.Oleh: Muhammad Ridha
Kita inginkan generasi yang besar
Untuk mengarungi angkasa
Untuk meledakkan sejarah
Untuk menghancurkan pikiran-pikiran kita.
Kita inginkan sebuah generasi baru
Yang tidak memaafkan kesalahan
Yang tidak membebek.
Kita inginkan sebuah generasi besar, besar.
Putra-putri Arab,
Benih-benih masa depan,
Kami akan menghancurkan belenggu-belenggu kami
Hancurkan candu di kepala-kepala kami
Hancurkan khayalan-khayalan kami.
Putra-putri Arab,
Jangan pelajari generasi kami yang mati lemas tercekik,
Kami adalah orang sekarat yang putus asa.
….
Hujan musim semi,
Benih-benih masa depan,
Kamulah generasi
Yang akan menanggulangi kekalahan.
Syairnya seperti mengutuk keadaan carut-marut kekalahan dunia Arab melawan Zionisme Israel dan juga melawan rezim-rezim Arab sendiri yang terpecah-pecah dan tak bisa bersatu menyikapi persoalan pendudukan Israel. Atau terbelakang melawan dunia baru yang di tempat itu, mereka merasa kalah, tersisih dan tak bisa memahami realitas yang dihadapinya lalu tiba-tiba telah mendapati dirinya kalah perang melawan sebuah kekuatan koloni kecil yang ditopang oleh imperialisme bernama Israel di jantung dunia Islam yang begitu dihormati: Palestina.
Dunia Arab belum pulih betul sejak terpecah-pecah atas kehendak imperialisme Eropa pasca perang dunia pertama yang menyebabkan kekhalifahan Islam terbesar terakhir dunia Islam – yang melindungi dunia Arab – Turki Utsmani lalu dihadapkan dengan demam nasionalisme, gagasan negara bangsa yang sedang berhembus kuat di Arab sekira seabad sebelumnya hingga runtuhnya Utsmaniah. Pasca pemberontakan Arab yang disponsori oleh Inggris atas Utsmaniah banyak berhembus nasionalisme Arab yang makin sempit seturut kepentingan imperialisme.(lihat Eugene Rogan The Fall of The Khilafah Perang Besar yang Meruntuhkan Khilafah Utsmaniah dan Mengubah Selamanya Wajah Timur Tengah(Jakarta: Serambi; 2017) hal 230.
Dunia Arab seolah menghadapi suatu pertanyaan identitas mendasar mengenai siapa mereka? Dimana letak mereka dalam sejarah? Hingga pertanyaan-pertanyaan mengenai nasionalisme sempit seperti bagaimana orang Suriah berbeda dengan orang Turki atau Arab. Atau orang di lembah Yordan adalah bangsa lain yang mandiri. Atau bangsa Mesir yang bukan bagian dari Arab dan merupakan rangkaian sejarah dan memori komunitas yang jauh lebih panjang. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Hingga kemudian, identitas identitas sempit itu berubah menjadi republik atau monarki monarki Arab. Saudi Arabia, Yordania, Mesir, Irak, Suriah, Lebanon dengan sebuah perkecualian: Palestina. Ini adalah perkecualian di hadapan sejarah mengenai hak bangsa-bangsa dan di tengah arus sejarah pembentukan kesadaran menentukan nasib sendiri atau di tengah kesadaran mengenai martabat sebuah bangsa bernama kemerdekaan. Negeri ini tak pernah bisa berdiri sendiri sejak pertama kali dicaplok oleh penjajah Israel atas support imperium Inggris- dan Amerika Serikat tentu saja. Negeri ini tak pernah bisa menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa meski disampaikan maksudnya di hadapan Amerika Serikat, negara yang pasca perang dunia pertama mempromosikan hak untuk menentukan nasib sendiri. Tentu saja memang kampanye itu tak pernah benar dan sekedar kampanye untuk menutupi realitas penjajahan yang disponsorinya dimana saja di seluruh benua, genosida yang didorongnya dimana saja dimana kepentingannya seturut: juga di Palestina. Yang kini, salah satu kotanya yang disebutkan Ilan Pappe sebagai penjara terbesar dalam sejarah, Gaza telah hancur menjadi puing. (Lihat Noam Chomsky dan Ilan Pappe On Palestine (Bandung: bentang Pustaka: 2023) hal. 170.
