Oleh: Muhammad RidhaTaqiuddin bekerja di Observatorium Istanbul (S.H. Nasr)
Segera setelah Islam menuntaskan revolusi yang membawa nilai-nilai baru atas dunia lama yang di ambang kehancuran total karena dua imperium besarnya terus berperang demi menuju kehancurannya masing-masing institusi-institusi pengembangan sains merebak di dunia Islam. ‘ledakan Arab’ dikuatkan gemanya hingga menjangkau lebih jauh lagi dari sekedar Jazirah Arab atau Sabit Subur dan Afrika Utara, tapi juga menyeberang ke Eropa meneduhi Andalusia dan Sisilia dengan ilmu pengetahuan dan etos kebudayaan tinggi.
“Tingkat peradaban di Kordova, pusat Andalusia”, kata David Levering seorang penulis penerima pulitzer karena tulisannya mengenai peran dunia Islam untuk membebaskan Eropa dari kegelapan, “berkali-kali lebih mewah, bahkan jika dibandingkan istana Carlemagne, tokoh terpenting Eropa kala itu”[1]. Agama baru ini tidak hanya menyelamatkan qalbu -sebagaimana klaim semua ajaran spiritual- orang-orang dari dunia lama yang berantakan, tapi juga menghaluskan budi dan daya nalar melalui sains dan literasi.
“Bacalah!”, demikian nubuat pertama kitab suci agama ini yang membuat nabi ummy penerimanya berkeringat dan tegang tak alang kepalang pada dini hari yang pekat di sebuah celah gua di atas bukit sedikit di luar kota Makkah. Bagaimana tidak, sebuah peradaban orang-orang bertenda (itulah kenapa kaum muslim disebut Saracen di barat) di sekitar gurun arabia ini, harus menanggung beban membaca di hadapan masyarakat tribal yang tidak berliterasi. Tapi pesan itu, mungkin menubuh dalam ajaran yang diturunkan bertahap selama lebih dari duapuluh tahun hingga ummatnya, penganut ajaran ini, di peradaban mula-mula telah menunjukkan etos literasi yang tinggi.
Hanya berjarak seratusan tahun sejak Nabi hijrah, yang menjadi penanda dimulainya tahun pertama penanggalan Islam, di dunia islam telah berdiri institusi-institusi sains seperti perguruan tinggi, perpustakaan atau pusat kebudayaan seperti bayt al hikmah di Bagdad, darul ‘ilm di Kairo ataupun observatorium-observatorium untuk menjadi alat dan lokasi penelitian ilmiah bidang astronomi, astrologi dan geofisika.
Artikel ini ingin menunjukkan beberapa argument historis dari berdirinya observatorium-observatorium di dunia Islam yang itu bukan hanya menunjukkan kemajuan perkembangan sains dan tradisi ilmiah, tapi juga menunjukkan minat dunia Islam kepada dunia antariksa, astronomi dan perbintangan. Sebuah ilmu pengetahuan yang amat dihormati sejak era kuno ketika Euclid menulis Elements atau Ptolomeus menulis Almagest. Ilmu astronomi ini salah satu ilmu yang paling dibangga-banggakan di kalangan ilmuwan Islam.
Observatorium Awal
Menurut Aydin Sayih, observatorium pertama di zaman Islam didirikan oleh Khalifah al-Ma’mun, pada tahun 828 di Sammasiya, Bagdad dan observatorium Dayr Murran di atas Gunung Qasiyun di Damaskus. Salah satu ilmuwan yang dikait-kaitkan dengan observatorium ini adalah al-Khawarizmi, yang kala itu bekerja di bayt al-Hikmah sekaligus meneliti astronomi di observatorium Sammasiya. Sementara Abi Mansur mengepalai observatorium di Damaskus. Hasil-hasil dari kerja-kerja penelitian di observatorium ini di antaranya adalah Zij, tabel-tabel astronomi. Abdul Malik al-Mawrudhi, pengganti Abi Mansyur setelah beliau wafat, berhasil menyelesaikan sebuah zij di Dair Murran juga sebuah instrument siap pakai untuk mengamati benda-benda di angkasa.
Sketsa Observatorium Samarkand (S.H. Nasr)
Instrument yang digunakan di observatorium Sammasiya dan Qasiyun adalah austolabe, gnomon, mural quadrant dan armillary spheres. Alat-alat inilah yang digunakan untuk menghasilkan zij, pengukuran angkasa seperti orbit matahari dan bulan yang berhasil dihitung oleh Abdul Malik, atau mempelajari gerakan planet-planet, menghitung ekliptika juga equinox dan panjangnya tahun tropis.[2]
Dinasti Fatimiyah di Mesir juga membiayai penelitian Abdul Rahman Ibnu Yunus untuk melakukan penelitian astronomi di Kairo. Hasil penelitian di observatorium di Kairo dituliskan dalam kitab astronomi berjudul Zij al-Hakimi al-Kabir. Di Afrika Magribi dan Andalusia juga terdapat penelitian astronomi yang kuat. Tokoh-tokohnya seperti al-Bitruji yang menulis karya astronomi Kitab fil Haya’; juga al-Idrisi seorang ahli geografi kenamaan yang dipekerjakan oleh raja Roger II di Sisilia untuk menulis buku ensiklopedi dan kitab kartografi awal yang menggambarkan bumi dan koordinat kota-kota besar di dalamnya. Kitabnya yang terkenal di antaranya adalah Kitab Nuzhat al-Mushtaq fi Ikhtiraq al-Afat dan Un-Nas wa Nuzhat al-Nafs yang ditulis untuk raja William I.
