Dari Khazaks ke Uzbek: Perjalanan Ke Permata Asia Tengah yang Mengesankan

Oleh: Muhammad Ridha

Petunjuk Arah Kota di Taman Kota/Dok Pribadi Muhammad Ridha

Perjalanan kami sebenarnya ke Almaty: provinsi di Khazakstan. Negeri para pengembara dan penggembala di padang savana Asia Tengah. Atau gurun dingin Khazaks. Atau puncak-puncak dunia di antara Cina, Pakistan, Kirgistan dan Rusia.

Karenanya kami mengunjungi apa saja yang dekat dan bisa segera kami jangkau. Kami coba mengunjungi Museum Prajurit perang dunia kedua yang letaknya di depan hotel yang kami sewa. Juga katedral ortodox tertua di Khazakstan. Masjid cantik Central Mosque. Juga museum nasional Khazakstan yang megah dan kaya: dari tempat terakhir ini, kami semua, saya, istri dan anak-anak yang disertai seorang tour guide amatir yang juga seorang mahasiswa di Alfaraby National University, menyaksikan bagaimana Khazakstan mulai dari zaman batu hingga kini. Bagaimana kayu-kayu berukir yang telah memfosil selama jutaan atau ratusan ribu tahun lalu; bagaimana masa lalu dinosaurus ditemukan jejaknya disini, juga patung manusia emas, dan tinggalan bangsa penggembala yang memelihara ternak di padang luas dan menjadikan elang sebagai piaraan dan rekan berburu. Bangsa yang dilintasi oleh rombongan pedagang antar benua di jalur paling panjang dari jalur sutera darat ini.

Ukiran Kayu di Masjid Bolo Houoz/Dok Pribadi Muhammad Ridha

Kami juga mengunjungi sebuah situs wisata alam dan olah raga ski di Symbulac. Gunung es yang puncaknya lebih dari 3.200 MDPL dan dicapai hingga puncak dengan waktu tak lama dengan gondola, kereta gantung. Di sini, dingin benar-benar kami rasakan. Membekukan tangan dan ujung jari kaki jika tak menggunakan kaos kaki dan tangan yang lebih tebal. Dari tiga stasiun pemberhentian gondola, dari ketinggian ke ketinggian berikutnya, kami seperti menyerapi lapis demi lapis rasa dingin. Yang makin ke atas makin menggigilkan. Wal hasil: hanya semenit tiba di puncak tertingginya,, di stasiun pemberhentian terakhir, kami berfoto sekali dan lalu segera menuju gondola yang di dalamnya, karena kedap udara, akan lebih hangat. Kami meluncur kembali ke ketinggian yang lebih rendah dan terus begitu hingga ke kaki gunung.

Kami juga berkunjung grand bazar di kota Almaty. Pasar yang selain tempat berjualan, juga menjadi tempat turis bisa datang melihat bagaimana daging, olahan daging, jenis-jenis sayuran bumi utara, manisan, asinan hingga pakaian dan mainan anak dijual. Baju-baju khas khazaks, baju-baju model terbaru, jaket-jaket tebal juga pernak-pernik perhiasan. Salah satu yang khas dan berbeda dari yang ditemukan di pasar di tanah air adalah kebersihan, bebauan yang jorok tak dirasakan sama sekali meski ada yang menjual daging, ikan atau jenis-jenis makanan jadi yang sering menyebabkan residu yang menghasilkan bau permanen. Seperti pasar ikan atau pasar daging di negeri kita. Tapi itu bukan berarti dia lebih bagus yah. Saya tetap merasa pasar kita lebih asyik deh. Hehehe

