Tashkent yang Cantik, yang Hangat

Oleh: Muhammad Ridha

Kota ini tampak sibuk di pagi hari ketika kami tiba di antara dingin pagi hari dan mengantri untuk diperiksa imigrasi berkali-kali di perbatasan darat antara Khazakstan dan Uzbekistan. Ruang imigrasi yang berkelok-kelok, bak ular sanca, bawaan kami yang berat dan rempong, dua anak kami yang baru saja terbangun dan harus turun dari bus, juga Laila yang juga ikut menenteng sebuah boneka dan menggendong tas kecilnya.

Tak kurang dari tiga kali pemeriksaan dan sensor mata harus kami lalui, tiga kali sensor infra merah harus dilalui oleh barang-barang kami, juga pertanyaan-pertanyaan singkat dari petugas imigrasi yang hanya mengerti bahasa Uzbek dan turis yang diperiksanya, kami, tak paham satu kata pun dalam bahasa itu. Jadilah urusan kami lancar. Petugas imigrasi, beberapa diantara mereka, bertanya: “turis?” Dan kami menjawab: “yes. From Indonesia.” Dia lalu melanjutkan dengan stempel imigrasi ke pasport kami.

Lebih dari satu jam kami lalui. Mengular diantara orang-orang yang baru saja keluar dari perangkap dinginnya Almaty dan masuk ke kota yang cantik dan hangat: Tashkent. Tapi sebelum semua itu, diperiksa dulu. Mengantri dulu. Dan ini yang paling soal: ada banyak yang antri. Panjang bak ular. Ada banyak juga yang gak mau antri. Dengan alasan sakit. Dengan membawa orang sakit. Dengan membawa balita. Dan lain sebagainya sebagai alasan yang cukup untuk memotong di bagian depan untuk segera diperiksa imigrasi. Sering orang-orang Rusia, atau Cina atau Khasaks bersitegang dengan mereka yang tiba-tiba menerobos antrian menuju ke depan. Saling marah dengan mada tinggi. Saling tunjuk dan perintah untuk mundur atau mengalah kepada salah satunya. Tapi tidak sampai adu jotos. Kami yang kecil, kurus datang dari jauh membawa tiga orang perempuan dan seorang bocah laki-laki sekolah dasar tak bisa apa-apa. Seperti rusa yang melihat singa dan macan saling serang. Selain takjub, kami juga takut.

Tapi itu sedikit suasana di antara kehangatan-kehangatan yang lain. Sopir taxi yang bertanya dan menjelaskan sekenanya agar kami memilih menumpang mobilnya. Orang-orang yang ikut menumpang pada bus yang sama yang ikut menyapa kami. “From Indonesia?” “Yah”. Jawab kami. “Muslim?” Tanyanya lagi. Kami jawab “alhamdulillah. I’m moslem.” Dan mereka biasanya tampak gembira dan berkata “Alhamdulillah. Esslamuelekem.” Sapanya hangat.

Begitulah. Kami yang kecapean. Perjalanan darat dengan bus Almaty-Tashkent lebih dari 12 jam. Melalui jalan yang lempang tapi sungguh gelap dan dingin. Sesekali masih tampak pegunungan Aktou yang memisahkan Kirgistan dan Khazakstan terlihat. Saat sore hari ketika bus baru melaju dari terminal bus antar negara di pinggir kota Almaty, pegunungan ini seperti dinding es pemisah tinggi antar dua negara ini. Putih memanjang dari timur ke barat. Saat malam, hanya gelap dan sedikit kerlip lampu kampung-kampung yang kami lalui. Selebihnya jalan yang teramat gelap tanpa penerangan.

Baca juga:  Setelah Menonton "Bumi Manusia"

Kawan, perjalanan menembus jalur sutera darat lebih dari 800 KM ini perjalanan pertama kami. Jalan yang menghubungkan kota Almaty di Khazakstan dan kota Tashkent di Uzbekistan. Dua kota dari dua negara paling besar jumlah penduduknya di Asia Tengah. Khazakstan mewakili negeri bekas Soviet yang melompat jauh menjadi negeri kaya. Prinsip-prinsip komunis dengan sejumlah pengecualiannya, sekularisme, profesionalisme, juga penghargaan terhadap perbedaan dan yang terpenting adalah tambang minyak besar di laut Kaspia yang sumberdaya nya bisa dikerahkan untuk membangun banyak hal. Ibukota Astana yang megah salah satunya dari APBN minyak Khazakstan. Tumbuh menjadi begitu mempesona: tanah-tanah luas, Padang savana Asia tengah yang penuh potensi, tambang minyak dan gas, juga orang-orang multi kultur yang telah campur bait membentuk identitas orang Khazakstan yang tidak hanya melulu dari etnik Khazaks, tapi juga Izbek, Tajik, Kirgis, Uigur, Rusia, Korea atau Ukrainian. Sebuah komposisi etnik yang cukup beragam dan kaya untuk tumbuh.

