Bagaimana Tiongkok Mempercepat Ekosida di Indonesia

Oleh Sartika Nur Shalati

Sekitar 2,5 abad setelah James Watt menemukan mesin uap yang lebih efisien pemicu revolusi industri, muncul berita yang membuat panik seluruh dunia karena terjadi penurunan volume es di kutub utara yang mengancam peradaban manusia. Setelah diperiksa, ternyata tren pemanasan global sejak tahun 2010 semakin meningkat drastis menurut NOAA[1].

Di abad 21, di saat krisis iklim menjadi isu paling mendunia. Indonesia justru menjadi negara penghasil emisi terbesar akibat bahan bakar fosil.[2] Apa yang terjadi di Indonesia saat ini tidak terlepas dari relasi politik ekonomi dengan negara luar, salah satunya China. Negara yang akhir-akhir ini secara massif melakukan investasi ke luar negaranya melalui “kebijakan pergi keluar” (going out policy) termasuk ke Indonesia.

Investasi China ke Indonesia sebagian besar diwujudkan di sektor batu bara sepaket dengan pembangkit listriknya. Batubara digunakan sebagai bahan bakar PLTU untuk menghasilkan listrik, menyebabkan pelepasan karbon yang memperparah pemanasan global. Di saat bersamaan, jutaan hektar pohon ditebangi dan lahan dibongkar untuk mendapatkan batubara yang memperparah degrasasi lingkungan dan krisis sosial di berbagai tempat, terutama di wilayah dengan cadangan batubara melimpah; Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan serta di sebaran lokasi PLTU seluruh Indonesia.

Istilah ekosida mungkin lebih pantas kita gunakan pada konteks ini. Sepadan jika disejajarkan dengan Genosida sebagai suatu kejahatan kemanusiaan yang menghilangkan nyawa manusia secara massal. Banyak konvensi dan seminar yang melahirkan statuta dan konvenan sejak 1970 yang mewajibkan pemakaian hukum positif untuk ekosida setara dengan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang bagi individu maupun lembaga yang merusak alam secara masif. [3]

Ekosida mungkin belum familiar di telinga kita. Bahkan saya tidak menemukan istilah ini melalui laman pencaharian di Kamus Besar Bahasa Indonesia yang sering menjadi rujukan penggunaan bahasa Indonesia baku. Ecoside muncul sekitar 1968 yang dalam serapan bahasa Indonesia menjadi Ekosida berarti pemusnahan sumber daya alam diikuti dengan berbagai kompleksitas krisis. Saya akan memaparkan lebih jelas bagaimana komplesitas krisis yang dimaksud.

Ekspor Batubara ke China: Mitos Pertumbuhan Ekonomi

Para pembaca yang mulia mestinya sudah tau. Indonesia adalah negara produsen batubara terbesar kelima dan pengekspor terbesar kedua di dunia pada 2017. Negara tujuan ekspor batubara terbesar adalah China dengan jumlah 48,279 juta ton.[4] Permintaan pasar atas komoditi batubara ini tentu saja membutuhkan lahan luas untuk ditambang yang secara bersamaan menambah deretan kasus konflik lahan di daerah-daerah, krisis air bersih, gagal panen, banjir bahkan kekerasan antara aparat dengan penduduk lokal yang berujung pada pemiskinan, penghilangan nyawa dan marginalisasi. Semua ini adalah serangkaian ekosida yang disertai pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung di ruang-ruang eksploitasi sumber daya alam, terutama di sektor pertambangan.

Kita coba ke Kalimantan Timur. Saya tak pernah lupa deretan kasus lubang tambang yang menewaskan 34 anak-anak karena minimnya pengawasan pemerintah dan tanggung jawab perusahaan. Menghabiskan hari-hari penelitian selama satu setengah tahun di situs krisis ini menguras banyak energi dan emosi, apalagi tinggal bersama para perempuan yang anaknya mati konyol di lubang tambang tanpa menempuh proses hukum secara adil.

