Mudik: Perjalanan Spiritual-Psikologis

Oleh: Surahmat Tiro

“Mudik bukan sekedar perjalanan fisik  melainkan sebuah momentum perjalanan spiritualitas”

Kalimat di atas merupakan hasil refleksi saya setelah membaca beberapa tulisan Umar Kayam[1] yang bertemakan tentang mudik, dan yang paling membekas dalam ingatan saya adalah perihal perjalanan spiritual dalam tradisi mudik di Indonesia, ketika menjelang hari raya Idul Fitri, dan Idul Adha. Umar Kayam melihat mudik dalam dimensi spiritual berangkat dari kebiasaan petani Jawa mengunjungi tanah kelahiran dan berziarah ke makam leluhurnya. Kemudian pengalaman mudik saya pun, memiliki kebiasaan yang sama dari titik berangkat analisis Umar Kayam dalam melihat mudik dari sudut pandang spiritualitasnya.

Kebiasaan berziarah ke makam leluhur bagi saya dan keluarga merupakan upaya merawat ingatan terhadap leluhur dan momentum tersebut menjadi ruang bagi keluarga untuk memperkuat hubungan sosial bagi orang seperti saya dan keluarga lainnya yang telah merantau ke kota. Secara antropologis, hal ini, juga bisa dikatakan sebagai ikatan kultural indvidu dan komunitas asalnya.

Menyematkan kalimat “ ruang untuk memperkuat hubungan sosial dalam momentum mudik dan kebiasaan-kebiasaan di dalamnya” ketika tidak dapat dikelola senyaman mungkin, tentunya akan menimbulkan penyakit untuk diri sendiri, melalui tuntutan yang menghukumi dengan beragam standar-standar tertentu yang notabenenya telah kehilangan kemurniannya, dengan beragam penetrasi yang telah masuk ke dalam relasi harian orang-orang di kampung.

Ketika ruang sosial yang terbentuk melalui spiritualitas dalam mudik, yang paling mengkhawatirkan adalah ketika individu mulai membohongi dirinya atau menipu diri sendiri  demi terlihat sukses, terlihat Bahagia dan hidupnya seakan baik-baik saja, tentu amat menyakitkan dan pilu. Maka dengan kata lain “mudik” akan menjadi trauma tiap individu. Ketika trauma ini tidak  dapat diindentifikasi oleh tiap individu dan tidak terurus, maka sangat potensial, trauma ini akan bergenerasi dan ternormalisasi dalam kehiduapan sosial kita.

Baca juga:  Setelah Menonton "Bumi Manusia"

Beberapa antropolog pun menaruh perhatiannya secara khusus pada hubungan budaya dan psikologi, seperti Bronislaw Malinowski[2], Margaret Mead[3], Clifford Geertz[4], Sherry Ortner[5], dan Robert Levy[6], para antropolog tersebut memberikan kontribusi yang cukup signifikan dan memperdalam perspektif kita tentang proses pengembangan hubungan budaya dan psikologis, karena mereka menganggap bahwa tiap trauma yang dialami individu biasanya berakar pada aspek budaya yang bekerja dalam struktur sosial tertentu.

Hasil refleksi personal saya dan pengalaman melakukan riset di kampung-kampung,  ada beberapa perubahan yang terjadi seperti cara berpikir dan cara berelasi bagi orang di kampung. salah satunya yang dapat saya indentifikasi adalah tingginya frekuensi gosip yang secara diam-diam menguat dalam relasi harian orang-orang, yang pada dasarnya, gosip ini, menurut hemat saya merupakan ekspresi sosial dalam relasi harian individu yang sangat kompetitif. Tentunya tingginya frekuensi gosip akan berdampak atas retaknya hubungan sosial bahkan mudah terjadi konflik dalam keluarga dan masyarakat. Selain dari itu, gosip ini akan berdampak pada menurunya kepercayaan diri individu yang digosipi, seperti dalam mengeluarkan pendapat, berorganisasi, sekolah, gaya berinteraksi dan melakukan hal-hal baru. Bahkan gosip ini, akan menentukan bagaimana proses pengambilan keputusan dalam keluarga dan masyarakat, yang didasarkan pada kelas sosial, usia dan gender tertentu.

