Bagaimana Kolonialisme Membenamkan Dunia Islam? Kisah Kesultanan Mughal dan Kesultanan Gowa

Bagian Kedua

Oleh: Muhammad Ridha

“Selalu lebih sulit mengabaikan batu di atas Anda daripada batu yang Anda duduki”

[Tamim Anshary]

 

Artikel ini adalah kelanjutan dari artikel sebelumnya berjudul sama. Karena itu, untuk memahami apa yang disampaikan di sini, akan lebih baik, jika telah membaca artikel sebelumnya.

Kesultanan Gowa

Pada abad ke-17, salah satu kekuatan maritim muncul di Sulawesi Bagian Selatan (sekarang ini profinsi Sulawesi selatan) Bernama Gowa-Tallo. Sebuah kerajaan kembar yang menyatukan kekuatan dua kerajaan menjadi satu. Yang satu berorientasi agraris berpusat di Tamalate sementara yang lainnya berpusat di muara sungai tallo yang merupakan bandar laut untuk armada-armada kapal besar. Penggabungan ini menghasilkan suatu kekuatan regional yang dahsyat. Terutama setelah islam diterima sebagai agam resmi kerajaan di awal abad ke-17. Perang-perang dilakukan setelah Islam masuk melalui sultan Alauddin Awalul Islam (Raja Gowa ke XIV) disebutnya bundu seleng, perang Islamisasi. Dalam proses mengislamkan jazirah Sulawesi, Gowa akan bersurat kepada kerajaan mitra atau kerajaan bawahan agak segera masuk Islam atau diperangi. Segera setelah itu hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan memeluk Islam.

Wilayah kerajaan Gowa, yang menentang supremasi VOC sebagai kekuatan yang ingin memonopoli perdagangan di Indonesia Timur, sampai ke pesisir timur Kalimantan, Lombok dan Nusa Tenggara, kepulauan Aru-Key, seluruh Sulawesi.[1]Pengaruhnya yang luas dan supremasi kekuatannya di Kawasan Indonesia timur, sehingga dalam kisah perjalanan Arung Palakka mencari dukungan menyerang Gowa tak satupun kerajaan yang bersedia bersekutu untuk tujuan itu. Kerajaan ini memiliki Pelabuhan maritim besar yang dibangun pertengahan abad 16 dan telah mengundang banyak misi dagang untuk bertempat di Gowa, di antara Malaka dan Kepulauan Rempah.

Sumber: Wikipedia.org 

Tak sampai 1 abad hingga kerajaan ini menguasai pelayaran di Indonesia bagian timur yang merupakan pusat rempah-rempah untuk pasar Eropa. Ibukota kerajaan Gowa berada di muara sungai Garassi yang disebut benteng somba opu, menjadi bandar dan loji bagi banyak kekuatan pedagang Eropa. Menurut beberapa catatan, di awal abad 17 ada loji Denmark, Spanyol, Portugis, Britania dan Belanda di sana untuk menjalankan aktifitas perdagangan jarak jauh. Sebagai salah satu kekuasaan imperialis Eropa yang ingin mendapatkan kendali penuh atas pasar rempah-rempah, Belanda, yang punya kantor dagang di Batavia, setelah menaklukkan Batavia, meminta agar hak perdagangan rempah (pala dan cengkeh) dari kepulauan Maluku hanya boleh dilakukan di bawah izin armada Belanda (yang kala itu adalah perusahaan dagang yang diberi hak memiliki kekuatan militer oleh kerajaan Belanda). Dalam upaya mengetatkan control atas perdagangan rempah, VOC bahkan melakukan pelayaran Hongi (Hongi Totchen) yang menggelar patrol dari para penduduk local yang dipaksa menggunakan perahu hongi mengelilingi pulau-pulau kecil di Maluku untuk memastikan jumlah rempah yang dihasilkan stabil, tidak ada yang beredar diluar kontrol VOC dan harga tetap tinggi di pasar Eropa.

