Oleh: Muhammad Ridha
“Islam bangkit Ketika Roma runtuh. Mengapa dan bagaimana itu terjadi adalah awal yang diperlukan God’s Crucible: mengapa, pada tahun-tahun pertama abad ketujuh Masehi, jalan terbuka lebar bagi Islam untuk menaklukkan dunia; bagaimana, dalam kerangka waktu yang berlalu sekejap mata, bangsa Arab menuntaskan revolusi kekuasaan, agama, budaya dan kemakmuran terbesar dalam sejarah- semua yang membuat Eropa menjadi Eropa.
[David Levering Lewis, The Greatness of Andalus]
Apa yang khas dari dunia Islam yang baru muncul ke panggung sejarah dan menyebar dengan cepat menyerap galaksi-galaksi sosial lain dunia kuno bersamaan dengan mundurnya dua imperium besar adidaya dunia kala itu, Romawi dan Persia?” Begitu kira-kira pertanyaan yang bisa diduga jawabannya akan menyepelehkan peran dunia Islam dalam sejarah dini peradaban kita sekira dua ribu tahun terakhir. Di barat, jawabannya kebanyakan mengatakan tidak ada yang khas dan menarik dari kelahiran Islam dan membesarnya pengaruhnya di era kegelapan.
Sebagian lainnya mengatakan dunia Islam hanya sekedar menjadi pelantang dari pemikiran-pemikiran menarik peradaban lain seperti Yunani, India dan Tiongkok atau Mesir kuno dan Persia. Sebagian lainnya mengatakan peradaban Islam terutama para pemikirnya sekedar sebagai penerjemah karya-karya klasik. Tak lebih.
Tak sepenuhnya keliru.
Tapi tak banyak yang melihat bagaimana peran intermediary yang dilakukan oleh kebudayaan Islam melalui para sarjananya ataupun melalui inovasi-inovasi kebudayaan yang diperankan dalam panggung sejarah justru adalah sesuatu yang baru dan penting di dalam sejarah yang telah ikut mentransformasi dunia yang kita diami hingga berwajah seperti saat ini.
Peran mediasi dan transfer kebudayaan dari para pemikir dan filsuf muslim membuat filsafat klasik dari Sokrates, Euclid, Ptolomeus, Aristoteles, Plato dan yang lain menjadi mungkin untuk diketahui karena kompilasi dari karya-karya mereka diterjemahkan ke dalam Bahasa umum dunia Islam dan karenanya menjadi mungkin untuk dikoreksi. Konsep-konsep matematika India yang dibawa para sarjana Hindu, di dunia Islam dikompilasi dan karenanya menjadi mungkin dikembangkan.
Dari sini, seorang sarjana muslim al-Khawarizmi memberi kebaruan dari masalah-masalah yang tersedia dalam kompilasi konsep matematika India. Konsepnya disebut al–Jabr. Di dalamnya, al-Khawarizmi memformalkan gagasan perhitungan umum yang menjadi serangkaian langkah mekanis yang pasti mengarah kepada kesimpulan yang tepat. Dan namanya menjadi penanda konseptual baru ini. Di barat, kemudian nama itu popular disebut algoritma, penyebutan lidah barat untuk al-Khawarizmi.
Dari sisi Yunani, dunia Islam telah memerankan jauh lebih banyak dari kebudayaan manapun di era kuno untuk membuat konsep-konsep para sarjana Yunani bisa tersampaikan ke dunia baru saat itu. Filsuf-filsuf awal dunia Islam seperti al-Kindi, al-Farabi atau Ibnu Sina bekerja menerjemahkan dan bahkan mengkompilasi banyak karya para filsuf Yunani termasuk yang paling masyur adalah Aristoteles.
Bahkan, karena mengikuti jejak Aristoteleslah dunia Islam memasuki filsafat alam yang kelak berkembang menjadi sains. Kalau Tiongkok lebih tertarik dan memusatkan perhatian pada inovasi praktis dan tekhnologi zaman itu: arloji, kompas, gerobak dorong. Filsuf muslim lebih tertarik menggali kaidah yang mendasari realitas benda. Contoh, Ketika logam-logam yang berbeda dilebur menjadi logam campuran, apa yang terjadi? Bangsa arab menyebut penelitian terhadap perubahan benda sebaga al–kimiya, berasal dari kata Yunani krama, logam campuran. Dunia barat kemudian menyebutnya alchemy, dan hari ini kita menyebutnya kimia.[1]
Khusus untuk ilmu kimia, dunia Islam sepertinya punya rekam jejak yang menonjol. Proses-proses kimiawi berkembang di dunia islam seperti metalurgi yang menopang proses penguatan industry militer. Juga distilasi dalam pembuatan parfum atau pengolahan minyak bumi, fermentasi juga pewarnaan dan lain sebagainya. Saking menonjolnya, filsuf muslim kontemporer yang banyak menulis subjek-subjek sains islam, Sayyed Hosein Nasr menyebutkan al–kimya adalah warisan keilmuwan Islam untuk dunia modern yang paling khas dan original dari dunia Islam.[2]
Gambar.1. Seorang Ahli Kimia Dunia Muslim Kontemporer[3]
Dari Tiongkok Islam banyak menyerap praktik-praktiik dan hasil-hasil budaya material yang telah berkembang di sana. Sejak tahun 751 M, setelah perang Talas antara pasukan Arab dan Tiongkok yang dimenangkan oleh pasukan Arab, para tawanan yang di antaranya adalah ilmuwan dan insinyur pembuat kertas diminta mengajarkan pengetahuan dan keahlian tersebut hingga kemudian dunia Islam mencari subtitusi-subtitusi yang secara kimiawi memungkinkan untuk menjadi bahan pembuatan bubur kertas. Seperti yang tercatat, kulit pohon linen diganti pohon murbey karena banyaknya pohon murbey tersedia di kawasan-kawasan dunia Islam.
