Oleh: Muhammad Ridha
Muhammad Ridha di Pemandangan Bromo Setelah Kabut Tebal Hilang/Koleksi Pribadi
Ini pengalaman terbang pertama kali setelah beberapa bulan lalu menempuh penerbangan panjang ke Almaty, Khazakstan. Kali ini, penerbangan pendek dengan waktu lebih sedikit dari dua jam. Ke Jogja. Sebuah kota penuh kenangan, paradox dan kini seperti sedang sangat sumpek. Dalam waktu-waktu beberapa tahun terakhir, Jogja berubah menjadi lebih sumpek. Ada macet dimana mana. Ada gedung-gedung tinggi. Meski tak seberapa, tapi itu telah membuat Jogja seperti sedang mengejar untuk sama seperti kota-kota lainnya. Ruwet.Saya pergi untuk satu tugas. Sembari menjalankan kewajiban yang lain melalui gawai. Meeting daring dengan aplikasi yang menghubungkan saya dan peserta lain di mana saja. Jadinya: setelah mendarat di bandar udara yang tadinya lahan-lahan pertanian milik warga yang digusur, lalu dengan kereta ke stasiun Tugu, di tengah kota Jogja, saya terus jadi keburu harus mencari sambungan wifi. Mencari cafe dengan tambahan layanan free wifi. Lalu sesempatnya segera menuju penginapan dan lanjut meeting hingga larut. Hanya sempat tegur sapa sebentar dengan kolega sesama rombongan, lalu setelahnya, tertidur pulas. Lalu pagi.
Menjelang tengah hari, setelah sarapan bubur tak jauh dari penginapan, kami meluncur ke Prambanan. Sebuah kompleks percandian Hindu-Budha. Di dalamnya ada candi Prambanan, candi Sewu dan yang lain. Saya memotret beberapa wajah dari masa lalu yang dipahat di dinding candi, saya memotret turis dan guide nya, juga pedagang pecel dengan bunga turi yang sungguh lezat. Saya berkesempatan mencicipinya. Penjualnya, Bu Jum, berjualan di pintu masuk pasar dari arah candi. Jadi saat saya keringatan setelah berjalan berkeliling candi, saya singgah icip-icip sepiring pecel bunga turi yang aduhai…
Ibu Jum, Penjual Pecel Bunga Turi di Prambanan/Koleksi Pribadi Muhammad Ridha
Bu Jum
Dulu, ketika ke Jogja dengan bus ekonomi dari Surabaya untuk belajar di sebuah perguruan tinggi negeri, saya selalu senang makan pecel dari simbok di terminal Madiun yang digendong dengan keranjang di pinggang. Simbok penjual pecel biasanya naik ke bus menjajakan jualannya. Lima ribu rupiah. Pecel dengan sedikit nasi. Saya juga senang dengan pecel yang ditaburi keripik rempeyek yang diatasnya ada udang-udang amat kecil. Tapi ini saya rasakan di Blitar. Sebuah kota di sebelah selatan Jawa Timur bagian barat. Berdekatan dengan Pacitan di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Konon, pecel-pecel itu adalah yang nomor 1 di kotanya masing-masing. Hehehe. Tapi bagaimanapun, makanan itu telah mengisi perut dan membuat pengalaman kuliner dari lidah yang terlalu sering hanya makan ikan dan nasi, pecel memberi dimensi kecap yang khas. Seperti menyimpan rindu di sudut lidah untuk kelak segera ditemui dan dirasai lagi.
Bu Jum, penjual pecel bunga turi di pintu masuk pasar candi Prambanan, berasal dari Kalasan. Sedikit ke barat dari kompleks candi tempatnya berjualan. Dia sepuh yang selalu kuat. Menggendong bahan pecel dan sedikit air di sebuah ember kecil untuk mencuci beberapa perlengkapan, pecel dijajakan. Di sekitar arus turis keluar dari kompleks candi. Meski tak banyak yang singgah. Kebanyakan turis, termasuk rombongan kami lebih senang membeli baju kaos, batik atau kerajinan lain yang juga dijual di pasar ini.