Jalan Menuju Perang Besar

Pada kenyataannya rempah-rempah dijual bebas di pasaran. Pelayaran rempah orang Makassar atau orang maluku ke Makassar tetap tinggi. Pada pertengahan abad ke 17, VOC pernah bersurat kepada kerajaan Gowa untuk melarang pelayaran. Tapi prinsip-prinsip kebebasan di laut (mare liberum) dijunjung tinggi di kerajaan Gowa yang Ketika itu dipimpin oleh seorang raja terpelajar Karaeng Matoaya dan mangkubumi yang brilian bernama Karaeng Pattingaloang. Di bawah keduanya, meski sering bersitegang dengan VOC karena beberapa kasus, VOC tetap tidak pernah bisa mengintervensi kedaulatan Gowa.[2] Ketegangan mulai terlihat memuncak pada tahun 1662 ketika kapal Belanda, De Walvis tenggelam dengan 16 meriam dan barang-barang lainnya dan dijarah oleh pasukan Gowa. Meski akhirnya separuh Meriam ini dikembalikan setelah tuntutan Belanda kepada kerajaan Gowa. Persoalan ini menjadi semakin serius ketika kapal Belanda Leeuwin tenggelam di lepas pantai Makassar dekat pulau Don Duango pada tahun 1664. Raja Gowa tak memberi ijin perahu Belanda melakukan penyelidikan di wilayahnya, dan sebaliknya memerintahkan pasukannya mengambil peti uang dan harta dari kapal karam tersebut. Ketika, kepala pos Belanda di Makassar meminta izin penyelidikan ditolak, diam-diam dia mengirim 15 orang Belanda berlayar ke sana untuk menyelidiki dan semuanya dibunuh oleh pasukan Gowa yang berjaga di sana. Apa yang dilakukan oleh orang Gowa atas pengambilan barang-barang di sana tidaklah melanggar. Pepatah lazim mengatakan “sisa ombak menjadi milik penemu”. Bagi Gowa ini hal yang biasa tapi bagi Belanda ini sesuatu yang keji.

Peristiwa ini mejadi pemicu dari ketegangan yang sudah sejak lama antara kekuasaan kerajaan Gowa di timur dengan Belanda yang hendak mengganggu supremasi Gowa. Suatu waktu, merespons suatu rancangan peraturan yang di dalamnya melarang Gowa berlayar ke pulau rempah, Sultan Hasanuddin menolak seluruh isi rancangan dan menulis surat yang keras kepada Belanda:

Baca juga:  Akurasi Sains Islam dan Kisah Ulugh Beg

“…dengan melihat permintaan anda [kepada Gowa] agar tidak berperang melawan ternate, Bacan dan Tidore tanpa sepengetahuan anda, mereka mempunyai rakyat mereka sendiri; biarlah mereka mengirimnya ke sini dengan permintaan mereka… Anda melarang saya melayarkan melayarkan perahu ke negeri-negeri ini [disebut satu demi satu disini]. Apa maksud anda bahwa Tuhan telah mempersembahkan untuk perdagangan anda semata pulau-pulau ini yang letaknya begitu jauh dari negeri Anda?…. karena kita tidak bermusuhan, dan anda telah meletakkan perkubuan di atas tanah kami, maka tidak ada alas an untuk tidak menghancurkannya… jika kami harus menerima keadaan damai dengan syarat yang telah kami baca sebelumnya, akan lebih baik jika kita berperang saja.”[3]

Ketegangan-demi-ketegangan di awal abad ke-17 hingga tahun 1665 menurut Andaya, seorang sejarawan ahli Asia tenggara yang menulis perang Makassar dan dampak-dampak geopolitik kekuasaan di Indonesia dan Asia Tenggara, menganggap itu sebagai jalan “menuju konflik”. Menurut Ricklefs,  perang terbatas antara Gowa dan VOC terjadi tahun 1615. Tahun-tahun setelahnya terus bersitegang tetapi terus bisa mengupayakan perdamaian. Pada tahun 1637, 1655 dan 1660 ditandatangani surat perdamaian. Tetapi semua ini seperti jalan menuju konflik.[4]

