Oleh: Muhammad Ridha
“….Dan masjid-masjid tersebut adalah pusat-pusat ilmu dan pendidikan, seperti masjid Quba, Masjid Manshur di Bagdad, al-Azhar di Kairo, Masjid Kordoba di Andalusia, Masjid Ummayah di Damaskus, Masjid Qarawiyyin di Fez, masjid Cordoba di Andalusia dan masjid Jami di Sana’a, Yaman. Beberapa masjid tersebut digunakan sebagai tempat pengajaran dan hanya digunakan sebagai tempat shalat jum’at. Jadi, masjid-masjid ini sebenarnya adalah universitas-universitas Islam dalam arti pengertian modern, terutama karena mereka tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu lain seperti kedokteran dan astronomi.”
[Abdul Halim Muntashir, Sejarawan Timur Tengah]
Memang, jika kita melihat mayoritas masyarakat muslim dunia saat ini, kita akan sulit mempercayai, jika agama ini dan juga orang-orangnya pernah begitu menerangi dunia yang gelap gulita selama ratusan tahun. Itu terjadi saat Eropa, pusat kebudayaan modern saat ini, berkubang dalam lumpur dan kegelapan. Menjadi halaman belakang peradaban yang baru saja menyeruak masuk ke dalam panggung utama sejarah mausia di abad ketujuh untuk dengan cepat, banyak pakar menyebut ini sebagai revolusi, atau seperti ledakan dahsyat, menentukan alur sejarah: menentukan aktor-aktor utama, menentukan ilmu-ilmu yang musti dipelajari, menentukan tindakan-tindakan (etik) yang pantas dan tidak pantas, menentukan aturan main agar dunia menjadi seperti yang mereka idealkan.
Bagaimana sebenarnya itu bisa terjadi? Atau pertanyaannya kita perjelas: bagaimana, ajaran dari gurun arabia yang terhubung dengan dunia lainnya sebagai paria, justru menjadi tempat lahirnya ajaran ini dan tempat peristiwa bersejarah ini mendorong ‘ledakan’ di dalam kebudayaan dan sejarah manusia? Bagaimana agama ini hanya dalam seratus tahun menerap hampir seluruh kebudayaan lama menjadi penganutnya dan ikut menyebarkan dan berjuang di jalan ini? Dalam masa hidup nabi saja, Arabia telah menjadi lautan Islam, lalu era para sahabat mengubah Sasanid, entitas kebudayaan kuno Persia yang merupakan salah satu imperium terbesar ketika itu juga terserap masuk ke dalam wilayah darul Islam juga wilayah-wilayah Afrika Utara yang merupakan wilayah Romawi Kuno, imperium besar lainnya. Lalu merasuki Eropa -dan mengubah Eropa hingga tak pernah sama lagi dengan masa lalunya- melalui ujung barat Afrika di era setelahnya.
Di bawah ini bisa dilihat kecepatan persebaran luasan wilayah Islam sejak era Nabi, para sahabat nabi hingga khalifah Ummayah:
Salah satu jawaban yang paling mungkin dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah perang-perang yang dimenangkan oleh pasukan Arab atas entitas-entitas dan wilayah tersebut. Perang telah menjadi salah mode of power di era lama yang paling tepat untuk mempertaruhkan keunggulan-keunggulan kebudayaan masing-masing pihak. Lalu sejarah dituliskan oleh pemenang, kata para sejarawan. Tetapi bukankah perang hanya berupa peristiwa dahsyat yang besar, menguras energi tapi juga berlangsung cepat dan orang-orang, baik di pihak yang kalah maupun yang menang, hidup sebagaimana setiap orang harus hidup di masanya. Normal kembali. Bagaimana dominasi para pemenang itu dikukuhkan dan keunggulan-keunggulannya terus diterima dan karena itu terus menjadi hegemonik dan menentukan?
Untuk pertanyaan terakhir ini, tak berlebihan kiranya jika jawabannya adalah penciptaan sarana-sarana produksi dan reproduksi tata-cara penghidupan melalui pendidikan. Pendidikan di sini dalam artinya yang tidak begitu jauh dari proses transformasi pengetahuan, kebudayaan dan seluruh pola tindakan kepada mereka yang dididik di lembaga-lembaga pendidikan. Kebudayaan-kebudayaan besar dunia sebelumnya telah menunjukkan bagaimana kekuasaan mereka ditopang bukan hanya oleh garnisun tapi juga oleh gugusan perangkat ideologis yang bekerja melakukan transformasi nilai-nilai. Di peradaban hellenis, yang kemudian menjadi Romawi, kita mengenang lembaga-lembaga pendidikan seperti Akademia atau Lyceum yang didirikan masing-masing oleh Plato dan Aristoteles. Lembaga-lembaga Pendidikan ini tersebar di seluruh wilayah laut tengah di Eropa, Asia dan Afrika. Atau sekolah teologi Edessa di Asia Minor. Sementara itu di Persia ada Universitas Jundisapur. Juga yang lain-lain. Pelembagaan suatu sistem nilai baru harus dilakukan dengan proses transformasi nilai-nilai tersebut melalui pendidikan, baik secara formal maupun informal. Itulah kiranya yang dilakukan oleh kebudayaan Islam, seperti juga kebudayaan-kebudayaan lain di masa lalu, sehingga dominasinya atas dunia, terus bisa dikukuhkan dan bertahan selama ratusan tahun.
