami. Berangkat mencari makan siang. Kami singgah di sebuah restoran di dekat pertigaan jalan raya Pasargadae. Sebuah rumah makan dengan menu utama akbari dengan nasi, kecap dari fermentasi buah delima dan sewadah kecil salad shirazi dan setengah ekor ayam kampung. Rasa ayam gorengnya benar-benar nikmat diselingi dengan selingan kecut salad shirazi. Wuih. Maknyus pokoknya. Makan siang kami bertiga ditutup dengan sebotol limun bersoda. Nyamnyam.

Kami melanjutkan perjalanan ke Naqsy e Rostam. Sebuah tebing batu kapur yang diukir dengan relief raksasa mengenai momen-momen penting kekaisaran sasaniah dan kekaisaran Persia sebelumnya. Relief yang terbilang besar. Yang paling ikonik adalah Sapur I menaklukkan kasian Romawi, Valerianus yang ditawan dan Philip si Orang Arab di dekatnya. Sapur di atas kuda dengan dua Romawi tersebut di bawah. Satu orang bersujud di hadapan Sapur I dan satunya berdiri. Relief ini memceritakan kemenangan sasania dalam perang dengan Romawi di abad ke-3 M. Ada juga relief lain yang sama besar dan kolosalnya. Semua ada 9 panel di tebing. Ukurannya tinggi 3 meter dan lebar 7 meter. Sebuah maha karya yang memberi rekaman bagaimana zaman kuno digambarkan dari pihak Persia. Situs ini sebenarnya berada di Provinsi Fars di wilayah Parsa. Tetapi wisatawan sering menautkannya dengan Shiraz karena jalur wisatawan selalu dari kota Shiraz, ibukota provinsi Fars.

Kompleks ini adalah warisan kekaisaran Elam, Achaemenid dan Sasanid. Tapi yang paling menonjol adalah relief yang menunjukkan momen-momen penting kerajaan sasaniyah, kekaisaran Persia terakhir sebelum dikalahkan oleh Islam. Makam Darius Agung, pertemuan kaisar Persia dengan serang dari Yunani juga relief yang lain juga amat menarik. Berada di situs-situs di Pasar Gadae dan Parsa ini seperti membawa kita melalui lorong waktu ke masa-masa dua ribu lima ratus tahun lalu hingga dua ribu tahun lalu ketika kekaisaran Persia masih berdiri sebagai satu kekuatan mega imperium dunia. Karenanya perjalanan ke sini menjadikan perjalanan ini sebuah refleksi ke masa silam di mana peradaban besar di bangun, besar, runtuh dan digantikan oleh peradaban lainnya.

Baca juga:  Setelah Menonton "Bumi Manusia"

Dari naqsy e Rostam kami bergerak menuju ke persepolis. Masih di kota Parsa, provinsi Fars. Berdekatan. Situs ini merupakan reruntuhan dari bangunan kuno yang diperkirakan sebagai tempat perayaan besar kekaisaran-kekaisaran Persia kuno. UNESCO menetapkannya menjadi warisan dunia pada tahun 1979 karena dianggap sebagai warisan arsitektur yang megah. Dokumen UNESCO menyebutnya sebagai pusat pemerintahan kekaisaran Achaemenid.

Naqsy e Rustam/dok. Muhammad Ridha

Kompleks pemerintahan ini seluas 12 ha yang terdiri dari istana, lokasi pertunjukan, teras persepolis, aula seratus kolom, gerbang antar bangsa dan dinding dengan relief-relief yang mewah. Situs ini dibangun oleh Darius I pada abad ke 6 SM dan digunakan oleh raja-raja kekaisaran Achaemenid selanjutnya.