Intimidasi dan perlakuan yang tidak layak datang dari perusahaan kepada korban tambang di Kalimantan Timur menjadi makanan sehari hari, apalagi melibatkan milisi yang dipersenjatai oleh pejabat pemerintah yang juga memiliki perusahaan tambang. Ini mungkin pengalaman yang tidak bisa saya lupakan saat menyaksikan salah satu Ibu yang anaknya mati di lubang tambang diintimidasi dan dipaksa menerima sejumlah uang agar kasus kematian anaknya tidak di perpanjang secara hukum. Dalam kasus lain, saya juga pernah menyaksikan kedatangan para preman utusan salah satu perusahaan tambang di Kaltim menyerbu salah satu sekretariat NGO yang getol mengadvokasi kasus tambang  bermasalah. Tentu saja dengan serangkaian ancaman untuk menakut-nakuti agar tidak terlalu gila urusan dengan kejahatan korporasi yang mereka lakukan.

Kalimantan Timur memang salah satu wilayah dengan cadangan batubara terbesar di Indonesia yang digali untuk memenuhi kebutuhan ekspor ke beberapa negara termasuk China. Kegiatan ekspor ini dimotivasi oleh ambisi peningkatan Gross Domestic Product (GDP) dan pertumbuhan ekonomi.  Provinsi ini juga menjadi sarang ribuan lubang tambang yang selain menewaskan anak-anak, juga menyebabkan petani gagal panen akibat banjir, mencemari ekosistem sungai dan udara serta membuat sumur warga mengering.

Ingat Pak Jokowi, tidak ada investasi dan ekonomi yang akan tumbuh di atas planet yang rusak!

Tak bisa disangkal bahwa kegiatan ekspor akan berjalan linear dengan eksploitasi sumber daya alam. Semakin banyak ekspor, semakin cepat pula transformasi alam yang menyebabkan naiknya biaya lingkungan dan penurunan layanan alam. Biaya lingkungan adalah biaya yang dikeluarkan karena adanya kualitas lingkungan yang buruk.[5] Untuk kasus ini, saya tertarik meminjam analisa David Goldbatt dalam buku yang ia tulis berjudul Analisa Ekologi Kritis. Ia menyuplik banyak pemikiran Groz bahwa biaya lingkungan akan naik melampaui pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Artinya, pemerintah sedang menggali lubang lebih besar untuk dibebankan kepada kita dalam memikul segala daya rusaknya.

Baca juga:  Misbach: Nama dan Masa

Negara luput melihat persoalan krisis sosio-ekonomi yang timbul akibat semakin tingginya biaya lingkungan. Bayangkan saja ada berapa orang yang terpaksa kehilangan nyawa karena industri kotor ini, baik melalui aksi-aksi represif maupun terkontaminasi penyakit berbahaya akibat pencemaran industri. Selain itu, tak bisa lagi dihitung berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk membeli kebutuhan air karena sumur warga mendadak kering di lokasi yang berdekatan dengan kegiatan pertambangan. Belum lagi jutaan orang yang mengalami kerugian karena gagal panen dan tidak bisa mengkonsumsi beras di lokasi pertambangan batubara?. Pertanyaan-pertanyaan ini yang tidak dihitung negara sebagai kerugian. Juga tidak bisa menjawab mitos kesejahteraan yang diukur melalui tingginya pertumbuhan ekonomi ataupun GDP.

Saya mengutip pernyataan David Goldbatt untuk menyimpulkan apa yang saya tulis di atas. Dari hasil analisanya mengenai teori yang dikemukakan Gorz tentang overakumulasi bahwa “tak peduli apakah laba akan meningkat atau menurun, aktivitas pengejaran pertumbuhan ekonomi dan juga pengejaran laba yang semakin besar selalu tertanam kuat dalam praktek-praktek persaingan pasar dan dalam tuntutan-tuntutan politik dari para pemilih.” Kegiatan ekonomi dan persaingan pasar ibarat lingkaran setan yang tak berujung. Ia menciptakan ilusi kesejahteraan melalui akumulasi keuntungan sebagai magnetnya, sehingga tercipta proses transaksi uang-barang/jasa yang mensyaratkan eksploitasi sumber daya di bawah payung industrialisme dan kapitalisme.

