Mengkaji dan Mengkaji Tasawuf secara Lintas Disiplin

Review buku Mujiburrahman. Tasawuf: Merintis Kajian Interdisipliner. Yogyakarta: Gading, 2023; vi+310 hlm

Oleh: Wahyuddin Halim

Buku yang cukup tebal ini ditulis oleh, Prof. Mujiburrahman, seorang guru besar bidang Sosiologi Agama di UIN Antasari Banjarmasin. Selain sebagai akademisi, sejak 2017 Prof. Mujib saat ini juga adalah rektor kampus tersebut. Periode keduanya baru akan berakhir pada 2025.

Walau punya jadwal yang pasti padat sebagai rektor, mengagumkannya, penulis buku ini masih sempat, bahkan sejak 2009 hingga hari ini, tiap Senin menulis kolom rutin bernama “Jendela” di harian lokalBanjarmasinpost. Sebagian besar artikel di kolom tersebut telah juga diterbitkan menjadi beberapa buku. Selain beberapa artikel ilmiah di jurnal akademik, penulis juga masih tetap menulis atau mengedit buku-buku ilmiah yang serius, termasuk buku ini.

Dalam menulis buku terbarunya ini, Dr. Mujib mengakui jika minatnya pada bidang tasawuf sudah tumbuh bahkan semasih sebagai santri di satu pesantren di Banjarbaru, Kalsel. Dan minatnya itu “tidak pernah padam” walau sudah menempuh pendidikan S1 di IAIN Antasari, Banjarmasin. Akan tetapi, mungkin demi alasan akademik, belakangan penulis menggeluti bidang akademik baru, yaitu studi agama-agama, khususnya sosiologi agama.

Dalam bidang terakhir ini pula, penulis menulis disertasi doktoral di Universitas Utrech, Belanda. Disertasi ini lalu diterbitkan menjadi buku dengan judul Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order(Leiden : Amsterdam University Press, 2006).

Nah, buku tentang tasawuf yang terbit di awal 2023 ini merangkum sejumlah makalah penulisnya yang pernah terbit baik sebagai artikel jurnal ilmiah maupun sebagai bab di edited volume terbitan nasional dan internasional.

Namun demikian, walau merupakan kumpulan tulisan, buku ini menunjukkan benang merah yang jelas di setiap bab. Ia juga menyajikan satu tema dan argumentasi pokok yang relevan, yaitu tentang tasawuf dalam berbagai aspeknya. Penulis berupaya menunjukkan bahwa tasawuf dapat, atau seharusnya, dikaji dengan pendekatan interdisipliner, khususnya dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Dalam hal kandungan buku, selain satu bagian pendahuluan, buku ini terdiri atas sembilan bab, plus daftar pustaka dan riwayat (sumber) tulisan. Di bagian pendahuluan, penulis menyinggung adanya paradoks yang biasa muncul antara mengkaji satu disiplin ilmu agama di satu sisi dengan tujuan “memahami agama sebagaimana adanya” dan, di sisi lain, mengkajinya untuk tujuan “mendapatkan petunjuk dan pegangan hidup” (h. 3).

Baca juga:  Dari Khazaks ke Uzbek: Perjalanan Ke Permata Asia Tengah yang Mengesankan

Membaca ini, saya jadi teringat dengan perbedaan yang dibuat oleh Dr. Mun’im Sirry, pakar kajian Al-Qur’an asal Indonesia yang kini mengajar di Universitas Notre Dame, AS. Dr. Mun’im membedakan antara “belajar agama” dan “belajar tentang agama”. Yang disebut pertama itu untuk tujuan devotional atau kesalehan belaka; yang kedua untuk tujuan akademik. Yang pertama saya istilahkan “mengaji”, yang kedua “mengkaji”. Saya biasa menambahkan hal ketiga, “belajar beragama”. Sebut saja “menjadi” (Bugis, “mancaji”), yakni berupaya mengamalkan agama sehingga seseorang menjadi manusia agamis, atau agamawan.

Di bab 1, penulis merangkum berbagai pendekatan dalam mempelajari tasawuf secara akademis sejauh ini: historis, filologis, fenomenologis, tradisionalis, reformis dan sosiologis. Ulasan-ulasan di bagian ini, minimal bagi penulis resensi ini, terasa sangat informatif, apalagi didasarkan pada literatur-literatur mutakhir dalam bidang-bidang terkait. Bab ini menunjukkan penguasaan akademik yang baik dari penulis buku itu tentang beragam literatur klasik dan modern tentang tasawuf.

Bab 2 membahas tentang persamaan dan perbedaan antara psikologi modern dan tasawuf dalam rangka dialog yang saling menguntungkan antara keduanya. Syukur-syukur jika proses itu dapat akhirnya melahirkan satu cabang ilmu interdispliner baru, misalnya psiko-sufistik.

Bab 3 menganalisis hubungan antara agama, media, dan imajinasi dari perspektif tasawuf dan ilmu sosial. Yang menarik, penulis mencoba menawarkan pandangan yang berbeda tentang hierarki wujud dari sudut pandang tasawuf dan pandangan modern yang lebih empiris. Misalnya mencoba memahami konsep tentang imajinasi dalam makna sebagai batas antara dunia fisik dan metafisik. Dalam tasawuf, konsep tentang imajinasi ini demikian rumit sehingga untuk memahaminya diperlukan penalaran filosofis yang pelik sekaligus ketajaman visi spiritual.

Bab 4 mendisuksikan pentingnya konsep niat dalam Islam dengan menbedah pandangan tasawuf (Al-Ghazali), fiqih (Al-Sayuti), dan fenomenologi. Dua pandangan pertama memandang niat sebagai penentu nilai ibadah atau tidaknya suatu perbuatan secara esoteris dan eksoteris. Sedangkan fenomenologi (agama) melihat niat sebagai batas antara dimensi yang sakral (the sacred, the holy) dan yang profan dalam agama.

