Oleh Muhammad Ridha
Catatan ini berasal dari penelitian lapangan yang saya lakukan di desa Modangan pada medio 2011-2012. Tema penelitiannya berkaitan dengan penguasaan sumber agraria dan kemiskinan di desa. Tulisan ini adalah bagian dari catatan lapang saya sepulang dari riset lapang. Meski seperti sebuah catatan perjalanan sederhana saja, rasa-rasanya, etnografinya tentang pengertian orang miskin di desa tersebut punya relevansi dengan banyak kondisi kemiskinan desa-desa kita yang banyak disederhanakan atau bahkan diseragamkan dengan imajinasi perencana di Jakarta. Padahal, seperti ditulis di sini, kemiskinan sungguh memiliki ciri-ciri lokalnya masing-masing, dan memukul rata kemiskinan dengan program-program top down, terpusat dan tidak partisipatif akan selalu salah memahami siapa orang miskin dan bagaimana cara mengentaskannya dari kemiskinan.*Memasuki desa Modangan dari arah barat, sepintas terlihat dari kendaraan yang ditumpangi rumah-rumah cukup besar dalam kondisi baik dan untuk ukuran saya cukup mewah. Kondisi fisik alamnya yang cukup subur dengan kiri kanan jalannya terdapat perkebunan masyarakat maupun yang dikelola perusahaan perkebunan swasta terlihat sulit mencari alasan ada yang miskin di sini bila tanah-tanah terdistribusi dan tergarap dengan pembagian yang adil. Hawanya sejuk karena berada di ketinggian, di kaki gunung Kelud. Tetapi ketika mulai memasuki dusun Bulu dan terus ke atas ke daerah Karangnongko akan terlihat rumah-rumah kecil-sementara di tepi jalan pengerasan. Perempuan dan anak-anaknya yang masih kecil berlarian sambil sesekali memperlihatkan diri dari pintu atau jendelanya yang rendah yang selalu kelihatan terbuka. Di sini terlihat: di lahan yang sekarang ini terjadi sengketa antara perkebunan dengan warga desa Modangan ada banyak orang miskin!
Sebenarnya ini hanyalah penilaian sekilas dari luar melihat kondisi fisik perumahannya dan kondisi lingkungan yang berdebu dan relatif kotor. Setelah mewawancarai beberapa orang masyarakat di desa Modangan ini baru tergambar jelas orang miskin di desa ini yang sebenarnya banyak dan tentu akan menjadi masalah terus menerus jika tidak ada penyelesaian secara struktural sampai ke pusat masalah, yakni mode produksi kapitalis yang mengubah struktur relasi sosial yang beragam menjadi relasi sosial yang kapitalistik. Sebagaimana halnya setiap daerah selalu memiliki nama dan kategori-kategori mengenai tipe kemiskinan dan karakteristik didaerahnya masing-masing. Dan karena itu pengertian dan klasifikasi orang disebut miskin dari pusat selalu mengalami gagal-konteks ketika dihadapkan dengan realitas kemiskinan di lapangan dengan berbagai macam variannya. Program-program yang sentralistik semacam BLT, Raskin, Dll selalu salah sasaran karena pengertian-pengertian orang-orang pusat mengenai siapa sebenarnya orang miskin seringkali salah sasaran di lapangan karena pengertiannya ditarik dari pusat untuk seluruh daerah yang luas dan beragam. Kata pak Yahyo “Kriteria orang miskin yang mendapat BLT dan Raskin itu salah menurut ukuran-ukuran pemerintah. Misalnya, menurut pemerintah, orang yang pantas dapat BLT itu orang yang rumahnya tidak permanen, lantainya bukan keramik, dll padahal kalau melihat konteks sini banyak orang yang rumahnya tidak bagus tapi punya tanah garapan luas yang bisa menunjang hidup dan keluarganya. Ada banyak orang yang lebih parah dari mereka ini yang sama sekali tidak punya lahan garapan dan pekerjaannya musiman”.
Magersari Dan Potret Orang Miskin
Pengertian-pengertian dan nama-nama lokal kemiskinan di sini digambarkan dengan jelas oleh pak Yahyo. “Orang miskin itu orang yang melakukan magersari, istilah lokal bagi fenomena orang miskin yang tidak punya rumah yang membangun/meninggali rumah orang lain yang memberikan dia tanah tumpangan. Magersari ini terdiri dari dua kriteria: Numpang karang dan numpang usup”. Numpang karang adalah orang yang menumpangi tanah yang bukan miliknya dan membangun rumah disitu untuk tempat tinggal. Biasanya mereka dibangunkan oleh masyarakat desa karena orang-orang yang numpang karang itu orang miskin yang tidak punya pekerjaan tetap, tidak punya tanah untuk digarap dan tidak punya keahlian. Bahkan sebagiannya cacat fisik dan mental. Jadi rumahnya adalah miliknya (dari pemberian orang) tapi tanah yang dibanguni rumah bukan kepemilikannya.