Dalam pemikiran Anthony Giddens yang dikaji David Goldbatt, ia memberikan garis besar bahwa Industrialisme dan Kapitalisme memiliki hubungan yang sangat dekat sebagai penyebab degradasi lingkungan. Kapitalisme bekerja melalui ekspansi kapital yang mengandalkan nilai tukar komoditi; barang dan jasa untuk melipatgandakan keuntungan. Proses penciptaan komoditi inilah yang disebut sebagai proses industrialisasi yang mensyaratkan pengolahan bahan baku menjadi sebuah komoditi.

Lagi-lagi saya dibuat menyesal pernah menjadi mahasiswa ekonomi yang sangat taat membayar SPP hanya untuk belajar cara menghitung pertumbuhan ekonomi yang menjadi indikator kesejahteraan dari pendapatan per kapita masyarakatnya.  Pada akhirnya ia cuma menjadi mitos kesejahteraan yang sengaja diciptakan agar luput memperhitungkan dampak dan ‘biaya pengorbanan’ di balik besaran angka dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Jika dilihat dari sudut pandang kontras, ‘biaya pengorbanan’ yang dimaksud bisa jadi dalam bentuk krisis lingkungan yang hadir bersamaan dengan pemiskinan dan marginalisasi komunitas di tempat-tempat yang memiliki kelimpahan sumber daya alam.

Sebagai negara tujuan ekspor batubara, China bisa dikatakan menjadi salah satu negara yang bertanggung jawab atas krisis sosial ekologis di Indonesia. Hanya saja solidaritas dari dalam negeri untuk menggugat kemapanan relasi politik ekonomi ini justru sangat kurang ketimbang persoalan lain yang berkaitan dengan politik identitas berkedok agama, misalnya penganiayaan umat muslim Ughyur di Xinjiang China lebih banyak menarik kehebohan netizen baru-baru ini ketimbang isu perubahan iklim. Padahal, bicara tentang kemanusiaan harusnya tidak pilih-pilih. Sungguh sangat disayangkan.

Investasi Listrik Menguntungkan Siapa?

Tak hanya kerja sama ekspor batubara, pemerintah Indonesia juga menjalin kerjasama bilateral dengan Tiongkok untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari bahan bakar batubara. Sejak pemerintah meluncurkan mega proyek ketenagalistrikan mulai dari Fast Track Program 1 sebesar 10.000 MW di 2006, Fast Track Program 2 sebesar 17.000 MW pada 2010 dan 35.000 MW di 2015, negara Tiongkok tidak pernah absen berinvestasi mendukung Indonesia untuk meningkatkan pembangunan PLTU dibanding energi terbarukan, karena lebih menguntungkan meskipun harus mengorbankan apek lingkungan. Toh risiko kerusakannya terjadi di Indonesia dan bukan di China, pikir mereka.

China berperan sebagai pemilik PLTU yang menjual listrik kepada PLN melalui skema Independent Power Produser (IPP), kemudian ia juga bisa berbentuk perusahaan konstruksi (Enginering Procurement Construction) yang mengerjakan pembangunan PLTU, maupun sebagai penyedia dana pinjaman (Lender) kepada pemerintah.[6]

Posisi China saat ini menjadi negara yang patut di perhitungkan karena memiliki modal besar yang bebas menebar jaring di mana saja ia mengendus bau-bau akumulasi kapital dapat bekerja. Sejak 2013, investasi langsung China (For and Direct Investment) di Indonesia semakin melonjak sejak dikeluarkannya kebijakan Belt Road Intiative[7] yang mempererat hubungan ekonomi dengan Indonesia. Nama China memang populer akhir-akhir ini. Negara ini telah dinobatkan sebagai mitra dagang terbesar bagi sebagian ekonom Asia dan berperan secara global untuk menjalin kerjasama investasi di berbagai sektor.  China bahkan 1,5 tahun terakhir menjadi  tandingan Amerika untuk perang dagang di dunia internasional.