Dan benar saja, setelah merekrut seorang pelarian Bugis Bernama Arung Palakka, yang selama ini berlindung dibawah pemerintah colonial di Batavia, untuk menjadi pemimpin salah satu rombongan pasukan pribumi bersama kapitan Johnker dan Arung Belo peperangan akhirnya pecah di tahun 1666 dan ditandatangani perjanjian pada tahun 1667 yang menyatakan kekalahan Gowa atas perang Makassar. Perang tersebesar yang pernah dihadapi oleh VOC di awal invasinya ke wilayah Indonesia bagian Timur. Perjanjian ini kemudian dikenal sebagai perjanjian bungaya. Meski perang Kembali pecah dengan lebih sporadis dan meluas hingga tahun 1669, Makassar akhirnya kalah oleh persekutuan kolonialis dan kolaboratornya setelah menghancurkan Benteng Somba Opu.

Dari Pusat Penyebaran Islam ke Negeri Penghasil Budak

Dalam perjanjian Bungaya, begitu banyak poin yang amat merugikan orang-orang Makassar yang berada di pihak yang kalah. Pelarangan pelayaran, pelarangan perniagaan oleh orang Makassar, Wajo dan seluruh sekutu kerajaan gowa dengan pedagang-pedagang Eropa, perdagangan bebas bea bagi kompeni, dan denda emas serta 1500 budak untuk kompeni, dll menunjukkan kerugian besar di pihak Gowa. Secara meluas pada akhirnya, orang-orang atau kerajaan yang berpihak kepada Gowa menjadi kerajaan bawahan dan seluruh wilayahnya dipajaki oleh pemerintah atasan yang ditunjuk oleh kompeni. Pada akhirnya, ksatria Bone yang bertindak karena rasa malu hingga hendak berperang melawan Gowa yang telah menindas rakyatnya, berakhir menjadi penguasa pemungut pajak atau perpanjangan tangan kekuasaan kolonialis.

Perjanjian bungaya ini memberi dampak amat berarti bagi kehancuran perekonomian orang-orang Makassar yang beberapa tahun sebelumnya adalah penguasa perdagangan di Indonesia bagian timur. Kemiskinan dan rasa malu mendorong banyak migrasi dan diaspora orang Bugis dan Makassar yang tidak ingin diperintah oleh Kompeni dan para kolaboratornya.[5]Diaspora mereka mengisi konstalasi politik di berbagai wilayah di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya[6].

Sejak kekalahan perang di tahun 1669, wilayah-wilayah subur menjadi hak kompeni seperti Maros, Polong Bangkeng dan Bantaeng. Sehingga tersisa wilayah-wilayah yang tidak produktif yang membuat bertahan dalam situasi sumberdaya seperti itu membuat semua perekonomian adalah perekonomian subsisten atau yang tak mungkin lebih dari sekedar bertahan hidup. Menurut Thomas Gibson, penulis buku Narasi Islam dan Otoritas Di Asia Tenggara abad ke-16 Hingga abad ke-21, wilayah-wilayah yang diserahkan kepada penguasa lokal oleh kompeni hampir pupus. Mereka semua hanya dipaksa menyetor upeti kepada VOC.[7] Sebagian dari penduduk yang tak tahan dengan kondisi ini berdiaspora ke banyak wilayah di Asia Tenggara dalam jumlah yang besar. Sementara sebagian lainnya bertahan di dalam sistem sosial yang mengekang dan merendahkan mereka, sumberdaya yang terbatas dan perniagaan yang telah dianggap terlarang (sesuai butir perjanjian bungaya). Sejak saat itu, Makassar hanya menjadi nama masa lalu kemajuan, tetapi menjadi lokasi transit seluruh sumber daya yang diserap oleh kompeni untuk kekuasaan imperium mereka di negeri metropol. Perdagangan dan transaksi meningkat, tapi semua sudah dibawah kontrol kolonial. Seperti di India oleh Britania, juga di Aljazair oleh Kolonial Prancis, atau ditempat-tempat mana saja operasi kolonial Eropa ini berjalan, sistem yang tak adil akan dijalankan. Mereka memproduksi barang dari negerinya lalu menjualnya mahal di negeri jajahan, dan mereka membeli bahan mentah dengan murah atau merampasnya sekalian dengan bedil dan mesiu seperti di kesultanan Makassar. Mereka mencerabut orang-orang yang dikalahkan dan menjualnya sebagai budak. Thomas Gibson mencatat, selama Abad ke 18, Makassar menjadi pengekspor budak terbesar ke Batavia. Di Kawasan Vlaardingen, 70% penduduknya adalah budak. Setiap tahun ada 3.000 budak yang dikirim oleh VOC dan diperkirakan empat kali lipat oleh swasta lainnya.[8]Perdagangan budak sendiri menghasilkan, bagi VOC 300.000 guilder pertahun.