Bu Jum bercerita kalau dia telah menjual pecel tak kurang dari dua puluh tahun. Di sekitar pasar Prambanan dan candi Prambanan. Rentang waktu yang lebih dari separuh usiaku. Dia tampak kuat dan bugar meski waktu tentu saja tak bisa dibendung: keriput dan uban telah menyebar di wajah dan rambutnya. Tapi dia tetap sigap melayani pembeli. Seperti saat dia akan menaruh bahan pecel di kertas karton yang disiapkannya di tangan kiri: “pake bunga turi yoh…” saya jawab “Iya, mbah”.
Lalu mencari tempat duduk. Lalu menyantapnya. Maknyus dah…
***
Dalam perjalanan menuju ke Bromo, di perbatasan antara Probolinggo, Pasuruan dan Malang, bus singgah di rest area beberapa kali. Di Sragen dan Jombang. Lalu berhenti di Malang, di sebuah desa di kaki taman nasional Bromo Tengger Semeru untuk mempersiapkan pakaian yang sesuai dengan suhu dingin dini hari di atas lereng tempat Bromo dan Semeru bisa dipandangi. Disorot dari tempat terbaik.
Di desa tempat persinggahan ini kami membeli kupluk, syal, masker dan menyewa jaket parasut tebal. Juga buang air kecil dan cuci muka setelah tidur mengantar kita, tau-tau, sudah di desa nan dingin ini di dini hari pekat. Di sini juga kami menaiki tiga buah mobil Jeep berkapasitas sekitar sepuluh penumpang. Jeep lama yang dimodifikasi oleh komunitas Jeep yang jumlah unit Jeep anggotanya melebihi ratusan buah. Jeep tua ini dalam perjalanan sekira 1,5 jam menuju lereng di sisi Bromo, beberapa kali ada kerusakan. Mobil yang saya tumpangi sempat luber bensinnya karena selang bensinnya terlepas. Jeep satunya lagi sampai tertunda sekitar satu jam karena masalah pada mesinnya hingga perjalanan rombongan ini harus dilanjutkan dengan dua unit Jeep yang lebih kecil agar sampai ke titik parkir dua Jeep lain yang membawa kami.
Saat kami tiba di sekitar pukul 4 dini hari itu, ada Jeep sepanjang jalan. Rupanya sedang ada safari dari komunitas Jeep tua dari kabupaten Pasuruan, kota Probolinggo dan Malang. Jumlah Jeepnya ratusan. Sebagiannya masih dengan tenda di dekat mobilnya. Sebagian lain dijejer di tepi jalan sempit lereng Bukit Kingkong.
Saat kami turun dari Jeep yang mengantar kami, warung kopi telah menanti. Menawar-nawarkan kami kopi, teh atau gorengan dan mie instan. Teriak pelayannya menyebutkan tiga empat jenis jualan itu saja. Memang terlihat gorengan tersaji di beberapa piring. Termos-termos air hangat untuk membuat teh, juga jejeran mie instan. Juga tungku perapian yang disimpan di dalam wadah gerabah. Beberapa orang terlihat sedang mendekat dekatkan tangannya ke bara api di tungku itu. Dingin memang sangat menusuk.
Beberapa dari kami menyantap kopi susu atau teh. Lalu beranjak menaiki tebing kecil di mana lembah yang mengelilingi Bromo langsung berada di bawahnya dengan kedalaman ratusan meter. Di sisi tebing kecil ini ada pagar bambu pendek sebagai pembatas agak tak sampai melewati sisi terlalu pinggir. Jika terperosok bisa jatuh jauh ke bawah dan fatal.