Sementara negara lainnya, negara yang ibukotanya paling modern karena ibukota Asia tengah awal yang dibangun oleh Soviet adalah Tashkent. Kota kuno Islam yang tinggalan islamnya teramat sedikit. Digantikan oleh bangunan-bangunan modern ala Soviet. Meski demikian, setelah Soviet bubar dan Uzbekistan menjadi negara merdeka, aspirasi-aspirasi baru telah mengharu biru kota-kota utamanya. Terutama Tashkent: bangunan-bangunan tempat ibadah baru yang monumental dibangun, yang lama direstorasi dan diaktifkan kembali, juga identitas etnik seperti Timur Lenk perlahan tumbuh menjadi identitas ideal ke Uzbek an. Terutama sejak presiden Uzbekistan pertama, Islam Karimov mendirikan museum Timurid di pusat kota Tashkent. Negara terbanyak penduduknya di Asia tengah ini, meski tanpa minyak dan gas, terus berbenah dengan turisme. Kota-kota lamanya menjadi jualan penting. Samarkand, Bukhara, Kiva, Termes atau yang lain.

**

Ini perjalanan yang menyenangkan. Berada di lingkungan yang sama sekali berbeda dengan ruang hidup harian kita di negeri tropikal. Cuaca dingin menusuk, salju menghampar, juga gunung-gunung tertutup salju, atau pohon-pohon memutih kehilangan daun-daun hijaunya karena musim. Tapi juga sekaligus mencemaskan. Menaiki bus antar negara, dari satu terminal yang lebih dekat menuju ke Cina di provinsi Uighur daripada ke Tashkent, tempat tujuan kami. Berada di antara orang-orang turkik, Cina atau Persia dengan kebudayaan dan bahasa yang berjarak begitu jauh dengan kami. Meskipun dunia modern telah memperantarai juga sekaligus (seharusnya) menghubungkan kita semua, para penduduk bumi ini di mana saja, dengan bahasa Inggris yang telah dibentuk (sering secara paksa melalui hubungan imperialis) sebagai bahasa pergaulan global. Tapi apa mau dikata: kami tak mengerti lebih banyak kosakata dalam bahasa Inggris kecuali yes no yes no; sementara mereka semua di bus ekonomi antar negara yang dalam perjalanan ini terlihat sepintas sebagai orang Rusia, Uzbek, Turkik lainnya atau China dan India yang juga sepertinya tak bisa bahasa Inggris. Jadilah kita bersapasapa dengan isyarat sesekali.

Baca juga:  Bolshevik dan Momen Menentukan Dunia Islam

Dalam ruang persinggahan di sebuah restoran yang sedikit hangat, sekira separuh perjalanan dari Almaty menuju Tashkent, kami berbincang dengan Abdurrohman dari Kerala. Seorang bapak patuh baya dengan aspirasi politik yang sepertinya marah terhadap kebijakan presiden di negerinya yang mendiskreditkan umat Islam dan membela mayoritas Hindu, pemilih militannya. Presiden yang memilih mendengarkan keinginan aktivis Hindu fundamentalis untuk membangun kuil di belas bangunan masjid tinggalan kesultanan Mughal.

Abdurrahman bersama enam orang lain yang wajahnya mirip dengan kami. Enam orang lainnya adalah Hindu dan muslim dari Bangladesh yang sedang bepergian. Mungkin mereka kelas menengah terdidik yang sedang menuntaskan aspirasinya atas keharusan suatu perjalanan sebagai peneguh identitasnya. Atau pelajar perguruan tinggi yang sedang dalam perjalanan kembali ke kampus atau tempat belajarnya. Entahlah. Larut malam yang dingin ini kami hanya bersapa dengan satu dua orang yang berdekatan. Abdurrahman salah satunya. Dialah yang memperkenalkan asal dari enam orang Bangladesh yang sering berjalan dengannya saat tiba di rest area.