Kerajaan Sasaniah, dinasti Persia selanjutnya, meskipun berpusat di Ctesipon, Baghdad saat ini, menjadikan persepolis sebagai situs penting upacara kekaisaran. Perayaan-perayaan besar dan megah dilakukan di sini. Seperti diceritakan dalam relief-relief sepanjang jalan keluar dari gerbang antar bangsa Dimana hampir seluruh kebudayaan besar dunia direpresentasikan telah datang memenuhi undangan perayaan di persepolis.

Masih ada beberapa situs lain yang lebih kecil di kota ini. Tapi mengunjungi tiga tinggalan arkeologis berupa sisa-sisa bangunan dari kekaisaran Persia masa lalu telah mengantarkan perjalanan kami memahami, meski serba sedikit, bagaimana bangsa Persia di Iran, begitu tangguh dan maju kebudayaannya meski didera berbagai macam ancaman dari luar. Ancaman mungkin telah menjadi bagian dari kebudayaan Persia yang telah lama berhasil dikelola dengan begitu cemerlang: ancaman kekurangan air telah mendorong orang-orang Persia seperti ditunjukkan di Yazd dengan membuat Qonut yang menjadikan air bisa tersimpan dan lestari, perang dengan Romawi yang pecah berkali-kali telah mengajarkannya cara-cara merespons kekuatan luar, serangan Mongol yang menghancurkan kota-kota Persia dalam sejumlah seri serangan – sejak Jenghis Khan sampai Timur Lenk- telah mengajarkan orang Persia untuk pulih kembali dari luka. Begitulah saya melihat Persia dan orang-orangnya di Iran. Tangguh dan cemerlang. Semua krisis direspons segera dengan begitu menarik dan mewariskan tinggalan-tinggalan artefak dan kebudayaan yang, tidak hanya indah, kompleks dan menakjubkan.

***

Mari kita kembali ke kota Shiraz. Ibukota dinasti Zand, dinasti Islam abad ke 18 yang memilih Shiraz sebagai ibukotanya. Dinasti yang berusia singkat dan kemudian digantikan oleh dinasti Qajar ini mewariskan sejumlah karya arsitektur monumental yang masih dilestarikan di kota ini. Di sekitar jalan Nasir al-Mulk, kita bisa menjumpai begitu banyak situs warisan Islam dari dinasti Zand dan Qajar. Benteng Karim Khan dan istananya, madrasah Karim Khan, Masjid Nasir al-Mulk, masjid Vakil atau Pasar Vakil hanya bagian kecil di antara sejumlah situs.

Sebenarnya sebuah dinasti Iran lain yang lebih lama pernah menjadikan Shiraz sebagai ibukota. Dinasti Al-Buyeh, yang berkuasa di Iran dan pernah mengalahkan Abbasiah dalam kekuasaannya yang singkat di abad 8 hingga abad ke 10 Masehi. Tetapi peninggalannya tidak begitu monumental seperti arsitektur warisan Zand dan Qajar yang banyak di antaranya telah menggunakan teknik-teknik modern dari arsitek-arsitek abad ke 18-20 M.

Situs-situs di kota Shiraz ini membawa kita ke lorong waktu yang terhubung dengan dinasti Persia-Islam di abad lalu hingga tiga abad ke belakang, di abad ke 18. Beberapa saat setelah dinasti Safawi ditumbangkan oleh Nader Shah dari Kurasan, dinasti Zand didirikan oleh Karim Khan, raja pertama dari hanya tiga raja dinasti ini sebelum akhirnya digantikan oleh dinasti Qajar. Dari dua dinasti inilah kota Shiraz dihias seperti permata di tengah-tengah cincin. Di antara Padang pasir, bukit kapur yang tandus, kota ini tumbuh lebih terang dari sekitarnya.

