Oleh Muhammad Ridha
Harus saya akui bahwa rencana penulisan buku ini adalah suatu tindakan politik yang romantik: ditulis oleh seorang pemuda muslim, di negeri berpenduduk mayoritas beragama Islam, yang sedang mengingat-ingat kembali (sejauh yang diketahui dan masih diingat dari pembelajaran orang tua, pengajaran kuliah formal di perguruan tinggi mengenai ‘kemasyuran’ Islam masa lampau dan pembacaan mandiri atas literatur yang tersedia) mengenai kisah seribu(an) tahun dunia Islam mengungguli banyak kebudayaan dunia yang lain (atau paling tidak mempengaruhi banyak kebudayaan baik yang bersentuhan langsung dengan dunia Islam maupun yang beririsan secara tidak langsung).Romantisme itu sebenarnya benar-benar menjadi energi yang kuat yang mengarahkan perhatian saya ke arah pembacaan ulang buku-buku, artikel atau cerita-cerita (yang sejauh pemahaman penulis dianggap sebagai buku yang membahas sejarah kebudayaan islam atau karya-karya yang dianggap berasal dari kebudayaan Islam) mengenai sejarah kebudayaan islam, pengumpulan Kembali literatur lama yang pernah dibaca, juga pembelian beberapa buku berkaitan dengan tema tersebut setelah pulang dari sebuah perjalanan ke Turki. Sebuah wilayah tradisional dari kesultanan atau kekhalifahan terakhir yang memimpin Sebagian besar wilayah dunia Islam. Kekhalifahan kosmopolit yang kekuasaannya menjangkau wilayah yang amat luas meliputi sebagian Asia, sebagian Eropa dan sebagian wilayah Afrika.
Kunjungan singkat ke Turki inilah yang membuat saya merasa, sebagai orang yang lahir dan besar jauh dari pusat kelahiran dan perkembangan Islam awal, bahwa wilayah dunia Islam sungguh amat luas, masyhur dengan karya-karya arsitektural yang maju juga peninggalan kota yang mencapai standar yang tidak sederhana. Negeri saya mungkin terpaut kurang-lebih sepuluh ribu kilometer. Dipisahkan oleh Samudra Hindia dan daratan utama benua Asia. Pertanyaan-pertanyaan spesifik saya, yang masih amat awam dalam kajian mengenai sejarah kebudayaan Islam (yang tentu saja terutama karena studi utama saya bukan kajian mengenai Sejarah kebudayaan Islam) adalah: mengapa dunia kontemporer, tempat saya hidup wacana Islam, sejarah Islam, sains Islam atau wilayah-wilayah islam yang amat luas itu tidak begitu berpengaruh? Mengapa tak banyak ilmuwan islam yang menjadi rujukan, katakanlah untuk suatu bidang ilmu tertentu, yang dikutip? Apakah sebuah teritori, sebuah kebudayaan dan orang-orang yang amat banyak begitu sangat terbelakang sehingga saya tak banyak menemukan intelektual atau ilmuwan Islam yang berkontribusi besar kepada perbincangan dan pemecahan-pemecahan masalah-masalah dunia kontemporer kita? Atau saya saja yang kurang ‘jauh mainnya’, kurang luas bacaannya sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dan menjadi kegelisahan yang terus meminta dijawab? Entahlah. Tapi saya punya hipotesis: dunia seluas ini, orang-orang sebanyak penduduk di negara-negara Islam, pasti punya kontribusi. Pasti ada di antara mereka berkontribusi dan menonjol di dalam pemecahan masalah kontemporer tapi masih belum saya temukan dan kenali kesemuanya itu.
Pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana kebudayaan Islam melahirkan orang-orang, kebiasaan-kebiasaan, ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan yang ikut membawa dunia kontemporer kita menjadi seperti yang kita alami saat ini mulai terjawab sedikit-demi-sedikit Ketika mulai membaca buku-buku sejarah kebudayaan islam yang ditulis oleh sejarawan-sejarawan kontemporer mengenai besarnya pengaruh dunia Islam dan betapa islam ikut membentuk dunia yang kita hidupi saat ini. (pintu) Petualangannya mulai dibuka Ketika saya membaca bab demi bab buku menarik yang ditulis oleh Herbert Adams Gibbons berjudul jejak Awal Khilafah utsmani menelusuri Riwayat Para peletak Dasar Imperium islam Terakhir (2020). Herbert sendiri adalah seorang professor di departemen sejarah Princeton University juga professor kehormatan di Army War College, Wasington DC. Professor Herbert sendiri adalah sejarawan juga jurnalis yang pernah tinggal dan bertugas di Istanbul, ibukota kesultanan Utsmani pada masa-masa akhir kesultanan tersebut. Dia menceritakan bagaimana pembentukan awal dan darimana asal-usul bangsa Utsmani hingga kemudian menundukkan ibukota kekaisaran Romawi Timur di salah satu selat terpenting yang menghubungkan Eropa dan Asia Kecil, Bosporus, di Konstantinopel. Kemudian kota tersebut diubah menjadi pusat imperium Islam dan diberi nama Istanbul.