Di samping kami, yang malam itu memesan teh hijau seceret, Abdurrahman bersama seorang penumpang bus yang sama dengan kami tapi berparas turkik. Mungkin orang Uzbek yang balik kampung. Seperti Ekmeleddin, seorang tukang meubel yang mendapat pekerjaan borongan di Almaty selama sebulan dan balik ke Uzbekistan lagi setelah pekerjaannya selesai. Kami memberikannya sebungkus plov, nasi daging khas Uzbek, kelebihan dari yang kami beli di supermarket ketika akan menuju terminal bus. Makanan ini adalah persiapan buka puasa kami di perjalanan. Sekaligus persiapan kalau-kalau di waktu sahur kami tak sedang singgah di restoran. Dia menolaknya. Tapi kami tetap memberikannya saat buka puasa sebentar lagi akan dimulai.

Dengan murah hati, Ekmeleddin memberikan tempat duduknya dan pindah ke belakang agar kami sekeluarga bisa berdekatan. Dengan isyarat yang melingkari saya dan semua rombongan agar berdekatan dalam sebuah lingkaran. Saya jawab dengan senyuman dan Terimakasih kepadanya: “thanks Mr”. Lalu dia menuju kursi belakang yang kebetulan beberapa tak terisi oleh penumpang.

Lalu Laila, anak kami, pindah ke bangku samping saya. Ibunya tidur menggunakan dua bangku bus. Vika dan Ical, setelah buka puasa dan memainkan game di hand phonenya beberapa saat sudah terlihat pulas. Saya bermain bersama Laila di perjalanan gelap, dingin dan bus yang melaju sendirian. Diluar mungkin bintang-bintang bersinar. Juga rembulan. Tapi kami tidak menyaksikannya. Dingin mungkin menutupnya.

Baca juga:  Perjalanan Berikutnya’: Euliya Celebi DI Antara Petualang Muslim

**

Tashkent berarti kota batu. Atau benteng batu. “Tash”/ “tosh”/ “shos” berarti kota. “Kent” berarti batu. Orang Cina pelintas great Silk road menyebut ini shos. Orang Rusia menyebutnya Toshkent. Atau Task. Atau yang lain. Daerah ini dulu dikenal sebagai Kurasan. Daerah diantara utara afganistan hingga ke sekitar sungai Oxus.

Kota ini sebenarnya menjalankan fungsinya sebagai kota kecil yang dilintasi great Silk road. Tapi perlahan-lahan tumbuh menjadi kota besar yang penting. Serangan Timur ke Moskow yang berada di bawah kekuasaan golden horde berangkat dari kota ini. Meski tak sebesar dan sepenting Samarkand, kota ini memberi arti bagi Asia Tengah kuno juga Hagia Asia Tengah dan modernitas ala komunismenya yang bersemangat.

Untuk yang terakhir, bisa dilihat bagaimana gedung-gedung perkantoran, istana presiden dan kantor kementerian, hotel-hotel tua bergaya kotak-kotak efektif khas fungsionalisme arsitektur Rusia, atau stasiun kereta bawah tanah dengan tema-tema yang beragam dan teknologi yang amat maju. Stasiun Kereta ini menghubungkan Tashkent dengan Moskow, dengan Almaty, atau Azerbaijan di barat. Dipenuhi ornamen-ornamen yang mengikuti temanya per stasiun, kita akan merasakan dalam sebuah stasiun yang bukan hanya tempat kereta berhenti dan lalu berangkat, tetapi juga karya arsitektur dan teknik sipil yang menakjubkan.

Tak lupa pula, masjid-masjid lama juga madrasah yang kini mulai bersemi lagi: Kukeldash Madrasah, Madrasah Barakhon, masjid baru seperti Hazrati Imam, dan yang terpenting dari semua itu, suara dari aspirasi lama, setelah menempatkan dengan baik Timur Lenk dalam konstalasi pembentukan identitas orang Uzbek, kini Uzbekistan sedang membangun proyek prestisius di kota Taskent: Centre for Islamic and Civilization. Tugas berat. Tapi rasa-rasanya, setelah melihat hamparan tinggalan arsitektur berupa musoleum, taman, istana, masjid, madrasah yang sungguh menakjubkan: suatu waktu Uzbekistan pernah menerangi peradaban dunia. Saya jadi merasa: ini akan menjadi tugas yang sangat mungkin diperankannya kembali di panggung sejarah, sebagaimana pernah dilakukannya dengan cemerlang.

Kawan, kota modern di Asia Tengah ini sedang tumbuh. Armada pesawat terbang dari maskapai nasionalnya sedang berupaya menyambut siapapun dan mengangkutnya datang ke Uzbekistan menuju ke Samarkand, Bukhara, Kiva, Termes, Fergana atau yang lain: membawa lagi orang-orang kepada kenangan peradaban Islam. Wallahualam bi sawab. ***

Penulis adalah peminat studi sejarah dan sain islam, ketua Prodi Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar

0%