Bolshevik dan Momen Menentukan Dunia Islam

Bagaimana Bolshevik/Partai Komunis Membendung Imperealisme di Dunia Islam

Oleh: Muhammad Ridha

“Umat muslim Rusia… kalian semua yang masjid dan rumah ibadahnya telah dihancurkan, yang kepercayaan dan ibadahnya telah diinjak-injak oleh Tsar dan penindas Rusia: kepercayaan dan praktik kalian, institusi nasional dan budaya Anda selamanya bebas dan tidak dapat diganggu gugat. Ketahuilah bahwa semua hak kalian, sebagaimana segenap rakyat Rusia, berada dalam lindungan penuh revolusi”

[Deklarasi kepada seluruh pekerja Muslim Rusia dan Timur 24 November 1917]

Dalam rentang waktu yang cukup panjang sejak revolusi Bolshevik hingga kini di dunia kontemporer kita, komunisme (baik melalui Partai Bolshevik maupun setelah menjadi Partai Komunis) di Uni Soviet selalu berhubungan sangat baik dengan dunia Islam. Perjalanan revolusi Bolshevik misalnya, dan Republik Sosialis Uni Soviet yang dibentuknya, menunjukkan panorama paling menonjol adalah perhatiannya atas kemerdekaan dan hak-hak serta pembelaannya atas bangsa-bangsa muslim yang berada di bawah imperialisme barat. Perhatiannya terhadap Afganistan dan India di bawah kolonialisme Inggris, sikapnya terhadap perjuangan pembebasan nasional di Indonesia, hubungannya dengan komunitas tarekat di Persia dan pembelaannya kepada bangsa Arab di Timur Tengah hingga Afrika Utara. Atau bahkan sikap hormatnya kepada kesultanan Utsmaniah yang ditunjukkan dalam sikap pemimpin Bolshevik awal ketika menyerahkan tiga provinsi Utsmani dan menguburkan traktat licik imperialis dalam perjanjian Sykez-Picot yang menghadiahkan Anatolia dan Istanbul untuk imperium Rusia jika kemenangan di pihak sekutu. Tapi Bolshevik menolak perang imperialis itu dan mendorong suatu sikap yang telah dikampanyekan dengan konsisten sebagai bentuk komitmen “perdamaian tanpa aneksasi” pasca perang.

Sementara negeri-negeri lain yang masih dipimpin oleh imperialis, bermimpi menghancurkan Utsmaniah, memotong-motong dan membagikannya kepada banyak misi imperialis (tapi terutama kepada imperium Britania dan Prancis serta Yunani dan Italia), di sisi lain, Bolshevik memilih menghormati kedaulatan khilafah Utsmaniah, menarik pasukan Rusia dari front dan membangun sebuah republik sosialis yang justru merencanakan pembebasan terhadap seluruh bangsa-bangsa yang dijajah dan direndahkan  -di dalamnya termasuk banyak bangsa-bangsa muslim- oleh imperialisme barat.

Sikap itu pertama-tama dilakukan dengan membuka kedok perang imperialis yang disimpan dalam perjanjian Sykes-Picot sebagai proyek memecah dan meruntuhkan kesultanan Utsmaniah. Dan itu disambut baik oleh para pemimpin Utsmaniah di front dengan menyampaikan kepalsuan rencana memberikan kemerdekaan kepada mimpi Arab raya di bawah klan Hasyimiah. Meski kampanye ini ditolak oleh Syarif Makkah yang lebih condong kepada janji imperialisme Britania[1].

Untuk lebih jelas melihat urutan-urutan pemecahbelahan wilayah Utsmaniah bisa dibaca di dua buku Eugene Rogan The Fall of The Khilafah Perang Besar yang Meruntuhkan Khilafah Utsmaniah dan Mengubah Selamanya Wajah Timur Tengah (2018) dan Dari Puncak Khilafah Sejarah  Sejak Era kejayaan Khilafah Utsmaniyah (2017). Buku ini menulis lebih detail terutama pada bagian mengenai resolusi pasca perang atas wilayah Utsmaniah atau bagian mengenai kejatuhan Utsmaniah. Secara umum penjelasan kedua buku ini menunjukkan jika resolusi pasca perang pihak sekutu pimpinan Britania menginginkan pembagian Timur Tengah dan seluruh wilayah khilafah Utsmaniyah. Dalam komitmen tersebut Imperium Rusia menjadi pihak yang ikut di dalamnya dan mendapatkan mandat untuk wilayah Anatolia dan Istanbul. Tetapi setelah revolusi Bolshevik yang berjarak hanya beberapa bulan dari perjanjian Zykes-Pycot, rezim progresif menolak komitmen tersebut dan malah membukanya ke publik untuk menunjukkan wajah nyata perang tersebut bagi para imperialis.

