Akurasi Sains Islam dan Kisah Ulugh Beg

Oleh: Muhammad Ridha

Buku itu berjudul Zij I Jadidi Ko’Regoniy. Tak istimewa. Dijilid seperti umumnya buku lama. Berisi tabel-tabel yang menjelaskan posisi bintang-bintang di angkasa. Tak semua bintang memang, tapi salah satu yang terbanyak mengukur dan menghitung koordinat  bintang-bintang di eranya, yakni 1018 bintang[1]. Ditulis oleh seorang pangeran dinasti Timurid yang kemudian menjadi pemimpin tertinggi dinasti tersebut di Samarkand: Muhammad Ulugh Beg. Para pustakawan dan peneliti di Museum Ulugh Beg di Samarkand memberi subjek pada buku tersebut di luar lemari kaca yang menampungnya: “the main scientific masterpiece of Mirzo Ulugh Beg.

Buku ini salah satu dari hasil penelitian Ulugh Beg di observatorium di Kuhik, Samarkand. Salah satu observatorium paling maju di dunia Islam. Hasil-hasilnya yang akurat, juga tentu saja karena karya-karya Ulugh Beg yang berpengaruh, membuat majalah astronomi Eropa membuat gambarnya bersama enam astronom Eropa dari berbagai saman duduk semeja: Ptolomeus, Riccioli, Jan Gaveliy, Tycho Brahe, dan Willem IV. Dia seperti berada di langit pencapaian ilmu astronomi di masanya. masa dimana revolusi sains belum mulai lahir embrionya. Rentetan utamanya, malah, baru lahir 100-an tahun setelah Ulugh Beg menuliskan Sij I Jadidi di Samarkand, ketika Tycho Brahe, seorang ilmuwan dan bangsawan Denmark menuliskan temuannya yang mendukung prinsip-prinsip heliosentrisme yang menjadi tonggak revolusi sains.

Pengukuran atas beberapa planet dan koordinatnya jika dibandingkan dengan koordinat yang umum diakui oleh para ilmuwan sungguh menunjukkan keakuratan. Seperti yang ditemukan oleh Ulugh Beg dalam penelitiannya mengenai koordinat planet Saturnus, 120 200 390 sementara estimasi dari para ilmuwan saat ini adalah 120 200 360. Hanya berselisih 3 poin. Sementara untuk Jupiter (mustariy) 300 200 340 sementara estimasi perhitungan saat ini adalah 300 200 310. Perhitungan Ulugh Beg untuk planet Mars (mirrix), Venus (zuhro) dan Mercurius (atorud) hanya berselisih 5 sampai 15 derajat saja dengan yang sains modern saat ini sepakati. Suatu hasil yang untuk dunia di eranya adalah hasil yang paling presisi dan tepat.

Ketika itu, sains Eropa memang belum begitu superior atas sains dari kebudayaan lain. Abad itu adalah abad yang mulai dianggap sebagai era kegelapan: serangan mongol baru dua abad menghancurkan dunia islam, islam di dinasti Ummayah II di Andalusia mulai menyusut wilayahnya, bahkan di akhir abad yang sama ketika Ulugh Beg memimpin Samarkand di abad ke-15, orang-orang muslim Andalusia dari dinasti terakhir di Granada diusir oleh kuasa inquisisi. Hampir seluruh pusat-pusat kebudayaan dan sains Islam disapu oleh Mongol dengan perkecualian dinasti Mamluk di Mesir saja. Tetapi, di sekitar wilayah yang dihancurkan oleh Mongol dan kemudian di bawah kekuasaan satu klan mongol, Chagatai, satu kekuatan sains yang berasal-usul dari kekuatan-kekuatan Mongol yang telah diserap ke dalam dunia Islam sedang tumbuh. Kesultanan Timurid. Kesultanan ini tumbuh menjadi kekuatan ekspansif yang tidak hanya haus akan perluasan wilayah dan penaklukan (terutama di bawah kepemimpinan pendirinya, Timur Lenk) tetapi juga memobilisasi ilmuwan, arsitek, para tukang, pekerja-pekerja terampil, pengrajin dan seniman ke Samarkand, pusat kekuasaan dinasti ini.

