Dua Imam Masjid, Dua Kisah dari Turki

Oleh Muhammad Ridha

Saya sungguh beruntung, dalam perjalanan singkat kedua di Turki, di hari ketiga, saya bertemu dua orang imam masjid. Sungguh pengalaman yang menarik bagi saya. Saya tiba-tiba membayangkan pengalaman awal John Freely ketika mengunjungi Skriptorium Masjid Sulaiman dimana dia menemukan manuskrip-manuskrip amat berharga dari era klasik Islam yang kemudian menjadi bahan utamanya menulis buku “Cahaya dari Timur; Peran Ilmuwan dan Sains Islam dalam Membentuk Dunia Barat“. Meski banyak buku yang saya saksikan di beberapa rak, nampaknya hanya buku-buku agama biasa, al-Qur’an dan terjemahan al-Qur’an serta pamflet-pamflet. Sayangnya, ketika saya di masjid hijau, di ruangan Mr Rajab, saya tak ingat untuk mengambil sebuah dua buah pamflet.

Saat saya hendak keluar dari ruangan Mr Rajab, hendak bergabung ke rombongan di luar masjid untuk masuk ke bus, Mr Rajab menyampaikan kepada saya untuk memberi infak sembari menunjuk ke sebuah celengan kayu. Dia yang amat rapi, dengan setelan jas biru gelap dan kemeja cerah, terlihat canggung menyampaikan saran untuk saya memberi infaq bagi masjid ini

Pengalaman pertama bertemu dengan imam masjid adalah ketika bertemu dengan Mr. Rajab Pasha, imam masjid hijau (green mosque) yang mengajak saya masuk ke ruang kerjanya yang berisi buku-buku, terjemah qur’an, juga pamflet-pamflet penjelasan singkat mengenai sejarah dan profil masjid hijau nan ciamik yang sejarahnya menjuntai panjang ke belakang. Berabad-abad yang lampau.

Mr. Rajab bercerita sejarah masjid hijau sebagai masjid yang dibangun oleh Celebi Mehmet I dengan arsitek Haci Ivaz Pasha dan selesai di awal abad ke-15. Masalah-masalah kesultanan usmani banyak diselesaikan di ruang kecil di sebelah kanan pintu masuk ruangan masjid. Dia memperkenalkan dirinya sebagai imam masjid. “I’am Rajab. I am imam green mosque“. Dia banyak memberikan penjelasan mengenai pentingnya masjid hijau dalam sejarah usmani. Sebagai ibukota pertama, capital one, Bursa adalah kota lama dinasti Usmaniyah. Karenanya banyak peninggalan Usmaniah berserak di kota ini. Masjid Hijau, masjid Ulu Cami (masjid dua belas kubah atau grand mosque), masjid Sultan Emir, makam Usman Bey (Usman Gazi) juga Orkan Gazi. Madrasah-madrasah tua seperti yang berdiri bersama beberapa makam di samping masjid hijau. Ada monumen patung Usman Gazi di atas kudanya di salah satu persimpangan utama kota Bursa.

Gazi adalah istilah untuk para ksatria yang berperang untuk Islam. Pemimpin awal usmani terdiri dari para gazi. Pada awalnya, menurut penjelasan Herbert Adam Gibbons dalam Jejak Awal Khilafah Utsmani; Menelusuri Riwayat Para Peletak Dasar Imperium Islam Terakhir, Usmaniyah sampai cukup bisa diperhitungkan untuk satu enclave, hanya terdiri atas 400 pasukan. Ketika 400 pasukan ini terus menaklukkan desa-desa di sekitarnya dan menghimpun lebih banyak lagi gazi dari desa-desa yang ditaklukkan hingga cukup bisa dilihat dalam sejarah baru bisa menguasai kota Bursa dan sekitarnya.

Baca juga:  Masjid-masjid di Turki

Wangsa Usmani ini adalah penguasa yang berasal dari orang-orang yang bermigrasi dari Asia Tengah dan bermukim di Anatolia di wilayah kekuasaan Seljuk. Ancaman serangan bangsa Mongol membuat banyak orang bermigrasi dari jalur-jalur di Asia tengah hingga wilayah-wilayah sekitar Iraq dan Iran menuju ke wilayah barat di sekitar Anatolia. Salah satu yang begitu dikenang adalah kepindahan Maulana Rumi dari satu desa di sekitar Afganistan saat ini bernama Balk menuju Konya. Suatu tempat di Turki bagian tengah yang dikuasai oleh kesultanan Seljuk di bawah pemerintahan sultan Alauddin Kaikobad.