Semua argumen modern mengenai bangsa, mengenai hak atas kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri, hak-hak imigran untuk pulang ke kampung halamannya, hak-hak asasi manusia yang seluruh bangsa-bangsa telah menghormatinya tak berlaku di Palestina. Meski seluruh dunia telah bersikap dan mendukung hak-hak dan kemerdekaan bangsa Palestina, tapi imperialisme dan seluruh kaki tangannya tak menginginkan itu dan meludahi seluruh wajahnya sendiri berkali-kali di hadapan kampanye mereka mengenai hak asasi, hak atas korban, hak untuk bebas dari agresi, hak sipil, hak lain-lain lagi yang bisa dideret lebih panjang lagi meski itu tak berlaku di hadapan kebengisan rezim Zionis-Aparteid kolonialis Israel. Tidak main-main, untuk perang-perang yang dilakukan berkali-kali dunia Arab menghadapi Israel yang disponsori Amerika dan mayoritas negara Eropa kala itu, dunia Arab tak pernah menang.
Tak pernah bisa bersatu. Atau tak pernah bisa memahami secara lebih unggul taktik dan teknologi perang modern melebihi kekuatan teknologi, persenjataan dan uang imperialisme. Banyak negara Arab malah adalah bagian tak terpisahkan dari proyek melestarikan Israel di atas tanah Palestina. Hanya sekali momentum dimana dunia Arab bisa sedikit bersatu dan menggunakan sumberdaya minyaknya sebagai alat penekan yang membuahkan hasil kembalinya Sinai ke Mesir dan sebagian Golan ke Suriah. Tapi ini juga disertai dengan bantuan teknis dan militer langsung dari Soviet ketika Mesir memulai serangan dalam perang yom kippur atas Israel. Tak ada kemajuan lebih dari itu. Tak ada Palestina yang menang di sana. Dia tetap bangsa paria, yang terkatung-katung tanpa negara dimana mana pasca peristiwa nakbah. Tak dihormati haknya untuk kembali ke tanah airnya oleh penjajah Zionis. Tak diperjuangkan oleh saudara-saudaranya sesama bangsa Arab atau sesama yang lain yang membuat menolong Palestina menjadi suatu keharusan.
Bangsa ini tetap paria. Orang-orangnya di luar negeri menjadi stateless. Ditampung di tenda-tenda pengungsian atau dikirim kemana saja di mana itu hanya akan melemparkan mereka ke penderitaan berikutnya. Dan tak mungkin kembali ke tanah air yang dicintainya.
Sejarah itu terus memburuk untuk bangsa Palestina. Agresi selama setahun ini telah membunuh lebih dari 41 ribu orang yang sebagian besarnya adalah penduduk sipil yang merupakan perempuan dan anak-anak. Serangan bom yang ditumpahkan di Gaza, telah melebihi amunisi yang dikerahkan saat perang dunia kedua yang melibatkan begitu banyak kekuatan. Sementara Israel, dan sponsor utama dan pengirim pasokan senjata dan amunisi terbesarnya, Amerika Serikat, hanya untuk menyerang sebuah kota. Seluruh kerusakan karena perang yang pernah dialami sebuah kota tak pernah merasakan kerusakan sedemikian rupa yang dihasilkan oleh 70.000ton amunisi: hanya Di Gaza, Palestina!
Terbayang-bayang lagi syair Qabbani di atas: “kami adalah orang sekarat yang putus asa”. Sebuah refleksi beberapa dekade lalu yang hadir kembali- atau memang tak pernah bisa dilupakan karena realitasnya masih terus sama dan tak pernah pergi. Realitas dunia Islam yang -meski dengan keyakinannya yang kuat- tak pernah bisa berbuat apa-apa di hadapan imperialisme. Yang terbaru, Jumat 27 September 2024, pemimpin muslim dari Lebanon, Syeh Hasan Nasrallah, yang gigih berjuang membela Palestina dan melawan Israel, wafat dalam sebuah serangan udara mematikan militer Israel. Nasrallah dibunuh dengan bom peledak bunker kiriman Amerika seberat hampir 1 ton. Ini dilakukan Israel setelah sebelumnya membunuh beberapa komandan Hisbullah, membunuh pemimpin Hamas, Ismail Haniyyah. Pembunuhan Syeh Hasan Nasrallah dilakukan setelah upayanya terus menerus melancarkan perang terhadap Israel dan berkomitmen melawan hingga saudaranya berhenti diserang di Gaza.
***
Ketika satu demi satu pemimpin muslim yang berjuang melawan kekejian Israel gugur, ketika berton-ton amunisi bebas ditembakkan dan membunuh lebih banyak muslim lagi di Palestina, di Suriah, di Lebanon atau di Sudan: dunia Islam seperti diremukkan berkali-kali. Dunia Islam seperti sedang menatap saja tanpa pernah bisa ambil bagian melakukan penghentian kekejian ini. Banyak di antara kita bersolidaritas, tapi lebih banyak di antara kita yang diam tak berdaya.
