Almaty

Oleh: Muhammad Ridha

Suasana Kota Almaty, Dokumen Pribadi Muhammad Ridha

Saya tiba di kota ini saat waktu terasa berhenti: badai salju datang, rumah rumah tutup, toko-toko tutup. Bandara ditutupi salju putih. Kami turun dengan ditemani oleh guncangan dari badai salju yang cukup besar hingga keesokan, saat kami menyaksikannya di pagi hari: seluruh kota telah ditimbun salju.

Muka-muka kami yang pucat setelah penerbangan nikmat hampir sepanjang penerbangan tapi ditutup oleh guncangan pendaratan yang parah kembali memerah saat memasuki ruang bandara. Anak kami, Rifqah mual dan muntah ketika proses pendaratan. Kami semua tetap berpuasa dalam perjalanan di hari keempat puasa ini. Kami berbuka puasa di kantin bandara. Empat gelas teh, beberapa potong daging dan kentang, roti dan dua piring nasi.

Saat mendarat, kami langsung mengambil jaket tebal yang sudah kami siapkan meski tak kami perhitungkan kondisi yang menyambut kami: angin kencang, salju di mana-mana, suhu dingin -4 derajat Celcius. Tak lupa memakai kupluk dan juga masker. Setelah menenangkan hati, menetralkan asam lambung, menghangatkan diri dengan teh hangat kami memesan taxi. Tawar menawar. Lalu deal dan berangkat menuju hotel. Tak begitu lama perjalanan meski jarak lebih dari 13KM.

Kami masuk ke ruang lobby dan ketemu resepsionis. Mereka berdua perempuan Rusia berusia separuh baya tanpa kemampuan bahasa Inggris sama sekali. Mereka berdua juga sedang menghadapi customer yang bahasa Inggrisnya tidak cukup baik. Jadilah: kami berbincang dengan Google translate Rusia-Inggris dan Inggris-Rusia. Hehehe. Jadi mirip persekutuan perang dunia pertama saja yah Rusia dan Inggris.

Kami menginap dengan sedikit biaya tambahan untuk seorang anak kami. Menurutnya, sebuah kamar yang kami sewa itu hanya maksimum bisa diisi 4 orang. Karenanya kami kena sedikit tambahan biaya. Tapi tak apa. Kami iyakan semua persyaratan yang diajukan dua bule Rusia yang kadang terlihat seperti berkongsi jahat ingin mengambil tambahan uang dari kami. Hehehe. Kami sudah ingin sekali tiba di kamar dan berbaring. Ngemil dan mengistirahatkan diri setelah penerbangan panjang lebih dari 7 jam dan tambahan waktu tiga jam dari selisih waktu Malaysia dan Khazakstan. Itu membuat puasa kami lebih panjang tiga jam dari waktu seharusnya jika kami berpuasa dan tetap tinggal di Kuala Lumpur saja.

Kawan, ini perjalanan musim dingin pertama kali kami berlima ke luar negeri yang kebetulan sedang bersalju. Beberapa tahun lalu pernah pergi keluar negeri tapi di penghujung musim semi. Tapi kami cuma berdua. Tak ada anak kami yang ikut. Tak begitu dingin. Suhunya kira-kira sekitar 11 derajat Celcius. Karenanya perjalanan kami ini seperti lebih spesial. Kami pernah melihat salju secara langsung. Tapi hanya di wahana permainan di mal di tanah air. Sekarang baru bisa melihat dan merasakan langsung berada di sebuah kota dengan salju dan dingin yang seperti mengiris-iris. Tangan dan kaki kami seperti sedang terluka dan perih.

Baca juga:  Mengkaji dan Mengkaji Tasawuf secara Lintas Disiplin

Itulah kenapa, saat pagi kami bermain salju di depan hotel hanya sekira setengah jam lalu masuk ruangan hotel lagi. Lalu, jika suhu badan normal lagi, baru keluar lagi. Main bentar. Mengambil foto. Merekam video. Bergembira menemukan keajaiban anak lorong kampung ini bisa berlibur jauh ke negeri yang oleh petugas emigrasi harus bertanya ulang ini negara letaknya dimana. Sembari terus bersyukur dan berdoa semoga suatu saat bisa menimba ilmu di negeri jauh, anak-anak kami juga demikian.

