Oleh Askar Nur
Baik DUHAM maupun Kovenan Internasional merupakan traktat dan deklarasi bersama yang melibatkan Indonesia. Sebagai salah satu Negara anggota dari PBB, Indonesia ikut langsung dalam perumusan peraturan yang memiliki orientasi atau tujuan untuk menjamin hak setiap manusia untuk memperoleh pendidikan. Keduanya diproklamasikan pada akhir Perang Dunia II, pada pertengahan tahun 1945 dengan komitmen bersama bahwa Negara-negara anggota PBB berkewajiban untuk menyediakan pendidikan bagi anak-anak mereka tanpa memandang kelas sosial ekonominya.“Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma….” Sekilas uraian pasal 26 ayat (1) Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM). Selanjutnya, “Negara-negara peserta kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan” merupakan isi dari pasal 13 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Dari aspek historis, sejak tahun 900-an sebelum Masehi saat pendidikan mulai dilembagakan di Kota Sparta, pendidikan tidak pernah diarahkan untuk dirinya sendiri. Artinya, pendidikan adalah wahana sekaligus alat. Alat menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan karakter seseorang, alat pelatihan keterampilan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguak alam raya dan manusia, alat menciptakan keadilan sosial, alat pemanusiaan, alat investasi dan alat pembebasan.
Sebagai sebuah alat, pendidikan tentunya memiliki tujuan. Dalam sebuah tujuan, kehadiran visi dan misi merupakan keniscayaan. Sementara itu, dalam proses pencapaian, visi dan misi menjadi medan perebutan pengaruh dari berbagai kekuatan dan ideologi. Selanjutnya, kekuatan dan ideologi tersebut menjelma menjadi sistem ekonomi kependidikan serta membuat kembali visi dan misinya masing-masing. Pada bagian inilah, ruang dilematis pendidikan tercipta. Setidaknya terdapat dua perkara, pertama posisi dan hakikat pendidikan harus tetap berpatokan pada nilai kemanusiaan dan semangat kerakyatan. Kedua, alur pendidikan mengikuti sistem ekonomi kependidikan yang berorientasi pada peningkatan taraf ekonomi dan sebagai wahana investasi dalam proses industrialisasi (liberal-kapitalistik).
Posisi dan hakikat pendidikan yang mengandung nilai kemanusiaan dan semangat kerakyatan tentu menghadapi sekelumit tantangan tersendiri di zaman modern atau globalisasi seperti saat ini. Seperti tantangan dalam proses injeksi paradigma kritis ke dalam pendidikan yang tengah menggalakkan logika kapitalisme dan mendirikan tembok pemisah antara institusi pendidikan dan realitas kehidupan masyarakat. Pada hakikatnya , pendidikan merupakan perkara yang tidak pernah netral seperti yang dibahasakan oleh Ben Laksana bahwa “pendidikan dan proses pendidikan selalu meniscayakan faktor sosio-politis” saat merespon komentar dari salah seorang kerabatnya tentang tulisannya “Akal Sehat Baru: Siasat Pendidikan Kritis Menantang Revolusi Industri 4.0” yang mengatakan bahwa “pendidikan adalah suatu hal yang netral. Jika ada yang salah, maka yang salah bukan sistem pendidikannya, namun individu yang menjalaninya”.
Lebih lanjut, Ben mengutip Karl Marx dan Friedrich Engels dalam Communist Manifesto (1888; Hal. 28), tentang peran pendidikan untuk masyarakat bahwa “Dan pendidikan Anda! Bukankah itu juga sosial, dan ditentukan oleh kondisi sosial di mana Anda mendidik, oleh intervensi langsung atau tidak langsung, dari masyarakat, melalui sekolah? Kaum Komunis belum menciptakan campur tangan masyarakat dalam pendidikan; akan tetapi mereka berusaha untuk mengubah karakter intervensi itu, dan untuk menyelamatkan pendidikan dari pengaruh kelas penguasa.”
Selain itu, perkara yang membuat pendidikan tidak netral juga dipengaruhi oleh sistem ekonomi kependidikan yang tidak menafikan perebutan pengaruh. Dalam arena pertarungan dan perebutan kuasa selalu terdapat pelaku (agen) dan agenda tersembunyinya untuk membangun sebuah sistem. Setidaknya, terdapat tiga sistem yang mempengaruhi arah dan proses pendidikan, yakni sistem pasar, sistem komando Negara dan sistem kerakyatan.