Malam hari, beberapa saat setelah kami istirahat di hotel setelah perjalanan dari pasar gadae dan persepolis, kami nongkrong ditemani kawan baik mahasiswa Indonesia yang sedang menyelesaikan studinya di Shiraz. Mereka berdua merupakan calon dokter yang sebentar lagi akan pulang ke tanah air. Kami menikmati kopi tepat di depan benteng Karim Khan sambil bercerita macam-macam hal mengenai tanah air, mengenai budaya Iran atau kuliner Iran serta situs-situs penting di kota Shiraz yang bisa kami datangi sambil berjalan kaki. Mereka berdua memberi panduan arah jalan menuju situs penting di sekitar hotel tempat kami menginap. Setelahnya kami berpisah. Mereka pulang ke apartemen dan kami balik ke hotel.

Kota Shiraz memiliki puluhan situs dari dua atau tiga dinasti Persia Islam. Yang menarik adalah sebagian besar situs tersebut berdekatan dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Hanya sebagian kecil situs wisata penting seperti makam Sa’di atau Hafez yang harus kami tempuh dengan taxi. Selain itu kami susuri dengan berjalan kaki. Kami benar-benar menikmati perjalanan di kota ini.

Muhammad Ridha di Makam Sa’di/Dok. Koleksi Pribadi

Bangunan-bangunan seperti masjid-masjid monumental yang dihias dengan kaca perca dan mozaik ubin Persia, madrasah-madrasah dengan Iwan (gerbang) yang indah dengan dinding dan langit-langit yang rumit berhiaskan ubin Persia atau bata yang ditata dengan perhitungan arsitektur yang kompleks dan indah. Kubah dan kolom-kolom yang indah dan pas. Seperti memanjakan setiap siapa saja yang datang.

Baca juga:  Perjumpaan-Perjumpaan di Kota Qom

Saya menikmati bermandi cahaya warna warni di atas sajadah masjid Nasir al-Mulk dari kaca perca yang dipasang pada jendela. Warna-warni di antara merah, hijau, biru atau kehijauan membuat ruang Majid menjadi semakin berwarna karena berpadu dengan langit-langit berwarna biru hijau ubin Persia. Salat dzuhur dan azhar saya tunaikan di masjid ini di hari kedua di kota Shiraz. Bersama dengan seorang imam masjid paruh baya dan anak-anak perempuan bersama gurunya dari sebuah sekolah dasar yang sedang berkunjung ke masjid ini. Pengalaman salat di masjid ini selain pengalaman spiritual juga seperti sebuah pengalaman estetik yang tidak bisa ditemui di semua masjid. Di beberapa kota ada juga masjid yang menggunakan kaca perca warna-warni seperti di Yazd dan Isfahan tapi pantulan warnanya tidak begitu memukau seperti masjid Nasir al-mulk yang juga dikenal sebagai rainbow mosque.

Taman di tengah kompleks masjid Nasir al-Mulk/dok. Muhammad Ridha

Di dalam kompleks masjid ini ada kolam, dan pekarangan kecil. Juga sebuah bangunan yang saat ini dijadikan work shop dan gerai penjualan kerajinan tangan dari beberapa seniman. Juga sebuah bangunan untuk mengambil air wudhu yang juga terhubung dengan rumah Nasir al Mulk. Rumah heritage yang ketika kami berkunjung ke gerbangnya masih belum terbuka. Dari laut gerbang rumahnya terlihat berhias ubin Persia dan bata .

Dari sini kami menuju ke Fars Museum. Sebuah museum yang merekam jejak perkembangan kota Shiraz, sejarah intelektual dan kebudayaannya, capaian-capaian monumental dan para ilmuwan dan tokoh penting dalam sejarah kebudayaan Iran yang berasal dari kota Shiraz. Di sini bisa kita jumpai penjelasan-penjelasan mengenai dinasti-dinasti yang pernah berkuasa di kota Shiraz, para ilmuwan dan biografi singkatnya seperti Qutbuddin al-Shiraz (kepala observatorium maraga), Isa Khan (arsitek Taj Mahal India) atau sastrawan dan mistikus persia Sa’di dan Hafez. Juga ilmuwan lain selama dinasti Zand dan Qajar atau dinasti sebelumnya.

