Oleh Muhammad Ridha

Berdasarkan skema pada artikel sebelumnya berjudul sama dengan artikel ini, diuraikan fase penting yang disebut transformasi pertama oleh Ziauddin Sardar. Fase ini terbagi menjadi tiga fase, yakni, pertama penerjemahan. Kedua kritik dan penyalinan karya-karya klasik. Ketiga, penulisan pemikiran-pemikiran yang lebih mandiri dari penulis-penulis Islam sendiri juga termasuk di dalamnya aplikasi teknologi atas teori-teori dan temuan-temuan ilmu pengetahuan yang dikembangkan. Fase-fase ini tidak selalu menunjukkan sebuah peritiwa yang bersifat kronik tapi seringkali dicampurbaurkan seluruh fase atau dua dari tiga fase tersebut ke dalam satu bahasan. Hal ini dilakukan sebab, banyak di antara para penyalin awal, pada akhirnya juga adalah penulis dan sekaligus mereka yang menjalankan teori-teori ilmu pengetahuan tersebut secara teknis (seperti misalnya ilmu kedokteran atau alkemi, dll).“Tidak satupun kemajuan peradaban di Eropa kecuali secara meyakinkan dan pasti telah mengambil dari kemajuan peradaban Islam” [Rowelt Briffault]
Penerjemahan-penerjemahan pertama karya Yunani, diperkirakan dilakukan oleh Al-Khawarismi, tiga keluarga Banu Musa (Ishak, Muhammad dan Hasan) dan Hunayn Ibnu Ishak, seorang Nertorian Syiria yang menerjemahkan karya-karya Aristoteles, Galen, Euclid dan Arcimedes ke dalam bahasa Arab. Juga anak dan keponakan Hunayn yakni Ishaq ibnu Hunayn dan Hubaish. Proses penerjemahan ini semakin masif dan diorganisasikan oleh khalifah Al-Mansur yang diteruskan oleh para khalifah pelanjutnya terutama di institusi paling dihormati di era klasik, bayt al-Hikmah yang dirintis pada masa khalifah Al-Ma’mun dan diresmikan oleh khalifah Al-Rasyid.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, gerakan penerjemahan ini menjadi membesar saat pemerintahan khalifah Al-Ma’mun. karya-karya Yunani, Persia dan India bahkan ada yang beberapa kali diterjemahkan dengan versi dan penerjemah berbeda. “Almagest diterjemahkan berulangkali. Juga Tetrabiblos dan tabel-tabel astronomi Ptolomeus yang dikenal dengan nama Canones Procheiroi”[1].
Peran sentral bayt al hikmah ini disebutkan oleh Ahmed T Kuru (2020) dalam bukunya yang sedang banyak didiskusikan, Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Islam. Dia menyinggung kalau “baitul hikmah adalah simpul penting dalam gerakan penerjemahan yang lebih luas menjangkau banyak kota di seluruh wilayah muslim. Karya berbahasa Yunani Kuno, Suriah, Persia tengah dan Sansekerta di bidang filsafat, psikologi, matematika, kedokteran, fisika, geologi dan bidang-bidang lain diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab”[2].
Menurut sejarahwan al-Mas’udi, Al-Mansur mengawali sebuah program yaitu memerintahkan buku-buku filsafat dan sains dalam Bahasa Yunani dan Bahasa-bahasa Asing lainnya untuk diterjemahkan ke Bahasa arab, termasuk buku-buku Aristoteles mengenai logika dan topik-topik lainnya, buku Almagest karya Ptolomeus, Aritmhetic (karya Nicomacus of Gerasa), buku yang ditulis Euclid (Elements) dan buku-buku klasik lainnya dari zaman Yunani kuno, yaitu Bahasa Bizantium Yunani, Pahlavi, Neopersia dan Syiria.[3] Al-Mansur memerintahkan untuk menerjemahkan buku astronomi berbahasa sansekerta dari India. Ibrahim al-Fazari, astrolog pertama dinasti abbasiyah, meminta anaknya, Muhammad melaksanakan perintah khalifah. Buku tersebut bejudul Siddhanta yang dalam Bahasa arab disebut Sindhind. Lalu terbit juga buku Ibrahim al-Fazari, yang ditulis menggunakan sumber-sumber India, Pahlavi, dan juga Yunani dan mengkompilasikan kumpulan tabel-tabel astronominya sendiri yang diberi judul Zij Al-Sindhind al-Kabir.
Di antara banyak nama-nama awal yang menerjemahkan karya Yunani ke Bahasa arab adalah Hunayn ibnu Ishaq. Juga anaknya Ishaq ibnu Hunayn dan kepoonakannya Hubaish. Mereka bertiga adalah orang-orang yang dipekerjakan oleh khalifah Al-Watiq hingga Al-Mutawakkil. Hunayn menerjemahkan 129 buku Galen ke dalam Bahasa Syiria dan Bahasa Arab. Juga karya Hipocrates dan Euclid serta buku De Materia Medica dari Dioscorides.