Eh tunggu. Sebelum status ini menjadi tempat rapal doa-doa kami saja yang sebenarnya gak ada urusannya sama teman-teman semua, kami ingin menceritakan apa yang kami lihat. Semacam laporan pandangan mata dari seorang turis kelas ekonomi yang menjadi sangat senang hanya karena dapat permen gratis, tottebag dan sebuah kipas plastik. Turis yang melihat ketika penerbangan perdana ini diresmikan oleh pemerintah Khazakstan dan AirAsia begitu sumringah seperti melihat orkes Melayu sedang memanggil-manggil datang orang-orang.

***

Hari pertama tiba kami hanya tidur di kamar hotel nan sempit ini. Hotelnya terlalu banyak meja, bufet dan lemari yang rasanya gak perlu. Juga ruang untuk mesin pengatur suhu. Jika di Indonesia lebih banyak untuk mendinginkan udara, di sini untuk menghangatkan ruangan. Tanpa mesin ini, musim dingin akan sangat mencekam. Rumah-rumah di kawasan Asia tengah dilengkapi dengan penghangat yang membutuhkan aliran gas.

Kamar dengan doble bed ini menjadi tempat kami membagi ruang tidur. Ada yang di atas kasur, ada yang di lantai di bawah kasir, ada yang tepat di depan mesin penghangat. Lalu subuh hari pada pukul 4 kami bangun untuk makan sahur. Menunya istimewa: mie instan, teri kacang goreng medan, juku bolu kambu, dan sedikit roti sisa restoran bandara yang kami bungkus untuk dibawa ke hotel.

Baru keesokan hari, di hari kedua kami di Almaty, bekas ibukota Khazakstan sebelum tahun 1996 pindah ke Astana baru bisa keluar hotel. Ini kota perlintasan Asia tengah yang letaknya lebih ke Timur. Semakin dekat ke arah Cina. Silk road yang menghubungkan Cina dan Eropa di Konstantinopel adalah jalur yang juga melintasi Khazakstan. Padang savana Asia tengah menghampar luas. Bukit-bukit dengan salju dan musim dinginnya yang mencekam. Dengan wilayah yang amat luas dan ekstrim ini bisa dibayangkan bagaimana para kafilah dengan kuda dan onta bersama rombongannya harus melewati ini berhari-hari. Dengan ancaman suku-suku nomaden di Asia tengah. Khazaks mungkin menjadi wilayah antara perlintasan kebudayaan kebudayaan global masa lalu, meski bangunan dan tinggalannya tak sekolosal di Uzbekistan yang kebetulan pernah menjadi pusat kekuasaan dan ibu kota transoxiana/asia tengah yang diisi suku-suku Turki nomaden, Mongol, Persia, Slavia atau yang lain.

Baca juga:  Tashkent yang Cantik, yang Hangat

Setelah lewat jam 11 di hari kedua, yang kebetulan adalah hari Jumat, kami mencoba mencari masjid. Ketemu. Menurut Google Maps kami, jarak dari penginapan kami ke sentral mosque hanya 900m. Kurang dikit dari 1 kilometer. Kami segera menuju masjid dengan terlebih dahulu memesan melalui aplikasi Yandex. Aplikasi taxi online di kawasan Rusia dan Asia Tengah. Lalu melaju di atas jalan bersalju. Dan tiba di masjid yang sungguh cantik: kubah emas, menara bulat yang pas, marmer putih di tiap dinding juga keramik biru di gerbang masuk ditambah ornamen kayu super besar yang menjadi daun pintunya. Sungguh masjid yang cantik. Kami shalat di tangga. Sedikit ruang memuat empat orang. Masjid ini amat sesak jemaah. Hingga tikar harus digelar di seluruh halaman masjid. Orang-orang terlihat khusyuk’ berdoa. Dingin tetap menusuk. Tapi rapal doa dan tengadah tangan digelar. Sungguh berkebalikan dengan cerita-cerita mengenai negeri-negeri sosialis yang makin kering. Di sini jelas sekali terlihat, orang-orang hidup dengan sumberdaya yang didistribusi dengan baik tumbuh dengan spiritualitas yang baik juga.