Pintu Masuk Ruang Makam Qusam Ibnu Abbas/Dok Pribadi Muhammad Ridha

Saat kami shalat jumat di masjid central mosque, kami menyaksikan betul, bagaimana antusiasme orang-orang datang berserah di masjid yang tak seberapa besar bahkan hingga ke halaman masjid meski salju sedang turun. Kami sedikit beruntung mendapat sebuah tempat di antara lantai satu dan dua. Di tangga. Karena mazhab disini adalah hanafi, kami merasakan sedikit perbedaan. Mereka pakai kaos kaki saat shalat, kaos tangan dan jaket jaket tebal juga kopiah khas. Penceramahnya juga berada di atas mimbar dan membawa tongkat. Tapi yang saya saksikan: orang-orang begitu khidmat, doa-doa dipanjatkan. Sesekali anak kami, Ical menyampaikan protesnya kepada saya kalau ada yang tidak sesuai dengan kebiasaannya di tanah air. Seperti saat salat tidak ada telunjuk yang diacungkan saat duduk tahiat, tak ada yang berteriak amin dari para makmum juga saat melihat semua orang menggunakan kaos kaki: “ayah dia kalau shalat pakai kos kaki. Boleh yah?” Saya jawab dengan yakin sebagai mantan mahasiswa hukum Islam, “boleh saja nak”. hehehe

Yang paling banyak kami lakukan adalah berkunjung ke taman-taman kota di sekitar hotel tua yang kami sewa, berfoto ria di antara salju nan dingin dan merasakan langsung menyentuhnya dengan tangan kami, penduduk udik dari negeri tropis di pinggiran dunia yang negerinya seperti terombang-ambing di atas lautan hangat ini. Di kampung halaman kami, salju tak pernah turun. Musim tak pernah membawa dingin semenusuk disini. Karenanya, kami begitu senang bergantian berfoto, atau berfoto bersamaan lalu sama-sama memamerkannya di dinding media sosial kami. Hehehe

Perjalanan kami sebenarnya ke Almaty dan diberi keberuntungan guguran salju beberapa hari. Tapi siapa yang bisa tahan tak ke Bukhara, Tashkent atau Samarkand di negara sebelah yang jaraknya hanya beberapa jam saja menaiki bus atau kereta? Bayangan mozaik-mozaik dinding registan square, menara-menara cantik di madrasah-madrasah yang datang dari abad tengah, juga kota tua Islam abad tengah yang telah lama disebut-sebutkan oleh sejarawan atau bahkan menjadi latar dari kisah-kisah abadi seperti kisah seribu satu malam, Alfu Laila Wa Laila. Maka: tujuan perjalanan harus ditambah. Harus menyeberang perbatasan menuju Tashkent dan kota-kota lain di Uzbekistan, ibukota turisme dunia pada tahun 2023.

Baca juga:  Ada Revolusi Dalam Lagu Makassar?

***

Perjalanan kami pada akhirnya pergi ke Uzbekistan, di kota Taskhent. Kota lama yang disebut oleh orang-orang Cina pelintas Silk Road sebagai Osh. Atau Sosh. Yang artinya kota. Dan Ken sebagai batu. Orang Rusia menyebutnya Tashkent. Orang-orang muslim menyebut wilayah ini sebagai Kurasan. Bagian utara dari Kurasan. Kota penting Asia Tengah di era Soviet. Tashkent adalah Ibu kota Soviet Asia.

 

Di kota ini kami merasakan berbuka puasa dengan roti dan sasilik, roti dan sup daging yang asyik. Aroma daging dan rasanya dilidah benar-benar menguar. Rasa daging segar murni tanpa penyedap sintetik. Rasanya memakan daging segar dan lemak yang baru diangkat dari tungku masak saat pesta-pesta pernikahan tradisional di kampung halaman. Kami juga memakan makanan nusantara atau melayu di restoran NurMalaysia. Nasi lemak, nasi goreng juga nasi ayam bakar memenuhi lambung yang tak pernah kami makan sejak terbang dari Kuala Lumpur ke Almaty dan tiba di Tashkent. Kami makan nasi dari beras dan ricecooker yang dibawa istri. Juga abon sapi, teri goreng medan yang terus ada meski kami bawa dikit. Juga sambal dan kecap. Selebihnya, setiap kami beli di luar kami hanya akan dapat roti dengan berbagai variannya.

Oh iya kami memang mempersiapkan memakan nasi dari beras dan alat masak yang kami bawa. Namun sayang, setelah kami menuju ke Samarkand, berasnya kelupaan di lemari hotel di Tashkent. Sejak saat itu, selama seminggu, kami hanya makan roti dan lauknya yang serba daging, atau kami akan makan nasi tapi nasi yang dimasak dengan lemak dan daging segar serta rempah. Mereka menyebutnya plov. Makanan istimewa orang Uzbekistan yang berbasis nasi. Begitu seterusnya dari Samarkand hingga Bukhara. Tak ada lagi nasi putih saat sahur. Hanya roti, teh dan Indomie serta abon.