Institusi Pendidikan Islam
Salah satu yang paling menonjol dalam kemunculan peradaban Islam masa-masa formatif, adalah etos pelembagaan pendidikan yang tinggi di madrasah-madrasah yang jumlahnya sangat besar. Untuk hal ini, islam punya sejarah dan kisah yang bisa disebutkan amat panjang dan mencakup wilayah-wilayah yang sangat luas dari ujung Afrika hingga ke Kaukasus atau dari Kordova hingga ke India. Di antara yang paling menonjol dalam sejarah mungkin bisa disebutkan seperti Madrasah al-Qarawiyyin (859) di Fez, Maroko saat ini, Al-Azhar (970) di Kairo, Nizamiyah (1065) di Bagdad, Mustansiriyah (1233) di Bagdad dan tempat-tempat lain di dalam darul Islam. Semua institusi pendidikan tinggi ini secara umum lebih tua dari institusi pendidikan tinggi di Eropa.
Sebagai contoh Universitas Al-Qarawiyin, yang didirikan tahun 859 di Fez, sebuah kota Islam yang maju di Afrika Utara adalah Lembaga Pendidikan tertua di dunia yang masih beroperasi hingga kini.[1]Didirikan oleh seorang wanita salehah bernama Fatima al-Fihri, lembaga pendidikan ini telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan dan intelektual terkemuka yang berkiprah di dunia Islam juga di Eropa. Tokoh terkemuka alumni al-Qarawiyyin mewakili daftar nama beberapa pemikir terbesar di dunia Islam abad pertengahan. Pada abad ke-12 cendekiawan Yahudi, Maimonides- filsuf Yahudi terkemuka pada abad pertengahan dan pernah menjadi dokter di rumah tangga Salahuddin- belajar di sini, bersama dengan guru terhebat, Ibnu Arabai- mistikus, penyair dan filsuf Andalusia. Ibn al-Khatib- PolimatikGranadan, penyair, sejarawan, dokter, politikus dan orang yang diasingkan – datang ke Qarawiyyin pada abad ke-14 bersama koleganya yang juga penyair dan politikus Andalusia, Ibnu Zamraq dan Ibnu Marzuq, pengarang Maroko yang mengagungkan dirinya dalam hagiografi The Correct and Fine Traditions -About the Glorious Deeds of Our Master Abul Hasan (memerintah 1331-1351). Ibnu Khaldun – sejarawan perintis, ahli sejarah, dan penulis Mukaddimah sejarah universal yang mendobrak sejarah, bapak sosiologi, pecandu politik – menjulang tinggi di antara rekan-rekannya di abad ke-14.[2]
Al-Qarawiyyin tidak hanya menjadi perguruan tinggi terkemuka di dunia Islam, tetapi juga lembaga pendidikan yang menjadi media penghubung kebudayaan antara dunia Islam dan Eropa. Banyak di antara ilmuwan muslim dan Eropa lainnya menempuh pendidikan formalnya di sini atau sekedar datang untuk belajar singkat seperti yang pernah dilakukan oleh penasehat raja Roger II Sisilia, seorang kartograf besar era klasik, al-Idrisi. Jarak yang dekat dengan Andalusia menjadikannya lebih terhubung secara intens dengan dinamika intelektual, politik dan kebudayaan di Eropa tetapi juga tidak terlepas dari kebudayaan Islam.
Sementara itu Universitas Nizamiyah didirikan oleh Nizam al-Mulk, wasir di dinasti Abbasiyah di Bagdad. Di kampus ini, Al-Gazali, intelektual, ahli fiqh, sufi dan filsuf moral di dunia Islam pernah menjadi rektornya. Salah satu intelektual yang dianggap mematikan gairah berfikir di dunia Islam karena menetapkan pintu ijtihad yang teramat sulit dilewati karena syarat-syaratnya yang rumit dan sulit dipenuhi. Dia berpolemik dengan Ibnu Rusyd filsuf di dunia Islam terutama mengenai problem-problem filsafat[3]. Universitas Mustansiriyah juga memerankan proses transformasi penting di dunia Islam. Perguruan tinggi ini didirikan oleh sultan terakhir dinasti Abbasiyah sebelum dinasti ini hancur oleh serangan Mongol.Kampus ini meski pernah berhenti beroperasi karena bebagai macam persoalan yang melanda kota Bagdad dan kesultanan Abbasiyah, tetapi saat ini di Irak modern kembali diaktifkan sebagai Universitas modern.
