Revolusi Iran Sebagai Revolusi Demokratik

Oleh: Muhammad Zaki Hussein

Tanggal 11 Februari lalu adalah hari ulang tahun Revolusi Iran yang ke-44. Revolusi Iran sering disebut sebagai “Revolusi Islam.” Tapi, Revolusi Iran sejatinya adalah sebuah “revolusi demokratik.” Para pelakunya bukan hanya terdiri dari mereka yang berkecenderungan konservatif, tapi juga dari kalangan demokrat dan kiri radikal.

Penggulingan Dinasti Pahlevi pada 11 Februari 1979 juga tidak serta-merta menghasilkan teokrasi. Ada periode transisi yang berisikan kontestasi antar kecenderungan politik di Iran. Bahkan setelah Republik Islam Iran berdiri pasca-referendum 30 Maret 1979, kontestasi ini masih berjalan. Kekuasaan kaum konservatif baru terkonsolidasi setelah mereka berhasil menghancurkan oposisi kiri radikal pada awal 1980an.

Sebelum Republik Islam berdiri, Iran adalah sebuah negara “monarki yang militeristik.” Dinasti yang berkuasa adalah Dinasti Pahlavi. Dinasti ini naik ke kekuasaan pada 1926 setelah mengkudeta Dinasti Qajar. Raja pertamanya, Reza Khan, adalah seorang pejabat militer di masa akhir Dinasti Qajar. Basis utama kekuasaannya adalah militer.

Selama masa kekuasaan Reza Khan, terjadi transisi menuju kapitalisme yang cukup pesat. Pada 1925, jumlah pabrik di Iran tidak sampai 20 buah. Tapi pada 1941, jumlah pabrik di Iran mencapai 346 buah. Pada 1930, keluarga kerajaan sudah memiliki hotel, pabrik tekstil, perkebunan dan pertanian dalam jumlah besar. Meski negaranya berbentuk monarki, Dinasti Pahlavi adalah sebuah “dinasti kapitalis.”

Pada 1941, Raja Reza Khan digantikan oleh anaknya, Mohammad Reza Pahlavi. Sama seperti ayahnya, Mohammad Reza juga seorang militer. Ia masuk Akademi Militer Iran setelah lulus SMU di Swiss. Di ranah ekonomi, ia meneruskan modernisasi kapitalis yang sudah dimulai di zaman ayahnya. Diantaranya melalui program-program “Revolusi Putih” pada 1963.

Perkembangan pesat kapitalisme di ranah ekonomi memunculkan lapisan-lapisan sosial modern, seperti kelas menengah dan pekerja industri. Tapi, mereka tidak punya saluran politik yang memadai karena struktur politik monarki yang terbelakang. Di Iran, ada parlemen bikameral Majlis dan Senat, serta eksekutif yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Tapi, lembaga politik ini hanya menjadi “pemanis” saja.

Kontradiksi antara perkembangan pesat di ranah ekonomi dengan keterbelakangan sistem politiknya adalah salah satu faktor yang mengkondisikan perjuangan popular melawan Dinasti Pahlavi. Selain itu, reformasi tanah yang mengancam tanah-tanah wakaf milik lembaga keagamaan juga mendorong kaum mullah untuk bergabung dengan perjuangan popular tersebut.

Baca juga:  Dari Gaza ke Beirut: Dunia Islam Yang Kalah

Dinasti Pahlavi juga dekat dengan negara-negara imperialis barat. Penggulingan Dinasti Qajar oleh Reza Khan didukung oleh Inggris. Inggris punya kepentingan yang kuat di Iran karena pengelolaan minyak Iran sejak 1901 dipegang oleh pemodal Inggris. Awalnya oleh seorang investor Inggris, William Knox D’Arcy, lalu dilanjutkan oleh Anglo-Persian Oil Company (APOC). APOC inilah yang di kemudian hari menjadi British Petroleum (BP).

Dinasti Pahlavi juga merupakan dinasti yang kejam. Lembaga intelijennya, SAVAK, tidak segan-segan membunuh, menyiksa, dan memperkosa. SAVAK didirikan pada 1957 dengan bantuan CIA dan Mossad.

Saat itu, Iran memang merupakan salah satu proxy AS di Timur Tengah. Militer Iran memiliki penasihat-penasihat militer dari AS. Militer Iran juga merupakan militer terkuat nomor 5 di dunia. Pasukan elitnya, Garda Kerajaan, memiliki sebutan “Tak Terkalahkan” (The Immortal Guard of Imperial Iran).