Pendidikan dan Sistem Pasar
Dalam makna luas pasar adalah sesuatu yang anonim dan ideologis. Pasar tidak hanya melibatkan pelaku pasar, penawaran dan permintaan, akan tetapi siapa yang kuat mengontrol sarana ekonomi dan alokasinya. Pendidikan di bawah kendali sistem pasar akan membangun sebuah paradigma baru bahwa pendidikan merupakan pabrik tenaga kerja dan tujuan pendidikan adalah untuk menjadi buruh industri sehingga memiliki kecocokan dengan tujuan ekonomi kapitalis.
Di Indonesia pasca Orba, proses pendidikan dengan mekanisme sistem pasar semakin tampak jelas sekaligus memperjelas bahwa developmentalisme merupakan dasar ideologi pendidikan. Pada wilayah ini, developmentalisme diartikan sebagai sebuah paham atau gagasan pembangunan berkelanjutan dengan prioritas utama pada pertumbuhan ekonomi di segala aspek kehidupan masyarakat termasuk aspek pendidikan. Developmentalisme hadir tidak dengan sendirinya melainkan didukung kuat oleh modernisasi dengan paradigma kapitalisme.
Modernisasi dalam pendidikan dapat diartikan sebagai bentuk perubahan yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi. Sementara itu, industrialisasi membuka ruang seluas-luasnya untuk kapitalisme sebagai suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal dapat melakukan usahanya dengan bebas untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya begitupun dengan neoliberalisme sebagai sebuah aliran politik ekonomi yang berkiblat pada pasar bebas dan menekan campur tangan pemerintah.
Baik kapitalisme maupun neoliberalisme, meskipun dengan istilah dan pemaknaan yang berbeda namun memiliki kiblat yang sama yakni pasar bebas dan globalisasi ekonomi dan politik-ideologi. Kapitalisme dalam mempertahankan hidupnya harus memaksakan masyarakat menjadi konsumtif dan materialistik begitupula dengan modernisasi sebagai produk budaya dari Eropa Barat awal abad-17 membawa visi dan misi yang menekankan aspek rasionalitas, sekuler dan pemikiran ilmiah sebagai jalur kemajuan dalam kehidupan manusia. Tak ayal, keduanya menjadi mesin pelanggeng bagi developmentalisme.
Mekanisme kerja developmentalisme dalam tubuh pendidikan menjalar secara terus-menerus mulai dari kurikulum yang diisi dengan pengetahuan dan keahlian untuk industrialisasi, penerapan konsep link and match sebagai usaha mempertautkan antara pendidikan dan industri sampai melahirkan beberapa produk hukum dalam pendidikan yang semakin mendukung ekonomi dengan corak liberal-kapitalistik dan mengarahkan pendidikan sebagai pabrik tenaga kerja. Developmentalisme dalam melahirkan produk-produk hukum pendidikan membutuhkan legalitas dari pemerintah atau Negara agar dalam menjalankan aksinya tetap memiliki dasar hukum khususnya Indonesia yang dikategorikan sebagai Negara hukum.
Pendidikan dan Sistem Komando Negara
Asal usul dan konsepsi Negara (mungkin saja) bukan lagi pembahasan yang digemari dalam kehidupan saat ini. Definisi Negara, teori terjadinya Negara, bentuk Negara hingga Negara Indonesia merupakan pembahasan yang dianggap telah selesai. Tak pelik, miskonsepsi terhadap Negara menjadi wejangan keseharian kita atau bahkan semacam dramaturgi yang berkepanjangan. Bagi Riger Soltau, (Budiardjo, 2007; Agustino, 2007; Kaelan dan Achmad Zubaidi, 2007), negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat. Artinya, dalam sebuah Negara terdapat birokrasi atau sistem pemerintahan yang memiliki andil penuh dalam mengusahakan dan mengayomi masyarakat serta bergerak atas dasar kepentingan masyarakat tanpa memandang unsur agama, ras hingga kelas sosial.
Negara, meminjam teori Marx dan Engels dalam sudut pandang antropologi, merupakan komite eksekutif kelas penguasa. Negara merupakan suatu badan politik yang memiliki fungsi untuk melindungi kepentingan ekonomi dan politik kelas sosial yang memegang dominasi. Hadirnya kelompok-kelompok masyarakat mengharuskan hadirnya Negara dari sudut pandang kaum dominan agar tidak tercipta suasana dan tatanan yang kacau.
