Oleh Muhammad Ridha
Salah satu istilah yang paling rancu dalam studi-studi sejarah Islam, sejarah kebudayaan Islam atau sejarah dunia (yang membahas episode dalam dunia Islam) adalah berkaitan dengan di mana tempat ‘dunia Islam’ dan sejarahnya berada. Banyak jawaban atas persoalan peristilahan ini. Jawaban dari pertanyaan ini akan merujuk istilah-istilah yang bermacam-macam dan tumpang tindih satu dengan lainnya atau tidak saling sesuai satu dengan lainnya atau bahkan gambarannya mencerminkan rasisme yang inheren. Atau mungkin juga, menggunakan istilah Samir Amin, penggambaran kita atas dunia Islam seturut dengan Barat yang telah menyusun suatu pengetahuan eurosentrik.Kekeliruan tersebut sebenarnya sejak jauh hari disampaikan oleh Marshall G.S. Hodson, seorang raksasa kajian sejarah Islam di Universitas Chicago, yang merasa penggambaran peta dunia Islam dan penggunaan istilahnya sudah sejak lama bermasalah baik dari sisi istilahnya yang tidak menunjukkan realitas yang disebutkannya, orientasi penyebutannya yang cenderung perspektif Eropa dan rasial dalam pengetahuan Mercator, yang melihat segalanya selalu dari sudut pandang Eropa. Istilah Timur Tengah misalnya memperlihatkan bahwa wilayah Arab, tempat lahirnya Islam, sebenarnya hanya merujuk beberapa kawasan saja dan menyisihkan kawasan Islam yang jauh lebih luas. Penggunaan terminologi ‘timur tengah’ juga sangat bias bahwa ‘wilayah ini’ dilihat berada di sebelah timur Eropa Barat tapi di bagian tengah dari kawasan yang ditempatinya sendiri. Istilah “timur dekat’ yang sering digunakan oleh sarjana Eropa malah jauh lebih etnosentrik lagi. Seakan-akan wilayah ini dilihat dari sisi barat laut tengah mengjhadap ke timur dan melihat suatu wilayah di bibir timur laut tengah: disebutlah timur dekat. Sebab yang terdekat dari Eropa, untuk membedakannya dengan ‘timur jauh’ seperti wilayah sungai Indus sampai Cina.
Etnosentrisme dalam penyusunan atau pembuatan peta di Barat ditunjukkan dengan menarik oleh Hodson. Dia menyebut sub judul dari masalah itu dengan langsung menudingnya sebagai sebuah kekeliruan karena bercorak barat “Proyeksi-proyeksi Peta Dunia dan Atlas-atlas Bercorak Barat.” Berikut ulasannya:
“Klasifikasi etnosentrik abad tengah telah dilestarikan dan kemudian dipindahkan ke dalam peta dunia Barat Modern, tak ubahnya seperti konsep ‘orient’ yang sama-sama etnosentriknya. Kerancuannya diselubungi oleh penggunaan yang semakin meluas dari peta dunia yang bisa dilihat menyimpang dengan drastik, proyeksi Mercator, yang dengan cara membesarkan belahan utara dunia berusaha membuat ‘Eropa’ yang dibatasi secara artifisial terlihat lebih luas dari Afrika secara keseluruhan, dan semenanjung erasia lainnya, India terlihat cukup kerdil. Dengan cara itu semua kota-kota Eropa yang “terkenal” dimasukkan, sementara kota-kota di India yang tidak dikenal bisa dihilangkan.”[1]
Cara pandang dalam pemetaan dan penyusunan atlas dimana dunia diproyeksikan secara visual, mempengaruhi cara kita melihat persoalan. Karena informasi yang tidak lengkap seperti kasus “India yang dikerdilkan’ di atas dan Eropa dibesar-besarkan hingga detil menyebutkan kota-kota ‘yang terkenal’. Tapi terkenal oleh siapa dan dari siapa? Orang-orang Eropa mungkin akan mengenali kota-kota ‘terkenal’ di sekitarnya tetapi jika yang ditanyai orang india atau orang arab maka kota-kota di India, yang di abad tengah hingga saat ini adalah kota-kota muslim bahkan menjadi salah satu ibukota sebuah dinasti muslim, pasti juga akan mengenal kotanya. Masalahnya pembuatnya adalah Eropa dan perspektifnya etno-eropasentrik. Karenanya semua yang berada di luar Eropa dianggap “kota-kota yang tidak dikenal” dan pantas dihilangkan dari proyeksi. Bahkan keyakinan seperti ini banyak digunakan oleh sejarawan Eropa hingga hari ini. Padahal, seperti dikemukakan Hodson, peta yang umum diketahui oleh masyarakat luas di Eropa sejak lama keliru. Mereka hanya mengenai tiga wilayah dalam sistem kartografi umumnya, yakni yang terhubung langsung dengan laut tengah (Mediterania). Eropa Barat di sisi barat, afrika di sisi selatan dan Asia di sisi timur. Amat berbeda dari system kartografi Islam yang sejak masa awal Islam telah mengenal secara umum tujuh wilayah seperti yang digunakan saat ini.