Baca juga:  Antropologi Pendidikan, Developmentalisme dan Lonceng Kematian Ilmu Pendidikan

Lantas bagaimana krisis yang diakibatkan karena investasi PLTU ini di Indonesia? Hal yang paling pertama ingin saya bahas adalah masalah bencana industri yang hadir karena pembangunan PLTU. Saat ini, pemerintah Indonesia marak membangun PLTU Mulut Tambang yakni PLTU yang berada sangat dekat dengan lokasi pertambangan batubara. Ini dilakukan pemerintah untuk mengirit biaya transportasi pengangkutan bahan bakar batubara menuju ke pembangkit listriknya. Namun bisa kita bayangkan bagaimana daya rusak ganda yang terus diproduksi karena tambang dan PLTU berada di satu lokasi.

Pembangunan PLTU Mulut Tambang ini banyak dibangun di Provinsi Sumatera Selatan- yakni provinsi yang dijuluki sebagai lumbung energi karena potensi bahan bakar batubara melimpah. Krisis lingkungan, sosial dan ekonomi tentu saja menjadi keniscayaan demi terlaksananya bisnis listrik antara PLN dan pengembang yang sebagian besar berasal dari China.

Saya pernah berkunjung ke 3  lokasi PLTU Mulut Tambang di Sumsel yang kesemuanya adalah pembangkit listrik milik perusahaan China atau biasa kita sebut sebagai IPP yang akan menjual listrik kepada PLN. Cukup mencengangkan karena kita dapat menjumpai jam kerja buruh yang begitu panjang dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore. Beberapa buruh sempat curhat bagaimana mereka tidak diberikan keleluasaan dalam melaksanakan ibadah sholat 5 waktu karena pengaturan waktu yang begitu ketat. Kita juga akan menemukan pembayaran gaji di bawah standar yang tidak sesuai UMP Sumsel dan masih minimnya akses terhadap asuransi kesehatan bagi buruh PLTU yang notabenenya bekerja dengan risiko sangat tinggi. Seorang buruh asal Cirebon pernah dipulangkan ke kampung halamannya dan hanya diberi tunjangan 2 juta rupiah skeligus diberhentikan dari pekerjaannya setelah ia kehilangan ibu jari di tempat kerja. Akumulasi kapital berjalan sangat cepat dengan memangkas upah buruh dan segala embel-embel kewajiban perusahaan yang tidak dijalankan.

Sebagian besar buruh PLTU yang merupakan penduduk lokal dulunya bekerja sebagai petani karet di desa. Tapi pembebasan lahan untuk pembangunan PLTU memaksa mereka beralih pekerjaan dari petani menjadi buruh yang ternyata juga rentan PHK karena sistem kerja outsourcing.

Lagi-lagi saya menyadari betapa tidak berfaedahnya kuliah ekonomi makro yang pernah mati-matian saya pelajari. Image ‘industrialisasi’ yang saya dapatkan ketika masih di bangku kuliah konon dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena dapat menyerap tenaga kerja. Surga telinga bagi para pengangguran seperti saya tentunya. Tapi saya sendiri masih sangsi dengan beragam pertanyaan soal bagaimana bisa orang-orang yang tinggal di lokasi PLTU bisa menyandang status sebagai karyawan PLTU jika ijazah paling tinggi di desa setingkat SMA tidak punya nilai jual, sementara pengangguran sarjana masih bertebaran di mana-mana. Bahkan banyak dari mereka yang cuma bermodal kemampuan baca tulis meskipun tidak lulus SMP. Itu belum lagi jika saya menulis tentang minimnya akses perempuan menjangkau peluang kerja di industri ekstraktif yang sangat maskulin. Makanya banyak perempuan muda yang telah memiliki anak di usia belasan tahun. Mereka tiba-tiba dinikahkan setelah mengalami menstruasi dan dianggap cukup dewasa untuk mengemban tugas sebagai ibu rumah tangga. Hal itu dilakukan dari pada menjadi beban bagi keluarga miskin di wilayah yang katanya menjadi lumbung energi. Toh perempuan tugasnya hanya kasur, sumur dan dapur, sehingga jangankan mengakses pekerjaan bergengsi, tamat SD saja itu sudah syukur. Ahhh, saya benar-benar frustasi menjadi mahasiswa ekonomi yang belajar bualan setiap hari.

