Ekonomi Politik Omnibus Law dan Perjuangan Kelas

Oleh: Imamul Hak

Gambar: @Marcelo Musto

“Makin besarnya kesejahteraan sosial, berfungsinya kapital, cakupan dan energi pertumbuhannya, maka karena juga kian besar jumlah absolut massa proletar dan produktivitas dari tenaga kerjannya, (dan) makin besar pula tentaran cadangan pekerja industri […] Ini adalah hukum umum absolut dari akumulasi kapital” (cetak miring asli).

Karl Marx.

Pengantar

Protes besar dan massif terhadap pengesahan UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang dalam wacana publiknya dikenal dengan istilah Omnibus Law atau UU Sapu Jagat,  semakin meluas dan membesar di hampir seluruh daerah di Indonesia. Bahkan UU Ciptaker ini jauh-jauh hari sudah mendapatkan banyak kritik dari para ahli hukum, organisasi buruh nasional, aktivis lingkungan dan agraria dan sejumlah akademisi. Pandangan kritis sejumlah kalangan tersebut bertolak pada gagasan bahwa produk hukum ini bermasalah dan kurang mengakomodir aspirasi dan kepentingan masyarakat, utamanya kelas pekerja (buruh), masyarakat adat, petani dan kelompok sosial lainnya. Sehingga penolakan atas pengesahan UU Ciptaker ini dianggap sangat masuk akal dan harus-wajib, apalagi proses pengesahannya dianggap terlalu dipaksakan. Akan tetapi narasi pembelaan berasal dari pemerintah, politikus dan akademisi juga mengisi ruang publik. Bahkan cara mereka merespon, melihat dan menilai protes publik itu sebagai aksi protes massa yang digerakkan oleh kelompok tertentu, dibiayai, ditunggangi, dan termobilisasi oleh provokasi, disinformasi atau Hoax.[1] Pada konteks ini publik disuguhkan oleh perdebatan publik yang beragam dan menarik. Di sisi penolak membangun argumentasi yang logis berbasis data dan keilmuan, sementara di kubu pembela terkesan menghindari substansi pokok persoalan malah memproduksi asumsi yang tidak logis ditambah politik mengkambinghitamkan kelompok lain. Dan yang paling parah adalah memakai aparatus negara-polisi untuk merepresi barisan penolak dengan kekerasan, penangkapan dan kriminalisasi. Untuk itu, tulisan ini hendak menjadi bagian dari arus besar pengkritik UU Ciptaker, terutama berupaya untuk melihat logic atau gagasan ideologis dibalik UU Omnibus Law sebagai suatu produk hukum-meminjam istilah Harvey-‘Negara Neoliberal’ untuk kepentingan kelas elit-borjuasi dan oligarkis.

Omnibus Law adalah produk “Negara Neoliberal”

Ideologi dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Tetapi ideologi ekonomi-politiknya sangat dipengaruhi oleh paham neoliberal, padahal spirit Pancasila justru bertentangan dengan paham neoliberal. Neoliberalisme menurut Harvey adalah paham yang menekankan dan proteksi atas kemerdekaan dan kebebasan individu melalui mekanisme pasar bebas, perdagangan bebas, dan pengakuan terhadap sistem kepemilikan pribadi. Paham ini merupakan perpaduan antara paham liberal (liberalisme) dengan doktrin pasar bebas dalam tradisi ekonomi neo-klasik.[2] Mantra utama yang menjadi ciri dari neoliberalisme adalah deregulasi, privatisasi dan liberalisasi. Neoliberalisme menghendaki minimnya peran negara dalam mengelola dan mengatur perekonomian nasional, bahkan diharapkan tidak sama sekali, hal ini menandakan ciri lain dari negara neoliberal. Dampaknya terutama terhadap terpangkasnya kewajiban negara untuk memberikan dan menyediakan kesejahteraan sosial bagi rakyatnya di satu sisi. Malah negara berperan aktif untuk memfasilitasi akumulasi kapital melalui reformasi aturan hukum, memprivatisasi sektor publik dan meliberalisasi sektor ekonomi termasuk industri dan pertanian di sisi yang lain.[3] Di balik UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan itu sangat mencerminkan watak khas dari sistem neoliberal, yakni upaya mengatur ulang atau mereorganisasi peran negara dalam mengatur pertumbuhan perekonomian, khususnya sistem dan aturan-aturan yang dianggap menghambat laju investasi dan proses akumulasi kapital. Meskipun praktik itu bukan hal yang baru di Indonesia, sejak Orde Baru berkuasa, Soeharto membuat aturan payung untuk menarik investasi asing lewat UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang dibuat untuk melegitimasi investasi dan ekploitasi PT. Freeport di tanah Papua dan kemudian ‘menidurkan’ UUD 1945 pasal 33 tentang pengelolaan kekayaan alam.[4] Memasuki awal tahun 1980an yang ditandai oleh anjloknya harga minyak dunia dan buruknya kinerja ekspor non-migas sehingga berdampak pada neraca pertumbuhan ekonomi nasional yang mengalami goncangan.[5]  Agenda Penyesuaian Struktural yang disarankan oleh IMF dan Bank Dunia jadi bekal penting presiden Soeharto untuk menerapkan sistem Neoliberalisme jilid 1.[6] Fase ini menandai ideologi dan praktik neoliberal sudah menjadi watak negara. Sejak saat itu, investasi asing berperan sangat dominan dalam proses industrialisasi. Model liberalisasi ekonomi ini memang tidak menyingkirkan peran negara secara penuh dalam aktivitas ekonomi. Negara tetap terlibat dalam mengelola dan mengatur perekonomian utamanya dalam dua hal, yaitu; ‘deregulasi’ dan ‘reformasi regulasi’. Proses deregulasi dengan memangkas peran badan-badan usaha milik negara dalam perekonomian. Sementara proses reformasi regulasi, negara secara aktif menciptakan kebijakan pro-pasar.[7]

