Oleh Ahmad Nashih Luthfi
Serangan Israel terhadap Palestina bukanlah perang agama, tapi tindakan kolonial-imperialistik. Pencaplokan Israel sebagai sebuah negara ilegal terhadap kedaulatan negara Palestina.Benar bahwa di situ agama turut menjadi dasar dalam melawan kolonialisme, dan terdapat kekerasan dan kerusakan terhadap situs spiritual, manusia dan material. Namun, tidak semua orang di Palestina yang menentang kolonialisme Israel adalah muslim dan melawan berlandaskan agama.
Ada partai komunis Palestina yang getol melawan itu. George Habbas, pemimpin partai komunis terkemuka Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP), lahir dari Kristen Ortodoks. Mereka getol memperjuangkan Palestina dalam gagasan nasionalisme Palestina sekaligus bagian dari Pan-Arabisme, dan memperjuangkan sosialisme demokrat di negeri Palestina. Kematian Habbas tahun 2008 adalah duka bagi perjuangan Palestina. Pihak HAMAS menyampaikan duka cita, demikian pula perdana menteri Palestina dan faksi Islam Sunni merasa kehilangan (Aulia Adam 2016).
Ada Leila Khalid, seorang ikon perlawanan perempuan Palestina yang berjuang dengan senjata dan politik di dalam dan luar negeri. Perjuangannya secara internal adalah juga perlawanannya menentang masyarakat Arab yang patriarkis dan membela hak-hak perempuan (Sarah Irving 2012).
Yerusalem adalah kota suci bersama tiga iman (Karen Amstrong 1996). Maka tak aneh jika dukungan terhadap Palestina juga muncul dari berbagai lintas komunitas, mengingat keyahudian, kekristenan, dan keislaman adalah realitas historis di bumi Palestina, utamanya Yerussalem. Demikian pula komunitas Yahudi sendiri di beberapa tempat memberikan dukungan. Orang Yahudi yang berdiaspora dalam satu era sejarah tatkala mereka menghindari kekejaman Nazi, melakukan penentangan keras di berbagai negara terhadap infiltrasi Israel bahkan berdirinya negara yang dibangun berdasarkan agama itu.
Di era modern, pendirian negara yang berdiri berdasarkan agama seperti gagasan zionisme dalam membangun Israel adalah suatu kejanggalan. Negara sebagai institusi baru produk masyarakat modern, sesungguhnya dibentuk oleh spirit membentuk satu wadah untuk menampung keberagaman dalam cita-cita bersama seperti kemerdekaan dan antikolonalisme.
Dalam konteks di atas itulah kita mengingat Noam Chomsky, ilmuwan berkaliber dunia yang getol hingga saat ini melawan Israel dan mengkritik Amerika. Atau juga ‘sang raksasa’ Albert Einstein. Ia sejak dini menilai anehnya gagasan pendirian negara Israel yang didasarkan pada keyahudian. Dia yang seorang Jewish dan korban Nazi, memiliki pandangan politik humanitarian yang terus mempromosikan hidup bersama komunitas Jewish-Arab di Palestina daripada pendirian negara khusus untuk Yahudi.
Ada juga soal identitas, Barat dan Timur. Edward W. Said, sang intelektual dunia, adalah sosok yang cukup mewakili kegamangan bahkan keterpencilan, Out of Place, sebagaimana menjadi judul otobiografinya (Edward W. Said 2000). Dia lahir di Yerusalem dari keluarga Kristen Ortodoks, trah pengusaha terpelajar, terusir sejak 1948 dan menetap di Eropa dan Amerika. Dia dari kecil merasakan keterasingan tatkala mengalami penunggalan identitas dari lingkungannya. Ia dipanggil dengan Edward, untuk memberi penekanan pada kebaratan; namun kelak setelah tinggal di Barat ia seringkali dipanggil Said untuk menekankan pada ketimurannya. Ia tertolak dari kedua pihak.
Dalam renungannya, bukan hanya kolonialisme negara saja. Edward Said menandai bahaya kolonialisme yang melampaui teritori, hegemoni Amerika terhadap Arab, Barat terhadap Timur. Kritik dan perlawanan terhadap penjajahan pemikiran ditakiknya dalam Orientalisme (Edward W. Said 1978).
Perlawanan terhadap kolonialisme, perjuangan atas kemerdekaan Palestina, anti-perang dan anti-kekerasan kemanusiaan harus disuarakan banyak orang. Apapun agama dan bangsanya. Sebagai kewajiban manusia yang memuliakan kemanusiaan. Singkatnya, perjuangan Palestina digerakkan banyak faksi, kaya warna: faksi Islam, Kristen, Yahudi dan komunis. Dukungan itu juga ternaungi dalam semangat besar humanisme atau kemanusiaan yang melampaui sekat-sekat agama, etnis, dan negara, dan dalam konteks itu menjadi manusia kosmopolit, anak semua bangsa.
Protes terhadap Israel adalah juga bernilai perlawanan terhadap aliansi negara yang secara geopolitik berorientasi neoliberal. Suatu kedudukan yang menempatkan Israel pada posisi sangat percaya diri sebab mendapat dukungan otoritas Amerika dan negara Saudi. Hubungan dagang dan kerjasama ekonomi mereka dalam satu garis ekonomi neoliberal.
Apakah protes dunia terhadap serangan Israel dapat menjadi momentum untuk melakukan kritik terhadap tata-dunia yang bergulir menuju neoliberal-kapitalistik sekarang ini? Inilah tantangannya. Berbagai protes telah terjadi di kota-kota besar di banyak negara. Di Indonesia protes terhadap Israel dan lembaga internasional yang cenderung diam atas serangan brutal terhadap warga Palestina masih terbatas dari suara umat Islam. Baru-baru ini gerakan solidaritas meluas juga dilakukan oleh aliansi buruh dan mahasiswa. Kita menunggu solidaritas luas dari berbagai elemen lintas agama dan kelompok, termasuk kaum terpelajar, untuk menghentikan serangan dan penciptaan kedamaian di bumi Palestina.
Pemerintah Indonesia tidak boleh terus-menerus gamang. Indonesia perlu segera memantapkan diri pada posisi yang secara aktif mendukung eksistensi dan kedamaian Palestina sekaligus secara resmi mengutuk tindakan Israel. Menyerukan dan menggalang kepedulian dunia internasional agar kedua belah pihak menghentikan aksi saling serang. Serta, bersegera memberi bantuan kemanusiaan kepada korban yang telah banyak berjatuhan. Laki-laki, perempuan, anak-anak telah menjadi korban kekejaman perang yang luar biasa. Kondisinya demikian menyayat hati. Harus segara dihentikan.
Ahmad Nashih Luthfi, sejarawan di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional