Etos Islam dan “Ledakan Arab”

Oleh: Muhammad Ridha

Ketika dunia kuno bergerak menuju kehancuran, ada yang diam-diam tumbuh di gurun Arab. Di wilayah antara kekuasaan bangsa Persia atau Romawi. Di antara jalur-jalur rempah yang rumit yang menghubungkan Afrika, Arab, Tiongkok, dan anak benua India. Di jalur sutera darat pada persimpangan ke arah selatan antara Tiongkok dan Eropa. Antara orang-orang Suryani, Parsi, Roma dan Afrika, menyembul sebuah kepercayaan baru yang menghentak dunia lama yang penuh tahyul, rapuh, saling sikut dan terancam perpecahan di mana-mana: Islam.

Tak ada yang benar-benar menyangka sebuah ajaran yang dibawa seorang nabi kaum papa, yang memerintah tidak dari singgasana megah seperti tahta Kusrow di Persia dan tahta Romawi di Byzantium, tetapi dengan etos kesetaraan dan dalam ketaqwaan kepada Allah bisa menembusi gurun panas Arabia menuju ke hampir seluruh bagian dunia lama. Setelah diajarkan oleh Nabi di Makkah dan Madinah, dua kota suci tempat nabi memeram ajaran yang sedang membuat gemetar para penguasa korup, para pebisnis curang, para pemodal yang mengambil untuk dari kehidupan dan pertukaran sosial, akhirnya telah tumbuh dewasa sebagai ajaran yang melihat semua orang musti setara: hal yang membuat takjub, jauh di kemudian hari,  seorang ideolog paling agung era modern, yang ideologinya menyerupai etos ajaran nabi Muhammad untuk menolong kaum papa di mana saja dimana mereka diperlakukan tidak adil, Karl Marx.[1]

Ajaran baru yang datang tidak hanya dengan hukum-hukum fiqh yang rigid dan ancaman hukuman, tapi juga anjuran-anjuran etik yang menggerakkan dan berdiri di pihak yang jelas. Sebuah ajaran yang mencela mereka yang menimbun harta dan lupa kepada kaum papa, menghukum dosa mereka yang menghardik anak yatim, mengajak orang-orang melawan eksploitasi dan dominasi kaum kaya yang telah membuat banyak di antara orang-orang meringkuk tak berdaya dibelit kemiskinan. Ajaran yang mengajak shalat fardu dan shalat sunnah agar ritus itu menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab sosial setiap manusia kepada manusia yang lain. Yang mengajarkan puasa dan batas-batas mana hak dan mana yang batil. Suatu ketika firman yang dibawa sang Nabi seperti sajak pembelaan kepada kaum papa. Kurang lebih berbunyi:

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu//

….

Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu”

Atau sekali waktu menghentak dan menuding siapa mereka yang mendustakan agama:

“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?//Ialah yang menghardik anak yatim,//

Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin//Maka celakalah orang yang shalat

(yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya//Yang berbuat ria//Dan enggan memberikan bantuan”

Baca juga:  Girah Sains Islam: Observatorium dan Perkembangan Astronomi Islam

Ajaran-ajaran etik yang benar-benar menemui konteks dunia lama yang gabut tak karuan. Ajaran ini sedang bersiap menyapu keluar dari gurun Arab.

Konteks: Dunia Kuno Yang Carut Marut

Perang tak berkesudahan telah menghabiskan energi dua kebudayaan dan imperium maha besar dunia lama, Persia dan Romawi. Yang satu menguasai hampir seluruh laut tengah dan seluruh sisinya di Asia, Afrika serta daratan Eropa. Sementara yang lainnya berpusat di dataran tinggi Iran yang membentangkan kekuasaannya dari Afrika, sebagian Arab, Asia Tengah hingga ke utara anak benua India. Masing-masing telah tumbuh membesar dengan bermacam-macam inovasi dan mendominasi dunia kuno. Yang satu menganut paganisme Yunani yang kemudian mengadopsi kekristenan menjadi agama kerajaan dan yang lainnya meyakini zaratustra sebagai ajaran. Keduanya telah saling hantam dalam perang berkali-kali, di Suriah, di Asia Kecil, di Afrika Utara, dan tempat-tempat lainnya. Keduanya adalah, meminjam istilah Tamim Anshari, mega imperium[2] yang makin uzur dan tak relevan. Meski bukan hanya mereka berdua. Kekuatan Hindu di anak benua India adalah basis bagi imperium besar di sana. Demikian juga di Tiongkok bagaimana ajaran konfusius mendorong imperium Tiongkok yang diperintah oleh berbagai dinasti secara berganti-ganti dalam sejarah juga merupakan kekuatan imperium.