Morton Fried, seorang ahli antropologi politik, memberikan penekanan bahwa sekali suatu masyarakat telah mengembangkan suatu sistem pelapisan sosial, maka munculnya Negara sudah hampir pasti dan kehadiran Negara tidak terlepas daripada keberadaan birokrasi yang memegang kendali sekaligus mampu mengontrol arah suatu Negara.
“Penguasa yang menampuk kekuasaan adalah unsur pertama dan terpenting sebuah Negara. Tetapi, dalam menjalankan kekuasaannya, penguasa selalu didukung seperangkat birokrasi sederhana. Keberadaan birokrasi inilah yang membedakan masyarakat Negara dengan masyarakat pra-negara. Birokrasi ini menjalankan kewenangan dalam melanggengkan keteraturan di samping sebagai saluran komunikasi formal Negara dengan warganya.” (Fried dalam Antropologi Marx)
Negara hadir untuk melanggengkan suatu kekuasaan dengan keteraturan. Hal demikian juga diperjelas oleh Kipp dan Schortman bahwa faktor penting dalam banyak kasus pembentukan Negara adalah dampak ketidakstabilan dari pasar-pasar barang mewah terhadap tatanan ekonomi masyarakat.
“ketika kepemimpinan diruntuhkan oleh ketidakpedulian pasar pada segala sesuatu kecuali keuntungan, kebijakan-kebijakan pemiskinan sistematis adalah hal mendasar bagi pemimpin sebagaimana prajurit. Penghisapan ekonomi bergabung dengan tirani, dan kemudian Negara lahir.” (Kipp dan Schortman dikutip Wengke, 1999: 362)
Meninjau pembentukan Negara lebih mendalam, sekiranya terdapat dua teori penting di balik terbentuknya sebuah Negara yakni teori kekuasaan dan teori perjanjian masyarakat. Secara garis besar, teori kekuasaan berarti kelompok yang paling kuat akan menguasai kelompok yang paling lemah, setelah adanya pertarungan sengit. H.J. Laski mengatakan jika negara dapat mengatur tindak tanduk masyarakatnya melalui sejumlah peraturan yang telah dibuatnya untuk memaksa masyarakat patuh pada negara. Negara dikuasai oleh seseorang atau sekelompok orang yang kuat dalam berbagai hal, misalnya kecerdasan, ekonomi, agama serta fisik [1].
Sementara itu, teori perjanjian masyarakat juga dikenal sebagai teori kontrak sosial. Artinya suatu negara terbentuk karena adanya perjanjian antar masyarakat. Jean Jacques Rousseau menjelaskan jika keadaan masyarakat sebelum terbentuknya negara adalah hidup secara individual, bebas dan sederajat. Hingga akhirnya masyarakat membuat kesepakatan atau kontrak sosial untuk mendirikan sebuah negara. Secara tidak langsung, kekuasaan sebuah negara berada di tangan rakyat. Karena rakyat yang menentukan pemimpin serta wakil rakyatnya. Negara tidak dapat bertindak semena-mena, karena harus mengikuti batasan yang telah ditetapkan oleh masyarakat [2].
Akan tetapi, dari kedua teori yang mendasari pembentukan Negara tersebut, terdapat teori yang dominan digunakan oleh suatu Negara termasuk Negara dengan bentuk republik seperti Indonesia, yakni teori kekuasaan. Teori ini lebih dominan menautkan antara Negara dan kepentingan kelas. Melalui analisis teori Negara dari Marx, relasi Negara dan kepentingan kelas nampak sangat jelas. Marx meyakini bahwa keberadaan Negara juga disertai dengan kemunculan kelas dan pertentangannya. Bagi Marx, Negara merupakan sarana penguasaan kelas yang mendominasi terhadap kelas-kelas lainnya. Kendati demikian, kelas dominan dalam sebuah Negara dibedakan ke dalam dua bentuk, elite politik dan elite ekonomi. Keduanya lah yang mengambil peran penting dalam sebuah Negara.