Di antara sesaknya tebing kecil itu, di hadapan kabut tebal yang memutih, seluruh lembah dan gunung di tengahnya, Slamet dan pak Narto merayu kami dengan handphonenya. Ditunjukkannya gambar yang memperlihatkan Bromo begitu cantik. Lereng-lereng dan kawah yang membentuk garis garis urat melintang dari atas ke bawah. Semburat cahaya matahari terlihat menyinarinya dan tampil begitu menggoda kami yang bingung ingin melihat Bromo tapi hanya melihat gumpalan kabut tebal. Dan dingin yang menusuk. “Di atas tampak begini. Kalau mau ayo saya antar” kata Slamet. Tentu saja ajakan ini mengandung iklan dan kami harus membayar jasanya.
Kami menampik. Menimbang-nimbang. Arif, Slamet dan beberapa anak muda yang terlihat gencar menawarkan tumpangan ke lereng yang lebih tinggi dengan janji akan memperlihatkan Bromo dan Semeru dalam bentuknya yang paling indah. Tanpa kabut penutup. Mereka pergi sebentar. Lalu datang lagi menawarkan. Pergi lagi, lalu datang lagi. Akhirnya, melihat foto gunung Bromo, Semeru dan kawah pasir di bawahnya tanpa kabut, kami setuju. Pikir kami, mumpung disini. Nambah dikit, dan kita akan menikmati kemewahan duniawi dan fotografik yang benar-benar sublim: Bromo-Tengger-Semeru.
Bersama seorang kawan, tour leader amatir yang juga belum pernah sekalipun datang ke Bromo, saya dibonceng oleh dua motor menuju ke Bukit Kingkong. Tempat yang lebih tinggi dari tebing tempat awal kami. Bermotor terus ke atas sekira 15 menit. Setibanya disana kami ditemani dengan ramah oleh Slamet. Pak Narto hanya menunggu di motornya yang diparkir di tepi jalan. Ada banyak turis di atas. Ada turis asing. Juga turis lokal.
Bromo Tertutup Kabut
Memang terlihat puncak Bromo sesekali. Tapi kabut masih juga terlihat menutupi sebagian besar. Slamet, seperti menenangkan, sebentar lagi tampak seperti ini pak sembari menunjukkan foto di handphone-Nya. Kami terus menyusuri lereng. Lalu mendaki ke atas bukit kingkong. Tempat tertinggi yang kami lihat di sekitar. Sembari tentu saja berfoto di beberapa titik.
Di lereng Bukit Kingkong yang kami daki itu, nafas tersengal. Lereng terjal ini diliputi debu licin. Kami naik pelan-pelan hingga ke barisan pohon petiki. Namanya saya ambil dari jawaban Slamet ketika saya bertanya nama pohon itu. Daunnya mirip dengan pohon pucuk merah yang sering ditanam di taman-taman kota. Tapi pohonnya terlihat lebih bertekstur dan liat. Tak seperti pucuk merah yang cenderung lurus. Di bawah pohon petiki yang dekatnya ada padmasari, tempat menyimpan sesajen, juga beberapa baris pohon cemara udang.
Setelah memotret berkali-kali dari sudut yang kami rasa paling pas, kami turun. Pagi telah datang. Matahari, meski masih begitu lembut kemerahan, telah tampak di atas ufuk. Kami pikir harus segera berkumpul dengan rombongan. Kami ajak Slamet untuk turun. Beberapa padmasari kami lewati. Batu pahatan seperti candi berukuran kecil yang dililit kain berwarna putih hitam bergaris emas.
Muhammad Ridha di Pohon Petik, Bukit Kingkong/Koleksi Pribadi
Dua orang yang mengantar kami adalah orang Hindu. Beberapa desa di Tosari, sebuah kecamatan di kaki Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, penduduknya adalah penganut Hindu. Sebuah kepercayaan yang bertahan di Jawa setelah ekspansi Islam menguat dan menyebabkan Jawa terislamisasi dan Hindu bergerak makin ke timur termasuk menyeberang ke pulau Bali. Tapi komunitas kecil Hindu di Tengger ini terus bertahan. Salah satunya adalah Slamet dan keluarganya.