Gurita Oligarki Tambang

Saya tak menyalahkan sepenuhnya China sebagai salah satu negara penyebab kebangkrutan ekologis di Indonesia melalui bisnis batubaranya. Sebagian dosa ini juga ditanggung oleh Indonesia yang beberapa aktornya dikenal sebagai pemilik saham perusahaan batubara sepaket dengan aturan yang mempermudah ekspansi industri.

Jika penasaran terhadap aktor-aktornya, mungkin menghabiskan satu setengah jam menonton film dokumenter Sexy Killer sambil menyeruput kopi bisa menjelaskan bagaimana Politik Oligarki menguasai bisnis kotor batubara di Indonesia. Hebohnya para pengusaha kelas kakap yang juga duduk di kursi pemerintahan ini ternyata berasal dari dua kubu calon presiden pada pilpres 2019 kemarin. Sehingga siapapun yang berkuasa, bisnis batubara tetap berjaya.

Kenyataannya, pemilihan presiden tetap dimenangkan kembali oleh Joko widodo yang konon namanya naik karena mewakili suara“wong cilik”. Namun pada akhirnya, kedua kubu bersatu dalam tubuh pemerintahan tanpa menyisakan geng oposisi dengan menarik Prabowo menjadi menteri pertahanan.

Baca juga:  Hari Kasih Sayang dan Rayuan Konsumerisme

Dalam rentang beberapa waktu menjelang pelantikan presiden, seperangkat regulasi berencana disahkan salah satunya Rancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara yang dinilai masih eksploitatif dan menguntungkan Oligarki tambang. (Baca https://www.jatam.org/2019/10/02/bahaya-revisi-uu-pertambangan-minerba/).

Pemerintah berusaha mengesahkan RUU Minerba di saat penolakan terus datang dari masyarakat sipil. Aksi penolakan ini bahkan diwarnai kejahatan kemanusiaan ditandai dengan banyaknya korban berjatuhan di tangan represif aparat saat melakukan protes di beberapa wilayah. Kejadian ini mengingatkan saya dengan Louis Althusser yang memperkenalkan dua istilah Ideological State Apparatus (ISA) dan Repressive State Apparatus (RSA). ISA berfungsi secara masif didominasi oleh ideologi, tetapi juga difungsikan secara sekunder sebagai alat represi (penekanan) secara halus maupun tak sadar bahkan secara simbolik, yang dijalankan melalui buku, dogma, agama, politik, hukum dan pendidikan. Sedangkan RSA merupakan aparat negara terdiri dari Pemerintah, Administrasi Negara, Angkatan Darat, Kepolisian, Pengadilan, Penjara yang menjalankan fungsinya dengan cara-cara kekerasan.[8] Celakanya, semuanya dipelihara oleh negara untuk memuluskan jalannya investasi.

Para pembaca mestinya sudah mendengar desas desus aturan baru yang akan memangkas syarat perizinan investasi dengan tidak lagi menggunakan Amdal atau IMB? Dua prosedur yang merupakan benteng terakhir untuk memproteksi lingkungan dan sumber daya alam agar tidak dihabisi secara membabi buta, akan dihilangkan begitu saja. Saya tidak bisa lagi membayangkan kerusakan seperti apa yang menunggu kita di depan sana. Semua dilakukan agar tidak meghambat investasi seperti kata Pak Presiden dalam beberapa kali pidatonya.

Tak tanggung-tanggung, demi melayani kenyamanan berinvestasi di Indonesia, China mendapat perlakuan yang istimewa oleh pemerintah. Makanya tak heran jika Kepala Staf Presiden- Moeldoko dan Menkopolhukam- Mahfud Md melayangkan pernyataan tak ikut campur persoalan umat muslim Uighur. Tak ketinggalan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman- Luhut juga berkomentar agar tidak membesar-besarkan masalah dengan Tiongkok, padahal menyangkut pelanggaran batas wilayah Laut Latuna. Semua ini dilakukan agar tidak menyulut amarah China sebagai salah satu investor besar di Indonesia. Indonesia tak ingin bernasib sama dengan pesepak bola Ozil yang namanya dihapus dari Pro Evolution Soccer (PES) di Tiongkok karena mengkritik China perihal peristiwa kemanusiaan Uighur.