Melalui teori negaranya, Marx memandang bahwa kelas dominan tidaklah seragam. Ada banyak faksi atau kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda sehingga faksi atau kelompok ini selalu bertentangan demi mempertahankan kepentingan masing-masing. Walhasil, Negara pun bertindak sesuai kepentingan dari elite politik dan ekonomi yang menguasainya. Negara akan hadir sebagai tameng atau pelindung kepentingan jangka panjang kelas dominan dan mengendalikan setiap ancaman dari kelas pekerja atau masyarakat biasa dari Negara dan dari faksi atau kelompok dominan lainnya yang dapat bertindak menentang Negara apabila kepentingannya tidak terakomodir dengan baik. Pada kondisi ini, Negara tak lebih hanyalah arena pertarungan kelas dalam melanggengkan kepentingannya masing-masing. Kebijakan, hukum, ekonomi, politik dan lain sebagainya dalam suatu Negara dikuasai oleh kelas dominan baik dari para elit politik maupun elit ekonomi.
Hal senada pun berlaku pada sektor pendidikan yang diarahkan dan dikendalikan oleh Negara. Segala cara dapat dilakukan demi melanggengkan kepentingan kelas dominan termasuk mengendalikan segala hal yang mungkin saja berpotensi mengancam kekuasaan sehingga diperlukan pola penyeragaman. Pola yang diciptakan pun bervariasi mulai dari penanaman ideologi untuk melestarikan status quo hingga teror penyeragaman digalakkan di segala lini seperti indoktrinasi ideologi melalui upacara bendera dan penyusunan kurikulum pendidikan.
Pendidikan yang dikendalikan oleh komando Negara dengan model penyeragaman dan pemaksaan ideologi mencirikan bahwa Negara tersebut menganut prinsip otoriter. Eko Parsetyo dalam bukunya “Zaman Otoriter” mengemukakan beberapa ciri-ciri otoritarian dari Negara dalam sektor pendidikan, di antaranya: makin banyak regulasi yang kandungannya bersifat pembatasan hak bahkan pemasungan kebebasan dilakukan dalam lingkungan pendidikan khususnya pendidikan tinggi seperti universitas; makin aktifnya pendekatan represif dalam menghadapi berbagai kritik seperti pengusutan kasus penghinaan terhadap tokoh atau badan umum, pembungkaman berkedok UU ITE dan kriminalisasi para aktivis seperti teror dan peretasan akun media sosial yang mengindikasikan ancaman bagi demokrasi; meluasnya praktek yang menjadi hambatan kebebasan berpendapat seperti ancaman pemutusan beasiswa bagi mahasiswa yang ikut aksi demonstrasi, surat edaran dari kementerian pendidikan tentang pelarangan aksi demonstrasi dan lain sebagainya.
Situasi dan kondisi pendidikan demikian dirasakan selama Orde Baru hingga saat ini, meminjam istilah Eko Prasetyo, bahwa zaman saat ini dapat dikategorikan sebagai New Orba, sebuah zaman pasca orba yang justru mengadopsi konsep orba itu sendiri. Hal tersebut dapat disimak mulai dari penyeragaman pakaian sekolah hingga kurikulum pembelajaran yang seragam untuk nusantara yang beranekaragam. Fenomena tersebut juga berlaku dari segi aspek regulasi atau kebijakan pendidikan. Pemerintah yang menjalankan roda Negara juga turut mengamini industrialisasi, terbukti dari kebijakan yang lahir di sektor pendidikan cenderung menggunakan pendekatan atas-bawah, sebuah corak kebijakan yang hadir dari struktur pemerintah tertinggi tanpa mempertimbangkan pihak yang menjadi objek dalam kebijakan tersebut. Teori atas-bawah ini lebih mengakomodir kepentingan elit politik atau dengan kata lain teori ini menggambarkan kekuatan elit yang berkuasa.
Di Indonesia, regulasi atau kebijakan pendidikan yang berorientasi pada kehidupan industri dan neoliberalisme (pasar bebas) melalui sistem komando Negara atau dalam hal ini pemerintah Indonesia dapat dijumpai melalui proses ratifikasi WTO yang melahirkan UU Nomor 7 Tahun 1994 yang mengatur empat bentuk perdagangan dalam GATS untuk pendidikan dan juga UU Nomor 7 Pasal 4 ayat (2) huruf d Tahun 2014 tentang perdagangan yang berbunyi, “Selain lingkup pengaturan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), juga diatur jasa yang dapat diperdagangkan meliputi: …. d. jasa pendidikan”. Amanah dari GATS adalah pendidikan tinggi sebagai private goods. Oleh karena itu pendidikan sebagai jasa yang diperdagangkan harus dilegitimasi melalui produk hukum di Indonesia.