Dengan begitu, revolusi Bolshevik telah membakar seluruh rencana jalan imperialis, dan mengabarkan kepada rakyat-rakyat negeri jajahan, para pekerja dan kaum tani, mereka semua bisa berdaulat dan merdeka dari eksploitasi kolonial. Menjadi kabar gembira bagi rakyat negeri jajahan di satu pihak dan menjadi ancaman di mana-mana atas posisi imperialis.

Bolshevisme dan Islam

Relasi baik antara kaum Bolshevik dan Islam untuk masa awal era bolshevisme di Rusia, ditunjukkan juga oleh ulasan Dave Crouch The Bolshevik and Islam (International Socialism Journal: Spring: 2006). Tulisan Dave ini memberi penjelasan terutama soal bagaimana partai Bolshevik awal di bawah kepemimpinan Lenin yang mengakomodasi dan memberi ruang kebebasan secara internal kepada bangsa-bangsa muslim yang dalam hal ini mereka disebutkan sebagai Soviet Asia. Terdiri atas enam republik sosialis Uzbekistan, Tajikistan, Azerbaijan, Kyrgistan, Turkmenistan dan Kazakstan. Unsur-unsur kepemimpinan strategis partai banyak diisi oleh kalangan muslim komunis dari republik-republik di Soviet Timur. Dari komunitas-komunitas muslim pada republik-republik ini banyak tokoh muslim-komunis yang menonjol, salah satu yang paling menonjol adalah Mirzaid Sultan-Galiev, juga Abdurauf Fitrat salah satu tokoh jadid terkemuka, dan yang lain.

Sambutan Bolshevik untuk dunia Islam dan komunitas kaum muslim di wilayah Soviet Asia ditunjukkan dengan baik oleh Dave dalam catatannya “saya juga ingin menunjukkan bahwa pada tahun-tahun awal revolusi, kaum Bolshevik menyambut umat Islam ke dalam partai komunis dan mengupayakan front persatuan berskala besar dengan organisasi-organisasi Islam.”[2] Banyak imigran dari kawasan Turki dan Persia serta dunia Islam lainnya merasakan kegembiraan revolusi ini hingga kemudian beresonansi pada kelahiran partai-partai komunis di Timur Tengah dan Afrika Utara sebagaimana dicatat Deepa Kumar.[3]

Baca juga:  Tashkent yang Cantik, yang Hangat

Sebuah Madrasah Di Era Soviet

Hal yang paling jelas mengenai relasi bolshevisme dengan pembebasan bangsa-bangsa jajahan ditunjukkan oleh Vijay Prashad dalam Bintang Merah Menerangi Dunia Ketiga (Jakarta: Marjinkiri; 2018). Dia menggambarkan dengan menarik dinamika revolusi Bolshevik yang menginspirasi hampir seluruh wilayah jajahan Eropa dan terutama menyebabkan berdirinya republik-republik sosialis di Asia Tengah yang kemudian disebut Soviet Asia juga berdirinya negara-negara merdeka di dunia muslim dari jajahan eropa di tahun-tahun setelahnya. Kegembiraan revolusi ini, yang menunjukkan suatu horizon baru, bahwa kaum buruh dan tani bisa memegang kekuasaan dan mendirikan pemerintahan sosialis untuk kepentingannya sendiri menyebar ke negeri-negeri jajahan. Juga menuju dunia Islam yang lebih luas di Asia Tengah, Timur Tengah dan Afrika Utara serta wilayah lainnya.[4]

Untuk tujuan memperluas jangkauan perjuangan revolusi Bolshevik terutama dengan  memperluas partisipasi kongres komunis, Bolshevik menggagas terselenggaranya kongres bangsa-bangsa timur di Baku, Azerbaijan pada tahun 1920.[5]Kongres ini dihadiri oleh ribuan kaum muslim dari bangsa-bangsa muslim di Soviet Asia dan juga dari Turki dan Persia.