Tapi kebangsawanan dan kekhalifahan menjadi institusi yang tidak lagi begitu dibanggakan sejak akhir abad 19 hingga akhirnya ambrol di awal abad ke 20 oleh perang dunia pertama yang melibatkan aliansi antara Austria, Jerman dan Utsmaniah dengan Inggris, Prancis dan Rusia. Sejak saat itu, hingga terakhir di tahun 1923, hierarki kesultanan dan para keluarga utama Usmani membubarkan institusi kekhilafahan dan menjadi bagian dari republik Turki Modern.

Dunia keagamaan, institusi penopangnya dan instrumen-instrumennya makin menyusut kekuasaannya sejak pemerintahan Usmaniah telah dibubarkan dan republik Turki Modern memilih jalan memperkuat sekularisme. Maka dimulailah era dimana urusan keagamaan adalah urusan privat setiap warga negara dan institusinya seperti madrasah, masjid dan lembaga-lembaga keulamaan dikurangi fungsinya atau malah dihilangkan sama sekali.

Dalam konteks semacam itulah mungkin, Mr Rajab, seorang imam masjid bersejarah yang berjasa dalam syiar islam terutama di wilayah-wilayah Eropa Tenggara di masa-masa awal Usmaniah, terpojok kesepian di perpustakaan kecil dan meminta infaq kepada salah dua pengunjung yang datang. Mungkin.

Begitulah. Hingga saat saya hendak keluar dari ruangan Mr Rajab, hendak bergabung ke rombongan di luar masjid untuk masuk ke bus, Mr Rajab menyampaikan kepada saya untuk memberi infaq sembari menunjuk ke sebuah celengan kayu. Dia yang amat rapi, dengan setelan jas biru gelap dan kemeja cerah, terlihat canggung menyampaikan saran untuk saya memberi infaq bagi masjid ini.

Sejarah bangsa penakluk ini mengecil menjadi sekedar sebagai pemberi kabar mengenai amalan menyumbang ke masjid? Entahlah.

Baca juga:  Liburan di Tiga Negara: Malaysia, Khazakstan dan Uzbekistan

Perjumpaan kedua saya dengan imam masjid, adalah ketika saya diusir oleh seorang pria keluar dari ruang menuju badan masjid yang tidak tertutup oleh karpet karena saya tidak bersandal. Saya dituntun hingga ke tempat peminjaman sandal masjid di taman dan ke kran tempat wudhu untuk mencuci kaki lalu mengambil sandal untuk dipakai masuk ke masjid hingga batas suci: ruangan berkarpet adalah tempat suci dan ruang tak berkarpet bisa mengandung hal-hal yang tidak suci dan bisa membatalkan wudhu. Ruang suci dibatasi oleh satu trap tangga yang persis di antara ruang yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi berdiri beberapa rak buku.

Dengan bersemangat lelaki tinggi ini menjelaskan kepada beberapa pengunjung yang diusirnya keluar dari masjid untuk bersuci kembali dan menggunakan sandal yang disiapkan pengurus masjid hingga ke batas suci. Sebagiannya kaget. Sebagiannya menangkap maksud baik orang ini. Sebagian lain tertawa-tawa atas ketidaktahuan mereka dengan bahasa Turki atau bahasa Inggris yang disampaikan orang belakangan memperkenalkan namanya sebagai Ibrahim, imam masjid Isabey.

Setelah melarang orang masuk tanpa bersuci, dia lalu masuk ke jamaah untuk shalat Dzuhur. Saya ikut shalat meski harus masbuk. Beberapa harus shalat sendiri-sendiri. Di masjid ini, suasana hening di dalamnya amat terasa. Arsitektur gereja Saint John masih terasa. Meski saat ini, sejak kesultanan Seljuk menguasai wilayah ini, Isabey membangun dan merestorasi bangunan gereja ini untuk kemudian dijadikan masjid Isabey. Masjid ini berdiri di desa Selcuk. Desa tradisional orang Turki Seljuk. Tak jauh dari kota kuno Efesus dan beberapa meter dari kuil pagan era helenis, Artemi.