Selanjutnya, IMF yang menjadi pilihan di masa pemerintahan Soeharto di tengah krisis finansial tahun 1997-1998 untuk mengajukan permohonan bantuan untuk Indonesia. Pada 15 Januari 1998, Soeharto menandatangani LOI (Letter of Intent) dengan IMF yang isinya tentang keharusan bagi PTN untuk mencari pendanaan sendiri dan salah satu caranya adalah PTN harus menaikkan biaya yang harus dibayar oleh pelajar untuk mempertahankan kualitas pendidikan dan hal tersebut harus dilegitimasi melalui produk hukum di Indonesia. Sehingga lahirlah PP Nomor 60 dan 61 Tahun 1999 tentang pendidikan tinggi dan penetapan PTN sebagai Badan Hukum sebagai semangat otonomi dan kemandirian PTN. Selain itu, lahir pula lah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) khususnya Pasal 53 yang mendukung PP Nomor 60 dan 61 Tahun 1999.
Kemudian, IMF juga didukung kuat oleh Word Bank dan Asian Development Bank (ADB) yang berkolaborasi dengan Kementerian Pendidikan Tinggi dan melibatkan konsultan serta pinjaman dari World Bank melakukan program restrukturisasi pendidikan tinggi di Indonesia yang menghasilkan konsep liberalisasi pendidikan tinggi dan dilegitimasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi dengan tujuan mengisi kekosongan hukum setelah UU BHP Nomor 9 Tahun 2009 dihapus pada 31 Maret 2010 melalui ketetapan MK. UU PT ini dianggap sebagai solusi atas permasalahan pendidikan tinggi di Indonesia namun yang terjadi justru sebaliknya, kebijakan ini menjadi masalah utama di sektor pendidikan tinggi.
Pendidikan dan Konsep Kerakyatan
Konsep pendidikan yang diarahkan oleh rakyat merupakan corak pendidikan yang menjadikan rakyat sebagai pelaku utama. Artinya, pendidikan yang dijadikan sebagai arena pencarian jati diri manusia dan kemanusiaan sekaligus panggung kebebasan bagi rakyat untuk memperoleh hak dan pendidikan yang sama tanpa memandang kelas dan identitas sosial. Negara dalam posisi ini tidak lebih hanyalah sekedar fasilitator dan hal tersebut sangat perlu ditekankan, mengingat Negara sebagai pengontrol lajur perekonomian sangat memungkinkan mencampur-adukkan antara pendidikan dan kepentingan pasar bebas secara massif.
Persoalan industrialisasi melalui konsep developmentalisme dengan pendidikan tidak dapat ditampik dan dinafikan hubungan antar keduanya. Regulasi atau kebijakan pendidikan yang lahir semakin menunjukkan keberpihakannya terhadap pasar bebas. Misalnya wujud implementasi GATS dalam WTO yang mengamanahkan 12 sektor yang dapat diliberalisasi termasuk pendidikan dengan memasukkan pendidikan sebagai jasa yang dapat diperdagangkan dalam UU Nomor 7 tahun 2014 tentang perdagangan pasal 4 ayat 2 (d) dan regulasi-regulasi lainnya yang turut mendukung pendidikan sebagai pabrik tenaga kerja untuk mendukung industrialisasi.
Melalui desakan perjanjian internasional, pemerintah sedikit demi sedikit melepas pendidikan ke tangan swasta yakni pendidikan negeri diberi kesempatan untuk otonom dengan kata lain menjadi swasta dan pendidikan swasta dibiarkan mencari dan menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan. Pada konteks ini, terjadi perebutan ruang antara pendidikan yang dikehendaki oleh rakyat dan pendidikan yang diinginkan perusahaan swasta. Negara tentu lebih condong ke pendidikan yang diinginkan pihak perusahaan swasta. Pada wilayah inilah pendidikan tidak mampu diakses oleh semua kalangan sekaligus mendegradasi nilai pendidikan sejak awal sebagai kebutuhan dasar manusia.