Lalu untuk menunjukkan kebijakan luar negeri yang berpihak secara nyata dengan politik anti imperialis, kementerian luar negeri yang dipimpin oleh Leon Trotsky, membuka kedok perang imperialis dalam perang dunia I. Lalu keputusan itu diikuti dengan menarik dirinya Soviet  dari perjanjian Sykez-Picot dan meninggalkan komitmen untuk mendapatkan Istanbul/Konstantinopel yang diimpikan oleh imperium Rusia berabad-abad dan Anatolia Timur melalui kesepakatan Brest-Litovsk.

Sementara itu, para imperialis yang haus akan wilayah baru meneruskan komitmennya untuk membagi-bagi wilayah Utsmaniah untuk kepentingan imperiumnya masing-masing: Antalya diambil alih oleh Italia, Izmir (Smirna) diambil alih oleh Yunani, Istanbul di bawah pengawasan Inggris, sementara wilayah Utsmaniah yang luas di Timur Tengah dibagi-bagi untuk kepentingan imperialism Inggris dan Prancis, serta yang paling berdarah di antara seluruh proyek imperialis mencabik-cabik seluruh wilayah kesultanan adalah penyerahan Palestina kepada imigran Yahudi yang kemudian mendirikan negara Israel dengan genosida bangsa Palestina yang tak pernah berhenti hingga saat ini.

Jadi bagaimana bisa begitu banyak yang menggaungkan ketidakterhubungan atau malah antagonisme antara Islam dan komunis sementara sejarah menunjukkan sebaliknya seperti dikemukakan di atas?

Bolshevik Menyulut Dunia Islam

Jika pernyataan di atas belum cukup, di sini ditunjukkan bagaimana sejarawan dan ilmuwan lain menunjukkan keterhubungan yang baik antara dunia islam dan Bolshevik yang diungkapkan oleh beberapa sejarawan untuk sebuah buku yang memperingati dampak dahsyat revolusi Bolshevik dan jaringan sosial anti kolonial yang diciptakan setelahnya dalam Communist Parties in The Middle East 100 Years of History Europe Regional Perspectives (2019).

Menurut Laura Feliu, Ferran Izquerdo-Brichs and Francesc Serra dalam salah satu tulisan pada buku Communist Parties in The Middle East 100 Years of History Europe Regional Perspectives (2019) gagasan revolusi Bolshevik menyebar ke dunia Islam di pusat dunia Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara terutama karena resonansi atas kegembiraan revolusi Bolshevik yang sebagiannya dirasakan langsung oleh para imigran Turki, Persia dan Arab di wilayah-wilayah Rusia yang bergolak karena revolusi. Lalu selanjutnya juga dibawa oleh kaum terpelajar yang mempelajari marxisme dari wilayah metropol dimana mereka bisa mengakses pendidikan tinggi dan pergaulan emansipasi pada gerakan emansipasi yang lebih luas yang sedang tumbuh di Eropa.

Sebagaimana dicatat oleh Laura Feliu, Ferran Izquerdo-Brichs dan Francesc Serra:

“Komunis pertama mencapai Timur Tengah dan Afrika Utara melalui kontak dan pengalaman revolusioner di Eropa (emigran Iran dan Turki di Rusia revolusioner, emigran Turki dan Irak Huayn al-Rahal di Jerman dan pemberontakan Spartacist), melalui kontak imigran dengan partai komunis di metropolis (terutama orang Aljazair dan Maroko di Prancis), atau melalui imigrasi dan kolonisasi ke negara-negara Arab (seperti Mesir, Prancis di Tunisia, Aljazair dan Maroko, dan penjajah dan emigrant Yahudi di Palestina). Komunis awal ini dipengaruhi oleh dorongan revolusioner dan kegembiraan yang ditimbulkan oleh revolusi Rusia.……. Secara nominal, Marxisme-Leninisme memberi mereka dasar analitis dan konseptual yang diperlukan serta orientasi organisasional untuk membentuk partai-partai…..”[6]

