Oleh: Muhammad Ridha
“Pengajar di madrasah setia mengajarkan studi-studi dan juga pembelajaran privat di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan alam, termasuk pengobatan, dan bahwa manuskrip-manuskrip berisi subyek-subyek tersebut bisa didapat di perpustakaan-perpustakaan madrasah dan masjid-masjid sekolah.”
[A.I. Sabra]
Ketika Tezkirici Kose Ibrahim Efendi, seorang intelektual Islam di Turki pada abad ke 17, menerjemahkan ke Bahasa Arab sebuah karya seorang astronom Prancis Noel Durret dengan judul Sajanjal al-Aflak fi Ghayat al-Idrak, dunia Islam baru saja bersentuhan dengan peristiwa revolusi sains yang sedang melanda Eropa. Dia menunjukkan terjemahan tersebut kepada astrolog istana Utsmani, Mehmet Efendi. Salah satu bab dalam buku yang diterjemahkan oleh Ibrahim Efendi tersebut membandingkan model-model dan bagan astronomi buatan Copernicus, Ptolomeus dan Tycho Brahe. Lalu astrolog istana itu, setelah membaca dengan teliti dan tak memahami apa-apa dari buku tersebut bilang: “Orang-orang Eropa banyak sombongnya. Sama seperti yang ini”[1].
Suatu sikap yang kurang berhati-hati memberikan respons atas temuan-temuan baru di dunia sains Eropa yang baru saja menggeliat meninggalkan selangkah-demi selangkah ilmuwan-ilmuwan islam. Tapi apakah respons itu salah dan berlebihan? Mengingat yang menyebutkan ini adalah bagian dari suatu kebudayaan dan sains di dunia luas yang menurut, Tamim Anzari, telah memimpin kemajuan dunia sekitar seribu tahun. Tentu saja taka da hubungannya, astrolog istana menyebutkan sesuatu dengan kebenaran sesuatu yang disebutkan itu jika tanpa pengetahuan dan penelitian mendalam. Tetapi bukankah itu juga bisa dibaca suatu cermin dari superioritas kebudayaan dan kultur sains yang masih tersisa setelah ingatan sosial mereka masih benar-benar lekat bagaimana dunia luas ini mengirim ilmu pengetahuan dan sainsnya ke dunia Kristen Eropa lalu tiba-tiba menjadi lebih unggul dan tulisan dari ilmuwan mereka sedang diterjemahkan masuk ke dunia Islam.
Baiklah. Kita anggap saja ini ‘kesoktahuan’ astronom istana yang tidak ingin terlihat bodoh di hadapan subjek yang didalaminya dengan astronomi gaya lama dan keyakinan geosentrisnya tanpa melihat perubahan di dunia sains modern Eropa yang telah melaju dengan cepat terutama dengan perubahan orientasi menuju heliosentrisme. Tapi mungkin ini tak salah-salah amat. Di tengah dan di antara peristiwa-peristiwa revolusi sains, temuan-temuan para ilmuwan, baik di dunia Islam maupun di dunia barat tidak selalu menunjukkan superioritas sains barat yang baru itu.
Sebutlah misal bagaimana astronom Eropa yang sedang di puncak panggung menuju revolusi sains di Eropa, kalah akurat dari temuan astronom Utsmani, Taqi al-Dien (w.1586) yang menggunakan model-model astronomi lama untuk mengukur gerak tahunan dari titik terjauh matahari di lingkaran angkasa. Tycho Brahe mengukur dengan angka 45 detik busur dan Taqi al-Dien mengukur dengan hasil 63 detik busur. Bagaimana dengan pengukuran saat ini? Para ilmuwan mempercayai titik terjauh matahari pada 61 detik busur.Tycho berselisih 16 poin dari angka yang disepakati para ilmuwan saat ini. Sementara Taqi al-Din hanya berselisih 2 detik bujur saja. Selisih akurasi yang sangat jauh berbeda, meski saat itu, Tycho Brahe dianggap lebih unggul, tetapi saat ini, angka itu jelas jauh meleset.