Baca juga:  Pertarungan Kelas Pekerja Merebut Pilihan Hidup

Runtuhnya rezim Orde Baru lalu tegaknya Reformasi tahun 1998, rupanya tidak mampu menghentikan agenda neoliberal bekerja di Indonesia. Petunjuk pemulihan ekonomi masih dipandu oleh intitusi keuangan global yakni; Bank Dunia dan IMF, yang artinya agenda demokratisasi masih berjalan beriring dengan agenda liberalisasi sebagai kata kunci. Transisi struktur kekuasaan ini juga menandai bergesernya model pembangunan ekonomi dari pembangunan yang di pandu oleh negara (state-led developmentalism) ke pembangunan yang dipandu oleh pasar (market-led developmentalism). Watak negara neoliberal yang makin patuh terhadap hukum pasar bebas semakin tampak menjelang akhir periode pemerintahan SBY. Rezim ini membuat suatu rancangan untuk memudahkan proses investasi, menciptakan pasar bebas di Asia dan akumulasi kapital melalui program Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Secara diskursif, moda pembangunan ekonomi ini dimungkinkan oleh terjadinya krisis overakumulasi di level global, semakin matangnya rantai pasokan global di level Asia dan pembentukan pasar bebas Asia, hingga diadopsinya gagasan Geografi Ekonomi Baru (New Economic Geography) sebagai paradigma pembangunan negara.[8] Dalam agenda MP3EI kondisi di atas termanifestasi menjadi tiga pilar pokok, yaitu: 1) pembentukan koridor-koridor ekonomi, 2) pembangunan infrastuktur sebagai layanan pendukung dalam meningkatkan konektivitas nasional dan , 3) penguatan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi.[9]

Agenda besar MP3EI atau mega proyek ini di latari oleh suatu kondisi dimana kapital negara maju mengalami surplus dan harus dialihkan menjadi investasi di tempat-tempat yang baru (utamanya negara berkembang) agar mampu-meminjam istilah Harvey memindahkan krisis overakumulasi kapital ke daerah-daerah baru sehingga praktik pembangunan ekonomi dalam model ini merupakan suatu produksi ekonomi ruang untuk memperlancar aliran bebas kapital.[10] Peran negara sebagai panitia pelaksana proyek MP3EI ini adalah memangkas habis aturan atau regulasi yang menghambat investasi, istilah teknisnya disebut debottlenecking. Menurut Hilma Savitri, prinsip debottlenecking ini bertujuan untuk mengurangi hambatan-hambatan yang ada dalam rangka mencapai target pembangunan. Selain regulasi, hambatan lainnya yaitu birokrasi yang merentang dari pusat hingga lokal, sehingga menciptakan koordinasi yang rumit dalam pola birokrasi dengan begitu menjadi penghalang dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan.[11] Karena hal itu, prinsip dan konsep debottlenecking inilah yang mungkin sangat relevan untuk melihat urgensi UU Cipta Kerja sebagai produk kebijakan negara neoliberal disusun dan dipercepat pengesahannya oleh pemerintah dan DPR RI.