Dan semua regulasi pendidikan termasuk pendidikan sebagai alat mencerdaskan kehidupan bangsa harus takluk dihadapan globalisasi ekonomi yang menciptakan perangkap hutang dari sejak awal. Konsep otonomi pendidikan dan biaya pendidikan mahal merupakan cara Negara dalam menutupi hutang yang jauh hari telah masuk dalam mekanisme persesuasi structural (Structural Adjustment Program) yang dikendalikan oleh IMF yang didukung melalui pola kredit lunak Bank Dunia (World Bank).
Dua hal yang hadir dalam pendidikan dengan ideologi developmentalismenya, yakni pendidikan dengan corak menang-kalah (kompetisi) dan pendidikan yang menyiapkan manusia menjadi mandiri (keadilan sosial). Pendidikan dengan model kompetisi akan melahirkan korban yakni mereka yang kalah bertarung dari segi ekonomi, yang menjadi pemenang adalah mereka yang bergelimang kekayaan ekonomi dan terus memperoleh keuntungan finansial. Selanjutnya, pendidikan dengan model keadilan sosial (kerakyatan) tidak dapat memperoleh finansial atau uang secara langsung, akan tetapi menjadi alat pengangkat harkat bagi banyak orang: mampu menentukan dirinya sendiri.
Pendidikan model kompetisi merupakan pendidikan elit yang meminggirkan yang miskin. Sementara pendidikan model kerakyatan yang membebaskan akan memberdayakan semua manusia berdasarkan bakat dan kemampuannya sehingga menjadi manusia yang realis dan kreatif. Kedua model pendidikan tersebut merupakan paradigma pendidikan yang hadir di permukaan sampai saat ini.
Dari paradigma kemudian membentuk visi dan misi yang secara pelaksanaan dikenal dengan istilah sistem ekonomi-politik. Paradigma kompetisi dalam pendidikan merupakan paradigma kapitalis liberalis untuk tingkat internasional atau kapitalis feodalis sebagaimana dipraktekkan di Indonesia selama Orde Baru. Paradigma kerakyatan adalah paradigma populis demokratis humanis sebagaimana amanah UUD 1945: Mencerdaskan kehidupan bangsa.
Indonesia sebagai Negara bekas jajahan yang terbelakang dari segi pengembangan ilmu pengetahuan, satu hal yang pasti bahwa sistem ekonomi akan menjadi penentu dari pendidikan dari sebaliknya. Sementara itu, sistem perekonomian Indonesia sangat jelas sesuai yang dirumuskan oleh Bung Hatta dalam pasal 33 ayat 1 UUD 1945 bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dengan kata lain bahwa sistem perekonomian Indonesia adalah ekonomi basis kerakyatan. Lantas apakah sistem pendidikan di Indonesia adalah pendidikan kerakyatan? Seharusnya realitas mengamini hal demikian akan tetapi mengutip Todaro (1995: 386) bahwa “sikap pendidikan di Negara-negara bekas jajahan sangat kuat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh gambaran, bentuk dan sifat atau karakter proses pembangunan”.
Di era globalisasi kapitalisme seperti saat ini, sistem perekonomian dan pendidikan di Indonesia yang seharusnya berprinsip kerakyatan sesuai amanah UUD 1945 harus berhadapan dengan kekuatan neoliberalisme yang mengharuskan developmentalisme ditambahlagi kesepakatan awal yang terbangun saat Indonesia menghadapi krisis moneter harus meliberalisasi 12 sektor agar selamat dari tekanan krisis.
“Hari ini adalah masa lalu yang terulang”. Kalimat tersebut menjadi representasi yang merujuk pada wajah pendidikan Indonesia hari ini. Betapa tidak, Orde Baru telah menggalakkan sistem ekonomi, politik dan pendidikan yang kapitalis feodalis (sebelumnya theokrasi feodalis yang lebih kepada pendidikan akhlak dan keagamaan seperti di masa kerajaan Tarumanagara, Sriwijaya dan Majapahit). Misi utama kapitalis feodalis adalah penguatan aspek ekonomi dan politik yang dikuasai presiden-raja. Semangat pendidikan yang kapitalis feodalis (sekarang kapitalis neoliberalis) akan bermuara pada konstruksi pendidikan yang menutup diri dari kenyataan sosial ekonomi. Lari dari kenyataan.