Baca juga:  Bolshevik dan Momen Menentukan Dunia Islam

Di tengah iklim pencapaian militer, perluasan wilayah dan praktik Pendidikan, sains, arsitektur dan filsafat serta matematika dan sastra, Ulugh Beg tumbuh di lingkungan istana. Dia adalah cucu dari Timur Lenk dari Shahruk Mirzo. Dalam kestabilan pencapaian tersebut, Ulug Beg tumbuh dengan selera seni yang amat tinggi, keinginan belajar yang dalam, juga kehendak untuk meraih pencapaian sains dan dan membangun monumen yang sungguh besar. Dia seorang pembelajar dan juga seniman serta saintis besar di dunia Islam era kegelapan. Hampir mustahil, buku sains islam ditulis tanpa menuliskan nama dan pencapaian-pencapaiannya yang sungguh-sungguh kontributif. Ia lahir di Sultaniyah tahun 1393 M dengan nama Muhammad Taragai Ulugh Beg. Dia kemudian meneruskan kepemimpinan Shahruk, ayahnya, yang menguasai Samarkad ketika beliau berpulang.[2]

***

Saat kami mengunjungi Samarkand pada akhir musim dingin, di hari-hari puncak perayaan Nowruz, karya-karya arsitektur yang menyembul di antara bangunan-bangunan baru kota Samarkand, membuat kami tenggelam dalam takjub. Bagaimana sebuah bangunan monumental, sebuah maha karya agung arsitektur ini dibangun enam ratus tahun atau lima ratus tahun yang lalu? Berapa kekuatan pekerja, para ahli dan perencana yang terlibat dalam pengerjaan tersebut? Salah satu yang paling menonjol dari bangunan di Samarkand adalah Registan Square dimana salah satu bangunan utamanya adalah madrasah Ulugh Beg, tempat dimana Ulug Begh sendiri memimpin perguruan tersebut.

Beberapa di antara bangunan monumental di Samarkand itu adalah karya-karya seni dari Ulugh Beg. Dia adalah seniman dan ilmuwan selain juga kepala proyek yang bertanggung jawab membangun banyak proyek madrasah dan masjid serta karya Teknik sipil lainnya untuk dinasti Timurid. Dalam catatan Syafiq A Mughny, seorang pakar sejarah islam dengan konsentrasi di Asia Tengah, Persia dan Turki, dengan takjub: “Ulugh Beg adalah seorang seniman. Ia memperkaya Samarkand dengan Gedung-gedung yang indah: biara, khanaqah, dengan kubah yang terbesar di dunia, masjid berukir, muqatta (atau masjid Ulugh Beg), dengan dekorasi interior gaya Cina, kayu-kayunya terukir warna-warni, selesai tahun 1420 M; sebuah madrasah yang dibangun tahun 1424 M dengan kamar mandi yang dihiasi mozaik yang indah; sebuah pavilion yang dinding-dindingnya dihiasi dengan lukisan oleh seorang seniman Cina yang menjadi pekerja raja Samarkand, juga observatorium di Kuhik.”[3] Juga tentu saja sejumlah madrasah di Bukhara tempat ia juga menjadi dosen dan seringkali menjadi murid yang mendengarkan ketika ada seorang dosen yang dianggapnya punya pengetahuan yang harus dia pelajari juga. Sering sekali, dalam sejumlah kesaksian, dia sendiri ikut dalam proses belajar sebagai peserta.[4]Dia seorang raja pembelajar, ilmuwan,dokter,  seniman dan penganut tarekat. Dia juga seorang teolog yang mengkhuskan diri mempelajari Al-Qur’an, yang dapat ia ulangi dengan hafalan dengan tujuh jenis bacaan.[5]

Baca juga:  Bagaimana Kolonialisme Membenamkan Dunia Islam? Kisah Kesultanan Mughal dan Kesultanan Gowa

Kepakaran dan minatnya yang luas menjadikannya setara dengan tokoh-tokoh ilmuwan dunia Islam seperti Alfarabi, Ibnu Sina, Al-Khawarismi, atau tokoh-tokoh yang berdekatan masanya dengan Ulugh Beg seperti Ibnu Khaldun, Taqiuddin, Nasiruddin Al-Tusi, dan yang lain sebagai seorang polimath. Saking luasnya minat beliau, bahkan dalam ilmu kedokteran dan pengobatan para ilmuwan mengingat sumbangannya. Seorang dokter dari Rusia, Mashkovskiy yang menulis dalam bahasa Rusia, menyebutkan Ulugh Beg menemukan campuran Alkohol dengan bawang putih untuk mengatasi diare, sakit perut dan sakit gigi.[6]