Nasir al-Mulk Mosque/Dok. Muhammad Ridha

Perjalanan kami lanjutkan menyusuri jalan Nasir al Mulk menuju ke gerbang Madrasah Karim Khan. Di madrasah ini saya singgah sebentar untuk melihat aktifitas di dalam madrasah yang sedang ramai karena ada semacam diskusi, juga ada aktifitas percetakan dan beberapa orang berfoto dengan latar Iwan madrasah dari arah dalam halaman madrasah.

Untuk selanjutnya, perjalanan kami dipandu oleh seorang warga asli Shiraz bernama Muhammad Reza. Dia menceritakan semua latar tempat yang saya kunjungi. Pertemuan kami secara tak sengaja terjadi di sekitar jalan menuju Vakil bazar. Beliau menegur dan mengikuti kami. Mulai memberi penjelasan mengenai asal usulnya dan memperlihatkan kepada kami keluarga dan anaknya. Dia seorang tour guide yang dulu khusus melayani turis Italia. Sayangnya, saat-saat setelah wabah covid menyebabkannya diberhentikan karena rasionalisasi pegawai di tempatnya bekerja. Hingga dia menjadi guide mandiri untuk turis-turis yang datang ke Shiraz.

Pertama-tama kami mengunjungi sebuah qonut yang melalui tangga menuju ke bawah. Dia menjelaskan kalau qonut ini, seperti yang kami lihat, adalah sebuah cafe dan tempat penjualan mercandise. “Penyajian makanan khas Persia-Islam yang biasa dilakukan oleh dinasti Qajar, disajikan di sini” kata Muhammad Reza.

Kami bersama Reza hingga larut malam ketika kami menuju sebuah apartemen untuk singgah sebentar sebelum menuju ke terminal bus untuk pergi ke tujuan berikutnya: Isfahan. Tapi sebelum itu, kami menghabiskan coi (teh) dan kentang goreng di sebuah cafe yang berada di dalam kompleks makam Sa’di. Kami juga berkunjung ke kompleks makam Hafez al-Shirazi. Kami terus bersama Reza hingga dia harus turun sesaat sebelum apartemen teman kami. Kami menaiki taxi yang sama dan dia turun lebih awal. Dengan menyesal dia harus turun tanpa mengikutkan kami yang diundangnya untuk makan malam di rumahnya. “Kami ingin kalian makan malam di rumah kami” begitu pintanya di dalam taxi. Tapi waktu yang mepet membuat kami terpaksa harus menolak tawaran ini. Kami berpisah dan berjanji memberi kabar-kabar setelah pertemuan ini.

Muhammad Ridha Bersama Muhammad Reza di depan Karim Khan Citadel/dok. Koleksi Pribadi

Kota Shiraz adalah kota turis yang bisa dinikmati dengan murah. Selain berjalan kaki ke sebagian besar situs wisata seperti museum, masjid-masjid, madrasah atau benteng kota, kita juga bisa menggunakan bus. Sayangnya, meski murah bus ini tidak direkomendasikan untuk turis dengan waktu yang rapat. Jadwalnya sering molor. Jadinya kunjungan bisa memakan waktu yang lama. Tapi secara umum kota Shiraz sangat saya rekomendasikan. Selain banyak makanan dengan harga murah, kota ini ditaburi bangunan-bangunan heritage yang tak kan habis dikunjungi meski seminggu berada di kota ini.

Begitulah, kawan. Perjalanan dua harmal di kota Shiraz dan di kota Parsa ini membawa bermacam-macam pengalaman traveling ke berbagai macam situs yang seperti membawa kita menembus ruang-waktu dan pergi ke berbagai masa di era lama Persia juga era-era dinasti-dinasti Persia-Islam yang mengisi sejarah seribuan tahun terakhir. Menembus berlapis-lapis waktu yang membeku di situs-situs yang kami kunjungi.

Muhammad Ridha adalah Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar, dan Ketua Jurusan Studi Agama-Agama

0%