Mungkin karena itu perkataan astronom utsmani di atas, jika dibaca dari kacamata saat ini, seperti menemukan konteksnya. “Orang-orang Eropa banyak sombongnya. Sama seperti yang ini”. Pernyataan ini sebenarnya bisa dianggap sebagai semcam zeitgeist dari suatu dunia Islam yang secara psikologis masih merasa benar dan masih merasa lebih superior dari kebudayaan lain, seperti yang masih disaksikan oleh era Tycho dan Taqi al-Dien.
***
Ibnu Khaldun, seorang ilmuwan muslim abad ke 15, yang hidup kira-kira 150 tahun sebelum era revolusi sains dirintis di Eropa, menuliskan dalam bukunya Muqaddimah, bahwa meskipun ilmu pengetahuan benar-benar sudah lenyap di Andalusia dan Magrib, tapi ilmu pengetahuan masih terus berkembang di timur Islam. “Kota-kota di sana tak pernah berhenti memiliki peradaban yang tumbuh terus menerus termasuk tradisi pengajaran ilmu pengetahuan yang selalu terus menerus dipertahankan.”[2]
Tahun-tahun ketika Ibnu Khaldun hidup, malapetaka Mongol baru saja lewat. Bahkan malapetaka lanjutan, dari pemimpin Mongol yang telah terserap dalam dunia Islam seperti Hulagu Khan, Timur Lank, atau keturunannya, Ulugh Begh yang masing-masing telah menjadi pemimpin dinasti Islam di Asia Tengah, tempat yang disebutkan Ibnu Khaldun “tak pernah berhenti memiliki peradaban.” Di tempat ini peradaban Islam tumbuh dari satu penguasa mongol ke penguasa lainnya. Selain menghancurkan Persia dan berbagai wilayah Islam lainnya, dampak serangan Mongol yang utama adalah beralihnya pusat ilmu pengetahuan lebih ke timur ke Asia Tengah. Di sana, observatorium Maraga dan Samarkand segera menggantikan apa yang hancur di Bagdad
Di Kawasan-kawasan dunia Islam di Asia Tengah inilah kitab-kitab astronomi seperti Zij Ilkhani, Zij I Sultanai atau Zij al-jadid lahir selama sekira apa yang disebut awal kemunduran islam pasca serangan Mongol. Juga dioperasikan oleh sarjana-sarjana islam terkemuka seperti Nasiruddin Al-Tusi, yang menulis ‘tusi couple’ yang amat penting untuk memahami teori Aristoteles yang mengatakan semua benda di angkasa bergerak memutar; Qutbuddin al-Shirazi,penerus Al-Tusi; Kamaluddin Al-Farisi, ilmuwan islam yang menemukan penjelasan mengenai pelangi kira-kira seratus tahun sebelum Dietrich dari Freiburg menulis subjek yang sama; atau Al-Kashi dan penggantinya Qadisadeh al-Rumi.
Kira-kira seabad hingga dua abad sebelum dan saat-saat revolusi sains di Eropa, dunia Islam sedang sibuk dalam riset-riset astronomi, penulisan buku-buku kimia dan metalurgi, hingga penulisan kitab-kitab astronomi yang penting, sementara di sekitar revolusi sains, atau setelah revolusi itu di Eropa, di Timur, dunia Islam juga masih terus melakukan riset-riset ilmiah penting, baik di bidang astronomi ataupun aplikasi di bidang arsitektural, kimia dan metalurg
***
Ketika Tycho Brahe (1546-1601), Johannes Kepler (1571-1630), Galileo Galilei (1564-1642) dan Ishak Newtown bergelut dengan problem-problem baru yang mengguncang dunia sains, di sebelah timur, di dunia Islam yang luas, yang membentang dari wilayah Utsmaniah, Savawiyah, Asia Tengah hingga ke Magrib masih terus menerus melakukan apa saja dengan dasar-dasar sains mutakhir yang bisa diperoleh, meski tidak dengan metode baru dari revolusi sains. Sultan Selim, Sultan Sulaiman, dan Sultan Mehmet II di Turki sedang bergelut dengan problem-problem arsitelktural yang rumit bersama para ilmuwan yang dipimpin oleh arsitek dan ahli Teknik sipil Utsmani, Mimar Sinan, yang kelak menjadi terobosan-terobosan arsitektur di bidang pembangunan masjid-masjid monumental. Renovasi Gereja Hagia Sofia yang telah diubah fungsi menjadi masjid seabad sebelumnya oleh Mehmet sang penakluk dilakukan di era ini, pembangunan masjid biru, masjid sultan Selim, masjid Sulaimaniyah, juga proyek-proyek sipil seperti jembatan dan infrastruktur rumit lainnya di wilayah-wilayah utsmaniah. Dari ilmuwan besar seperti Mimar Sinan, lahir sejumlah arsitek utsmani yang juga menjadi perancang bangunan-bangunan monumental yang bisa dinikmati hingga saat ini. Di antara muridnya ada Sedefkar Mehmet Aga yang memimpin pembangunan masjid biru di depan Hagia Sofia.