Baca juga:  Mengantar ke Gerbang:

Saking besarnya peran Makassar dalam perdagangan budak dunia yang diperankan oleh VOC, karya besar Karl Marx, Kapital Jilid I sulit untuk mengabaikannya. Marx menulis: “kota Makassar ini, misalnya, penuh dengan penjara-penjara rahasia, yang satu lebih mengerikan dari yang lain, penuh dengan orang-orang celaka itu. Korban-korban dari ketamakan dan kelaliman yang dirantai dan dipaksa dipisahkan dari keluarga mereka.[9]”Marx beranggapa perbudakan ini salah satu kunci dari penjelasan lahirnya kesejahteraan bagi kapitalisme awal.

Aliran besar yang datang hanya dari perdagangan budak, belum lagi dari perekonomian rempah yang sudah dimonopoli, tidak dengan inovasi tapi dengan bedil dan mesiu, dengan peperangan dan pembantaian. Juga dari ekspor beras yang dihasilkan oleh sentra-sentra pertanian beras yang sudah terkenal sejak lama di Sulawesi Selatan.

Akhirul Kalam

Dengan melihat contoh dua kerajaan Islam di atas, yang satu dengan wilayah yang sangat luas dan kekuasaan yang cukup besar dengan warisan kemajuan, arsitektur, kesenian yang sangat Istimewa sementara kerajaan Islam lainnya adalah salah satu kekuatan maritim di dekat pusat rempah-rempah. Kerajaan Mughal dan kerajaan Gowa. Dua kesultanan Islam yang ditunjukkan di sini punya superioritas ekonomi dan perdagangan yang cukup besar dan dihancurkan dalam waktu tak begitu lama oleh sistem pertukaran kolonial yang tak adil yang dipaksakan menggunakan perang dan perangkat-perangkat lainnya yang ditopang bedil dan mesiu.

Pada awalnya mereka, para colonizer datang dengan misi dagang, lalu mendirikan loji. Mereka membawa emas dan juga perak hasil jarahan mereka dari benua Amerika yang dibawa Spanyol dan bangsa eropa lain setelah pelayaran Colombus. Lalu dengan pelan dari loji lalu mendirikan perkubuan dan membawa angkatan laut jarak jauh yang dilengkapi Meriam. Juga senjata api. Lalu dengan cara-cara dan konteks yang berbeda-beda di lokasi operasi mereka masing-masing kekuasaan mulai merangsek untuk memonopoli. Bisa dengan pertukaran kepentingan, tapi lebih sering dengan perang dan penghancuran kekuatan local yang menolak. Dan dengan model operasi semacam itulah kekuatan ekonomi eropa dibangun. Kapas India oleh Britania, Tebu Jawa oleh Belanda, Karet Sumatra untuk Britania, Lahan-lahan pertanian luas di Aljazair untuk Prancis, ladang minyak luas di Libya untuk Italia dan lain sebagainya. Semua bahan mentah dan sarana produksi ini didapatkan dengan mudah dengan sedikit perak atau emas rampasan dari benua Amerika. Lalu barang-barang hasil manufaktur di negeri asal, di Eropa, dijual dengan mahal. Dibeli oleh satu dua keluarga kelas kaya yang dipelihara sebagai komprador mereka dan cukup untuk dibawa pulang ke negeri-negeri asal mereka yang berpenduduk sedikit tapi ditopang oleh unit-unit usaha menglobal di semua benua di Bumi.