Kategori kedua adalah numpang usup, yakni orang yang betul-betul tidak memiliki tanah dan rumah jadi tinggal menumpang di rumah orang (atau perkebunan) yang bersedia memberikan tumpangan. “Mereka harus merawat rumah orang yang ditumpangi ini. Biasanya mereka kalau ada kerusakan rumah disuruh memperbaiki dengan biaya dari pemilik rumah. Mereka biasanya tidak punya pekerjaan tetap, tidak memiliki keahlian dan tidak punya tanah garapan sama sekali”. Numpang usup ini kadang-kadang bisa juga punya lahan garapan sedikit tapi jauh dari perkampungan dan tidak mungkin membangun rumah disana. Contoh sepeti ini misalnya adalah Pak Gito yang tinggal di rumah milik perkebunan PT Harta Mulya tempat dia dulu bekerja dan merawat rumah. Tetapi rumah milik perkebunan ini bila diperbaiki oleh pak Gito tidak diberikan bantuan oleh perusahaan. “Kemarin rumah di samping ini saya minta izin ke perusahaan untuk merobohkannya karena sudah sangat rapuh dan berbahaya. Trus saya minta izin ke perusahaan bila berkenan saya ingin mendirikan lagi rumahnya bila punya bahan kayu dan atapnya. Pihak perusahaan membolehkan. Jadi sekarang baru selesai kupugar. Tunggu kalau sudah bisa dapat bahannya baru kudirikan lagi”.
Soal perusahaan membolehkan pak Gito terus tinggal di rumah perusahaan menurut pak Gito itu karena pak Gito dulu punya jasa besar menyelamatkan perusahaan. Menurut cerita pak Gito seperti ini: “Meskipun saya sudah tidak bekerja lagi di perkebunan bersama istri saya, perkebunan membolehkan saya tinggal di rumah perkebunan ini selama belum dipakai oleh perkebunan. Mungkin karena dulu saya juga ikut berjasa menjaga perkebunan selama 16 tahun. Bahkan di era reformasi waktu masyarakat mau menjarah dan mereformasi perkebunan juga saya yang mengamankan perkebunan dengan mengontak tokoh-tokoh masyarakat yang ingin melakukan penjarahan yang masih teman-teman saya. Saya sampaikan kepada mereka tolonglah saya karena piring-nasi saya di sini. Kalau ini bubar saya harus makan apa sama istri dan anak saya. Jadi waktu itu mereka bisa menerima terus saya beri uang keamanan semacam sogoklah biar mereka tidak menjarah perkebunan tempat saya bekerja. Padahal perkebunan-perkebunan lain seperti karang nongko dan tempat-tempat lain di Blitar ini di jarah oleh warga”.
Pengertian miskin menurut pa Yahyo ini juga mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Pak Bisri, Kadus Bulu, bahwa “orang miskin disini itu kriterianya adalah mereka yang tidak punya sawah atau lahan garapan, tidak punya rumah (magersari) dan tidak punya keahlian jadi pekerjaannya yang kasar dan tidak tetap”. Tetapi pengertian ini bisa tidak sepenuhnya seperti ini. Bisa juga misalnya punya rumah tapi tidak punya sawah dan pekerjaan. Punya rumah itu biasanya karena warisan. Atau juga bisa tidak punya rumah (magersari) tapi punya sawah kecil dari warisan. Atau bisa juga punya sawah kecil dan rumah tetapi tidak bisa digarap karena pemilik yang mewarisinya sekarang memiliki kelainan jiwa, cacat fisik dan sulit bekerja. Orang-orang seperti inilah yang berada di dasar klasifikasi sosial desa Modangan.