Menjelang akhir 1970an, perjuangan popular di Iran mengalami lompatan menjadi revolusi karena dipicu oleh inflasi. Inflasi ini disebabkan oleh karena kenaikan harga minyak dunia akibat embargo minyak negara-negara Arab terhadap negara-negara barat. Embargo ini merupakan efek dari perang 6  hari antara Israel dengan negara-negara Arab pada Juni 1967.

Pada masa ini, hal-hal yang terlihat biasa bisa berubah menjadi konfrontasi berdarah rakyat dengan aparat keamanan. Pada 22 Juli 1978, misalnya, saat penguburan seorang mullah lokal yang meninggal akibat kecelakaan lalu-lintas, massa yang hadir di upacara penguburan menyalahkan polisi setempat. Peristiwa ini berujung pada konfrontasi berdarah yang memakan korban meninggal sekitar 40 orang.

Pada akhir 1970an, aksi-aksi massa yang besar juga semakin sering terjadi di Iran. Aksi-aksi ini direpresi secara brutal oleh rezim Shah. Mereka memobilisir persenjataan berat seperti senapan mesin, tank, dan helikopter. Korban yang meninggal dalam demonstrasi bisa ribuan.

Salah satu peristiwa berdarah yang terkenal adalah “Jumat Hitam.” Pada 7 September 1978, rezim Shah mengeluarkan kebijakan darurat militer. Esoknya, kepala daerah di 12 kota di Iran diganti dengan Gubernur Militer. Tapi, rakyat tetap melakukan aksi. Aksi ini dihadapi dengan represi yang sangat brutal.

Aksi sit down sekitar 5.000 pelajar SMU di Jaleh Square, Teheran, diberondong peluru oleh aparat keamanan. Kemudian, di perkampungan miskin di Teheran Selatan, rakyat yang memasang barikade dan melempar truk-truk tentara yang lewat dengan bom molotov dihadapi dengan helikopter gunship. Dalam 1 hari, sekitar 4.000 orang gugur dalam aksi serentak di beberapa kota. Peristiwa ini kemudian disebut dengan “Jumat Hitam.”

Baca juga:  Dua Dekade Kehancuran, Dua Dekade Lenyapnya Kisah Seribu Satu Malam

Kaum buruh juga melakukan pemogokan nasional. Pekerja pers, dokter-dokter, pekerja bank, bahkan pekerja di kantor-kantor pemerintah pusat melakukan pemogokan. Pemogokan yang pukulan ekonominya paling terasa mungkin adalah pemogokan buruh Perusahaan Minyak Nasional Iran (NIOC) dan pekerja transportasi (kapal, kereta api, pesawat Iran Air). Pemogokan ini mengakibatkan seluruh ekspor minyak Iran terhenti pada 27 Desember 1978.

Rezim Shah pun kelabakan dan menawarkan konsesi-konsesi. Salah satunya adalah pembentukan pemerintahan “rekonsiliasi nasional” dengan Front Nasional―sebuah organisasi demokrat yang berisikan pendukung Mossadeq. Front Nasional menolaknya, kecuali satu orang pimpinan Front Nasional yang bernama Shahpur Bakhtiyar. Ia menerima tawaran Shah dengan beberapa syarat dan diangkat menjadi Perdana Menteri pada 29 Desember 1978.

Bakhtiyar menjanjikan berbagai pembaharuan kepada rakyat, seperti menghentikan darurat militer, menyelenggarakan Pemilu bebas, membubarkan SAVAK, dlsb. Ia juga menyatakan bahwa jika kaum oposisi menggagalkan upaya pembaharuannya, para jenderal bisa melakukan kudeta yang jauh lebih berdarah dari kudeta Allende di Chile.

Tapi kaum oposisi dan rakyat tidak peduli. Front Nasional pun memecat Bakhtiyar. Ayatullah Khomeini dari pengasingannya di Perancis menyerukan agar rakyat terus berlawan sampai tentara berpihak ke rakyat. Pada 13 Januari 1979, sekitar 2 juta massa rakyat di 30 kota tumpah ke jalan-jalan menuntut penggulingan Shah, pengunduran diri Bakhtiyar, dan pemulangan Khomeini. Pada 16 Januari 1979, Shah melarikan diri ke luar negeri.