Karenanya, saat membaca Kembali keberatan Kuru mempercayai kolonialisme sebagai aspek dominan yang mempengaruhi dunia islam ini: Pertama, tepat sebelum penjelajahan samudra sekitar tahun 1500, Eropa bukan lagi pemain kecil dalam perekonomian dunia. Benar sekali. Dia berkontribusi dalam perdagangan dunia sebanyak 17,9% tapi ini dihasilkan dari model pertukaran, perampasan dan perbudakan seperti ditunjukkan di Makassar, India, Aljazair atau wilayah-wilayah koloni luas lainnya di Afrika, Asia dan Amerika latin. Sehingga mereka nyaris tidak mengeluarkan apa-apa untuk membawa pulang berbagai macam komoditas. Kerja rodi untuk tanam paksa tebu di Jawa mungkin contoh kecil, perdagangan budak di Makassar contoh kecil lainnya juga monopoli pala dan cengkeh dengan operasi genosida bernama hongi totchen di kepulauan Maluku.

Kedua, kebutuhan tidak selalu melahirkan inovasi. Paling tidak sejak abad 19 banyak negara Asia dan Afrika didera krisis dan sangat butuh kemajuan tapi tidak ada inovasi atau penemuan-penemuan besar di negara-negara itu. Catatan Kuru ini ada benarnya. Orang-orang miskin di dunia jajahan itu memang mau maju dan butuh inovasi. Tapi bagaimana mau berinovasi dan maju di bawah todongan bedil dan mesiu dan di bawah sistem rasial yang ditopang oleh militer dan birokrasi yang modern? Hampir tak ada inovasi berarti di Makassar selama hampir 300 tahun pasca kejatuhannya di tahun 1669. Perguruan tinggi pertama di jazirah ini baru dibangun setelah beberapa tahun Indonesia merdeka, sementara Pendidikan hanya sampai di tingkat dasar di akhir abad 19 hingga pertengahan abad ke-20. Sains Mughal baru bisa bangkit kembali setelah kemerdekaan India dan pemecahannya oleh imperialis menjadi Pakistan dan India melalui tokoh peraih nobel sains pertama dari kalangan muslim, Abdus Salam. Seorang muslim Pakistan yang mendapat hadiah nobel bidang sains pada tahun 1979. Jadi jika tak ada inovasi, itu bukan karen dunia Islam tak mau maju. Tapi seperti kata Tamim Anshari “tapi kaum muslim menyadari (kemiskinan dan keharusan inovasi dan pengambilan Kembali posisinya di masa lalu) karena selalu lebih sulit mengabaikan batu di atas kepala Anda daripada batu yang anda duduki”[10]. Tapi, sekali lagi, tak mungkin bisa maju di bawah sistem sosial colonial ini.

Baca juga:  Orang-orang dan cermin pendidikan sosial Soviet yang menarik?

Ketiga, meskipun eksploitasi sumber daya Amerika memperkaya negara-negara Eropa Barat, pertumbuhan ekonomi Eropa Barat sudah dimulai sebelumnya. Benar sekali. Menurut data yang ditunjukkan Angus sejak tahun 1000 Eropa barat sudah menyumbang 8 persen perekomian dunia. Dan 17 persen pada tahun 1500. Ini terjadi saat Asia di tahun 1000 berkontribusi 75 persen perekonomian dunia. Dan terus menyusut di bawah kolonialisme Eropa sejak abad ke-16 dan pada tahun 1950 hanya berkontribusi 15% atas perekonomian dunia. Jadi ada semacam kurva yang berjalan berlawanan. Di satu sisi perekomian Asia dulu lebih maju sebelum kolonialisme dan saat itu Eropa masih pemain kecil bagi perekonomian dunia, tapi setelah kolonialisme, setelah penemuan emas Amerika, pengembangan sains dan revolusi industry di Eropa, Eropa menjadi penerima manfaat terbesar perekonomian dunia dengan menyumbang 33 persen pada perekonomian dunia di awal abad ke 19 dan juga di awal abad 20.[11]