Oh iya sekedar info tambahan, colokan listrik di Uzbekistan dan Khazakstan juga sama dengan kita di Indonesia dengan dua lubang. Berbeda dengan Turki yang sistem colokan listriknya dengan tiga lubang yang menyebabkan turis seperti kita dari Indonesia biasanya harus membawa colokan tambahan. Jadi sisa bawa cas atau perangkat lain dan colok. Hand Phone yang kami isi dayanya, laptop, juga power bank langsung saja kami colok dari carger biasa dengan dua pengantar listrik dua batang besi yang akan dicolok ke lubang colokan.

Di kota Tashkent, kami datang ke madrasah barakhon, ke makam Abubakar Asshasi, kukeldas madrasah, masjid hasrati imam juga museum timurid di pusat kota. Bangunan-bangunan lama dan baru yang menghubungkan kita dengan pengetahuan mengenai masa lalu, arsitektur lama juga material-material dari masa lalu. Kami juga melalui Corzu Bazar, pasar lama Tashkent dari beberapa abad lalu. Di sini macam-macam daging, lemak, sosis dan yang lain tersedia. Juga buah-buah, roti atau pakaian.

Museum Al Bukhari/Dok Pribadi Muhammad Ridha

Kami juga melalui stasiun-stasiun kereta bawah tanah tinggalan Soviet yang sungguh cantik. Dengan berbagai tema arsitektur setiap stasiun, seperti katun, Alisjrr Navoyi, sastrawan besar Uzbekistan, bertema kemerdekaan, dan lain-lain. Di antara kemegahan arsitektur ini, kereta di sini terus menghubungkan seluruh kebutuhan warga Tashkent untuk berpindah dengan cepat dari satu tempat ke tempat lainnya. Juga sebuah fungsi yang amat menakjubkan: saat musim panas, marmer dan konstruksi ruangnya membuat stasiun menjadi tempat ngadem paling asyik dan sebaliknya di musim dingin, suhu di stasiun menjadi hangat.

Kami berkeliling kota ini siang dan malam. Melihat-lihat, bertemu dan berbincang dengan orang-orang dan menikmati kuliner di kedai tepi jalan. Berdialog dengan tukang taxi yang mengantar; berbincang dengan penjaga toko souvenir di situs-situs wisata juga bermain-main dan berfoto. Kebanyakan situs ini dilengkapi dengan taman-taman indah. Lapangan terbuka dan pedestrian.

Semua yang kami kunjungi tampak benar-benar indah dan pas. Tentu saja karena ini adalah situs turis yang ditata untuk lebih destinatif dan berkesan. Paduan warna, tata cahaya dan tata ruang semua dikombinasi untuk tujuan-tujuan destinatif. Agar turis merasa diberi sambutan. Atau puas atas atraksi arsitektur yang dilihatnya.

***

Kami pada akhirnya menambah list kota-kota kunjungan. Kami telah menyeberang ke Tashkent dan tentu saja itu hanya perantara: kami harus ke Samarkand dan Bukhara. Jika boleh malah harus ke Khiva. Tapi ternyata Kiva tak mungkin kami kejar. Masih berjarak 500KM dari Bukhara itu artinya perjalanan bolak balik bisa sehari penuh. Dan karena itu kami hapus dari list. Samarkand kami nikmati dalam dua malam yang dingin. Ada belasan situs arsitektur timurid dan masa sebelumnya kami kunjungi. Shah I Zinda salah satu yang paling lama kami jelajahi. Situs museum, masjid, taman pemakaman, juga ruang-ruang berdoa yang sungguh cantik. Di kompleks sekira 2 hektar, menyembul ke permukaan dari masa lalu belasan museleum dan masjid. Para turis antusias berfoto. Berada diantara, kiri kanan mereka, bangunan-bangunan dari masa lalu. Dengan keramik-keramik muzaik hijau dan biru, atau seni tata bata tingkat tinggi, atau akurasi antar bangunan yang saling berbagi ruang dalam kompleks yang tak luas. Jadi semacam perayaan ruang, arsitektur, spiritualitas juga akomodasi-akomodasi warna. Aspirasi-aspirasi bermacam-macam telah membuat bangunan di sini berbagai macam rupa bentuk dan material. Dan itu menjadi daya tarik paling kuat. Foto-foto yang menyebar di dunia maya, menunjuk bangunan-bangunan di Shah I Zinda yang tidak begitu besar tetapi cukup massal. Di ruang yang terbatas dan warna yang beragam, menjadikan foto-foto yang dihasilkan selalu penuh kejutan dan cantik.