Baca juga:  Tashkent yang Cantik, yang Hangat

Melalui pembentukan ruang nyaman yang terfasilitasi oleh aspek spiritual orang-orang di kampung, sepertinya gagasan Wahyu Budi Nugroho[7] akan lebih tepat karena melihat mudik sebagai suatu ikatan kekerabatan yang kuat dalam masyarakat. Sayangnya beliau melompat dan mengabaikan aspek psikologis individu dan bagaimana perubahan-perubahan di kampung terjadi dalam memotret tradisi mudik di Indonesia sebagai sebuah fenomena sosial dan kebudayaan.

Selain dari kebiasaan berziarah, mudik dalam pengertian saya, bisa menjadi ruang reflektif bagi tiap individu, dalam melihat perubahan-perubahan yang terjadi di kampung, sekaligus menjadi momentum merawat keseimbangan imajinasi pada hiruk-pikuk kehidupan perkotaan dan akar budaya komunitas asal.

Dalam hal ini, mudik merupakan sesuatu yang amat penting, karena berkaitan erat dengan aspek spiritual dan kultural yang mendalam, yang memungkinkan tiap individu mendapatkan energi bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Itulah sebabnya mudik selalu sangat merindukan bagi tiap orang yang merantau, namun yang perlu digaris bawahi adalah ketika momentum mudik telah berubah menjadi pengadilan sosial yang tidak dapat memahami trauma individu masing-masing anggota komunitas. Meskipun selalu merindukan tetapi kadang momentum mudik menjadi suatu pertimbangan lain, bagi tiap individu dan secara terus menerus memikirkan cara bertahan dan menyesuaikan terhadap keadaan yang pada dasarnya tidak membuatnya nyaman.

Mudik bukan sekedar fenomena migrasi temporer, melainkan sesuatu yang cukup kompleks yang berakaitan erat antara individu dengan identitas kultural, spiritual, psikologis dan sistem ekonomi-politik yang bekerja. Mudik akan menjadi simbol perjalanan Kembali ke akar budaya, refleksi diri, dan proses menegosiasikan nilai kekerabatan yang lebih nyaman dan aman bagi tiap individu yang melakukan mudik.***

Baca juga:  Kisah Tiga Keluarga dalam Perubahan; Tanah, Rumah & Memoar Kehidupan Yang Hilang

Surahmat Tiro adalah Pegiat di Rumah Buku Carabaca dan Peneliti Sosial-Budaya di Cita Tanah Mahardika

Referensi

[1] Kayam, Umar. (2002). Para Priyayi: Sebuah Novel Sosial-Budaya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

[2] Bronislaw Malinoswki, Seorang Antropolog Polandia-Britania yang dikenal sebagai salah satu pendiri antropologi sosial. la juga mempelajari psikologi dan mengembangkan konsep “psikologi antropologis” yang mempelajari hubungan antara budaya dan psikologi, 1884-1942

[3] Margaret Mead, seorang antropolog Amerika yang dikenal karena karyanya tentang perkembangan anak dan remaja di berbagai budaya. la juga mempelajari psikologi dan mengembangkan konsep “psikologi budaya” yang mempelajari bagaimana budaya mempengaruhi perkembangan psikologi individu, 1901-1978.

[4] Cliffort Geertz, seorang antropolog Amerika yang dikenal karena karyanya tentang interpretasi budaya. la juga mempelajari psikologi dan mengembangkan konsep “psikologi interpretatif” yang mempelajari bagaimana individu memahami dan menginterpretasikan budaya mereka sendiri, 1926-2006

[5] Sherry Ortner, seorang antropolog Amerika yang dikenal karena karyanya tentang psikologi budaya dan antropologi feminist. la mempelajari bagaimana budaya mempengaruhi perkembangan psikologi individu, terutama dalam konteks gender dan kekuasaan, 1941-Sekarang

[6] Robert Levy, seorang antropolog Amerika yang dikenal karena karyanya tentang psikologi budaya dan antropologi medis. Ia mempelajari bagaimana budaya mempengaruhi perkembangan psikologi individu, terutama dalam konteks kesehatan mental dan penyakit, 1924-2003

[7] Nugroho, Wahyu Budi. (2021). “Mudik adalah Budaya dengan Nilai Kekerabatan yang Kuat.” Antara News.

0%