Perkara tersebut juga diperparah dengan kekeliruan paradigma dan pendekatan dalam pendidikan yang terus langgeng dari pemerintah kolonial sampai saat ini. Kolonial belanda mewariskan paradigma kapitalis liberal sementara warisan jepang yang fasis menjadi sistem pendidikan yang liberalis feodalis. Pertautan dua paradigma tersebut dalam pendidikan mengarah pada paradigma global, yakni paradigma “kompetisi”. Pemerintahan Orba menjadi paradigma kompetisi sebagai kendaraan kamuflase dalam mempertahankan corak ekonomi-sosial yang timpang. Contoh yang jelas, perbedaan alokasi subsidi antara sekolah-sekolah negeri unggulan dengan sekolah-sekolah negeri bawahan yang ada di ibu kota dan jauh dari pusat. Perbedaan tersebut lahir semata-mata untuk tujuan ekonomi politik tertentu.
Di bawah pemerintahan kolonial belanda, sistem ekonomi politik dikontrol penuh oleh Negara induk dan pengusaha Belanda dan di Orba, sistem ekonomi politik dikendalikan oleh pemerintahan Soeharto yang militeristik dan korup. Kondisi demikian seharusnya telah diakhiri saat ini, akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya semakin dilanggengkan oleh para elit politik dan ekonomi yang memiliki fokus utama dalam pembagian pangkat atau jabatan dan kucuran bonus dari pelaku bisnis internasional yang entah sumbernya dari pajak rakyat atau santunan hutang dari IMF/Bank Dunia yang menjadi lembaga donor utama bagi Indonesia.
Perubahan paradigma kompetisi dalam pendidikan menjadi paradigma keadilan sosial merupakan alternatif dalam menyelamatkan Negara dan para generasi muda dari corak pemiskinan dan pembodohan struktural yang terus diindoktrinasi oleh kekuasaan global. Paradigma keadilan sosial dalam pendidikan hadir sebagai pola reinventing (menemukan kembali) ruh pendidikan Indonesia dalam UUD 1945 utamanya pasal 27 UUD 1945. Menjadikan “ikut mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai semangat utama pendidikan sekaligus alasan berdirinya NKRI dan memberikan jaminan bagi seluruh rakyat Indonesia “hak memperoleh pendidikan untuk semua”.
Paradigma keadilan sosial dalam pendidikan memiliki pendekatan alternatif tersendiri. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan “pemberdayaan manusia”, artinya menempatkan manusia sebagai manusia. Manusia tidak dapat dipertautkan dan disejajarkan dengan komoditas atau barang. Pendidikan berikut sistemnya hadir untuk memberdayakan manusia dengan segala kemampuan dan potensinya. Mengenai potensi dan kemampuan manusia, ada yang dapat diubah dan ada faktor bawaan.
Kemampuan dan potensi manusia yang dapat diubah adalah kondisi sosial dan ekonominya. Sementara, yang merupakan faktor bawaan adalah mutu otak, watak asali dan gen lainnya. Akan tetapi, faktor bawaan manusia tersebut dapat diubah, dipertajam dan dikembangkan melalui penataan pendidikan dengan paradigma keadilan sosial dan mengimplikasikan pendekatan pemberdayaan manusia. Pendidikan yang berkeadilan sosial menekankan penguatan preferential (prioritas) terhadap pengasahan kemampuan dan potensi yang bawaan dan non-bawaan manusia.
Perkara lain yang dapat dilakukan dalam mewujudkan paradigma pendidikan yang berkeadilan dengan pendekatan pemberdayaan manusia sebagai bentuk counter wacana dan hegemoni dari kapitalisme pendidikan yang telah mengakar khususnya di pendidikan tinggi seperti unversitas/kampus adalah dengan menghadirkan perangkat dan ruang alternatif. Ruang yang dimaksud adalah organisasi-organisasi kemahasiswaan yang memiliki sentra atau titik fokus pada pemberdayaan kemampuan dan potensi anggotanya. Seperti organisasi-organisasi eksternal yang dekat dengan arena perguruan tinggi. Ramuan metode menjadi ihwal utama dalam melahirkan ruang alternatif bagi pendidikan yang berkeadilan sosial. Perkara demikian bukanlah hal utopis belaka. Bagi Marx, segala hal dan upaya dalam pemanusiaan manusia harus beranjak dari proses mengangkat hal yang abstrak menuju yang konkret.