Perjumpaan-Perjumpaan di Kota Qom

Oleh: Muhammad Ridha

Haram Syaidah Ma’suma dari arah barat/Dok. Muhammad Ridha

Tehran yang sumpek dan ruwet telah kami tinggalkan dua malam setelah pertama kali mendarat. Perjalanan akan segera dimulai. Tapi yang mula-mula akan disinggahi adalah sebuah kota pelajar di mana mahasiswa dari seluruh penjuru dunia Islam belajar agama di banyak tempat di sana: di kota Qom.

Kota ini mempertemukan kami dengan banyak orang-orang. Dengan pegawai museum, dengan para mahasiswa, dengan turis, dengan dosen dan guru agama, dengan penjual kalepohce yang sedap di pagi yang dingin atau dengan penjaga cafe di pojok kota.

Baiklah. Ini hanya catatan kecil saja. Sebuah kesan seorang turis kelas ekonomi yang sungguh terkesan dengan orang-orang dalam perjalanan dua tiga hari di kota ini. ***

Namanya Muhammad. Usianya 47 tahun. Tinggi lebih dari seratus delapan puluh centimeter. Sayangnya, tubuhnya lebih kurus. Mungkin sedikit di bawah berat ideal. Sama seperti saya yang tingginya cukup tapi beratnya beberapa kilogram di bawah berat ideal. Tapi gerakannya gesit. Tak sampai lima menit, coi (teh) yang dijanjikannya segera meluncur dan tiba di hadapan kami, saya dan Mubarak, kawan yang menemani perjalanan di kota Qom. Tak lama dia kembali lagi membawa beberapa buah permen dan terlibat pembicaraan berbahasa Parsi yang tidak saya mengerti.

Saya hanya melihat, Muhammad mondar-mandir setelahnya. Membawa foto dan lembaran-lembaran pamflet dan kisah singkat perjuangan tokoh yang rumahnya dijadikan museum dan dijaga oleh Muhammad. Membawa buku catatan lebar dan cukup tebal dan memberikannya kepada saya sembari memberi instruksi kepada kami dalam Parsi yang diterjemahkan oleh kawan saya kepada saya. Jadilah saya mengisi catatan kesan atau apa saja yang ingin dituliskan dalam buku tersebut.

Foto dengan Muhammad, penanggung jawab museum Imam Khomaini di Qom/Dok. Muhammad Ridha

Saya menulis dalam bahasa Indonesia kesan saya dan penghormatan saya kepada tokoh yang revolusi Islam Iran sering diasosiasikan padanya: Imam Khomaini. Dia senang hati. Dan kami berfoto bersama setelahnya.

Tak ada yang istimewa padanya. Gajinya mungkin sedikit. Tapi dia telah bertahan bertahun-tahun menjaga museum, memberi petunjuk ke pengunjung dan menyambut pengunjung darimana pun datangnya. Kami disambut dengan hangat. “Saya adalah penanggung jawab museum ini” katanya setelah kami mencoba menanyakan apa tugasnya di tempat yang kami kunjungi ini. Dia adalah ayah dari dua orang anak. Seorang lelaki Persia dari luar kota Qom yang mengabdikan diri sebagai pekerja dalam jawatan pemerintahan yang mengurusi museum.

Saya bertemu dengan Muhammad di lantai dua kediaman Imam Khomaini saat berada di kota Qom. Bangunan ini seperti sebuah rumah pribadi khas wilayah Persia. Sebuah gedung tempat tinggal di bagian belakang dan samping sementara di depannya gedung yang dibuat sebagai ruang tamu atau ruang yang membatasi luar rumah dan bagian dalam rumah. Di tengah-tengahnya sebuah kolam kecil dengan air mancur di tengahnya. Mirip dengan rumah tua khas Persia yang dibuat menjadi sebuah penginapan di kota Tehran tempat kami menginap.