Di antara mega imperium ini, di awal abad ke 7, sebuah agama baru menyebar dan digandrungi orang-orang di sekitar gurun Arab di celah jauh antara imperium besar ini. Jika imperium ini mengklaim wilayah ini adalah wilayahnya, maka wilayah tersebut adalah wilayah yang hampir di luar kontrol kekuasaannya. Wilayahnya ramai oleh perdagangan laut merah. Perdagangan antar samudra berlangsung di sini dan karena itu menghubungkan kota kecil ini dengan wilayah lain. Di antara kondisi-kondisi itulah di Arabia menjadi konteks, ruang-waktu atau galaksi sosial dimana seorang nabi memberikan ajaran baru ini yang berkisar dan bersandar padaNya: Muhammad bin Abdullah.

Beliau lahir di antara semakin jumudnya kekristenan yang dipromosikan oleh orang-orang Roma. Kristen telah berubah menjadi agama formal yang kehilangan keterhubungannya dengan mereka yang tak berkuasa. Hal ini berlaku secara luas di wilayah-wilayah Romawi dimana orang romawilah yang dianggap sebagai warga negara, sementara yang bukan romawi adalah warga kedua. Ini seperti menjadi masalah awal di wilayah-wilayah Romawi di luar Byzantium dan Eropa Barat. Hal ini mendorong terlepasnya provinsi-provinsi jauh yang tidak didominasi oleh orang-orang romawi. Kekristenan terpecah-pecah terutama oleh doktrin Nestorian dan Monofisit yang memisahkan diri dari ajaran mainstream gereja Kristen. Sementara zaratustra yang sedang dipertahankan oleh kekaisaran Persia juga mengalami kelelahan yang sangat dalam. Perang Panjang telah menggerus kekuatan. Sementara itu zaratustra yang menjadi inti ajaran dianggap tak memadai lagi untuk zaman yang membutuhkan kebaruan.

Baca juga:  Yang dikirim Islam ke Barat: Kertas dan Ilmu Pengetahuan

Anak benua India sedang menikmati angin yang berembus menuju tenggara yang membentuk jalur sutera laut. Wilayah-wilayah kepulauan di Asia Tenggara menjadi wilayah pengaruh dari berhembusnya Hinduisme dan Budhisme ke Asia Tenggara. Tapi wilayah yang berkembang makin ke tenggara ini memiliki pengaruh kecil ke Arabia. Dia mega imperium jauh yang hanya se-zaman dengan kelahiran agama baru itu. Juga dinasti Tang di Tiongkok. Sebuah kekuatan yang kelak akan bertemu dengan ajaran baru ini.

Ledakan Arab

Dan benar saja. Ajaran baru yang dibawa oleh sang nabi menyebar cepat. Nabi sendiri telah mengalami perang-perang untuk mempertahankan ajarannya. Tetapi loncatan besar ajaran ini diperoleh di era para sahabat dan beberapa tahun setelahnya. Hanya dalam waktu 50 tahun, ‘ledakan arab’ yang digerakkan oleh etos Islam telah berubah menjadi kosakata baru bagi spiritulitas dan kehidupan sosial yang lebih baik. Islam telah berubah menjadi pembangkit utama yang mebuat ledakan Arab mencapai ujung utara dan selatan Tiongkok, sungai Sind di anak benua India, Afrika Utara hingga ke tempat orang Berber di Marokko dan Aljazair, hingga ke Asia Kecil tepat berhadapan dengan Konstantinopel, pusat imperium Romawi. Hanya dalam waktu singkat itu, sebagian besar wilayah Persia, juga pusat kekuasaan Persia telah ditumbangkan dan pewaris tahtanya harus berlindung jauh di Tiongkok untuk waktu yang tak menentu hingga sejarah benar-benar membenamkan sisa kekaisaran Persia. Juga wilayah-wilayah hellenis di mana pengaruh Romawi sangat besar seperti di Afrika Utara dan laut tengah di sisi Timur hingga di Kaukasus dan Asia Tengah. Gejala ini disebut seorang sejarawan Arab dari Mesir, Muhammad Abdullah Enan, sebagai ‘ledakan Arab’. Suatu gejala menyebarnya dengan cepat kekuasaan orang Arab karena dimotori oleh kehadiran Islam sebagai etos besar sejarah yang dengannya imperium besar Persia terserap masuk ke dalamnya, sebagian besar wilayah Romawi di Arab dan Afrika terserap ke dalamnya, bahkan wilayah-wilayah yang ditaklukkan Aleksander Agung di Asia Tengah telah berpindah memeluk Islam dan tunduk di bawah kekhalifahan Islam (Arab).