Soviet dan Sosialisme Arab

Meski pemerintahan Bolshevik setelah Lenin, Stalin lebih berkecenderungan melaksanakan kebijakan persekusi atau lebih jauh sebagai tindakan penindasan terhadap penganut agama (bukan hanya terhadap kaum muslim di Timur tapi juga terhadap kaum Ortodoks dan Yahudi) di wilayah Soviet tetapi di wilayah muslim di Timur Tengah menunjukkan pemihakannya kepada dunia Islam dan kaum muslim. Kecenderungan persekusi di sini hanya menunjukkan secara internal Soviet yang dipimpin Stalin melakukan penindasan terhadap tendensi beragama dan menunjukkan etnosentrisme Rusia dalam kepemimpinannya -meski dia berasal dari Georgia. Hal yang dilakukannya kemungkinan untuk memberi penguatan internal kepemimpinannya dalam partai.

Baca juga:  Menempatkan (Kembali) Islam

Tetapi di luar Soviet, terutama pasca perang dunia kedua, baik ketika masih di bawah Stalin maupun pemimpin Soviet setelahnya, dunia Arab menikmati suatu hubungan taktis yang datang dari kedekatan ideologis -sering diakui oleh dunia Arab juga bahwa ideologi Sosialisme Arab, Sosialisme Islam, atau istilah yang lain dekat dan terkait dengan ideologi komunisme di bawah Soviet. Meski ideologi sosialis yang diusung di dunia Arab didorong oleh partai yang bermacam-macam di luar partai Komunis seperti Baats di Suriah dan Irak, Wafd di Mesir atau malan Front Pembebasan Nasional di Aljazair. Bahkan sering partai-partai yang disebut sosialis ini berseberangan dan antagonis dengan partai komunis di negaranya masing-masing. Tetapi rezim-rezim sosialisme arab yang diusung oleh partai-partai tersebut dikuatkan justru karena peran Soviet.

“Peran Uni Soviet dalam gerakan ini sangat penting. Tidak hanya mendukung para pemimpin nasionalis arab progresif yang baru secara diplomatis, tetapi juga memberikan dukungan tekhnis dan militer yang murah hati kepada Mesir, Suriah dan Irak. Paradoksnya adalah pemerintahan Nasseris membalas dengan membubarkan partai komunis di Mesir dan Suriah meski kelompok ini memberi kontribusi terhadap kemenangan revolusi. Sebaliknya di Irak, pemerintahan revolusioner mengizinkan rekonstruksi partai komunis di negara itu, tapi perannya dalam rezim baru sangat kecil”, ungkap Laura Feliu, Ferran dan Serra.[7]

Hal  terakhir ini sering dianggap oleh para sejarawan sebagai kebijakan luar negeri Soviet  yang menunjukkan suatu simpati luas terhadap perjuangan nasionalis kaum muslim. Baik yang berideologi Marxist/komunis yang terikat langsung dengan komunis internasional maupun rezim populis yang memiliki kedekatan ideologis dengan marxisme. Ulasan ini ditunjukkan Deepa Kumar dalam Islam Politik Sebuah Analisis Marxis (Yogyakarta: Resistbook dan Indoprogress; 2012). Deepa Kumar menunjukkan bagaimana Soviet memberi perlindungan dan dukungan diplomatik juga tekhnis militer dalam perang Arab. Bahkan menjadi kunci kemenangan diplomatis dan taktis, Mesir dan Suriah atas kembalinya sebagian dataran tinggi Golan kepada Suriah dan Gurun Sinai kepada Mesir setelah negosiasi berjalan yang dikuatkan dengan embargo minyak kepada para imperialis yang mendukung Israel.[8]