Baca juga:  Almaty

Di dalam berbagai bangunan ini, ada makam keluarga Timurid, ada makan kawan-kawan Timur, juga yang paling membuat ruang ini lebih sinambung dengan sejarah yang lebih jauh ke belakang adalah musoleum dan makam sepupu nabi di musoleum paling belakang yang dilengkapi masjid dan ruang doa: Qusam Ibnu Abbas, salah seorang sepupu nabi yang pertama kali membawa misi Islam ke Asia Tengah. Di belakang semua musoleum dan masjid ini, di atas bukit, ada makam-makam yang jauh lebih lama yang berciri Persia kuno, atau makam-makam baru. Berada di antara bangunan-bangunan tua nan mewah ini, rasanya seperti berada di antara KLCC dan gedung-gedung lain di Kuala Lumpur (jika kawan pernah melintas di sana satu waktu) yang ketika kita pandang semua seperti berdekatan dan hampir beririsan tapi tetap berdiri pada bidangnya masing-masing. Sama-sama menunjukkan akurasi pengukuran bidang dan konstruksi yang tepat meski di waktu dan skala yang jauh berbeda. Satu di masa kegelapan, jika boleh menggunakan istilah itu, satunya lagi di masa ketika Ilmu arsitektur telah bisa melakukan semuanya asalkan ada sumber pembiayaannya.

Seluruh situs yang kami kunjungi disini termasuk ke dalam situs yang diakui oleh UNICEF sebagai warisan dunia. Dokumen UNICEF menyebut sebagai “Samarkand-Crossroad and Culture”. Ini adalah satu dari tujuh world Hieritage di Uzbekistan yang sedang benar-benar serius membangun kembali narasi masa lalu mereka untuk tujuan-tujuan masa depan dan pengelolaan warisan ilmu pengetahuan dunia. Hal ini terutama banyak digunakan untuk membangun turisme Uzbekistan. Negeri yang di era Soviet berfungsi sebagai sentral di Soviet Asia. Komoditas utamanya adalah katun dari kebun-kebun kapas. Tetapi lebih beruntung memiliki banyak bangunan warisan dinasti-dinasti lama di sana.

Salah satu yang terpenting adalah kota Samarkand. Kota yang dianggap, tentu saja dengan narasi pariwisata, sebagai the Heart oh Uzbekistan, registan square. Registan square, sejak era Ulugh Beg hingga periode setelahnya dijadikan sebagai pusat upacara besar kerajaan. Karena itu, masjid dan madrasah di sini salah satu yang paling berkembang dan monumental di antara madrasah yang lain. Bangunan ini juga yang bertempat paling strategis dan menunjukkan atraksi asraitektur yang paling mewakili arsitektur era timurid.

Keramik Persia Dari Abad XV di Shah I Zinda/Dok Pribadi Muhammad Ridha

Selain itu kami juga mengenang-ngenang Ulugh Beg di Kuhik, di bekas observatorium terbaik di dunia Islam, yang saat ini hanya potongan bagian observatorium dan museum. Dari observatoriumnya kita bisa melintasi waktu menuju ke masa lalu bagaimana para ilmuwan tim Ulugh Beg bekerja di sana saban waktu. Dengan museum itu semua dikuatkan dengan naskah, dengan narasi, dengan peta, dengan buku-buku, gambar-gambar dan alat-alat lain. Dengan begitu, kami juga para pengunjung dari banyak bangsa yang kami saksikan, merasakan denyut aktifitas dinasti timurid di masa lalu terutama aktivitas ilmiah di observatorium ini.