Ilmu astonomi banyak diserap dari bangsa Mesir kuno dan Sabean[4]. Perhitungan-perhitungan matematis dari letak astronomis benda-benda angkasa digali dari kebudayaan ini. Terutama planet-planet dan bintang yang bisa diamati di angkasa seperti juga telah dikembangkan di Yunani oleh Ptolomeus. Dunia Islam mencatat, di era-era keemasan wilayah ini adalah wilayah dengan observatorium terbanyak di antara kebudayaan lain. Salah satu yang paling menonjol misalnya di Bagdad, Isfahan, Maraga dan Samarkand.
Salah satu karya ilmiah yang direkam dari hasil pengamatan bintang-bintang bahkan ditulis oleh seorang pangeran dan ilmuwan muslim berjudul zij I jadidi ko’regony adalah katalog letak bintang dan benda angkasa yang paling banyak mengukur dan menghitung koordinat bintang. Buku Ulug Beg menghitung 1018 subjek bintang beserta koordinatnya di angkasa menggunakan observatorium di Kuhik, Samarkand.
Gambar. 2. Sebuah Mesin Mekanis dari al-Jazzari
Ada banyak tokoh-tokoh lain yang sangat menonjol seperti pemikir muslim al-Farabi, al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Idrisi, al-Jazzari hingga yang baru-baru saja mengemuka di akhir-akhir era gelap setelah serangan Mongol seperti Mimar Sinan di Turki, Ulugh Beg di Samarkand, Taqiuddin astrolog Utsmani, Ibnu Khaldun ilmuwan sosial dari Afrika Utara atau yang lain. Singkatnya, Islam telah menjadi pemimpin global dalam aspek-aspek penting kehidupan kebudayaan global. Para pemikirnya menjadi jawaban dari apa yang menjadi problem zamannya.
Dunia seperti terhenyak menyaksikan peradaban muslim naik ke panggung sejarah nyaris tanpa hambatan.
Sampai hari ini, banyak sejarawan masih terpukau mengenai bagaimana kaum muslim bersama bangsa Arab mengambil alih jalannya sejarah untuk berada di bawah kendali mereka semua. Hanya berjarak 70-an tahun setelah nabi hijrah dari Makkah ke Madinah, kekuasaan Islam sudah mencapai Tiongkok setelah kemenangan perang Talas. Hanya berselang dua tahun setelah nabi wafat, Islam sudah melakukan pengepungan atas konstantinopel. Dan setelahnya menaklukkan Persia serta merebut Afrika Utara dari kekuasaan Romawi. Suatu revolusi yang mengubah alur sejarah.
Apa yang memungkinkan semua itu terjadi dengan sangat dramatis?
Tamim Ansary mencoba menjawab kegelisahan ini. “Pertama-tama”, katanya, “karena posisi geografis Arab yang berada di sekitar dunia tengah. Tempat konstalasi-konstalasi gagasan dan praktik kebudayaan dari seluruh kebudayaan kuno melintas”. Tempat lahirnya Islam di Makkah, berada di tepi laut merah. Laut yang memisahkan (sekaligus menghubungkan) Arab dan Afrika di sebelahnya. Makkah juga adalah wilayah perlintasan berbagai jenis ideologi kosmopolit dari berbagai kebudayaan dunia: dari Persia, Romawi, Mesir Kuno di Afrika, Tiongkok di Timur atau India. Begitulah.
“Tapi bukan hanya karena lokasi geografisnya yang menguntungkan” lanjut Tamim. “Orang-orang Arab dan Islam dikaruniai etos berdagang yang tinggi. Dari laut tengah kapal-kapal meluncur untuk ekspedisi-ekspedisi pelayaran, melalui darat, perang-perang yang dimenangkan kaum muslim kota-kotanya akan segera berpusat pada pasar-pasar untuk perdagangan dan orang Arab mengambil peran dalam pertukaran di dalamnya.
Sejarawan muslim lainnya menambahkan, bahwa kaum muslim maju ke panggung utama sejarah terutama karena iklim sains dan kebebasan berfikir yang dijamin oleh negara. Juga terpisahnya otoritas publik dari otoritas keagamaan. Untuk argument semacam ini, ilmuwan popular muslim seperti Ahmed T Kuru dalam Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim(Jakarta: Gramedia; 2020).
Sayangnya, realitas saat ini tak menunjukkan keunggulan kebudayaan tersebut lagi. Dunia setelah era kegelapan didominasi oleh sains modern yang justru jauh lebih pesat dan berkembang di belahan dunia lainnya. Kaum muslim kini, berada di sisi panggung. Melihat-lihat dengan takut dan lesu apa gerangan yang akan terjadi di masa depan dan bagaimana nasib mereka. Wallahu a’lam bi sawab
Muhammad Ridha adalah Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar
Referensi
[1] Tamim Ansary The Invention of Yesterday Sejarah 50.000 Tahun Budaya, Konflik dan Hubungan Manusia (Jakarta: Baca:2019) Hal. 183
[2] S.H. Nasr Islamic Science An Ilustrated Study (England: Western Press; 1976) hal. 193
[3] S.H. Nasr Islamic Science An Ilustrated Study (England: Western Press; 1976) hal.205
[4] John Freely Cahaya dari Timur Peran Ilmuwan dan Sains Islam dalam Membentuk Dunia Barat (Jakarta: Elex Media Komputindo: 2011) Hal.