Lebih lanjut Laura Feliu, dkk menjelaskan fakta kedekatan dan posisi Soviet yang selalu berdiri di sisi kaum muslim terutama dalam memberi kekuatan kepada sekutu yang mengusung sosialisme Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara: “Bagaimanapun peristiwa sejarah sangat mendukung identifikasi dunia arab dengan kepemimpinan Soviet, meski berbeda ideologi. Ketika republik Federal Jerman menjalin hubungan diplomatik dengan Israel pada tahun 1965, negara-negara Arab yang baru memutuskan hubungan dengan Bonn dan memprakarsai aliansi diplomatik dengan Republik Demokratik Jerman dan karenanya dengan blok Timur. Dukungan barat terhadap Israel dalam perang tahun 1967 dan 1973 membuat sejumlah besar masyarakat Arab memandang Soviet antara kekaguman dan keinginan untuk perlindungan. Mengingat situasi ini, kremlin bertindak sangat hati-hati, tanpa menuntut pendukungnya yang paling bersemangat berkuasa dan menghormati kepemimpinan lokal, tetapi pada saat yang sama menawarkan bantuan dan perlindungan yang sangat dihargai. Pembubaran Republik Arab Bersatu pada tahun 1961 dan kemudian pengambilalihan Irak dan Suriah oleh faksi Baathis pada tahun 1963 tidak mengubah kehadiran strategis Uni Soviet di wilayah tersebut. Meskipun ideologi sosialisme Arab menekankan netralitas dan ketidakberpihakan dengan dua kekuatan besar, hal ini tidak meyembunyikan kehadiran Uni Soviet yang jelas di bidang politik, diplomatik, ekonomi, dan bahkan militer di negara-negara tersebut. Pengaruh ini meluas ke Aljazair setelah kudeta tahun 1965 yang dipimpin oleh Houari Boumediene, ke Yaman setelah pembentukan Republik Rakyat Yaman Selatan pada tahun 1967, ke Libya setelah kudeta tahun 1969 yang dipimpin oleh Muammar Gaddafi dan ke Somalia setelah kudeta di sana di tahun yang sama (Primakov: 2009)”.[9]

Momen Islam dan Komunisme: Akhirul Kalam

Saking besarnya pengaruh komunisme di dunia Islam hingga sejarawan yang mengeditori buku menarik mengenai komunisme di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara untuk mengenang 100 tahun revolusi Bolshevik dan pengaruhnya di dunia islam, Laura Feliu Dkk mengungkapkan “Jika ingin memahami sejarah modern kawasan ini, peran komunisme harus juga dianalisis”[10]. Suatu pandangan yang berdasar sangat kuat pada sejarah nyata dunia Islam. Buku yang dieditori oleh Laura Feliu dkk ini menghimpun lebih dari sepuluh tulisan yang menulis sejarah komunisme dan partai komunis di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Juga menulis renungan menarik dalam pengantar atas buku ini mengenai relasi lekat dunia islam dan komunisme.

Karena itu, artikel ini sebenarnya tak perlu mengulang menyebutkan fakta bagaimana Soviet berada di sisi kaum muslim di dalam tiga seri perang Arab-Israel dan perang Yom Kippur yang amat menentukan wajah dunia Arab saat ini, bagaimana Soviet membela Revolusi Perwira Pembebas yang dimulai dari Nasser di Mesir dan Suriah, Irak, Libya dan Yaman Selatan serta yang lainnya. Atau bagaimana Soviet membiarkan khilafah Utsmaniah mendapatkan kembali wilayahnya yang jatuh kepada Rusia untuk kembali ke tangan Utsmaniah dengan damai juga bantuan-bantuan teknis diplomatis dan militer langsung yang, sayangnya hanya lestari dalam relasi Rusia Suriah-Iran saja saat ini. Padahal lanskapnya jauh lebih luas sebelumnya. Soviet Mesir; Soviet Suriah; Soviet Somalia, Soviet Yaman; Soviet Irak; Soviet Aljazair. Seperti dicatat Laura Feliu, dkk: “Pasukan militer Uni Soviet secara sporadik menggunakan pangkalan Tunisia di Sfaz dan Bizerta sejak 1963 dan kemudian pelabuhan Aljazair. Selain itu, angkatan laut Soviet mendirikan pangkalan di pulau Yaman Socotra di Samudra Hindia pada tahun 1971 dan menggunakan Pelabuhan Barbera Somalia mulai tahun 1972, selain layanan Pelabuhan Yaman di Aden dan Hodeide. Di Mesir…antara 15.000-20.000 kontingen militer. Pasukan Soviet terus menggunakan instalasi militer di Mersa Matruh di negara itu antara tahun 1974 dan 1975, sebelum meresmikan penarikan total setelah peralihan Mesir yang pro Barat di bahan Anwar Sadat.”