Di lantai dua, tempat sebuah ruang dapur dan kamar kerja serta ruang penghubung antar ruang yang dijadikan museum untuk menunjukkan karya dan hidup imam Khomaini. Foto-foto imam Khomaini besar dan kecil dipajang di banyak sisi museum ini. Dilengkapi dengan lampu sorot kecil yang sering digunakan di galeri seni atau museum untuk menerangi sebuah objek. Biasanya lampu sorot ini menerangi setiap karya di hadapannya masing-masing sehingga orang-orang bisa memperhatikannya dengan lebih jelas lebih dari apa saja yang lain di ruang tersebut.

Baca juga:  Ada Revolusi Dalam Lagu Makassar?

Kami menghadapi dua gelas teh, segelas gula batu, dan air putih. Dia persilahkan kami meminum. Dia biarkan kami bergiat membuka-buka lembaran brosur, foto dan buku kecil untuk pengunjung. Dia biarkan kami menatap-natap lepas macam-macam objek di penjuru ruangan. Lalu sesekali memperhatikan kenyamanan kami. Saat dilihatnya kami duduk bersandar ke dinding kayu, dia datang membawakan semacam bantal persegi yang sering digunakan sebagai sandaran di sini. Lalu dia pergi lagi.

Kami mengunjungi museum imam Khomaini ini bersama beberapa pengunjung lain. Sebagian melihat-lihat dan berfoto, sebagian lainnya bercakap-cakap di depan kolam, di halaman. Ada juga yang sibuk menulis di catatan kecil. Seorang polisi berjaga tepat di pintu masuk museum rumah ini. Siang menuju sore itu kota Qum sangat panas. Musim semi yang panas. Meski malam dan pagi hari tetap sejuk, siang hari hingga menuju sore hawa begitu kering.

Kami mengunjungi museum ini setelah berkunjung ke haram Syaidah Ma’suma. Adik Imam Ali Ridha, salah satu imam dalam transisi muslim Syiah yang dianggap sebagai penerus risalah ajaran ilahiah yang berurut dari nabi, ke Imam Ali, dan seterusnya yang berasal dari ahlul bait lalu Imam Ridha. dst. Semoga pendapat ini tidak keliru. Saya memang bukan penganut Syiah. Dan kultur keagamaan dan praktik yang dijalankan di Indonesia yang bermazhab Syafi’i sedikit berbeda dengan kultur di sini. Itulah mengapa fiqh Syafii yang kami praktikkan dalam shalat di haram Syaidah Ma’suma jauh berbeda dengan hampir seluruh jamaah. Tapi rasanya tak ada masalah. Setiap orang melihat saya shalat juga tak satupun mempersoalkan.

Masjid dalam kompleks haram Syaidah Ma’suma ini cukup besar. Sangat mewah. Sesaat sebelum shalat duhur dimulai, saya berdoa ke bagian timur haram dimana makam Syaidah Ma’suma berada. Ada banyak yang berkeliling mengitari makam. Ada banyak yang berdoa dan menangis di hadapan makam ini. Sebagian besar lainnya berdoa di antara para jamaah yang berjumlah ribuan. Ruang dengan langit-langit kaca putih yang indah ini disesaki jamaah. Saat masuk waktu duhur semua peziarah bergeser ke barat dan mengikut shalat berjamaah. Shalat dhuhur dulu lalu disambung shalat azhar.

Muhammad Ridha di dalam Haram Syaidah Ma’suma/Dok. Koleksi Pribadi

Sehabis shalat, saya bergegas keluar bangunan haram. Lalu menuju ke tempat saya janjian dengan kawan lain, kawan yang akhirnya menemani saya berkeliling setengah hari hingga habis magrib saat perjalanan ziarah kami sudahi di masjid Nabi Khaidir. Tempat ini dianggap tempat nabi Khaidir pernah singgah untuk melaksanakan shalat. Karena itulah di sana dibuat semacam petilasan yang saat ini sebuah masjid kecil di atas puncak bukit batu yang langsung menghadap kota Qom dari utara.