Slamet tak tau tepatnya usianya saat ini. Tapi dia telah tujuh tahun menikah dan telah punya seorang putri kecil berusia setahun. Dia bertubuh kecil dengan gigi-gigi yang sisinya tampak menghitam. Tampak keropos. Dalam perjalanan ketika dia mengantar kami turun kembali ke rombongan, dia menjelaskan demografi kampung-kampung yang terlihat dari atas itu sebagai desa-desa yang bercampur antara penduduk Hindu, Islam dan beberapa penganut Kristen. Dia mengulangi beberapa kali kalau desa tempatnya tinggal adalah desa yang mayoritas Hindu Tengger.
Di lembah pasir di kaki Bromo saat kami telah dibawa turun oleh Jeep carteran kami, saat sarapan pagi, dua orang menawarkan kami souvenir. Saya sengaja datang mendekatinya. Yang laki-laki bernama Teguh dan perempuannya tak menyebutkan namanya. Dia sepasang suami istri yang bekerja di situs wisata Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini. Dia penjaja souvenir berupa gantungan kunci, tempelan kulkas atau gelang. Kami membeli beberapa dagangannya. Dan dia tampak begitu senang. Saya diberikannya secara gratis dua buah gantungan kunci berisi bunga edelweis. Dia menyampaikan terimakasihnya kepada kami. Dan mereka berdua mengizinkan saya berfoto dengannya.
Muhammad Ridha Bersama Teguh dan Istrinya/Koleksi Pribadi
Dua orang terakhir ini juga penganut Hindu Tengger. Dia mengakuinya. Para pedagang kecil, penjaja jualan, juga pemberi jasa kecil-kecilan yang ada di rantai turisme di Bromo ini sepintas, setidaknya beberapa yang saya jumpai adalah penganut Hindu. Hanya pemilik Jeep dan dagangan lain yang lebih mahal dimiliki oleh orang Islam. Tiga Jeep yang kami tumpangi dikemudikan oleh tiga orang muslim. Fotografer yang melayani kami juga seorang muslim. Penjual bakso motor yang baksonya kami santap di atas Padang pasir juga seorang muslim. Namanya Adi Utama. Di kemeja yang dipakainya berjualan bakso dibordirnya namanya: Adi Utama.
Adi Utama/Koleksi Pribadi
Sebuah nama yang tak benar-benar saya tau artinya tapi saya rasakan keunggulan pemaknaan di baliknya. Saya merasakan keunggulan namanya itu dalam rasa baksonya yang benar-benar maknyus: dagingnya lembut, kerupuknya gurih dan kuahnya sungguh tak menunjukkan kalau ini dijual oleh penjual bakso keliling dengan gerobak di belakang motornya!
**
Saya merasakan, perjalanan ini, seperti perjalanan yang sudah-sudah: selalu memberi dimensi perasaan baru. Perjalanan rasanya seperti bukan sekedar turisme dan uang. Perjalanan ini telah membawa saya, bertemu dan berbincang dengan begitu banyak kebaikan-kebaikan dan daya hidup rakyat.
Perjalanan membawa saya bertemu Slamet, Arif, Narto, Bu Jum, Teguh atau yang lain yang membuat saya merasakan kembali girah humaniora dalam interaksi. Mungkin saja sebabnya adalah etika pariwisata, atau motif ekonomi, atau persuasi-persuasi dari bermacam-macam usahanya mendapatkan imbal, tapi saya telah merasakan kehangatan-kehangatan dari rakyat biasa. Rakyat seperti kami juga yang berupaya terus saling baik, meski negara dan orang-orang kaya, sering merusaknya!
Kawan, sampai ketemu di perjalanan berikut yah. Perjalanan biasa yang menghubungkan dan mempertemukan saya dengan begitu banyak orang. Dengan kebiasaan mereka, cara hidup, tata usaha mereka hingga cara mereka membalas sapa dan budi orang-orang yang datang.***
Muhammad Ridha adalah dosen dan penyuka jalan-jalan. Sedang mempersiapkan penerbitan sebuah buku perjalanan