Joserizal Jurnalis

Sebuah Eulogia

Oleh Muhammad Ridha

Nama itu adalah monumen: bahwa tidak semua orang, meski di bawah rezim durjana ini bisa takluk. Tidak semua orang bisa takut dan diam hanya menyaksikan korban jatuh satu satu atau bersamaan dalam skala yg besar di sejumlah medan perang. Juga di sejumlah ladang pembantaian, seperti di Palestina. Monumen peringatan untuk menjadi manusia seutuhnya: yang hidup untuk menghidupi yang lain, bukan mengisapnya atau diam melihat proses pengisapan itu!

Namanya menjadi abadi: di monumen yang telah ikut dibangunnya di Gaza dan di Rhakine bernama Rumah Sakit Indonesia. Juga di nama anak saya yang mengambil namanya: Joserizal. Juga, dan ini saya kira yang paling berarti: di hati para korban perang, di hati mereka yang tersingkir, yang kalah.

Namanya Joserizal. Bekerja sebagai dokter untuk manusia. Bukan dokter untuk uang. Bukan dokter untuk harta dan urusan-urusan bendawi saja. Di Afganistan ketika dirundung duka karena perang, di Irak ketika ketamakan Amerika meluluhlantakkan negeri indah itu, di Myanmar, danbtak lupa, sebelum itu dia bergelut di Ambon, di Poso, di tempat-tempat bara dan perang berkecamuk: bukan ikut berperang, tapi memberi tangan untuk pertolongan kepada korban dan juga memberi ingat kepada semua bahwa perang hanya akan menjatuhkan korban. Tak ada yang menang. Hanya ada yang kalah: umat manusia seluruhnya.

Baca juga:  Perjalanan Berikutnya’: Euliya Celebi DI Antara Petualang Muslim

Di akhir hayatnya yang sungguh tak panjang, dia memberi tahu tentang keberanian dan bagaimana dunia harus kita bangun. Di banyak catatannya di laman facebook, yang memang saya ikuti, analisanya amat menarik. Dia membenci kapitalisme dan percaya kapitalismelah sumber perang-perang besar itu. Dia membenci Israel dan terus membela Palestina hingga akhir hayat. Dia membantu korban serangan biadab Israel di Palestina. Dia membunuh ketakutannya untuk harus turun tangan membantu semua mereka yang korban. Tapi yang terpenting: dia membunuh rasa takut kita semua yabg terlampau lama diam dan hanya mengintip di jendela dan ikut meratapi jumlah korban tanpa mampu berbuat apa-apa.

Saya mengenalnya. Selain terlampau berani dan cerdas mengupayakan organisasi untuk menolong korban, Mer-C, dia juga teramat lekat dalam ingatan sebagai seorang dokter. Dan itu membuat kami, yang melihatnya di televisi, di antara para korban, menaruh suatu sikap hormat yang aneh. Di dunia yang banyak orang ini, hanya sedikit orang seberani, setulus dan seistiqamah dia di jalan perjuangan. Karenanya, ketika datang kabar melalui sejumlah media yang mengabarkan dia berpulang, kami benar-benar nelangsa. Bukan hanya karena kematian dan ditinggalkan itu memang pedih. Lebih dari itu: kematian seorang yang sungguh memberi dunia gulita kita ini pelita. Pelita kemanusiaan.

Baca juga:  Saat Orang Maroko Mengukur Ujung Bumi

Saya mengenalnya dari televisi dan dari perjumpaan dengannya sekitar 10 tahun lalu di kongres salah satu organisasi kemahasiswaan Islam. Dia mengisi diskusi pelataran. Berbicara lantang dan berani. Juga, tentu saja, amat cerdas. Saya amat teringat satu hal tentang bagaimana memperjuangkan Palestina, negeri yang simpatinya amat dalam dia taruh dan ikut dalam perjuangan-perjuangan membelanya. Ketika itu dia bicara mengenai suatu ‘teori’ mengenai siasat membebaskan Palestina. Dia bilang: satu-satunya cara memperjuangkan Palestina adalah dengan perang. Karenanya saya mendukung Hamas, saya mendukung semua organisasi yang memilih perang dengan Israel, bangsa penjajah itu. Knapa? Karena dengan peranglah, kemungkinan itu dipertaruhkan. Dengan lobby, dengan negosiasi, dengan kampanye itu tak pernah memberi kemungkinan merdeka. Begitu kira-kira kampanyenya kepada kami waktu itu. Dia lanjutkan bahwa suatu dunia baru dilahirkan oleh mereka yang berani bertaruh dan perang: lihat Che Guevara dan Castro, liat baginda Muhammad, dan yang lain.

Baca juga:  Islam Andalusia, Ornament of the World

Dengan amat meyakinkan, saya tersihir oleh ucapannya yang begitu retorik dan bernas: sampai bertahun setelahnya, saya masih mempercayai teori itu memang jalan satusatunya di Palestina. Meski tak berimbang, perang memberi dua kemungkinan: kalah atau menang. Sementara jalan lainnya hanya memberi satu hasil yang pasti: kalah!

Kawan, begitu trenyuh rasanya kehilangan sosok pejuang muslim yang begitu baik dan membagi sejumlah besar kebaikan kepada banyak orang.

Bung Joserizal, kami hormat padamu, dan pada jalan kemanusiaan yang kau tempuh. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. []

0%