Saat Orang Maroko Mengukur Ujung Bumi

Kisah Al-Idrisi dan Ibnu Batutah

Oleh: Muhammad Ridha 

Banyak orang terperanjat: anak-anak muda Maroko mengalahkan Portugal untuk masuk ke Semi Final Melawan Prancis setelah sebelumnya membungkam Spanyol, tim unggulan lainnya. Banyak orang berspekulasi mengait-ngaitkan ini dengan sejarah islam di semenanjung Iberia yang memang berhadapan langsung dengan Maroko di Barat Daya benua Afrika. Banyak yang lain memaklumi saja kejutan ini seperti kejutan-kejutan piala dunia sebelumnya di mana sebuah tim dari negeri tertentu yang dianggap tidak diperhitungkan dan mampu mengukir kemenangan demi kemenangan dan masuk ke babak-babak penentuan. Biasanya pandangan terakhir ini menganggap dunia sepak bola masih didominasi oleh tim-tim Eropa dan Amerika latin. Tapi dunia telah berubah jauh. Ada tim Asia yang bisa berbuat banyak, ada tim Afrika seperti Maroko yang sampai pada perebutan tempat ketiga di piala dunia terakhir.

Saya, yang diharubiru oleh demam piala dunia, ketika itu juga ikut-ikutan meromantisir keadaan seperti penduduk-penduduk lain dari negeri-negeri muslim yang merasa kehadiran Maroko telah membawa serta juga kemajuan dan kebangkitan dunia Islam (maknanya bisa meluas dari sekedar sepakbola) dengan menulis komentar di akun facebook milik saya seputar isu perkembangan tersebut yang memproyeksikan pertandingan lanjutan Maroko melawan Prancis adalah perang Tours atau dalam tradisi kronik islam disebut Balat Ash Syuhada.

Seolah-olah perang penaklukan islam atas benua Eropa di semenanjung Iberia (saat ini wilayah Spanyol dan Portugal) Kembali terulang. Kemenangan di pihak Maroko atas Spanyol lalu Portugal seperti kemenangan Tariq Bin Ziyad, pahlawan penaklukan Iberia, Kembali berulang oleh anak muda yang dipimpin Hakim Ziyech di piala dunia saat ini. Dan perang menentukan sebelum memasuki jantung Eropa di Tours (wilayah Prancis saat ini), beberapa hari berikutnya kembali terulang Ketika pasukan Islam harus dipukul mundur, saat Abdurrahman al-Gafiqi terbunuh, yang parallel dengan kekalahan semi final Maroko atas Prancis.

Meski tampak tulisan itu merupakan ‘cocokologi’, tapi tak benar-benar demikian. Sebab Maroko, sebuah kesultanan Islam di Ujung barat Afrika, memang benar-benar pernah begitu kuat dan menaklukkan semenanjung Iberia itu seribuan tahun lalu. Karena itulah, cocokologi itu sedikit ada benarnya. Sedikit ada pembelaan, terutama bagi yang senang membaca sejarah klasik Islam di Kawasan Iberia yang dikuasai kaum muslim, sebagian besar dari wilayah Magribi. Meski demikian, artikel ini tidak sedang mencocok-cocokkan peristiwa saat ini dengan masa lalu. Tapi mengenang sebuah romantika di mana bangsa Afrika dan Arab yang saat ini dibayangkan takkan mengalahkan kekuatan Eropa, justru pernah menguasai sebagian wilayah penting Eropa sebelum akhirnya direbut Kembali dalam program rekonquista. Juga, dalam pada itu, kebudayaan yang dihasilkan, melahirkan individu-individu yang menonjol yang kontribusinya bagi kita kini tak boleh disepelehkan seperti orang-orang Eropa melihat Afrika saat ini yang telah hancur pasca kolonisasi Eropa dan slavery trade yang membawa dan mencerabut orang-orang Afrika dari kemanusiaannya untuk diperbudak di dalam proyek-proyek perkebunan dan industry kapitalisme awal Eropa (baik di Eropa maupun di Benua lain yang dikolonisasi Eropa). Penjajahan dan perbudakan Eropa atas Afrika inilah, yang kata Franz Fanon menyebabkan cacat ontologis[1] bagi orang Afrika yang dikepung suatu inferiority complex. Mereka tak punya kepercayaan diri atau tak merasa bisa tanpa diwakili oleh bangsa kulit putih. Padahal, peradaban manusia berutang banyak pada capaian-capaian Afrika di masa lalu.

Dan artikel ini ingin mengenang beberapa potong peristiwa dalam sejarah dini kita, dalam sejarah sains dan kebudayaan Islam, yang dilahirkan oleh dua tokoh penting Maroko: Al-Idrisi di Sisilia dan Ibnu Batutah di Tangier.