Hari ketiga kami ke Syimbulac. Sebuah gunung salju dengan puncak 3.200 MDPL dan berhasil kami daki sampai puncak dengan bantuan gondola, kereta gantung. Melalui tiga stasiun hingga ke puncak. Menyaksikan orang-orang bergembira dengan perlengkapan ski yang digunakannya di kawasan ski terluas di Asia Tengah. Di sinilah saya menyadari: betapa banyak jaket-jaket parasut yang dipakai dan segera harus diganti di kawasan empat musim yang cukup sejahtera. Dan itulah alasan mengapa di pasar pakaian bekas kita, jaket-jaket seperti itulah yang terbanyak.

Duh bangsa besar atas angin kita…

***

Apalagi yang bisa membawa kami ke tempat jauh dari negeri kami, dari kelurahan Paccinongan, rumah tempat kami tinggal di kawasan peri urban di negeri kapitalisme pinggiran ini jika bukan revolusi pariwisata yang telah mengubah alam semesta ini menjadi pemandangan, menjadi ruang yang mudah dijangkau, menjadi tempat-tempat yang mungkin dijangkau dan disentuh langsung dengan moda transportasi yang makin hebat mengekstraksi ruang-waktu membawa orang kemana-mana tanpa butuh biaya yang mahal seperti beberapa tahun lampau.

Baca juga:  Bagaimana Kuasa Penyingkiran Bekerja di Asia Tenggara

Turisme saat ini telah menjadi tata cara hidup. Cara kita menilai sesuatu. Destinatif atau tidak. Punya view atau tidak. Terikat dengan narasi-narasi spesial tertentu atau tidak. Memberi pengalaman khusus atau tidak. Masyarakatnya punya budaya hospitality yang baik atau gak peduli dan bahkan gak sula sama pendatang. Dan seterusnya.

Turisme telah membuka ruang-ruang Dimana mana di seluruh tempat. Orang-orang harus ada dan pergi ke seluruh tempat dan merekam jejaknya. Sering sekali, saat ini, secara digital melalui media sosial. Orang akan senang dan merasa terhubung dengan dunia maju dengan berwisata kemana saja ke seluruh tempat di alam semesta ini. Dengan seluruh kisahnya. Dengan seluruh keluhnya.

Kata sebuah maskapai di majalah yang disiapkan di kursi penumpang yang mengantar kami terbang ke Almaty kota apel di Asia Tengah, “now everyone can fly”. Benarkah? Tentu saja tidak. Ini hanya tag line sebuah perusahaan penerbangan. Tapi tidak benar-benar bualan saja tentu: banyak sekali maskapai sekarang menjual layanan ke route-route bermacam-macam ke seluruh dunia mana saja dengan low budget. Mereka sering menyebutnya sebagai Low Cost Carrier (LCC). Penerbangan dengan biaya rendah yang disiapkan oleh hampir seluruh maskapai besar saat ini. Bahkan hampir seluruh maskapai besar membentuk anak-anak usaha dengan maskapai yang berbiaya rendah. Di Asia Tenggara mungkin bisa dilihat pada kasus Garuda yang membentuk CitiLink, atau malah Lion Air yang justru mengkhususkan ke penerbangan berbiaya rendah, atau Singapura Airlines yang sekarang punya adik kesayangan bernama Scoot Air, atau Cebu di Pilipina, Air Asia di Malaysia dan lain-lain.

Harga yang ditawarkan bisa setara dengan biaya ulang-alik Jakarta-Bogor atau Jakarta Bandung dengan kereta. Atau Jogjakarta-Semarang dengan angkot. Atau-atau yang lain yang akan membuat sebagian kita akan segera percaya meski sering dengan bimbang janji maskapai yang seperti membawa sebuah nubuat: membawa semua orang bisa terbang. Hehehe.

Kawan ini penghujung musim dingin di Almaty. Sebentar lagi perayaan Nauruz. Orang-orang akan berpesta karena musim yang terlalu beku, terlalu dingin seperti kamu kepada saya itu tak begitu menggembirakan. Dan musim semi, musim baru ini, seperti harapan. Yang menumbuhkan. Membuat bersemi.***

Penulis adalah peminat studi sejarah dan sains Islam, ketua Prodi Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar

0%