Dari atas, saat maghrib baru saja datang, kerlap-kerlip kota Qom terhampar luas. Sementara saat menghadap ke barat pemandangan masjid Jamkarun terlihat mewah kehijauan. Wisatawan silih berganti datang, anak-anak bermain-main, pasangan berfoto ria di atas lingkungan masjid yang diberi pagar penghalang. Sebagian lainnya shalat di bangunan masjidnya. Dan saya bersiap untuk segera pulang. Seorang kawan baik telah menunggu untuk menjamu makan malam. ***

Baca juga:  Lapis-lapis Waktu di Kota Shiraz

Perjalanan saya di Qom juga dipertemukan dengan kawan-kawan Indonesia yang sedang studi di Iran. Di hampir semua tingkatan pembelajaran. Sarjana, magister dan doktoral. Hingga beberapa teman yang sudah memiliki anak-anak telah tumbuh besar di sini juga menempuh pendidikan di setiap rentang umur mereka masing-masing.

Saya bertemu dengan Syaip, yang menjemput saya di bandara Tehran. Sekaligus menemani saya berkeliling Tehran, Qom lalu kota Shiraz dan mungkin juga kota-kota setelahnya. Di kota Qom saya juga ditemani Syaip hingga siang hari. Tapi setelahnya saya ditemani oleh Mubarak. Seorang mahasiswa S1 adaka Makassar yang sedang studi di Universitas Al-Mustafa.

Sebenarnya saya telah berkontakan beberapa hari sebelum berangkat dengan kawan baik, yang karena pindahan dari apartemennya yang lama menjadikannya ribet. Tak sempat menjemput dan meminta Syaip menemani saya. Nama kawan ini Ismail Amin, seorang intelektual yang sedang studi doktoral di Kota Qom. Dia telah tinggal belasan tahun di kota Qom dan anak-anaknya telah tumbuh dan bersekolah di sini.

Saya menginap di rumah mahasiswa doktoral lain. Namanya ustad Rahman. Studinya telah rampung. Sebentar lagi pulang ke Palu, kampung halamannya di Sulawesi Tengah. Saat kami datang, beliau merepotkan diri bersama keluarga menyiapkan nasi kuning dengan lauk macam-macam. Lidah nusantara saya seketika seperti terbasuh. Hehehe

Saya juga berkenalan dengan Habib Alwi, Ustad Ismail Dg. Naba, juga kawan-kawan mahasiswa lainnya yang sungguh membuat Iran serasa tak begitu jauh dari kampung halaman. Terasa sebagai tempat dan orang-orang yang akrab.

Di forum diskusi, di sebuah ruangan aula, saat membedah buku saya, mahasiswa Indonesia yang studi di Iran lebih banyak lagi yang datang. Sekalian sebagian membawa anak-anak mereka masing-masing. Ini menyebabkan diskusi buku dihadiri semua kalangan umur. Kanak-kanak sampai kakek-kakek. Hehehe. Tapi ini diskusi yang hangat yang memberi saya banyak informasi baru. Saya juga sempat melaksanakan shalat Jumat di sebuah mushollah yang masih sedang direnovasi di kota Qom. Juga memetik ceri putih di depan musallah setelah shalat.

Beginilah perjalanan. Selain membawa badan pergi, juga membawa serta perjumpaan-perjumpaan: dengan tempat-tempat baru, dengan orang-orang baru. Membawa kesegaran baru yang menghidupi. Juga harapan-harapan baru. ***

Pagi menuju siang yang panas, saya bertemu seorang lelaki paruh baya yang mangkal di sudut sebuah toko buku di perempatan jalan menuju haram Syaidah Ma’suma. Saya hendak menjahit sepatu saya yang perekatnya sudah kalah hingga sol nya seperti hendak terlepas dan menganga. Namanya Karim. Mungkin seorang imigran Afganistan. Mungkin juga seorang lelaki Qom yang telah lama bekerja untuk pekerjaan itu. Dia memberi kami tempat duduk. Menyilaukan kami berada dekat darinya sembari melihat proses menjahit sepatu. Dia sesekali bertanya kepada kami mengenai asal, atau mengapa kami berada di kota tempatnya bekerja ini. Dia mengerjakan jahitan sepatu dengan pelan dan hati-hati. Sedikit lebih lambat. Saat melihat kami sedikit bosan menunggu jahitan selesai, dia menawarkan kami sandal untuk pergi berpesiar di sekitar agar tak jemu menunggunya selesai.