Dalam pada itu, lebih ke timur lagi, ke Asia Selatan, yang sedang berada di puncak-puncak pencapaian sainsnya di bawah kesultanan Mughal, para sultan dan orang-orang penting istana membangun proyek-proyek besar dan monumental yang hingga kini menjadi suatu terobosan arsitektural dan tata ruang yang menyerap sejumlah kebudayaan ke dalamnya. Seperti ketika Humayun Tomb didirikan dan menjadi model mousoleum-mousoleum di banyak tempat dengan meniru kompleks makam tersebut. Suatu kompleks makam, monumennya, masjid dan taman-taman indah. Juga yang masih sulit dicarikan bandingannya adalah pengembangan dari Humayun Tom yang diaplikasikan oleh sultan Mughal bersama arsitek istana seperti Mirak Mirza Ghiyas atau Ismail Tahir Isfahani juga Ahmed Lahore. Di antara karya besarnya adalah Taj Mahal, yang merupakan kelanjutan dan pengembangan arsitektur makam yang berkembang di antara para sultan dan penerusnya mulai dari Bahadur Tomb di Kabul, Akbar Tomb, Humayun Tomb hingga Taj Mahal.
Di era yang tak berjauhan dari revolusi sains di abad ke-17, pada abad ke 18 awal sultan Mughal, Muhammad Shah, juga memerintahkan kembali pendirian observatorium di Jaipur, Delhi, Benares, Ujayyin dan Mathura. Bersama Maharaja Sawai Jai Sing, astronom-astronom istana di sejumlah observatorium itu terus mengembangkan penelitian-penelitian astronomi yang didasarkan pada katalog buatan Ulugh Begh.[3]jadi bagaimana ini bisa disebut periode kemunduran Islam? Jika secara metodologis orang-orang muslim tak memiliki kemampuan sains di era saat ini, sejak era koloni-koloni Eropa memerintah sebagian dunia muslim, itu bukan karena orang muslim sendiri tak pandai dan tak cukup untuk suatu dunia sains modern. Bahkan di era yang paling dianggap keterbelakangan islam, seperti dunia di sekitar perang dingin, seorang ilmuwan muslim dari anak benua India, di sekitar pusat-pusat kekuasaan dinasti Mughal di Pakistan, Abdus Salam muncul sebagai peraih nobel sains pertama dari kalangan muslim pada tahun 1979.
Penulis sendiri beranggapan, apa yang disebut kemunduran sains Islam, sesungguhnya tak pernah ada. Sains terus berjalan di dunia Islam dengan berbagai macam varian dan aplikasinya yang luas, mulai dari arsitektur, ekonomi, sosial-budaya hingga ke bidang-bidang lainnya hingga itu baru berhenti sebentar saja di titik di mana dunia Islam benar-benar di bawah koloni Eropa. Di luar itu, dunia Islam hidup dengan girah lamanya lagi: Sains Islam!
Muhammad Ridha Merupakan Dosen Uin Alauddin Makassar
Referensi
[1] Ekmeleddin Ihsanoglu (1992) Ottoman Science in The Classical Period and Early Contacts with Eropean Science and Technology Hal. 3
[2] Ibnu Khaldun Muqaddimah (Jakarta: Pustaka Averoes, 2006) Hal. 301
[3] John Freely Cahaya Dari Timur Peran Ilmuwan dan Sains Islam dalam Membentuk Dunia Barat (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo; 2011) Hal. 388