Di musim panas ini, pohon-pohon jeruk di tepi jalan, sedang berbuah. Meski tak lebat dan banyak. Beberapa pohon delima berbuah dan berbunga. Tapi yang paling lebat, sedikit ke arah Konya dari Kusadasi, ada kebun-kebun ceri. Berbuah lebat. Dan sungguh manis.

Saat saya hendak keluar masjid, sebuah himbauan berbahasa melayu atau indonesia tertulis di antara himbauan berbahasa inggris, arab dan turk. Yang berbahasa melayu tertulis begini: “Buku-buku untuk dakwah sahaja. Umat Islam tolong jangan ambil! Terimakasih!”. Saya tergoda untuk menanyakan kepadanya mengenai bahasa melayu.
Saya bertanya kepadanya: “Mr. Ibrahim, this is indonesian language.” Kemudian dia jawab “Yes. Ada yang keliru?”. Saya tertawa dan memulai obrolan ringan dengannya dengan bahasa Indonesia bercampur Inggris yang tak karuan antara saya dan dia. Saya menjadi lebih akrab setelah tahu dia mengerti apa yang saya sampaikan.

Baca juga:  Melihat Kembali Turki, Membaca Kembali Masa Lalu

Ada kesan yang kuat yang saya tangkap saat memperhatikannya berbicara dengan orang-orang juga dengan saya yang begitu yakin dengan kebenaran ajaran Islam yang dipegangnya. Dia yakin sedang melakukan dakwah. Hingga seorang turis dari Amerika dengan sebuah lengannya dari besi diberinya sebuah Qur’an yang tidak diberikan kepada pengunjung musim. Lalu dia menjelaskan dengan percaya diri setelah memperkenalkan diri sebagai imam masjid: “Islam akan memberimu keselamatan”. Pengunjung itu tersenyum-senyum hangat memperhatikan Mr Ibrahim menguraikan keunggulan-keunggulan Islam.

Setelah itu lelaki dengan satu lengannya dibuat dari besi, pergi melihat ke taman, mencuci tangan dan memotret-motret bersama seorang yang seperti pengawalnya. Saya pergi. Orang-orang pergi. Kami semua naik ke bus sebelum berfoto di tugu di samping masjid yang merupakan rekaan patung kepala Isabey, pembangun masjid ini.

Saat saya akan pergi meninggalkan masjid dan Ibrahim yang masih nyerocos dengan cerita-cerita dakwah Islamnya, saya menyela untuk mencari kotak infaq. Dia menunjuk sebuah kotak persegi enam. Kami memasukkan sedikit lembaran lira.

***

Kedua orang imam masjid ini seperti mengingatkan saya dengan metafora kebangkitan Usmani yang dibayangi oleh mimpi Usman mengenai rembulan yang keluar dari dada Syaikh Edibali menuju masuk ke dadanya. Lalu dari perutnya tumbuh pohon yang melingkupi seluruh dunia. Mimpi ini ditafsirkan bahwa Usman akan menikahi anak “rembulan” dari Syaikh Edibali dan kisah tumbuhnya pohon yang meneduhi dan melingkupi seluruh dunia adalah pertanda Usman akan menjadi pemimpin besar yang melingkupi dunia Islam.

Kisah mimpi ini begitu dipercayai di kalangan umat islam di Turki. Begitu menjadi spirit Usman dan seluruh keturannya terus bekerja seperti hendak mewujudkan ‘mimpi usman’ ini. Dengan penuh semangat. Menyebarkan islam dengan para gazi hingga membesar dan melingkupi tiga benua. Mirip dengan keyakinan Mr. Ibrahim yang dengan lantang bercerita soal kebenaran Islam.

Tapi saya mengingat buku Eugene Rogan Dari Puncak Khilafah; Sejarah Arab-Islam Sejak Era Kejayaan Khilafah Utsmaniyah yang menunjukkan bagaimana kerajaan Usmani di akhir-akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 mengalami krisis legitimasi. Kekuasaannya begitu goyah. Banyak tokoh-tokoh lokal di Arab, Mesir, Syiria dan wilayah lain seperti sedang meragukan kekuasaan dan kekuatan Usmani. Sedang menyaksikan jalan menuju akhir kekuasaan usmani yang begitu gugup, kegemukan tapi tak lagi punya legitimasi. Begitulah saya melihat Mr. Rajab. Ragu-ragu, merasa tak legitimatif, tapi terdesak untuk menyampaikan anjuran untuk memberi sepeser dua peser infaq.

0%