Sepertinya paragraph Marx yang menawan di bawah ini yang dengan tepat menggambarkan pembalikan keadaan menuju kesejahteraan Eropa yang dimulai dari penemuan Benua Amerika, perampasan emas, perbudakan dan pembunuhan penduduk asli Amerika yang kemudian dijadikan alat tukar di negeri-negeri jajahan baru seperti India: “Penemuan-penemuan emas dan perak di Amerika, pemusnahan, perbudakan dan penguburan hidup-hidup penduduk pribumi di tambang-tambang daratan Amerika itu, permulaan penaklukan dan perampokan India, dan pengubahan Afrika menjadi suatu cagar perburuan komersial orang-orang kulit hitam, semuanya adalah hal-hal yang mengkarakterisasi fajar zaman akumulasi kapital.”[12]

Karena itulah, saya masih merasakan dan sedikit yakin, jika kolonialismelah sebab utama merosotnya dunia Islam yang kebanyakan merupakan wilayah jajahan Eropa, dan sebaliknya kemajuan Sains Eropa, revolusi industry dan pertumbuhan ekonominya ditopang oleh kolonialisme yang merupakan muka dari sistem kapital yang paling bar-bar! Hal ini dikonfirmasi oleh Antony Reid[13] dalam penjelasannya mengenai asal usul kemiskinan Asia Tenggara di abad ke 17. Seperti dijelaskannya bagaimana kesultanan-kesultanan Islam dikalahkan dan dikontrol, perdagangan dimonopoli oleh VOC, harga ditentukan lebih rendah tujuh belas kali dari harga jualnya di Eropa dan lima belas kali dari harga jualnya di India. Itu menyebabkan Asia Tenggara mengalami kelesuan perdagangan sementara sebaliknya, harga saham VOC tetap tinggi di bursa saham Amsterdam di rentang tahun 1648-1671 karena prospek keuntungannya yang tinggi. Wallahu a’lam Bi Sawab

Daftar Pustaka

[1] M.C. Ricklefs, Dkk Sejarah Asia Tenggara Dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer (Depok: Komunitas Bambu; 2013) Hal.251

[2] Leonard Y Andaya Warisan Arung Palakka Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17 (Makassar: Inninawa; 2013) Hal. 57

[3] Warisan Aru Palakka Hal. 61

[4] M.C. Ricklefs, Dkk Sejarah Asia Tenggara Dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer (Depok: Komunitas Bambu; 2013) Hal.251

[5] Ibid hal. 267

[6] Diaspora orang Makassar menyebar ke Madura bersama Karaeng Galesong, di kesultanan Jogjakarta dipimpin oleh karaeng Naba, di banten oleh Syekh Yusuf dan karaeng Bonto Marannu, rombongan Daeng Cella di Malaka dan Daeng Mangalle di Siam. Mereka berjuang mengusung panji-panji anti colonial di tempat-tempat tersebut.

[7] Thomas Gibson Narasi Islam dan Otoritas di Asia Tenggara

[8] Tomas Gibson Ibid Hal. 101

[9] Karl Marx Kapital Jilid I (Jakarta: Hasta Mitra; 2004) Hal.  842-843

[10] Tamim Anshary Dari Puncak Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam (Jakarta: Serambi; 2017) Hal. 396

[11] Angus Madison The World Economy (OECD: 2006) Hal. 270

[12] Karl Marx Kapital Jilid I (Jakarta: Hasta Mitra; 2004) Hal.  839

[13] Anthony Reid Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia;2011) Hal. 336

0%