Kami berfoto di patung Ulugh Beg yang monumental tepat di bawah bukit di Kuhik. Lalu lanjut ke Bibi Khanum madrasah. Bangunan megah ini adalah masjid dan madrasah yang dibangun Timur untuk istrinya Bibi Khanum. Juga ke pasar rakyat di seberang madrasah ini.

Salah Satu Bangunan di Shah I Zinda/Dok Pribadi Muhammad Ridha

Kami juga ke musoleum Timur dan ke patung Timur di taman kota Samarkand. Bunga-bunga bermekaran di sana. Musim semi baru berusia sehari. Dan Nowruz sedang dirayakan. dengan gembira di seluruh Uzbekistan. Kami menikmati warisan arsitektur, lanskap, ilmu pengetahuan yang sungguh menjadi warisan berarti Samarkand untuk dunia Islam dan dunia secara umum. UNESCO menyebut kontribusinya yang besar itu dengan: “The contribution of the Temurid masters to the design and construction of the Islamic ensembles were crucial for the development of Islamic architecture and arts and exercised an important influence in the entire region, leading to the achievements of the Safavids in Persia, the Moghuls in India, and even the Ottomans in Turkey”.

Tiga dinasti terakhir terbesar dunia Islam mengembangkan, menyerap dan mengambil dari warisan Timurid di Samarkand. Kota perlintasan penting ini.

***

Pada akhirnya, kami juga pergi menikmati dinginnya kota Bukhara di awal musim semi. Shalat magrib atau teraweh kami di masjid masih harus menggunakan kaos tangan, kaos kaki dan kupluk penutup kepala. Musim dingin seperti belum benar-benar berlalu. Jika tidak, dingin akan lebih menusuk. Teraweh dua puluh rakaat rasanya lebih hikmat meski dingin sungguh-sungguh menggigilkan. Ical menceritakan dinginnya shalat teraweh di sana. Sewaktu balik ke kamar penginapan kami dia bilang: “dingin sekali ayah. Shalat di sebelahmana?”

“Saya di belakang. Di bagian halaman masjid yang diberi karpet saja” jawab saya seingatnya.

Baca juga:  Mengkaji dan Mengkaji Tasawuf secara Lintas Disiplin

“Oooh. Saya di luar masjid juga, ayah. Tapi di bagian depan karena saya cepat sekali datang ke masjidnya” katanya.

“Bagus kalau datang cepat, Cal” menanggapi jawabannya. Dia tampak datar meski merasa senang dengan tanggapan itu.

Kami shalat di masjid Bolo Hauoz, tepat di depan Ark Ansamble. Masjid berusia 3 abad lebih ini berbentuk berbeda dari masjid biasanya. Masjid ini memiliki badan masjid tertutup yang lebih kecil dari ruang terbuka di depannya yang ditopang oleh tiang-tiang kayu berukir. Ark (benteng kuno) dan masjid ini adalah saksi perjalanan kota Bukhara. Salah satu dari dua kota di Uzbekistan yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia dalam kategori pusat sejarah, selain Syahrisyab. Dalam dokumen UNESCO ini disebut historic centre of Bukhara. Beberapa bangunan di pusat turis di sekitar Ark dan Madrasah Mir Arab atau Laby Hauoz adalah bangunan-bangunan yang termasuk ke dalam warisan dunia untuk kategori ini. Beberapa lainnya seperti Chor-Bakr masuk ke dalam kategori the Zarafshan-Karakum Corridor. Corridor ini meliputi wilayah di Tajikistan, Uzbekistan dan Turkmenistan sepanjang 830 KM yang mengikuti arus sekitar sungai Zarafshan dan gurun Karakum.

Kami menikmati warisan dunia ini sebagian besar dengan berjalan kaki melintasi dan keluar masuk situs yang sebagiannya menjadi galeri penjualan macam-macam kerajinan dan pakaian. Dari Ark sampai ke Laby Hauoz atau dari Musoleum Ismail Samani sampai ke Patung Tembaga tokoh sufi, Nasruddin Hoja (yang disini disebut Nasruddin Affandi).