Baca juga:  Bagaimana Kolonialisme Membenamkan Dunia Islam? Kisah Kesultanan Mughal dan Kesultanan Gowa

***

Al-Idrisi adalah penduduk asli kota Sabta (Ceuta) yang terletak di ujung utara Maroko Modern. Lahir sekitar tahun 1100 M dari keluarga kaya, dia mulai belajar sejak usia dini, dan pada masa remajanya, memulai apa yang akan dilakukan oleh para cendekiawan yang ambisius: dia melakukan melakukan perjalanan Panjang menimba ilmu, yang dalam kasusnya membawanya dari Lisbon dan Kordoba, yang pada zamannya adalah kota terbesar di Eropa dan salah satu kota terbesar di dunia, melintasi laut tengah hingga ke Damaskus.[2]Kombinasi antara pengalaman, penjelajahan dan kemampuan belajarnya, membuat seorang raja menugaskannya untuk menulis buku yang akan menggambarkan peta dunia yang mereka hidupi saat itu dengan keterbatasan dan tentu saja kemajuan ilmu geometri.

Seperti juga pembuat-pembuat peta lainnya, yang lebih modern dan sering digunakan sejak abad ke-17 adalah peta proyeksi Mercator, seorang kebangsaan Belanda yang telah membuat peta yang kita warisi saat ini, Al-Idrisi memproyeksikan peta dunia. Dia sedang mengukur ujung dunia. Proyek yang dikerjakannya atas undangan raja Roger II yang sedang berkuasa di Sisilia. Idrisi diundang oleh raja Roger, sekitar 70 tahun setelah Sicilia jatuh ke tangan Kristen di tahun 1060. Dan menyelesaikan tugasnya di tahun 1154 saat menyajikannya kepada raja Roger II sebuah proyeksi peta berbahasa Yunani.[3]Karya yang ditulis dan proyeksi di dalamnya soal peta dunia adalah sebuah buku berjudul “Tuhfat an-Nuzzar fi Gharaib al-Amsar Wa Ajaib al Asfar (Harta Karun Para Penonton tentang hal-Hal Aneh dari Negara-Negara dan keajaiban Perjalanan) yang di kemudian hari dikenal sebagai The Book Of Roger. Peta ini digunakan dan menyempurnakan pandangan orang Eropa terhadap dunia (terutama dunia di luar Eropa).

William Montgomery Watt mengomentari perihal peta dan kerja Al-Idrisi: “Dalam kaitan dengan ini bisa dicatat bahwa dari orang Arablah orang Eropa memperoleh pengetahuan geografis yang lebih luas dan memadai. Pada abad ke-12, orang-orang di Eropa masih berpandangan bahwa dunia di Luar Eropa adalah wilayah kaum muslim. Namun demikian, sekitar pertengahan abad itu, pengetahuan yang relatif akurat tentang India, Cina dan belahan Utara Afrika, telah dapat diperoleh orang eropa melalui inisiatif dua raja Sisilia, Roger II (1127-1154) dan anaknya (William I 1154-1166). Di bawah lindungannya, seorang sarjana Arab dari Afrika Utara dan Cordova, al-Idrisi (1100-1166), telah menghasilkan gambaran dunia yang lengkap seperti dikenal kaum muslim saat itu. Ia telah mengkaji pendapat-pendapat para ahli geografi Arab sebelumnya, menggali informasi – dan menggunakan otoritas raja- dari para pengunjung ke Sisilia, dan ia sendiri melakukan perjalanan jauh ke wilayah-wilayah dari Asia ke Pantai barat Inggris. Apa yang telah dipelajarinya kemudian dituturkannya dalam serentetan tujuh puluh peta (sepuluh untuk masing-masing tujuh iklim), yang dihantarkan dengan gambaran tertulis yang berisi apa yang terkadang dikenal luas sebagai book of roger.”[4]

Peta Dunia Al-Idrisi

Apa yang digambarkannya menunjukkan pengaruh dirinya sebagai muslim dan berasal dari dunia Islam di Timur dan berdasarkan konvensi di dunia Islam pada umumnya. Karenanya, seperti digambarkan Chase “al-Idrisi menempatkan laut tengah timur sebagai pusat visi dunianya. Wilayah yang paling penting baginya adalah Hilal SUbur, Jazirah Arab, dan Iran barat; jantung Islam pada saat itu. Mekkah mendominasi Jazirah Arab dan Sisilia, tempatnya mengabdi kepada Raja Roger, mendominasi laut tengah, ukurannya jauh melampaui Sardinia yang sesungguhnya hanya sedikit lebih kecil… sementara itu, Eropa barat dan utara diletakkan di samping, posisinya yang kecil mencerminkan statusnya yang tidak penting jika dikaitkan dengan area pusat dunia, yang bertaburan kota-kota terkemuka di Dunia, seperti Kairo (Mesir), Tabriz (Iran), Beijing (Tiongkok), dan Vijayanegara (India) yang, selama abad ke-13-ke-14, terus melampaui kota-kota di eropa Barat. Pemetaan al-Idrisi -yang terperinci saat menggambarkan Laut Tengah, samar-samar untuk Eropa Utara- mencerminkan signifikansi reltifnya: Eropa utara tetap menjadi daerah terpencil, yang tidak menawarkan banyak hal pada dunia yang beradab…”[5]

Baca juga:  Orang-orang dan cermin pendidikan sosial Soviet yang menarik?

