Oleh: Bandung Mawardi
Disertasi mendapat ralat. Edisi bahasa Inggris terbit pada 1972. Disertasi diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918 (1989) garapan Akira Nagazumi. Penerjemahan telat meski tak terlalu menimbulkan debat. Kita sejenak membuka masalah penulisan waktu berkaitan ralat. Sejarah mementingkan waktu. Ralat itu penting dikutip meski jarang diributkan dalam hari-hari peringatan mengacu Budi Utomo.Akira Nagazumi menulis: “Organisasi untuk kaum muda Jawa ini didirikan oleh Soetomo pada hari Minggu tanggal 20 Mei 1908 pukul sembilan pagi. Tepuk tangan gemuruh menyambut pernyataan kelahirannya.” Kita mengandaikan kaum muda itu mengisi liburan dengan peristiwa serius. Mereka tak berlaku sebagai orang malas dengan bangun siang atau bersantai mumpung Minggu. Pengertian tentang Minggu mengesankan pilihan waktu di luar hari-hari berisi pelajaran-pelajaran. Minggu bukan istirahat.
Dulu, orang-orang membaca sejarah dan Minggu itu tak bermasalah. Di buku berjudul Budi Utomo Cabang Betawi (1980) susunan Abdurrachman Surjomihardjo, dimuat ralat: “Budi Utomo tidak didirikan pada suatu hari Minggu! Tanggal 20 Mei 1908 jatuh pada hari Rabu.” Pembaca mungkin geleng-geleng atau mengangguk mengetahui perkara waktu dalam sejarah. Minggu dan Rabu itu memerlukan kebenaran. Waktu tak bisa disepelekan. Abdurrachman Surjomihardjo menulis: “Gunawan Mangunkusumo-lah yang mula-mula membuat kekeliruan mengenai hari ‘Minggu’ yang bersejarah itu. Karangannya berjudul De Geboorte van Boedi Oetomo tertulis sepuluh tahun sesudah peristiwanya terjadi (1919). Kekeliruan Gunawan kemudian berangkai diikuti oleh penulis-penulis sejarah Indonesia sesudah itu.” Minggu bukan lagi waktu tepat. Kita diminta mengakui 20 Mei 1908 itu Rabu. Waktu terlalu penting dalam kebenaran sejarah.
Masalah hari tak selalu muncul dalam penulisan peristiwa-peristiwa bersejarah. Para sejarawan sering menulis tanggal, bulan, dan tahun saja. Nama-nama hari sulit turut teringat. Akira Nagazumi menjelaskan: “Kongres pertama Budi Utomo yang besar diselenggarakan dari tanggal 3-5 Oktober 1908, di sekolah pendidikan guru di Yogyakarta. Semangat yang digelorakan untuk kongres ini terlihat jelas dalam jumlah peserta kongres sekitar 300 orang.” Kita diminta berimajinasi nama-nama hari saat kongres. Nama hari mungkin memang tak terlalu dipikirkan penting bagi orang-orang ingin menengok sejarah.
Kita masih beruntung bila membaca buku Abdurrachman Surjomihardjo. Hari pertama kongres, 3 Oktober 1908, bertepatan hari Sabtu. Kita mengerti kongres itu berlangsung dari Sabtu sampai Senin (3-5 Oktober 1908). Pilihan hari mungkin berkaitan kesanggupan para peserta untuk ikut saat tak ada kesibukan rutin: sekolah atau bekerja. Kita masih berpikiran tentang Senin, hari biasa dianggap permulaan dalam seminggu bagi orang-orang sekolah dan bekerja.
Ingatan nama hari dan tanggal berkaitan pula tempat. Peristiwa diadakan di Yogyakarta. Tempat (cukup) jauh dari Batavia (Betawi) sebagai alamat sejarah pendirian Budi Utomo. Para peserta kongres berasal dari Betawi, Blora, Bandung, Bogor, Magelang, Surabaya, dan pelbagai kota. Yogyakarta tercatat sebagai tempat penting dalam penentuan nasib dan arah Budi Utomo.