Tiga hari tiga malam yang sungguh terasa terlalu cepat berlalu: berjalan dan menyaksikan kota kuno yang telah ada sejak 1.500 tahun sebelum Masehi dan makin berkembang di bawah dinasti Islam seperti Timurid dan Khawaresmi rasanya masih ingin kami ulang-ulangi. Kota ini selain menjadi kota pusat sejarah, juga kota suci Islam. Imam Bukhari, perawi hadis paling masyhur karena kesalehan dan kualitas hadisnya lahir dan besar di kota ini. Karenanya sebuah museum yang disebut oleh driver kami di Bukhara, Ali, “Al-Bukhori, mister” sambil menghentikan mobilnya dan mengarahkan kami ke gedung kecil tersebut yang rupanya sedang tutup. Tokoh tarekat Baharuddin Naqsabandi, pendiri tarekat Naqsabandiyah juga berasal dari Bukhara dan makamnya ada disini. Karenanya cukup alasan menyebutnya kota spiritual. Aapagi, jika mengikuti kisah-kisah lokal, kota ini adalah artinya kota suci. Bukhara berasal dari kata Uighur kuno. Orang-orang dari peradaban lama di sekitar Asia tengah hingga ke Cina sejak dulu sering mengunjungi kota ini. Sebuah kuil Budha juga ditemukan di sini.

Seratus ribu Som Uzbek. Itu harga untuk dibawa berkeliling oleh Ali. Seratus Som untuk 12 titik situs yang paling menonjol dan sering dikunjungi. Dia punya semacam brosur yang dilaminasi yang menunjukkan foto dua belas situs tersebut untuk mengajak kami menaiki mobilnya.

Sopir lain yang menawari kami, harganya lebih tinggi. Jadinya kami mengambil jasa Ali. Meski di akhir, kami tau, kami harus menambah sedikit untuk waktu yang terlalu lama menggunakan jasanya.

Begitulah kawan. Laila, anak kami, begitu sumringah meski dingin masih pekat di pagi hari saat dia bersepeda keliling lapangan di samping Ark. Dia sering marah karena sedang semangat bermain sepeda yang baru beberapa hari dia ketahui tanpa menggunakan ban pembantu di tanah air, tapi disini langsung ketemu sepeda sewaaan yang banyak macetnya. Dia sering terjatuh dan menangis meski selalu ingin bersepeda lagi. Kami semua, ayah ibu dan kakak-kakaknya begitu senang melihat Laila berkeliling bermain sepeda. Kakaknya Rifqah, sampai terkesan: “ayah pintarnya Laila Naik sepeda yah…”

Saya bilang “baru belajar itu. Tapi memang semangat…”

Kami senyum-senyum melihat Laila dengan sepeda kecil sewaan dan ucapannya yang tak bisa menutupi keinginannya main sepeda di rumah: “ayah maukumi pulang. Rinduma sama sepedaku…”

Catatan ini sudah terlalu panjang. Tapi kami musti menyampaikan kesan kami saat makan malam di rumah Abdul Mu’min di tengah rumah-rumah di gang-gang di belakang kompleks-kompleks turisme ini: pak Mu’min dan istri menyambut kami dengan hangat. Menyajikan plov dengan potongan daging dan lemak segar. Juga biji-bijian yang jadi elemen umum nasi plov ini. Diberi juga sederet teh hijau dan empat mangkuk teh. Juga permen dan kacang. Kami semua begitu senang dan puas berbuka puasa di lingkungan yang mengingatkan kami dengan rumah Ali di film realis Iran berjudul Cildren of Heaven. Saat kami hendak pamit, pak Mu’min dan istri datang dan bertanya mengenai masakan istrinya. Kami jawab “sungguh enak”.

Dengan mengangkat tangan kanan ke dada kirinya dia sedikit membungkuk dan berkata: “Rahmat….”. Kami berpamitan dan mereka mengantar kami sampai di ujung gang kampung mereka ini. Sungguh pengalaman dijamu orang lokal tanpa tendensi suatu hospitality dengan berharap keuntungan yang jarang ditemukan di kota-kota turis.

Sungguh suatu pengalaman bertemu orang-orang, mengunjungi tempat-tempat dan kota-kota, menyaksikan karya-karya arsitektur dan menyerap seluruh cipta, rasa dan karsa manusia yang dilalui. Rasanya hidup jadi baru lagi.***

Muhammad Ridha, Meminati Studi Sejarah Sains Islam. Dosen Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar

0%