Baca juga:  Budi Utomo: Waktu Dan Tempat

Bab 5 mengulas kritik Fazlur Rahman terhadap tasawuf dan tanggapan penulis buku ini atas kritik sang pemikir neo-modernis Islam tersebut, dengan berfokus pada konteks pemikiran sosio-historisnya.

Bab 6 mendeskripsikan perkembangan tradisi tasawuf dalam masyarakat Banjar dari abad ke-18 hingga ke-21. Di sini penulis berupaya menelisik corak pemikiran dan gerakan tasawuf yang berkembang dalam konteks lokal. Penulis menunjukkan bahwa tasawuf teoritis dan praktis tetap menjadi wacana yang hidup dan dinamis dalam masyarakat Banjar.

Bab 7 menyorot kontroversi pemikiran sufistik dalam kitab Al-Durr al-Nafis, karya Muhammad Nafis al-Banjari. Bab yang cukup panjang ini mendeskripsikan berbagai pandangan kontroversial seputar buku Al-Durrdari dimensi teologis-filosofis dan sosiologisnya. Kontroversi tentang Al-Durrmenunjukkan dinamika perdebatan intelektual di kalangan ulama Banjar antara yang berkecenderungan fiqih, teologis dan sufistik.

Bab 8 menunjukkan upaya penulis mengulas kisah Nabi Ayub dalam Al-Qur’an untuk memahami makna penderitaan dan kejahatan dalam hidup manusia. Dengan pendekatan psikologis, dan didasarkan pada ulasan-ulasan ulama tafsir, teolog, sufi, filsuf, dan sosiolog agama, penulis menunjukkan kompleksitas isu seputar kebahagiaan, penderitaan dan kejahatan menurut agama dan ilmu-ilmu sosial humaniora.

Bab terakhir, bab 9, membahas konsep Al-Ghazali tentang kimia kebahagiaan sebagaimana diulas oleh sang hujjatul Islam itu dalam kitab kecilnya, Kimia Kebahagiaan (Kimiyat al-Sa’adah). Penulis memaparkan sejumlah kritik dan apresiasi dari sarjana kontemporer terhadap tasawuf dan khususnya terhadap kitab ini. Di antara kritik itu adalah tentang adanya bias kultural, gender (khususnya partiarkis), dan pengalaman historis Al-Ghazali ketika menulis buku tersebut. Akibatnya, pengalaman dan aspirasi kaum perempuan, misalnya, tidak terlihat dalam ulasan-ulasan Kimia Kebahagiaan.

Secara umum, lewat buku ini, penulis berargumen bahwa tasawuf dapat memberikan kerangka holistik untuk mengatasi tantangan-tantangan modern. Tasawuf juga dapat berkontribusi pada pengembangan pemahaman spiritualitas Islam yang lebih komprehensif dan terintegrasi.

Baca juga:  Bagaimana Kuasa Penyingkiran Bekerja di Asia Tenggara

Secara keseluruhan, buku ini menawarkan pendekatan yang unik dan inovatif dalam studi tasawuf. Ia dapat menjadi tambahan sumber informasi yang berharga bagi para sarjana dan mahasiswa studi Islam pengkaji tasawuf. Buku ini juga dapat bermanfaat bagi mereka yang tertarik pada titik persimpangan antara dimensi spiritualitas agama dan disiplin ilmu lainnya.

Salah satu keunikan atau keistimewaan buku ini terletak pada keragaman dimensi dan manifestasi tasawuf yang diulas dalam satu buku. Yang saya maksud adalah, dalam buku ini kita dapat mempelajari sekaligus: (1) ulasan-ulasan teoritis klasik tentang tasawuf (bab 1); (2) tokoh-tokoh sufi atau para sarjana yang mengulas tentang tasawuf (bab 2 dan 5); (3) teks-teks tertentu tentang tasawuf (bab 7 dan 9); (4) tema-tema pokok dalam tasawuf (bab 3, 4 dan 8); dan (5) konteks lokal sosiologis di mana tasawuf pernah dan masih menjadi ajaran yang hidup dalam masyarakat lokal terentu (bab 6).

Di bagian pendahuluan, penulis merendah hati menyebut diri sebagai “seorang pemula” dalam percobaan “menerapkan” pendekatan atau dialog “antardisipliner” (h. 6). Akan tetapi, ulasan-ulasan ilmiah buku ini tidak dapat menyembunyikan kompetensi atau kredensi akademik penulisnya dalam bidang yang ditulis, walau secara akademik dia adalah guru besar bidang sosiologi agama.

Ringkasnya, Dr. Mujib tidak hanya kompeten dalam mengulas beberapa disiplin klasik keilmuan Islam (tafsir, tasawuf, falsafah, dan fiqih) tetapi juga dalam disiplin ilmu sosial-humaniora (filsafat, sejarah agama-agama, psikologi, sosiologi, dan antropologi).

Karena sejumlah hal tersebut di atas, dan alas an-alasan lainnya, saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca untuk tujuan personal maupun akademik. Secara personal, membaca buku ini bermanfaat dalam, meminjam ungkapan penulis sendiri, “memahami dialektika antara ajaran normatif dan prilaku umat beragama” (h. 4). Secara akademik, buku ini sangat relevan menjadi salah satu referensi utama atau anjuran dalam mengkaji tasawuf dari perspektif kontemporer dan dengan pendekatan multidisipliner, baik di tingkat sarjana, apalagi pascasarjana.***

 

Penulis merupakan Dosen Fak. Ushuluddin dan Filsafat Uin Alauddin Makassar

 

0%