Orang-orang miskin yang berada di dasar klasifikasi sosial desa Modangan adalah mereka yang masih bertahan karena usaha-usaha seadanya dan belaskasihan masyarakat sekitarnya. Untuk memberikan contoh orang-orang seperti ini Pak Bisri menyebutkan beberapa nama. Ada Ibu Srini, tiga orang dari 5 bersaudara (Yatinah, Katirin dan Wiji), Pak Sika. Nama-nama yang disebutkan ini bukan mewakili keseluruhan jumlah di desa Bulu. Tetapi ini hanya nama yang diingat saja oleh pak Bisri di antara sekitar 20-an orang yang tinggal sebatang kara dan renta serta sebagian mereka menderita kelainan jiwa. “Di sini ada 20-an orang yang agak-agak gila mas. Entah karena apa tapi umurnya rata-rata sudah 50-an tahun. Bisa keliaran kemana-mana dan makan kadang-kadang hanya dikasih sama orang-orang desa”. Seperti misalnya malam waktu kami melakukan wawancara dengan Pak Cipto ada orang tua tersesat di belakan rumah pak cipto yang adalah wilayah perkebunan dan ditemukan orang-rang yang jaga-jaga di rumah pak Cip. Lalu pak cip mengambilkannya minuman asam jawa gelas dan diberikan ke bapak itu. Kemudian bapak itu ditunjukkan jalan keluar ke desa tapi malah sepedanya di bawa masuk ke halaman orang. Kata bapak yang menemukannya kepada kami “ini bapak yang agak stres”. Mereka ini sebagian besar melakukan magersari. Seperti contohnya Ibu Srini itu tinggal di rumah yang bukan rumah dan tanahnya. Lima orang bersaudara ini tiga di antaranya (yang disebutkan namanya) adalah orang yang agak gila. Susah berkomunikasi dengan orang lain. Mereka hanya punya rumah kecil (kira-kira seukuran 5-7×8 M) peninggalan orang tuanya dan juga tidak bisa menghidupi dirinya sendiri karena tidak bisa bekerja apa-apa.
Tidak hanya di Bulu kemiskinan semacam ini bisa ditemukan. Di Karang Anyar Timur, di daerah sekitar perkebunan maupun di dalam perkebunan merupakan kantung-kantung kemiskinan. Seluruh daerah berdirinya perusahaan perkebunan adalah daerah dengan warganya banyak sebagai penerima Raskin dan sebagian penerima BLT. Raskin diterima masyarakat sebanyak 5kilogram sebulan (kadang-kadang tidak setiap bulan tapi 3bulan). Di seluruh perkebunan berisi orang-orang dengan gaji amat rendah, kecuali direksi. Buruh-buruh perkebunan mendapat gaji 10ribu perhari dengan jam kerja dari jam 7 pagi sampai dengan jam 1siang bahkan sebagian dari mereka adalah bekas buruh perkebunan yang masih numpang Usup karena belum punya lahan sama sekali. Masih di karang anyar timur, agak keluar dari perkebunan, menurut pengakuan pak Harman, Ketua Koperasi Margo Maju, di sekitar rumahnya ada beberapa orang miskin yang memang sudah sepuh. Ada yang punya sedikit tanah dan meminta orang yang dipercayakan mengolahnya dengan perjanjian orang yang mengolah tanah itu memelihara dia selama hidup dan setelah meninggal tanahnya bisa diambil sebagai bayarannya. Setidaknya ada 3/4rumahjanda yang dibangunkan oleh masyarakat dan ada juga yang dibangun oleh TNI. Di daerah Karang Anyar Barat kemiskinan juga amat mudah ditemukan. Dari wawancara dengan pak Wieduri, ketua kelompok tani Loh Jinawi, menunjuk sekitar3-4 keluarga di sekitar rumahnya saja yang miskin dan numpang karang atau numpang usup. Salah satu dari yang ditunjukkan pak Wieduri adalah pak Bibit. “Pak bibit ini orang yang amat bodoh dan tidak punya keahlian bekeja. Dulu pernah dibangunkan rumah gubuk oleh masyarakat. Ada juga janda 3 orang yang rumahnya rumah gubuk yan dibangunkan oleh warga dan TNI”, kata pak Wieduri. Menurut angka-angka resmi dari data podes ada 306 keluarga yang tidak memiliki lahan dari keseluruhan 2110 keluarga di desa Modangan. Lalu bagaimana mereka mengatasi keterbatasan-keterbatasan akses atas tanah, keterbatasan kemampuan dan bagaimana mereka menangani hidupnya yang harus terus berlanjut?
Bagaimana Mereka Bertahan Hidup?
Kebanyakan orang miskin di pedesaan bertahan hidup dengan bekerja kasar. Bila ada kesempatan menjadi buruh tani, menjadi buruh cangkul atau ngarit dan memelihara ternak orang maka pasti akan dikerjakan oleh orang-orang miskin. Ini dilakukan karena pekerjaan dan sarana untuk bertahan hidup di desa amat sulit, apalagi bila tidak punya tanah dan kemampuan lebih (skill) di bidang selain pertanian. Menjadi buruh tani misalnya hanya bisa pada saat masa tanam, saat memupuk dan memanen hasil sawah. Kalau buruh untuk nyangkul biasanya bila tidak bisa menggunakan traktor dan alat-alat yang lain baru ada peluang untuk menjadi buruh nyangkul. Dalam kondisi seperti inilah kadang-kadang apapun bisa dilakukan untuk bertahan hidup.