Meski demikian, dia bukan keturunan Timur yang memiliki kemampuan dalam pemerintahan. Kemampuan pemerintahannya amat lemah. Pemerintahan Timurid yang baru ditinggal Shahruk, ayahnya, sudah diklaim oleh saudara sepupunya Ala’ Addauwlah Mirzo. klaim ini ditumpas oleh Ulugh Beg di Balk (sekarang ini Afganistan), tetapi dipukul balik oleh saudara ala Addauwlah. Lalu anaknya sendiri Abdul Latif Mirzo, memberontak melawan kekuasaannya. Bahkan, nasibnya berujung sangat tragis dan akhirnya dipenggal atas perintah anaknya.[7]

***

Sebuah patung berukuran tinggi lebih dari lima meter, duduk seorang dengan jubah bangsawan Uzbekistan dengan garis-garis motif berwarna emas. Wajahnya terlihat tegas. Ada aura Timur Lenk yang keras di wajahnya. Patung berwarna coklat gelap ini menampilkan seorang lelaki dengan sorban di kepalanya. Tangan kanannya memegang lembaran kertas. Tangan kirinya bersandar di atas paha kirinya. Orang-orang datang berganti-ganti. Berfoto di depan patung yang di bawahnya bertuliskan: Mirzo Ulughbek. Di belakang patungnya, tepat di depan kompleks observatoriumnya di Kuhik, Samarkand, ada latar bintang-bintang dan planet yang dilukis di dinding biru tua. Tepat sekali menggambarkan seorang tokoh astronomi paling maju di abad-abad setelah kehancuran Bagdad.

Baca juga:  Perjalanan Berikutnya’: Euliya Celebi DI Antara Petualang Muslim

Saking pentingnya, orang ini hampir selalu disebut dalam buku-buku sejarah peradaban dan kebudayaan Islam. Atau lebih spesifik lagi ke sejarah sains di dunia Islam dimana kontribusinya dalam matematika dan atronomi yag tak tertandingi. Ismail Raji Alfaruqi dan Lamya Alfaruqi pasangan yang menulis buku Atlas Kebudayaan Islam (2003) menyebutkan namanya; Cyril Glasse menulis  Ensiklopedi Islam (1996); Boris A Rosenfeld, dan Ekmeleddin Ihsanoglu menerbitkan buku berjudul Mathematicians, Astronomers of Islamic Civilization and Their Works (7th-19th Century) (2003); John Freely dalam Cahaya Dari Timur Peran Ilmuwan dan Sains Islam dalam Membentuk Dunia Barat (2011); Tamim Ansary dalam Dari Puncak Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam (2015); hingga yang terkini, Ahmed T Kuru dalam bukunya Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan Dunia Muslim (2020) sulit untuk  mengabaikan kontribusinya dalam sains modern.

Baiklah, mari kita akhiri artikel kecil yang sekedar ingin menempatkan kembali seorang ilmuwan, seniman, arsitek, teolog dan raja sekaligus. Tanpa harus memujinya lebih banyak lagi, saya ingin memperlihatkan sekali lagi bagaimana akurasi pengukurannya atas waktu dalam setahun jika dibandingkan dengan waktu yang dihitung oleh sains modern kini: Ulugh Beg menghitung jumlah waktu dalam satu tahun adalah 365 hari 6 jam 10 menit 8 detik. Sementara saat ini: satu tahun adalah 365 hari 6 jam 9 menit 6 detik. Ulugh Beg hampir enam abad lalu berselisih 1 menit 2 detik saja dengan sains modern dengan perangkat pengukuran, alat mutakhir, teleskop dan observatorium terbaru! Wallahu a’lam bi sawab.***

Muhammad Ridha, Meminati Studi Sejarah Sains Islam. Dosen Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar.

Kepustakaan

[1] Katalog Bintang-bintang dan koordinatnya ini dianggap yang terbesar melampaui Ptolomeus dan Tycho Brahe. Lihat. Syafiq A Mugny Tradisi Intelektual Muslim Uzbekitasn (Surabaya: UIN Sunan Ampel: 2013) H. 5

[2] Prof. Dr. Syafiq A Mughny Dinamika Intelektual Islam pada Abad Kegelapan (Yogyakarta: Ircisod, 2023) H. 132

[3] Ibid h. 133

[4] John Freely Cahaya Dari Timur Peran Ilmuwan dan Sains Islam dalam Membentuk Dunia Barat (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo; 2011) Hal. 385

[5] Syafiq A Mugny Ibid. h. 132

[6] Syafiq A Mugni, Dkk hal. 5

[7] Ibid.

0%