Perkembangan Berikutnya
Penelitian-penelitian astronomi terus berkembang di dunia Islam secara luas. Setelah Baghdad hancur, para ilmuwan astronomi banyak yang berpindah ke Maraga dan Tabris di mana observatorium yang dibiayai oleh pemimpin Mongol yang menjadi seorang muslim, Hulagu Khan. Hasil-hal dari penelitian di Maraga menghasilkan karya tulis yang Zij-I Ilkhani yang ditulis oleh Nasiruddin al-Tusi. Pemimpin observatorium Maraga ini juga menulis buku Tadhkira fi ‘ilm al-Haya’.
Di sebelah timur laut laut Kaspia, setelah berdiri kekhanan mongol lain yang berkuasa di Uzbekistan dan sekitar Asia Tengah serta beberapa wilayah lain juga mendirikan observatorium di Kuhik, Samarkand. Observatorium ini baru saja ditemukan kembali oleh arkeolog beberapa dekade lalu. Meski bentuknya tak sempurna lagi karena usi dan karena bencana alam, tapi masih jelas alat utama observatorium tersebut untuk mengukur hari dan waktu yang dihabiskan matahari dalam setahun. Dari sini penelitina astronomi menghasilkan Zij Jadidi Ko’Regoniy yang dianggap sangat berpengaruh kepada dunia sains eropa abad berikutnya yang mulai merintis revolusi sains. Tokoh utama di balik penelitian-penelitian di sini adalah seorang pangeran, cucu pendiri kesultanan Timurid, Ulugh Beg.
Tabel astronomi yang dikembangkan di sini adalah table astronomi yang paling banyak mengukur koordinat bintang-bintang di angkasa melampaui Ptolomeus. Yang menarik juga adalah Ulugh Beg disetarakan di Eropa dengan para ahli astronomi dunia yang paling menonjol seperti dipajang di observatorium Urania. Bahkan observatorium di Eropa yang didirikan untuk penelitian-penelitian yang mendorong revolusi sains di Eropa meniru bentuk observatorium yang dibuat oleh Ulugh Beg di Samarkand.
Zij Jadidi Ko’Regoniy karya Ulugh Beg di Museum Ulugh Beg, Samarkand (Dokumentasi Pribadi)
Ketika penulis mengunjungi Samarkand selama musim panas pada bulan Agustus 2023 dan musim dingin di 2024, lokasi observatorium di Kuhik ini telah diubah menjadi museum arsitektur mini di mana miniatur utuh observatorium ini dipamerkan, alat-alat yang digunakan dan perkembangan-perkembangan terkini dari dunia astronomi yang telah diraih oleh republik Uzbekistan, negeri di mana Samarkand menjadi bagian darinya. Di museum ini juga ditunjukkah berbagai lukisan para pemimpin dinasti Timurid, peta kekuasaan ekspansi kesultanan Timurid serta posisi kota ini jalur sutra yang menghubungkan Eropa dan Tiongkok. Juga termasuk bola dunia dan alat yang diciptakan dari ‘Tusi couple’.
Di kesultanan Utsmani juga sains berkembang pesat. Pada puncaknya di abad ke-16 di era Mehmed, sultan yang menaklukkan konstantinopel dari Byzantium dan mendirikan kota Istanbul, didirikan observatorium Utsmani yang dipimpin dipimpin oleh Taqiuddin, seorang astronom Islam sejawah tokoh revolusi sains di Eropa, Tycho Brahe. Observatorium ini hanya beroperasi sebentar sebelum akhirnya, pada tahun 1580 dihancurkan atas perintah Sultan.
Ketika kesultanan Timurid mundur dan warisan-warisannya terpecah-pecah menjadi kegubernuran kecil karena ketiadaan penerus yang memiliki kepemimpinan sekuat pendirinya, Timur Lenk, gairah sains berpindah ke selatan di anak benua India dimana seorang keturunan Timurid Bernama Babur, mendirikan dinasti Mughal yang pada abad ke18 menggiatkan Kembali penelitian astronomi dari beberapa observatorium yang didirikan dan dioperasikan terutama dengan mengikuti katalog buatan Ulugh Beg, Zij Jadidi Ko’Regoniy. Observatorium Mugal setidaknya didirikan dilima tempat, yakni di Jaipur, Delhi, Benares, Ujayyin dan Mathura.
Argumen-argumen utama dan seluruh data historis mengenai tempat pendirian observatorium, para ilmuwan di baliknya dan hasil-hasil temuan penting disarikan dari buku menarik yang ditulis oleh seorang ahli sejarah sains berkebangsaan inggris, John Freely dalam bukunya Cahaya Dari Timur Peran Ilmuwan Islam dan Membentuk Dunia Barat (2011). Buku ini menunjukkan secara lebih spesifik bagaimana karya-karya, pemikiran dan hasil-hasil penelitian di dunia muslim telah ikut membentuk peradaban sains barat yang dimulai sejak revolusi sains yang dimotori oleh Tycho Brahe, Copernicus, Galileo dan Kepler yang kesemuanya ini menimba langsung dari raksasa-rasasa astronomi dunia Islam yang membuat mereka tampir menjulang dalam renaisans Eropa justru karena ‘berdiri di Pundak raksasa’, Pundak para ilmuwan muslim. Wallahu A’lam bi Sawab.
Muhammad Ridha adalah Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar
Referensi
[1] David Levering Lewis, The Greatness of Andalus Ketika Islam Mewarnai Peradaban Barat (Jakarta: Jendela: 2021) Hal. 356
[2] Lihat John Freely Cahaya dari Timur Peran Ilmuwan dan Sains Islam dalam Membentuk Dunia Barat (Jakarta: Elexmedia Komputindo; 2011) Hal. 126