Seperti dikemukakan Hodson “Kaum Muslimin di masa-masa yang lalu memiliki sebuah gambaran dunia “yang dikenal” lebih imbang dibanding dengan gambaran dunia orang-orang Eropa Barat. Peta-peta dalam buku-buku sejarah barat tertentu yang disebut “dunia yang dikenal” tentu tidaklah mewakili dunia yang dikenal di pusat-pusat yang lebih maju dan kosmopolitan, tetapi sebagaimana yang dikenal oleh masyarakat umum yang melek huruf dari Eropa barat. Pembagian dunia purba mereka bukanlah ke dalam tujuh bagian, seperti yang dimiliki kaum muslimin, tetapi hanya ke dalam tiga bagian, yang terpusat di laut tengah (daratan sebelah utaranya adalah Eropa; dan daratan-daratan sebelah selatannya, Afrika dan sebelah timurnya Asia).” Suatu penggambaran umum yang menyimpang dan sedemikian sangat distorsif. Karenanya, lanjut Hodson, distribusi seperti itu tentu saja sama sekali tidak tepat bagi belahan bumi secara keseluruhan.[2]
Karena kerancuan semacam inilah banyak ilmuwan mengritik cara penempatan dunia Islam, baik dari pemetaannya secara teknis maupun konsep-konsep di belakang pemetaan tersebut. Salah satu yang tidak menerima penggunaan istilah ‘Timur’ yang juga sering merujuk kepada dunia Islam seperti yang sering digunakan di Jerman, adalah Edward Said. Dia malah mengritik penyebutan Timur kepada Timur itu sebagai suatu Geografi Imajinatif. Apa yang disebutkan tak pernah benar-benar sesuai denga napa yang dituju oleh istilah itu dan penggambaran-penggambaran atas objek yang dituju. Gambaran bahwa timur lebih kuno, lebih liar, cenderung menggunakan rasa daripada rasio, sulit dikontrol dan tidak beradab (uncivilized) adalah gambaran biasa dalam karya sastra dan seni lainnya yang umum menyebar di Eropa. Karena itu, Said mengungkapkan kalau Timur sebenarnya diciptakan untuk “di-timurkan” (lengkap denga stereotypenya) untuk meneguhkan bahwa barat lain dari timur, dan lebih tinggi, lebih beradab, teratur dan rasional daripada Timur.[3]
Cara pandang Eropa yang banyak disokong oleh orientalis, suatu cabang ilmu di Eropa dan Amerika yang berkembang untuk mempelajari dunia Timur sekaligus menguasai Timur, jika mengikuti istilah Said. Atau banyak disokong oleh para akademisi westernis, oleh Hodson, yakni satu kategori pemikiran orang Eropa yang cenderung berperspektif dan berorientasi Eropa.[4]Kumpulan para akademisi berperspektif Eropa sentrik (atau lebih khusus lagi Eropa Barat), atau Barat sentrik inilah yang memproyeksikan pengetahuan-pengetahuan, pemetaan-pemetaan atau stereotyping-stereotyping atas dunia Timur yang sebenarnya tak pernah tunggal dan tetap.
Cara memetakan timur dan barat menurut Said diliputi kepentingan barat atas timur dan berdasar kuat pada apa yang disebut Said sebagai geografi imajinatif barat atas timur. Konsepsi ini ingin merujuk pada konsep pemetaan-pemetaan oleh Mercator dan dikonsumsi oleh akademisi baik di dunia Barat maupun di Dunia Islam yang berdasarkan pada imajinasi umum. Yang lebih merujuk pada psikologi secara umum bagaimana kita mempersepsikan suatu ruang disekitar kita dan ruang jauh yang dianggap berbahaya. Said menggambarkan bagaimana konsep geografi imajinatif itu bekerja: “Adalah mutlak mungkin untuk berargumentasi bahwa beberapa obyek yang ‘khas’ diciptakan oleh pikiran, dan obyek-obyek tersebut sementara Nampak bereksistensi secara obyektif, hanya memiliki realita fiktif saja. Sekelompok orang yang tinggal di satu tempat tertentu akan menciptakan batas-batas antara tanah tempat tinggal mereka dengan lingkungan terdekat dan Kawasan luar, yang mereka sebuat “tanah orang biadab”. Dengan kata lain praktik universal, untuk menyuguhkan kepada pemikiran sendiri suatu ruang yang akrab yang disebut “daerah kita” dan suatu ruang lain di luar “daerah kita”, yang diberi sebutan “daerah mereka” adalah suatu cara untuk menciptakan pembedaan-pembedaan geografis yang bisa jadi sepenuhnya bersifat arbitrer (acak).”