Peristiwa penerjemahan dan penulisan karya-karya orisinal ini berlangsung hingga paling tidak di abad ke 15, meski periode-periode puncak berlangsung tak begitu lama, yakni di abad ke 8 hingga sekitar abad 12. Ahmed Kuru menyebut abd ke 7 hingga ke 11 di mana penanda utamanya adalah menggeliatnya proses-proses intelektuan yang melahirkan para filsuf yang tidak hanya berpengaruh di kalangan terbatas umat muslim sendiri tapi juga ke Eropa dan juga lebih ke timur ke India.[4]Semakin banyaknya penerjemahan dan pencetakan buku-buku yang mengisi perpustakaan dan took-toko buku besar di kota-kota utama Islam menyebabkan kebutuhan akan kertas makin mendesak. Kertas ditemukan di pertengahan abad 8 melalui ahli dari Cina. Sebagaimana dicatat Kuru “Pada abad ke-8, muslim mengimpor teknik produksi kertas dari Tiongkok dan mulai memproduksi kertas, pertama di beberapa kota Asia tengah dan kemudian di Bagdad. Pada akhir abad ke-9, dilaporkan ada lebih daripada 100 penjual buku. Pada akhir abad ke-10, Nadim menulis berjilid-jilid daftar Pustaka beranotasi, Fihrist al-Ulum (daftar ilmu), tentang para penulis dan buku-buku berbahasa Arab pada zamannya. Menurut Frederick Kilgour, Fihrist mencakup 9.620 Judul, tak jauh dari jumlah judul buku di Eropa yang berbahasa latin sebagaimana ditulis Konradhampir 6 abad setelah fihrist dalam anotasinya Bibliotheca Universalis, yakni 15.000 judul.[5]
Pada era itu bagdad menjadi kota utama ilmu pengetahuan. Tetapi juga ada saingannya di sisi Eropa, yakni Andalusia yang merupakan wilayah pemerintahan dinasti Ummayah yang juga sama majunya. Selain kedua kota ini, banyak kota muslim penting lain dengan perpustakaan besar dan para sarjana penting, seperti Damaskus, dan Halab di Suriah; Basrah di Irak; Nisyapur, Rayy dan Thus di timur laut Iran; malk, Bukhoro, Urgenc dan Merv di Asia tengah. Dinasti fatimiyah, berpusat di Mesir, juga membangun perpustakaan-perpustakaan penting. Pada akhir abad ke-10 khalifah Aziz memiliki perpustakaan di Kairo dengan koleksi berjumlah antara 200.000 hingga di atas 1 juta.Khalifah Al-Hakam II mendanai beberapa sekolah dan perpustakaan di ibu kota Andalusia, Cordoba. Perpustakaan utama Hakam memiliki koleksi 400.000 buku.[6]
Aktifitas penerjemahan dan penulisan terus berlangsung di dunia muslim. Salah satu yang paling dikenang adalah filsuf al-Kindi yang bekerja di Baitul Hikmah. Meski dia tidak menguasai bahasa Yunani, tapi karya-karya yang telah diterjemahkan oleh para penerjemah di baitul hikmah akan dibaca dan direview olehnya. Al-Nadim membuat daftar 242 karya Al-Kindi, termasuk esai-esainya di bidang filsafat, astronomi, kosmologi, matematika, meteorologi, fisika, optik, pengobatan, farmakologi, zoologi, geografi, mineralogi, metalurgi, musik, politik, teologi, alkemi dan astronomi. AL-Kindi sangat memperhatikan filsafat dan ilmu falak. Dia memberi pengaruh dalam bidang ilmu geografi, kimia, mekanik dan musik.[7]
Selain Al-Kindi, nama-nama seperti Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. AL-Farabi dikenal sebagai guru kedua sementara Ibnu Sina disebut guru ketiga. Guru pertamanya adalah Aristoteles dan kedua guru, Al-Farabi dan Ibnu Sina adalah penerjemah dan pemberi komentar mengenai filsafat Aristoteles paling berpengaruh. Ketiga orang ini menulis ratusan buku dalam berbagai bidang yang mempengaruhi banyak bidang keilmuwan.
Beginilah sehingga aktifitas penerjemahan, penulisan telah membentuk sebuah kebudayaan tinggi yang diberi gelar-gelar menarik bermacam-macam oleh para ahli. Lalu bagaimana ilmu pengetahuan yang telah diproduksi secara massal dan menjadi sebuah kebudayaan epistemik berfungsi secara teknis dan memberi manfaat pada kehidupan manusia secara umum, baik di masa ketika para ilmuwan dan filsuf muslim itu hidup maupun setelahnya? Semoga artikel berikutnya bisa memberi artikulasi yang lebih teknis dan detil. Wallahu a’lam bi sawab.