***

Sementara itu, di negeri yang sama, di Tangier dua ratus tahun kemudian lahir seorang, yang dikemudian hari menjadi pengembara muslim yang terkenal di abad pertengahan, Ibnu Batutah. Dia berjalan jauh dari negerinya untuk menjalankan ibadah haji ke Makkah dan Madinah. Lalu dari sana, mulai berfikir untuk berpetualang dalam perjalanan pengembaraan di seputar ‘dunia tengah’. Di kemudian hari, saat balik ke Fez, di Maroko, mengisahkan perjalanannya kepada Ibn Juzai yang kemudian menuliskan kisah petualangan itu ke dalam: Tuhfat an-Nuzzar fi Gharaib al-Amsar Wa Ajaib al Asfar (Harta Karun Para Penonton tentang hal-Hal Aneh dari Negara-Negara dan keajaiban Perjalanan).[6]

Mengenai motif ia berangkat berpetualang sendirian, dia menulis: “Berencana untuk beribadah haji kerumah Allah yang suci dan mengunjungi makam Nabi (SAW), sendirian tanpa pendamping untuk menghiburku, dan bahkan tanpa bergabung dengan kafilah, terdorong oleh tekad spiritual yang kuat”.[7]Tekadnya tercermin dari tulisannya di atas. Seorang pemuda 22 tahun yang benar-benar ingin bepergian yang akhirnya, maksudnya itu, berhasil dia jalankan apapun resikonya.

Saya meringkas tulisan Abdullah Enan untuk menunjukkan negeri-negeri dan jalur yang dilalui oleh Ibnu Batutah. Bagian-bagian berikut adalah ringkasan dari tulisan Enan berjudul Ibnu Batutah[8].

Pernah di awal perjalanannya Ketika telah melewati Telemcen, Aljazair, Bougie dan Konstantinopel dan dia tiba di Tunis, dia menangis dan penuh emosi karena perjalanannya yang sendirian ini tidak mendapat sambutan, bahkan tidak ada panggilan untuknya. Akhirnya pergi ke Tripoli, dan dari sana ke Aleksandria. Kota yang terakhir ini dicapainya setelah 10 bulan perjalanan. Lalu dari sini dia pergi ke Kairo di sini dia mengunjungi sungai nil, laut merah dan piramida serta menuliskan aspek-aspek sosial dan legenda di sekitar situs-situs itu. Kemudian dia meneruskan perjalanan melalui rute gurun, di sepanjang laut merah, dia tiba di Palestina. Dia lalu pergi ke utara menuju Suriah lalu ke Aleppo dan ke Damaskus. Lalu dari sini dia meninggalkan Damaskus dan mengikuti kafilah untuk menuju Makkad dan Madinah untuk berhaji, seperti tujuan awal perjalanannya. Di Makkah dia mengunjungi masjidil haram, kakbah Suci dan makam para sahabat Nabi.

Tanah suci yang dia kunjungi tiga kali dalam pengembaraannya ini, digambarkan dalam bab Panjang dalam bukunya. Setelah haji pertama ini, kemudian berfikir untuk berpetualang ke tempat lain lagi, bukan pulang ke rumahnya. Dia menuju timur di Irak, ke Mosuk dan ke wilayah-wilayah Seljuk. Dari sana, dia Kembali ke Makkah untuk beribah haji untuk kedua kalinya. Dari aktifitas ibadah haji yang kedua inilah di kemudian menyusun semacam program untuk perjalannya keliling dunia dari informasi-informasi yang didapatkannya dari jamaah haji yang dating dari seluruh dunia.[9]Karena sakit, dia tinggal selama dua tahun di Makkah untuk beristirahat.

Jalur Yang dilalui Ibnu Batutah Dalam PerjalanannyaKeliling Dunia

Lalu perjalan berlanjut setelahnya Ketika dia mengunjungi Yaman dan menyeberang ke Somalia. Dia juga mengunjungi pesisir laut Arab sejauh Oman dan Bahrain. Dan sekali lagi, dia berangkat ke Makkah untuk berhaji. Haji untuk ketiga kali ini dilakukannya di tahun 732 H (1332 M). Setelah haji ketiga ini dia berangkat ke Sudah menusuri laut merah, lalu menuju Mesir, dan kemudian dari sana menuju Suriah dan berlayar dari Latakya untuk mencapai pesisir Turki, di Asia Kecil. Lalu ke Byzantium dan menemui rajanya Ketika itu. Dari sini menuju Asia kecil dan Uzbek lalu menuju India. Di India dia diangkat sebagai hakim oleh Sultah Ahmed Syah, penguasa provinsi utara.