Dengan demikian, setiap kebudayaan sebenarnya memiliki suatu gambaran yang khas dan imajinatif atas suatu ruang tertentu. Hanya saja, barat menginstitusionalisasikan ketakutan tersebut dalam produksi-produksi ‘geografi imajinatif’ dalam sejarah, ilmu sosial, kartografi dan yang mencakup ke semuanya itu dalam suatu disiplin orientalis yang bekerja kira 2 abad terakhir. Dan penggambaran tersebutlah yang mengisi studi-studi sejarah islam di barat, buku-buku teks sejarah dunia yang cenderung mengecilkan dan menyingkirkan Islam dari bahasan. Seperti contoh yang dikemukakan oleh Tamim Ansary mengenai hanya ada 1 capter dari buku sejarah dunia yang membahas islam. Bahkan sebuah buku teks lain berisi 37 capter dan satu di antaranya membahas dunia Islam yang diberi judul capter abad pertengahan.[5]
Karena persoalan-persoalan penempatan kaum muslim, istilah-istilah dari obyek tersebutlah para pemikir sejarah Islam mencoba memberikan alternatif dengan menyebut alas an-alasannya atas istilah yang diajukan, termasuk keunggulan-keunggulannya dari istilah yang sering digunakan. Dua di antara yang memberikan usulan peristilahan mengenai tempat dimana Islam dan kaum Muslimin tumbuh dalam ruang geografis yang bisa dijelaskan batas-batasnya adalah Hodson dan Tamim Ansary. Jika Hodson enam decade lalu memberikan istilah dalam bukunya yang telah menjadi buku klasik dan banyak dirujuk oleh sejarawan islam, The Venture of Islam jilid I, mengenai wilayah kaum muslim dengan “Dari Nil ke Oxus”. Di sinilah tanah air dan tempat tumbuh kembang islam hingga dewasa ini. Paling tidak mencakup wilayah-wilayah di tanduk Afrika di sekitar delta sungai Nil dan yang lebih ke timur di sekitar Afganistan, Uzbekistan dan Turkmenistan yang dialiri oleh sungai Oksus.
Penggunaan terminologi “dari Nil ke Oksus” dianggap lebih baik daripada istilah timur tengah karena paling kurang tiga hal, pertama, timur tengah dianggap ungkapan yang kabur karena dia digunakan untuk suatu Kawasan yang terbatas seperti negeri-negeri arab bagian timur (atau timur laut). Kedua, penggunaan istilah timur tengah telah digunakan untuk suatu wilayah yang sangat luas dari Maroko sampai Pakistan atau kadang-kadang untuk negeri kaum muslim yang cukup jauh. Ketiga, kelemahan lain dari penggunaan istilah timur tengah adalah bahwa istilah itu menyatakan secara tidak langsung bahwa “timur tengah” adalah bagian dari “timur”- yakni, suatu wilayah di sebelah timur laut tengah. Di sini cara penempatannya terlihat etnosentrik karena wilayah ini didefenisikan seolah-olah dilihat dari Eropa ke arah Timur. Kerancuan sama seperti ini dengan istilah “Timur Dekat” yang mengandaikan suatu wilayah yang lebih ke barat dan dekat dari Eropa daripada “timur jauh”.[6]
Untuk alasan yang ketiga dari Hodson ini, Tamim mengusulkan istilah “dunia Tengah” dengan menunjuk penjelasan mengenai dunia di antara laut tengah (dunia mediterania) dan dunia Cina. Seperti dikemukakan Tamim: “Timur Tengah mengasumsikan seseorang sedang berdiri di Eropa barat- jika anda berdiri di dataran tinggi Persia, misalnya, dunia yang disebut timur tengah justru adalah barat tengah. Oleh karena itu, saya lebih senang menggunakan istilah dunia tengah untuk wilayah dari Indus hingga Istanbul.”[7]
Bagaimana dengan Indonesia, wilayah yang lebih jauh lagi, sebelah Timur India dan dibatasi oleh Samudra Hindia? Atau negeri-negeri Melayu di sekitar Indonesia seperti Malaysia, Brunei Darussalam? Apakah mereka dimasukkan ke kategori “timur Jauh” dan karena itu bukan bagian dari “dunia tengah” atau wilayah “dari Nil ke Oksus” seperti dikemukakan Hodson dan Tamim Ansary? Tentu saja penggunaan-penggunaan istilah-istilah geografis penempatan Islam itu sungguh terbatas karena dunia tempat Islam menyebar sudah merentang ke suatu geografis yang tidak lagi bisa diringkas sekedar “Timur Tengah”, “Timur Dekat” dar “nil ke Oksus” atau “dunia Tengah” saja sebab centang perenangnya sudah demikian luas.
Penggunaan-penggunaan istilah, terutama yang paling reduktif dan mengkerutkan wilayah dunia Islam ke dalam ‘timur tengah’ seperti yang sering digunakan oleh para sarjana barat, menunjukkan ketakcukupanketakcukupannya dan memerlukan suatu perspektif teoritik dan istilah operasional yang baru dan tepat, yang diharapkan, akan berkonsekwensi pada dicakupnya seluruh panggung dunia Islam yang amat luas, dan karena itu, pelajaran dari wilayah yang amat luas dan menentukan sejarah kita ini, menjadi lebih dalam dan memberi manfaat luas.