Pada 1 Februari 1979, Khomeini pulang ke Iran dari pengasingannya di Perancis. Sebelumnya, militer Iran sempat menutup bandara Teheran untuk mencegah kepulangan Khomeini. Namun, pada 27-28 Januari, massa rakyat turun ke jalan-jalan melawan penutupan ini. Sekitar 28 orang meninggal dalam aksi ini.

Meski Shah sudah lari ke luar negeri, tapi rezim Dinasti Pahlavi masih ada. Masih ada pemerintahan Bakhtiyar dan militer yang menjadi pilar utama rezim Shah. Pada 3 Februari 1979, Khomeini mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi. Pada 4-5 Februari, Dewan Revolusi membentuk Pemerintahan Sementara yang dipimpin oleh Mehdi Bazargan sebagai Perdana Menteri. Mehdi Bazargan adalah anggota organisasi Gerakan Pembebasan yang berkecenderungan demokrat.

Adapun Dewan Revolusi dan Pemerintahan Sementara kemudian berusaha bernegosiasi dengan pemerintahan Bakhtiyar untuk peralihan kekuasaan secara damai. Sementara itu, hampir setiap hari massa rakyat bentrok dengan polisi dan tentara di jalan-jalan.

Baca juga:  Islam Andalusia, Ornament of the World

Pada malam 9 Februari 1979, para teknisi dan kadet angkatan udara di markas Dawshan Tappeh dekat Jaleh Square melakukan pemberontakan dan mengurung komandan-komandan mereka. Pasalnya, mereka mendengar bahwa para pimpinan militer hendak membom kota. Di malam itu juga, pasukan Garda Kerajaan dengan helikopter dan tanknya bergerak menuju markas Dawshan Tappeh untuk menumpas pemberontakan ini.

Kelompok-kelompok kiri radikal bersenjata, seperti Mujahidin Rakyat Iran dan Feda’iyan Khalq, bergegas pergi ke markas Dawshan Tappeh untuk membantu para teknisi dan kadet AU yang memberontak. Setelah bertempur dengan sengit selama 6 jam, mereka berhasil memukul mundur pasukan Garda Kerajaan. Mereka kemudian mendistribusikan senjata dan membangun barikade di sekitar Jaleh Square.

Keesokan paginya, para gerilyawan dan teknisi serta kadet AU ini membawa truk-truk penuh senjata ke Universitas Teheran. Dengan dibantu relawan, mereka kemudian menyerbu kantor-kantor polisi dan pabrik-pabrik senjata yang utama. Senjata yang berhasil direbut didistribusikan ke massa rakyat. Malam harinya, ribuan massa rakyat di jalan-jalan sudah memegang senjata, meski banyak yang tidak terlatih menggunakan senjata api.

Pertempuran bersenjata pun merembet di jalan-jalan yang menjadi lautan api. Ribuan korban berjatuhan, tapi massa rakyat terus berlawan. Pertempuran ini mencapai klimaksnya pada 11 Februari 1979, ketika massa rakyat bersenjata menyerbu beberapa sasaran militer, seperti barak Lavizan dan Jamshidieh, serta Istana Niyavaran. Pasukan Garda Kerajaan yang katanya immortal itu akhirnya menyerah di Istana Niyavaran, tempat Shah dulu tinggal.

Sore harinya, para pimpinan militer menyatakan bahwa mereka akan netral dalam konflik Bakhtiyar dengan oposisi, serta meminta seluruh tentara untuk kembali ke barak. Militansi massa rakyat berhasil menundukkan pasukan militer terkuat ke-5 di dunia. Di hari itu juga, Bakhtiyar lari ke luar negeri. 11 Februari menjadi tanggal resmi Revolusi Iran, sebuah revolusi demokratik yang berhasil meruntuhkan sistem monarki yang bercokol di Iran selama 2500 tahun—meski dinastinya berganti-ganti.

Daftar Pustaka

Ervand Abrahamian. Iran: Between Two Revolutions. Princeton: Princeton University Press, 1982.

Ervand Abrahamian. Radical Islam: The Iranian Mojahedin. London: I.B. Tauris & Co Ltd, 1989.

Nasir Tamara. Revolusi Iran. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1980.

 

Muhammad Zaki Hussein merupakan Anggota Partai Rakyat Pekerja dan aktif di bagian penerbitan Indoprogress

0%