Baca juga:  Sekapur Sirih Kapitalisme Pendidikan

Untuk itu, seperti hendak mengulang perbuatan pendahulunya, sebagai pengurus negara, Jokowi di awal masa kerja periode kedua masa pemerintahannya ini terkesan memaksakan agar UU Ciptaker diberlakukan (parahnya, di tengah mewabahnya virus Covid-19) yang diklaim mampu menahan laju inflasi karena pandemi, memperlancar arus investasi dan membuka lapangan kerja yang luas. Klaim Jokowi dan timnya ini sudah bermasalah sejak dalam pikiran apalagi perbuatan. Mari kita periksa di mana letak kontradiksi?

Akumulasi Kapital di Negara Berkembang

Di dalam buku ‘Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran; Relasi Kelas, Akumulasi, dan Proletariat Informal di Indonesia sejak 1980an’ yang ditulis oleh Muhtar Habibi menjelaskan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi karena tidak terhubungnya sektor industri dan pertanian secara dinamis sehingga surplus produksi dan eksternalitas ekonomi minim kontribusi

bagi pemasukan devisa negara[12]. Justru yang terjadi adalah ‘ketidaksinambungan relasi antar sektor dalam perekonomian domestik. Dikarenakan program neoliberal telah menundukkan sektor industri dan pertanian dan mengintegrasikannya ke dalam pembagian kerja internasional guna melayani produksi komoditas global’.[13] Dalam pembagian kerja secara internasional, posisi negara dunia berkembang (kapitalisme pinggiran) adalah memfasilitasi investasi berikut kemudahannya, menyediakan buruh-buruh murah, menyiapkan infrastruktur, dan mengamankan jalannya investasi. Sementara negara-negara maju memberikan investasi, mentransfer teknologi dan tentu saja akumulasi kapital secara terus menerus. Selanjutnya, relasi kerja secara internasional ini mendudukkan negara-negara berkembang seperti indonesia sebagai ceruk pasar konsumsi yang potensial. Artinya, negera berkembang seperti Indonesia selain penyedia tenaga kerja murah juga merupakan pasar konsumsi yang besar.

Lebih lanjut Habibi menjelaskan bahwa saat kapital merelokasi proses produksi komoditas ke wilayah kapitalisme pinggiran ada dua cara kapital melakukan akumulasi. Pertama, penciptaan ulang bentuk produksi komoditas sederhana melalui sistem sub-kontrak. Sebagai contoh model pemborongan produksi rokok kepada produsen rumah tangga. Situasi tersebut menciptakan apa yang disebut Marx sebagai “Pekerja Rumah Tangga” yang termasuk bagian dari surplus populasi relatif. Cara yang kedua adalah kapital mengembangkan relasi produksi kapitalis dengan membangun pabrik sehingga terbentuk relasi kerja antagonistik antar pekerja upahan dan majikan.[14]

Perjuangan Kelas

Marx menjelaskan bahwa semakin tinggi angka atau jumlah populasi pekerja relatif (sektor informal/pekerja rentan) dibandingkan angka pekerja aktif maka akan semakin tinggi pula tingkat eksploitasinya. Kondisi yang sangat mengena untuk kasus indonesia. Hal tersebut dimungkinkan oleh sejarah panjang kolaborasi antara negara dan kapital. Juga diperparah oleh dengan semakin mengadopsi model liberalisasi ekonomi yang berarti juga liberalisasi politik. Sejak dan selama rezim Orde Baru otoritarian berkuasa perlawanan kelas pekerja hampir tidak ada lagi karena serikat-serikat pekerja dan organisasi tani yang radikal yang menjadi bagian PKI itu dibubarkan dan digantikan oleh serikat pekerja dan barisan tani bentukan penguasa. Setelah Reformasi 1998, baru bermunculan lagi aliansi dan serikat pekerja yang militan yang berjuang menuntuk perbaikan nasib dan hak dan upah.