Dalih pemilihan Yogyakarta dicatat Abdurachman Surjomihardjo: “Memang masuk akallah waktu itu, ibukota Mataram dipilih sebagai tempat kongres karena dianggap sebagai simbol kesatuan Jawa. Dalih sebagai simbol kesatuan disempurnakan dengan embusan gagasan “kemadjoean”. Perkara penting tentu tempat itu mudah ditempuh dengan perjalanan darat, terutama kereta api. Yogyakarta, alamat sejarah. Tempat tercatat dalam babak-babak terpenting di Indonesia.
Pemilihan tempat kongres di Yogyakarta memberi perbedaan nuansa kota dan tatanan hidup. Budi Utomo mula-mula di Batavia dan (makin) moncer gara-gara kongres di Yogyakarta. Orang-orang mulai mengenal Budi Utomo di Batavia dan Yogyakarta. Alamat-alamat bakal terus bertambah dengan pembentukan cabang Budi Utomo di pelbagai kota.
Kita kembali mengingat STOVIA di Batavia. Hans Pols dalam buku berjudul Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019) menjelaskan mengenai tempat: “Bagi banyak pelajar, mengikuti sekolah kedokteran berarti meninggalkan kehidupan yang lamban dan stagnan di desa untuk kehidupan yang energik, kadang-kadang hingar bingar khas metropolis. Sekolah kedokteran membuka pintu gerbang tidak hanya terhadap sains, tapi juta terhadap dunia modern. STOVIA terletak di sebelah rumah sakit militer di pusat kota Batavia yang modern dan dikelilingi tembok tinggi – sebuah pemisahan dari dunia luar yang nyata dan simbolik.” Kita agak mengerti dengan deskripsi tempat dan tafsiran bertaut sejarah.
Penafsiran mirip diajukan Abdurrachman Surjomihardjo: “Gedung STOVIA terletak di dalam kedudukan yang ideal untuk dapat berhubungan dengan iklim dan suasana kehidupan intelektual di sebuah kota besar seperti Jakarta, yang waktu itu bernama Batavia dengan Weltevreden sebagai pusatnya. STOVIA terletak di Weltevreden, pusat kegiatan politik, ekonomi, dan kebudayaan sebuah kota terbesar di Indonesia, yang merupakan pintu gerbang dunia luar.” Alamat gedung itu terbukti berpengaruh dalam arus keintelektualan kaum muda sedang berpamrih belajar kedokteran.
Kita dibingungkan lagi dengan pilihan ruangan bagi kaum muda dalam membentuk Budi Utomo. Dua buku berbeda dalam sebutan ruang. Akira Nagazumi menerangkan kejadian 20 Mei 1908 di STOVIA: “Para hadirin yang berkumpul di aula STOVIA tidak saja para siswa sekolah ini, tetapi juga siswa-siswa sekolah pertanian dan kehewanan di Bogor, sekolah pamong praja pribumi di Magelang dan Probolinggo, siswa-siswa sekolah menengah petang di Surabaya, dan sekolah-sekolah pendidikan guru pribumi di Bandung, Yogyakarta, dan Probolinggo.” Tepuk tanggal di aula saat pendirian Budi Utomo mengesankan dihadiri puluhan atau ratusan orang. Aula itu disebut sebagai ruang untuk “pernyataan kelahiran Budi Utomo”.
Abdurrachman Surjomihardjo memberi keterangan: “… pelajar-pelajar tingkat atas STOVIA di bawah pimpinan Soetomo telah lebih dulu mendirikan organisasi Budi Utomo. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 20 Mei 1908, di ruang anatomi gedung STOVIA.” Kita ingin mengetahui sejarah diajak mengandaikan peristiwa terjadi aula dan ruang anatomi. Semua itu beralamat di gedung STOVIA. Sejarah memang bertempat meski kita kadang bingung dengan ruang-ruang terpenting di gedung dalam titik mula perubahan atau seruan mengubah nasib tanah jajahan. Begitu. ***
Bandung Mawardi saat ini aktif sebagai pedagang buku bekas dan tukang kliping