Baca juga:  Akurasi Sains Islam dan Kisah Ulugh Beg

Ibnu Batutah menghabiskan beberapa tahun menjelajahi India dari pesisir hingga pedalamannya. Lalu mengunjungi Indonesia yakni pulau Jawa dan Sumatra. Di Sumatra dia menyaksikan kekuasaan dan pemerintahan kerajaan Islam Samudra Pasai di Aceh. Lalu dari Indonesia dia pergi lebih jauh ke negeri Cina, dan Campa (Indocina). Dari Cina dia kemudian Kembali ke Indonesia lalu balik Ke India. Lkalu ke Persia, Mesopotamia, Suriah dan Mesir dalam perjalanan pulang. Dan berlayar dari Tunis menuju Sardinia di Italia dan menyeberangi Maroko Menuju Fez. Dia mencapai Fez pada tahun 753 H (1352 M).

Dari perjalanan terakhir ini dia kemudian ke Tangier mengunjungi makam ibunya. Lalu pergi lagi menuju ke Andalusia dan mengunjungi kota-kota Pelabuhan dan juga tiba di Granada. Lalu mendapat perintah untuk kembali ke Fez oleh penguasa Fez, Sultan Abu Enan dan menetap di sana setelah perjalanan sejauh dunia yang diketahui di masa itu. Menurut sebuah catatan, jika disepadankan dengan negara modern saat ini, dia telah mengunjungi 40 negara di Asia, Eropa dan Afrika[10]. Dia menghabiskan sekitar 30 tahun usianya untuk bepergian mengunjungi negeri-negeri (yang kebanyakan negeri muslim) yang dekat dan jauh dari negerinya. Sebuah pengalaman yang tidak banyak dilakukan oleh orang lain dan karena itu begitu penting, bahkan hingga kini.

***

Salah satu warisan utamanya adalah pengetahuan geografis, sosial dan legenda-legenda serta kebiasaan-kebiasaan tempat yang dia datangi yang dicatatnya dalam bukunya. Dia telah menjadi salah satu petualang yang tersohor yang menyajikan kepada kita sejarah wilayah-wilayah yang tidak banyak yang dinarasikan secara lisan olehnya sendiri untuk dituliskan oleh Ibnu Juzai, seorang teolog yang dipekerjakan oleh sultan Abu Enan. Sementara Al-Idrisi menyelesaikan 70 petanya berdasarkan tujuh musim menurut pembagian yang dilakukan Pteolomeus dengan fasilitasi dan biaya raja Roger II dari Sisilia.

Keduanya telah mewariskan suatu warisan pengetahuan geografis, yang meski tak benar-benar tepat menurut ilmu geometri dan geografi modern, tetapi telah memberi suatu karya yang telah berkontribusi atas perubahan-perubahan di Eropa dan dunia saat ini berkat peta dan kisah yang dituliskannya. Kedua orang Maroko ini telah mengukur ujung Bumi dan mengajarkannya kepada orang-orang di abad pertengahan: juga kepada kita di masa-masa berikutnya. Wallahu a’lam bi sawab

Daftar Pustaka

[1] Franz O Fanon Black Skin, White Mask Kolonialisme, Rasisme, dan Psikologi Kulit Hitam (Yogyakarta:Jalasutra; 2008) Hal. 70

[2] Chase F. Robinson Para Pembentuk Peradaban Islam Seribu Tahun Pertama (Jakarta: Alvabet;2019) Hal. 192

[3] Ibid. Hal. 194

[4] W. Montgomery Watt Islam dan Peradaban Dunia Pengaruh Islam Atas Eropa Abad Pertengahan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2004) Hal. 31-32

[5] Chase F. Robinson Para Pembentuk Peradaban Islam Seribu Tahun Pertama (Jakarta: Alvabet;2019) Hal. 197

[6] Muhammad Abdullah Enan Momen-Momen Menentukan Dalam Sejarah Islam Peristiwa-Peristiwa Penting Pertemuan Awal Timur dan Barat (Jakarta: Alvabet; 2020) Hal. 340

[7] Ibid. Hal 341

[8] Ibid. Hal. 339-358

[9][9] Ibid. Hal 345

[10] https://islamdigest.republika.co.id/berita/qjw273366/kisah-ibnu-batutah-yang-telah-menjelajah-ke-40-negara

0%