Abdullah Enan memberi gambaran menarik fenomena awal kebangkitan Islam di antara reruntuhan Romawi dan Persia:

“Sementara semenanjung Arab bersemangat dengan kehidupan yang baru dan penuh energi ini, dua kekuatan yang mendominasi dunia kuno, dan berbatasan dengan ujung-ujung semenanjung, yaitu kekaisaran Persia dan Romawi, sedang melewati tahap pembusukan sosial dan politik.”[3]

Baca juga:  Mengantar ke Gerbang:

Ledakan ini tak terbendung hingga seribu tahun setelah kelahirannya pertama kali. Bahkan, Tamim Ansary menyebutkan, dunia di bawah kendali Islam setelahnya. Kota-kota maju ada di dunia Islam setelahnya. Kota-kota terpadat, ‘paling diterangi’ dan canggih ada di sekitar dan didalam darul Islam: Bagdad, Isfahan, Tripolitania, Damaskus, Fez, Makkah, Madinah atau bahkan Andalusia di sisi Eropa. Temuan-temuan sains paling maju sedang ditemu-kembangkan di sini. Al-kimya telah berkembang menjadi ilmu metalurgi yang merevolusi penggunaan dan perubahan benda-benda, matematika, dasar abstraksi semua sains berkembang dengan pesat, dan medium semua pemikiran sains ini disalin cepat ke dalam buku-buku, yang produksinya dipelajari dari Tiongkok tapi produksi massalnya ke dalam kebudayaan global dilakukan oleh dunia Islam.

Sampai kemudian dominasi ini berhenti. Macam-macam penyebab telah dikemukakan oleh ilmuwan. Perpecahan di Andalusia telah menghilangkan kaum muslim dari sana setelah 7 abad lamanya menguasai dan mentransformasi wilayah pinggiran Romawi ini, kesultanan di Bagdad telah terbenam bukan hanya oleh seruan Mongol dari Timur tapi juga krisis spiritualitas telah mengguncangkan legitimasi kesultanan di mata rakyatnya sendiri, kesultanan-kesultanan di Persia, Mughal dan Utsmani juga menuju senja kalanya.

Tapi bagaimana pun, ‘ledakan Arab’ ini telah mengubah formasi global. Telah mengubah wajah dunia yang tak kan pernah sama lagi dengan dunia sebelum datangnya Islam. Telah mengubah tata cara, estetika, logika dan cara-cara manusia memandang dunia dan persoalan-persoalannya. Tulisan-tulisan selanjutnya akan merenungkan Kembali: bagaimana ‘ledakan Arab’ ini telah membentuk suatu peradaban yang kompleks, yang karena capaian-capaiannya, dunia kita hari ini tak bisa dibicarakan tanpa menyebutkan bagian-bagian dari peradaban yang diciptakannya. Wallahu a’lam bi sawab.

Muhammad Ridha, Meminati Studi Sejarah Sains Islam. Dosen Fakultas Ushuluddin Filsafat Dan Politik UIN Alauddin Makassar

 

Referensi 

[1] Dalam sebuah suratnya kepada anaknya: “Islam melihat semua orang setara kecuali dalam ketakwaan kepada Tuhannya”. Surat ini ditulis dalam perjalanan pengobatan Marx ke Aljazair tempat praktek dokter ahli penyakit dalam yang mungkin bisa menyembuhkan paru-paru yang terlalu basah yang dimiliki oleh Marx. Dengan perawatan yang maksimal, penyakitnya tak kunjung bisa disembuhkan. Dan hanya tak lebih dari setahun, Marx harus menyusul sang istri yang telah berpulang lebih dahulu. Lihat Marcelo Musto Karl Marx Biografi Intelektual (Jakarta: Marjinkiri; 2021)

[2] Tamim Ansary The Invention of Yesterday Sejarah 50.000 Tahun Budaya, Konflik dan Hubungan Manusia (Jakarta: Penerbit Baca; 2019)

[3] Muhammad Abdullah Enan Momen-momen Menentukan dalam Sejarah Islam (Jakarta: Alfabet: 2022) Hal. 9

0%