Di Mesir, Universitas Al-Azhar memberi peran besar dalam kehidupan modern dan transformasi pengetahuan di Mesir dan dunia Islam kontemporer. Perguruan tinggi ini telah beroperasi secara terus menerus lebih dari seribu tahun dan masih terus mencetak sarjana-sarjana dan intelektual terkemuka dunia Islam. Baik untuk kajian ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu umum. Perguruan tinggi ini dibangun pertama kali oleh dinasti Fatimiyah, lalu berpindah-pindah pengelolaan di bawah dinasti-dinasti yang berganti menguasai Mesir mulai dari Ayyubiyah, Mamluk hingga Utsmaniah.
Lembaga-lembaga pendidikan ini sebagian lebih dulu berdiri dari kampus-kampus tertua di Eropa seperti Oxford, Bologna, Cambridge dan yang lain[4]. Beberapa perguruan tinggi di atas hanya sebagai representasi dari girah penemuan etos utama dunia islam untuk menuntut ilmu dan mengembangkan Pendidikan sebagai perangkat peradaban. Pada kenyataannya, kota-kota dunia Islam tercatat memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang berjumlah besar. Setiap dinasti atau kesultanan-kesultanan Islam di banyak wilayah dunia Islam membangun sarana-sarana pendidikan seperti madrasah, perpustakaan, pusat penerjemahan atau pusat studi (observatorium untuk studi astronomi atau pusat studi hadis, dll). Kampus-kampus yang disebutkan ini juga di dalamnya terdapat pusat-pusat studi, perpustakaan-perpustakaan besar dan penunjang-penunjang lain pembelajaran.
z
Foto: Gerbang Sebuah Madrasah di Bukhara
Gambaran tentang luas dan besarnya jumlah lembaga pendidikan bisa dilihat dari banyak kota-kota islam saat ini yang masih menyimpan warisan klasik institusi-institusi semacam itu. Kota Bukhara dan Samarkand mungkin bisa menjadi contoh menarik bagaimana sebuah kota kecil yang ditopang oleh puluhan madrasah, perpustakaan dan observatorium yang amat berpengaruh. Di antara warisan-warisan tersebut masih ada yang berdiri dengan utuh Gedung-gedungnya dan ada juga yang telah rusak atau bahkan hilang sama sekali dan hanya ada dalam catatan sejarah. Di Bukhara misalnya sampai saat ini bangunan-bangunan madrasah dengan mozaik-mozaik ubin biru tosca atau hijau muda Persia masih berdiri. Di antaranya adalah madrasah Ulugh Bek, Mir Arab madrasah, Nadir Divan Begi madrasah, Modarykhan madrasah, Kukeltash madrasah dan yang lain yang menjadi bagian dari lebih dari 140 bangunan lama di kota tua tersebut. Madrasah ini biasanya sekaligus juga adalah sebuah masjid atau sebaliknya masjid tetapi difungsikan juga sebagai madrasah. Samarkand juga menyimpan banyak sekali tinggalan bangunan, dokumen dan sisa-sisa era klasik Islam. Beberapa di antaranya adalah madrasah-madrasah seperti Ulugh Bek, Registan Square, atau Sherdor madrasah atau Tilya-Kori madrasah yang datang dari era klasik islam yang dipulihkan dan telah diakui UNESCO sebagai warisan dunia pada tahun 2001 sebagai cross culture city. Bahkan di abad ke-14 kota ini menjadi pusat pencerahan Islam yang berpusar pada dinasti Timurid. Karenanya renaisans yg berpusat di sini disebut renaisans Timurid[5].
Dua kota ini hanya contoh kecil saja bagaimana lembaga pendidikan mengisi terang relung-relung sejarah era kegelapan. Terdapat belasan kota utama dan puluhan kota-kota besar lainnya di dunia Islam menyimpan bukti-bukti historis sedemikian itu. Sebuah warisan yang menjadi perbekalan penting tegaknya dunia kita saat-saat ini. Wallahu a’lam bi sawab
Penulis, adalah dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar. Peminat studi sejarah sains Islam.
Referensi
[1] Medina Fez dalam situs UNESCO.
[2]Justin Marozzi Islamic Empires Kota-Kota Yang Membentuk Peradaban: dari Makkah hingga Dubai (Jakarta:Republika Penerbit: 2024) Hal. 220-221
[3] Ziauddin Sardar Kembali ke Masa Depan Syariat Sebagai Metodologi Pemecahan Masalah (Jakarta: Srambi Ilmu Semesta; 2005) Hal. 82
[4] Dr. Abdul Halim Muntashir Sejarah Ilmu Pengetahuan Kontribusi Penting Muslim pada Zaman Keemasan Islam (Jakarta: Alvabet2023) Hal. 355
[5] Justin Marozzi Islamic Empires Kota-Kota yang Membentuk Peradaban: dari Mekkah hingga Dubai (Jakarta: Republika Penerbit:2024) Hal. 249