Proses historis lainnya adalah revolusi hijau yang membuat proses diferensiasi agraria di pedesaan makin timpang, ada peristiwa perampasan tanah untuk kepentingan industri perkebunan, pembangunan dan infastruktur. Aneka macam peristiwa tersebut dilakukan oleh negara dan disokong penuh oleh kekuatan-kekuatan aparatur represif negara, seperti TNI dan Polisi. Dampaknya sangat terasa karena proses perubahan agraria di pedesaan dengan apa yang Marx sebut ‘Akumulasi Primitif’, suatu proses pemisahan secara paksa petani independen dengan sarana produksinya dan mentransformasinya menjadi pekerja upahan. Nah, momen historis  di atas yang banyak menciptakan barisan atau lautan pekerja. Mereka yang tidak terserap di sektor pertanian di pedesaan akan merangsek ke kota untuk mencari penghidupan. Masalahnya, tidak semua mampu diserap dalam sektor industri. Alhasil, karena rendahnya tingkat keterserapan pekerja di sektor tersebut, mereka yang terlempar menjalani hidup dengan bekerja secara informal, yang memiliki kerentanan sangat tinggi karena tidak ada proteksi dari majikan dan negara. Mereka inilah yang menjadi bagian dari surplus populasi relatif atau pekerja informal yang kehadirannya sangat mempengaruhi posisi tawar bagi pekerja aktif sektor industri. Pada dasarnya ini bukan kondisi alamiah karena dibuat untuk menjadi alat tekan bagi serikat pekerja yang progresif. Oleh karena itu, dalam situasi kompleks demikianlah, negara neoliberal memaksakan UU Ciptaker bukan untuk menolong, memproteksi pekerja atau buruh tapi menata ulang aturan main agar lebih nyaman bagi investor, majikan dan pemilik perusahaan (kapitalis). Cuma menurut hemat saya, UU yang bermasalah ini sebenarnya lebih diproyeksikan untuk kepentingan kapitalis domestik. Merujuk pada analisa ekonom senior Faisal Basri yang mengatakan bahwa investasi di Indonesia itu sudah gemuk, posisinya di bawah Vietnam sebagai negara tujuan investasi. Namun, perilaku korupsi yang membuat aliran kapital yang masuk itu tidak terserap dengan baik di sektor pengembangan industri. Meskipun menurut saya korupsi adalah efek turunan dari reorganisasi kapital di negara berkembang. Jadi, pertarungan kelas ini sangat kompleks. Dibutuhkan gerakan sosial yang massif serta terorganisir untuk melawan kapitalisme dan kaki tangannya demi mewujudkan cita-cita sosialisme Indonesia. Panjang Umur Perjuangan!!!

Baca juga:  Komoditas dan Fetisisme Komoditas

* Penulis Saat ini aktif sebagai Dosen Antropologi di Fak. Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar/Anggota Serikat Dosen Progressif.

Referensi

** link website Carabada.id. https://carabaca.id/ekonomi-politik-omnibus-law-dan-perjuangan-kelas/

[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201009173002-20-556646/jokowi-sebut-demo-omnibus-law-karena-disinformasi-dan-hoaks. Di akses pada Kamis, 15 Oktober 2020.

[2] Arianto Sangaji. Neoliberalisme. Hal. 7. Dalam jurnal Indoprogress. Neoliberalisme, Krisis dan Perlawanan Rakyat. Jurnal Indoprogress.Yogyakarta: Resist Book, 2013.

[3] Lihat David Harvey. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. Yogyakarta: Resist Book, 2009. hal. 107

[4] Sangaji, op.cit, hal.15.

[5] Richard Robinson.  Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, 2012. hal. 301

[6] Lihat Muhtar Habibi. Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran.; Relasi Kelas, Akumulasi, dan Proletariat Informal di Indonesia sejak 1980an. Tanggerang Selatan: Marjin Kiri. 2016. Hal. 58.

[7]   Ibid, hal. 59.

[8] Dian Yanuardi, dkk. MP3EI: Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia. Bogor: Sayogyo Institut dan Tanah Air Beta, 2015. (Bag. Pengantar) hal. iv.

[9]   ibid, hal. 48.

[10]  Lihat Harvey, 2009.

[11] Hilma Savitri. Prinsip Debottlenecking; Dalam Kebijakan MP3EI. Bandung: ARCBooks. 2014. hal.10-11.

[12]Habibi merujuk pada pendapat Cristobal key yang melihat keberhasilan pertumbuhan ekonomi di asia timur, khususnya negara Taiwan, Korea selatan, dan jepang disebabkan oleh kemampuan negara membangun perekonomian nasional yang kuat dab koheren antara dua pilar produksi utama, yaitu; Industri dan pertanian. hal. 21-22.

[13] ibid, hal. 24.

[14] ibid, hal. 25.

0%