Sampai di sini, tiba-tiba saja kepala saya pening, di tahun 2020 di saat banyak orang merayakan tahun baru dengan beragam rencana ke depan. Saya bahkan tidak lagi memiliki resolusi membayangkan betapa suramnya kehidupan yang akan datang. Kalau kata Puthut EA “Hidup ini brengsek dan aku dipaksa menikmatinya”. Hal positif terakhir yang masih saya ingat setelah membuka media sosial hari ini adalah statement aktivis Jatam- Merah Johansyah dalam forum debat yang menanggapi pencabutan syarat Amdal dan IMB “Ingat Pak Jokowi, tidak ada investasi dan ekonomi yang akan tumbuh di atas planet yang rusak!”.

Rujukan

Althusser, Louis. 1971. “Lenin and Philosophy and Other Essays (terj. B. Brewster)”.London: New Left Books; New York: Monthly Review Press.

Goldbatt, David. 2015. “Analisa Ekologi Kritis”. Yogyakarta: Resist Book.

Shalati, Sartika Nur, dkk. 2019.“Kajian Investasi Tiongkok di Sektor Pembangkit Listrik Batubara Indonesia”. Jakarta; Perkumpulan AEER.

https://www.liputan6.com/global/read/3232301/pemanasan-global-suhu-bumi-meningkat-dalam-3-tahun-terakhir

https://jateng.sindonews.com/read/3946/1/indonesia-jadi-penghasil-emisi-gas-rumah-kaca-terbesar-di-dunia-1555279474

https://www.forestdigest.com/detail/241/ekosida-kejahatan-lingkungan-yang-belum-diakui

https://repository.usd.ac.id/25973/2/142114172_full.pdf

https://www.jatam.org/2019/10/02/bahaya-revisi-uu-pertambangan-minerba/

[1] NOOA singkatan dari National Oceanic and Atmospheric Administration yang memperingatkan cuaca berbahaya, memetakan laut dan langit, memandu penggunaan dan perlindungan sumber daya lautan dan pantai serta meneliti untuk meningkatan pemahaman dan pengelolaan lingkungan.

[2] https://jateng.sindonews.com/read/3946/1/indonesia-jadi-penghasil-emisi-gas-rumah-kaca-terbesar-di-dunia-1555279474

[3] https://www.forestdigest.com/detail/241/ekosida-kejahatan-lingkungan-yang-belum-diakui

[4] Shalati, Sartika Nur, dkk. 2019.“Kajian Investasi Tiongkok di Sektor Pembangkit Listrik Batubara Indonesia”. Jakarta; Perkumpulan AEER.

[5] https://repository.usd.ac.id/25973/2/142114172_full.pdf

[6] Shalati, Sartika Nur, dkk. 2019.“Kajian Investasi Tiongkok di Sektor Pembangkit Listrik Batubara Indonesia”. Jakarta; Perkumpulan AEER.

[7] Belt Road Intiative merupakan strategi investasi China yang berfokus pada 7 sektor yaitu Energi, Infrastruktur, Transportasi, Penerbangan, Logistik, Pertanian, dan Komunikasi ke beberapa negara prioritas seperti Asia Tenggara, Asia Tengah, Rusia serta Eropa Tengah dan Eropa Timur. Kerja sama ekonomi ini dilakukan melalui dua jalur yaitu jalur darat (China bagian barat sampai ke Timur Tengah) dan jalur maritime (China, Afrika dan Eropa), diumumkan pertama kalinya pada tahun 2013 oleh Presiden Cina Xi Jinping.

[8] Althusser, Louis. 1971. “Lenin and Philosophy and Other Essays (terj. B. Brewster)”. London: New Left Books; New York: Monthly Review Press.

 

0%