Baca juga:  Mengkaji dan Mengkaji Tasawuf secara Lintas Disiplin

Muhammad Ridha di Sebuah toko buku di kota Qom/Dok. Koleksi Privadi

Kami berkeliling ke sekitar haram Syaidah Ma’suma. Membeli juz mangga. Juga kue kering. Lalu setelah itu kembali ke tempat penjahit sepatu. Dia menyerahkan sepatu dan mendoakan agar sepatunya lebih tahan lama. Dia memberi potongan sedikit untuk harga membayar jasanya yang rasanya sudah sangat murah: “saya memberi diskon karena anda seorang turis dari jauh. Saya hanya sesekali membantu menjahitkan sepatu untuk turis” katanya.

Rasanya kemurahan hati di dalam perjalanan ini begitu banyak saya temukan. Mungkin saja, meminjam istilah anak muda, ini random. Acak. Tapi berjumpa dengan sedikit orang dan semuanya begitu murah hati: saya merasa seluruh dunia berisi orang-orang murah hati. Seperti Karim atau juga Muhammad. ***

Perjalanan ini menjadi mungkin karena bantuan begitu banyak kawan dan fasilitasi dari banyak komunitas. Juga tentu saja, berkat sebuah maskapai yang sedang menjual tiket bepergian dengan harga yang sungguh mungkin untuk digapai oleh turis kelas ekonomi seperti saya. Jika tanpa yang terakhir ini, sungguh sulit seorang penjaga perpustakaan bisa melompat sejauh lebih dari sepuluh ribu kilometer ke negeri yang telah mendekam lama di kepala-kepala seorang yang pernah sedikit belajar sejarah Islam: negeri Persia.

Sebuah negeri asal kisah cerita seribu satu malam yang sungguh telah mengharu biru jejak imajinasi banyak orang di bawah pendidikan Islam dan di bawah negeri-negeri muslim. Negeri yang menjadi latar belakang peristiwa-peristiwa penting dalam kisah-kisah seribu satu malam. Bahkan kisah seorang raja masyur yang dikisahkan sebagai raja Harun Al-Rasyid, seorang tokoh pemimpin dinasti Abbasid yang berpusat di Baghdad dimakamkan di salah satu kota di sini, kota Masyhad.

Saya telah pergi ke tempat-tempat Dimana orang-orang berbicara bermacam bahasa dan dialek. Tapi baru kali ini, saya merasakan sebuah bahasa di mana seluruh lekuk gaya tuturnya tak punya lekuk yang menekan. Hampir tak ada sudut bahasa yang mendesak di sini. Setiap hal disampaikan seperti sedang merajuk satu sama yang lain. Saya benar-benar menyesal tak mengerti bahasa yang sungguh lembut ini.

Saya harus katakan ini: jika suatu saat ada keinginan dan kemampuan untuk bepergian, pergilah ke negeri Persia ini. Jika hendak bertemu orang-orang berilmu dan berakhlak baik pergilah ke sini. Jika ingin melihat hasil-hasil terbaik dari proses-proses panjang peradaban paling maju umat manusia, pergilah ke sini. Kalau kau tak hendak tinggal lama di sana, kau mungkin akan memeram suka cita dan senyum manis di dalam hatimu saat pergi meninggalkannya sembari menitip rindu akan segera pergi ke sana lagi. ***

Apakah pergi ke Iran benar-benar penuh romantika seperti dalam cerita saya ini? Apakah tak ada kelas-kelas yang sedang berkonflik di sini? Apakah perbedaan kelas telah mencair di sini hingga hampir semua orang, hampir semua peristiwa yang saya jumpai seperti memberi kehangatan? Tentu saja ini hanya kesan seorang turis yang melintas sesaat. Tak menggali jauh ke dalam kenyataan sosial. Tapi di atas permukaan, saya merasakan, perjalanan ini mempertemukan saya dengan kebaikan-kebaikan insani. Wallahualam bi sawab.

Muhammad Ridha adalah Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar, dan Ketua Jurusan Studi Agama-Agama

0%