“Rata-rata itu buruh garap, mas. Atau menjadi buruh cangkul. 1/2hari 15 ribu. Di samping itu juga bisa ngarit, dari ngarit bisa dapat 10.000”
“Rata-rata itu buruh garap, mas. Atau menjadi buruh cangkul. 1/2hari 15 ribu. Di samping itu juga bisa ngarit, dari ngarit bisa dapat 10.000”, Kata pak Yahyo. Pilihan untuk melakukan kerja seperti ini karena tidak memiliki lahan garapan atau memiliki lahan tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Di samping menjadi buruh garap, cangkul dan ngarit, petani dan orang miskin di desa modangan juga bisa bertahan hidup subsistens dengan memanfaatkan ketersediaan layanan alam yang menjadi remah-remah dari perusahaan tani besar atau mengambil remah-remah dari sisa panen padi di sawah orang lain. Mengambil sisa padi-padi yang masih melekat di ranting yang sudah dipabrik di sebut ngasak padi. Sisa padi yang masih ada di batang padi yang sudah menjadi jerami di ambil terus dikebas-kebaskan sampai sisa padi yang masih ada di batangnya jatuh. Dari sini bisa mendapatkan 2-3 liter. Tergantung luas sawah yang dipanen dan dibagi dengan berapa orang yang juga ngasak.
Hal ini misalnya dilakukan ibu Srini yang tinggal sebatangkara setelah ditinggal suami dan tidak punya anak. Dia bekerja sebagai buruh tani, buruh petik atau ngasak padi. Untuk mendapatkan lauk bisa dicari sayur-sayuran liar di sungai seperti kangkung atau di sawah. “Bila ada pesta di sekitar rumahnya, ibu Srini datang membantu untuk memasak atau membersihkan rumah,dll. Dari sini bisa dapat beras, makanan dan lauk dan mungkin juga uang” kata Pak Bisri.
Sebagian besar kuli perkebunan juga adalah orang miskin. Mereka menerima gaji perhari hanya 10 riu dengan bekerja di kebun mulai jam 7 pagi sampai jam 1 siang. Mereka bekerja membersihkan dahan-dahan kopi yang tidak rapi, membersikan rumput-rumput di sekitar pohon-pohon kopi sampai memetik buah kopi bila tiba masa panen. Di perkebunan perempuan bekerja membersihkan ranting pohon kopi yang tidak rapi atau disebut dalam bahasa lokal sebagai wiwil. Dan laki-laki lebih sering melakukan jombret, atau membersihkan rumput. Tetapi pembagian tugas ini bisa dilakukan secara tumpang tindih baik perempuan dan laki-laki. Orang-orang di perkebunan ini punya cerita menarik lainnya mengenai strategi livelihood mereka setelah tidak lagi bekerja sebagai karyawan perkebunan. Pak Gito dan istrinya bisa menjadi contoh bagaimana mereka bertahan hidup di perkebunan meskipun sudah tidak lagi menjadi karyawan. Untuk mensiasati hidup yang makin sulit setelah tidak lagi memiliki gaji tetap, pak Gito memilih menggarap tanah terlantar perkebunan Sri Devi untuk ditanami ketela dan jagung (palawijo). Di samping itu pak Gito memelihara 2 ekor sapi yang dititip orang dengan sistem gaduh, yakni memelihara hingga masa beberapa tahun (sesuai kesepakatan) kemudian dijual. Di awal pada saat diserahkan ke pemelihara ternak diberi taksiran harga, misalnya satu ekor harganya 7 juta. Bila tiba masa penjualan dan bisa terjual lebih dari taksiran awal maka selisihnya menjadi milik pemelihara. Selain pak Gito, istrinya juga bekerja mencari sayuran liar di perkebunan. Seperti pakis daun ketela terus dijual. Atau bisa juga mencuri buah lamtoro di perkebunan. Hasilnya dijual sekitar 9ribu sampai 15 ribu perhari.
“semua orang di perkebunan ini, sekitar 30-an orang pekerjaannya untuk bertahan hidup harus mencuri di perkebunan. Baik mencuri tanaman pokok perkebunan seperti kopi maupun tanaman peneduh seperti lamtoro”
Beginilah penghasilan orang miskin di Modangan, khususnya yang tinggal di perkebunan. Saking rumitnya menguraikan bagaimana mereka bertahan hidup dengan keterbatasan-keterbatasan ini pak Gito memberikan jawaban dari pertanyaan kami mengenai penghasilannya: “saya ini penghasilannya tidak bisa dianalisa, mas. Kalau lagi kemarau ya tidak ada yang dihasilkan. Jadi hanya cari rumput untuk ternak orang. Rumit mas”. Kemudian dia memberikan tambahan “semua orang di perkebunan ini, sekitar 30-an orang pekerjaannya untuk bertahan hidup harus mencuri di perkebunan. Baik mencuri tanaman pokok perkebunan seperti kopi maupun tanaman peneduh seperti lamtoro”. []