Saat video-video, gambar-gambar mengerikan, pesan-pesan meremukkan dari para pejuang di Gaza, kepedihan korban serangan Israel di Suriah, Lebanon dan seluruh tempat lain dengan seluruh teknologi terbaik dan presisi, kita hanya bisa menatapnya. Di era media sosial dimana banalitas begitu mudah tersebar ke mana saja: kita menjadi saksi kekalahan, kerapuhan atau bahkan kehancuran umat manusia, saudara muslim, kaum tertindas dan kita yang tak bisa apa-apa.
Ada sedikit asa saat kekejaman genosida Palestina dan gelombang pembunuhan dan agresi ke Lebanon untuk menyerang Hisbullah, organisasi yang terus membela Palestina dari Lebanon, ketika republik Islam Iran menyerang Israel dengan rudal-rudal hipersonik yang mampu menembus pertahanan udara Israel. Dan memberi peringatan kepada rezim Zionis itu. Tapi itu sekejap saja. Lalu dunia kembali lagi: Israel dan seluruh kekuatan imperialis di belakangnya terus menyerang Lebanon dan juga Gaza. Pembunuhan demi pembunuhan terus berlanjut. Peledak demi peledak ditumpahkan di rumah-rumah masyarakat sipil tanpa ada kekuatan yang menghentikannya. Dunia terus menyaksikan tapi tak pernah bisa melakukan apapun untuk menghentikan kekejian ini.
Serangan demi serangan kepada negara-negara Islam, organisasi dan pejuang-pejuang dari dunia Islam dilakukan. Kota Gaza berubah menjadi puing dan debu, Beirut, Yaman atau Damaskus di Suriah bernasib hampir demikian. Bom-bom dengan bobot tak pernah ada padanannya dalam sejarah telah ditumpahkan, rudal-rudal dan roket, amunisi berat, teknologi terkini militer dan pendukung militer digunakan dalam perang perang ini oleh Israel. Saat setahun genosida Gaza yang juga terus berlanjut, 41ribu lebih rakyat Palestina wafat dan ratusan ribu lainnya cedera, di Lebanon sejak invasi darat telah lebih dari seribu orang tewas.
Sulit mencari kosakata yang tepat atas kehilangan demi kehilangan, kekalahan demi kekalahan, kehancuran perlahan negara-negara yang berjuang melawan Israel. Sulit memberi definisi banalitas yang datang ke ada kita. Korban kekejian perang tersebar Dimana mana di platform media sosial kita. Sebuah kota telah berubah menjadi debu, sementara kota lain menyusulnya. Sulit untuk diungkapkan bagaimana kita bertindak, atau ikut berjuang, atau membela mereka yang kehilangan ibu, atau bapak, atau sodara dan sanak keluarganya, juga harta bendanya, juga kotanya.
Sulit mendeskripsikan dunia Islam kita yang kalah ini dalam satu dua istilah. Tapi kita sedang merasakan kesakitan kesakitan karenanya di depan ketakberdayaan kita melihat penindasan-penghancuran ini. Dari Gaza, Beirut, Damaskus, Tepi Barat seperti kota yang menuju kesuramannya. Dan tak ada yang bisa menolong.
Jika di awal perang Gaza saya masih menulis harapan dan himbauan solidaritas, seperti yang saya tuliskan di sebuah media perjuangan Islam progresif, kini saya seperti sedang melagukan sebuah kidung. Nyanyian kepedihan.
Seperti kidung yang dinyanyikan Muhammad Al-Jannami, penyanyi Arab kontemporer, di media sosial setelah Syeh Hasan Nasrallah dinyatakan gugur:
Yaa ruuhii
Rahatta birawhatika maa’asyatta ruuhii
Yaa ruuhii
Shofta ba’daka hayaatii juruuhun bi juruuh
Duhai belahan jiwaku
Engkau pergi dan karena kepergianmu jiwaku pergi
Duhai belahan jiwaku
Setelah kepergianmu, hidupku tersisa luka demi luka…]
Wallahualam bi sawab.
Muhammad Ridha, Meminati Studi Sejarah Sains Islam. Dosen Fakultas Ushuluddin Filsafat Dan Politik UIN Alauddin Makassar
Referensi
Noam Chomsky dan Ilan Pappe On Palestine (Bandung: bentang Pustaka: 2023) hal. 170
Eugene Rogan The Fall of The Khilafah Perang Besar yang Meruntuhkan Khilafah Utsmaniah dan Mengubah Selamanya Wajah Timur Tengah(Jakarta: Serambi; 2017) hal 230
Tariq Ali Benturan Antar Fundamentalisme (Jakarta: Paramadina; 2005) hal. 138