Baca juga:  Bagaimana Kolonialisme Membenamkan Dunia Islam? Kisah Kesultanan Mughal dan Kesultanan Gowa

Perang terakhir Mesir, Yordania dan Suriah melawan Israel tahun 1973 menunjukkan kembali bagaimana, bahkan ketika Mesir telah mengarah kepada barat, Soviet tetap menjadi kunci kenapa serangan cepat sabtu siang begitu sukses di front utara maupun selatan memukul mundur pos-pos militer Israel dan kemudian hari berhasil memaksakan diplomasi dan secara tetap mendapatkan kembali wilayah dataran tinggi Golan dan Gurun Sinai masing-masing kepada Suriah dan Mesir.[11]

Tetapi bagaimanapun, peran komunisme dan rezim komunis di Soviet selalu berada di sisi dunia Islam begitu strategis mulai dari perjuangan kemerdekaan hingga perang-perang penting seperti yom kippur yang dimenangkan oleh dunia Arab dengan bantuan Soviet, kebanyakan dari kita di dunia islam sudah tak lagi percaya bahwa komunisme dan islam bisa berhubungan dengan begitu lekat. Suatu kondisi yang tak menguntungkan masa depan dunia Islam. Wallahu a’lam bi sawab.

Muhammad Ridha Merupakan Dosen Uin Alauddin Makassar

Ket: Artikel ini telah direvisi dari versi sebelumnya yang berjudul “Di Sisi Perjuangan Kaum Muslim”

Kepustakaan

[1] Eugene Rogan The Fall Of The Khilafah Perang Besar yang Meruntuhkan Khilafah Utsmaniah dan Mengubah Selamanya Wajah Timur Tengah (Jakarta: Alvabet; 2018) Hal. 497

[2] Dave Crouch Bolshevism and Islam (International Socialism Journal: Spring: 2006) Hal. 13

[3] Deepa Kumar Islam Politik Perspektif Marxist (Yogyakarta: Resistbook; 2012). Hal. 44

[4] Vijay Prashad Bintang Merah Menerangi Dunia Ketiga (Jakarta: Majinkiri; 2018) Hal. 60

[5] Laura Feliu, Ferran Izquerdo-Brichs and Francesc Serra Communist Parties in the Middle East and North Africa: An Overview dalam Communist Parties in The Middle East 100 Years of History Europe Regional Perspectives (London and New York: Routledge: 2019) Hal. 23

[6] Laura Feliu, Ferran Izquerdo-Brichs and Francesc Serra Communist Parties in the Middle East and North Africa: An Overview dalam Communist Parties in The Middle East 100 Years of History Europe Regional Perspectives (London and New York: Routledge: 2019). Hal 13

[7] Laura Feliu, Ferran Izquerdo-Brichs and Francesc Serra Communist Parties in the Middle East and North Africa: An Overview dalam Communist Parties in The Middle East 100 Years of History Europe Regional Perspectives (London and New York: Routledge: 2019) Hal. 12

[8] Deepa Kumar dalam Islam Politik Sebuah Analisis Marxis (Yogyakarta: Resistbook dan Indoprogress; 2012). Hal. 42. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Eugene Rogan dalam The Fall Of The Khilafah Perang Besar yang Meruntuhkan Khilafah Utsmaniah dan Mengubah Selamanya Wajah Timur Tengah (Jakarta: Alvabet; 2018) Hal. 467

[9] Laura Feliu, Ferran Izquerdo-Brichs and Francesc Serra Communist Parties in the Middle East and North Africa: An Overview dalam Communist Parties in The Middle East 100 Years of History Europe Regional Perspectives (London and New York: Routledge: 2019). Hal. 23

[10] Laura Feliu, Ferran Izquerdo-Brichs and Francesc Serra Communist Parties in the Middle East and North Africa: An Overview dalam Communist Parties in The Middle East 100 Years of History Europe Regional Perspectives (London and New York: Routledge: 2019) Hal. 24

[11] Lihat Eugene Rogan Dari Puncak Khilafah Sejarah  Sejak Era kejayaan Khilafah Utsmaniyah (Jakarta: Serambi; 2017) Hal. 529. Dalam catatan ini Rogan menunjukkan bagaimana senjata mutakhir soviet saat itu, SAM 6, digunakan untuk menghalau setiap upaya serangan Angkatan udara Israel ke Mesir yang menjadikan kemenangan tahun 1967 yang masih membayangi Angkatan udara Israel pupus.

0%