Buku yang lain, yang tak kalah membangkitkan romantisme sebagai seorang anggota dari kebudayaan Islam yang luas, adalah kisah kejatuhan Konstantinopel pada tahun 1453 oleh sultan Ustmani, Mehmet al-Fatih, yang ditulis dengan amat menarik berjudul 1453 Detik-detik Kejatuhan Konstantinopel ke tangan Muslim (2019) . Buku ini adalah buku terjemahan Bahasa Indonesia dari buku 1453 the Holy War for Constantinople and Clash of Islam and the West (2005) yang ditulis oleh Roger Crowley, lulusan Cambridge University yang punya minat besar atas sejarah Turki dan sejarah Mediterania. Buku ini adalah buku sejarah yang mengulas peristiwa penting sebelum, saat perang penaklukan hingga awal penaklukan konstantinopel oleh kesultanan Islam. Sebuah kesultanan yang berasal dari kebudayaan, agama dan wilayah geografis yang sering dianggap sebagai ‘timur’, terbelakang, tak mampu dan harus diwakili, liar dan bar-bar oleh sejarawan Eropa belakangan seperti di era para orientalis. Pengetahuan yang diberikan buku ini atas peristiwa politik (yang sebenarnya lebih dulu dari kolonialisme Eropa barat atas dunia di luar Eropa) yang memberikan saya kesadaran baru akan mungkinnya ‘dominasi Eropa’ itu jatuh. Mungkin setara dengan kesadaran banyak negara postkolonial yang mendapatkan kepercayaan diri setelah mendapatkan kabar kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang memperebutkan Mancuria yang mendorong banyak aktifis negeri-negeri yang dikoloni memberanikan diri menyatakan kemerdekaannya atau mempersiapkan gerakan kemerdekaannya dari negara yang mengkoloninya. Atau mungkin juga tak setara dan tak pantas dibandingkan sama sekali kesadaran seorang pemula yang sedang bersemangat belajar sejarah dengan peristiwa bangkitnya kesadaran nasional banyak bangsa yang dalam waktu Panjang berada di bawah penjajahan. Juga tentu bahwa kepercayaan bahwa Eropa tak bisa kalah tentu saja telah dibantah oleh kemerdekaan puluhan negara baru yang dulunya dijajah oleh negara-negara Eropa pasca perang dunia pertama atau kedua, termasuk Indonesia, negeri tempat buku ini ditulis.
Romantika ini terus berlanjut secara hampir tak putus. Diskusi Panjang mengenai ruang-ruang sejarah kebudayaan islam, hamparan luas wilayah mulai dari gurun sampai dataran tinggi bersalju, dari dataran di bulan sabit yang subur hingga negeri-negeri jauh di seberang Samudra. Malam-malam Panjang mengulas bagaimana kejatuhan, kebangkitan hingga pucuk-pucuk tertinggi yang bisa dikenang sebagai hasil sebuah revolusi kebudayaan yang dibawa oleh seorang nabi ‘ummi’ yang dilecehkan oleh karya-karya kebudayaan barat sebagai penyebar bid’ah, penyembah berhala sampai penipu. cerita-cerita tak berujung dengan sejumlah kawan mengenai bagaimana corak kebudayaan islam, ciri-ciri teologis menonjol atau arsitektur-arsitektur telah silih berganti, pengaruh-mempengaruhi antar kebudayaan lalu membentuk kebudayaan baru, atau bagaimana etos keagamaan dalam politik telah berubah orientasi menjadi berdirinya sebuah imperium yang tak jauh berbeda dengan imperium-imperium sebelumnya seperti Romawi atau Sasani di Persia. Atau bagaimana ciri keberagamaan yang puritan dan scripturalis berlawanan dan saling berebut pengaruh dengan para filsuf juga para sufi. Begitulah. Kisah-kisah dan kawan-kawan yang sebagiannya juga telah bosan mendiskusikan tema-tema kebudayaan islam terus bergulir oleh dorongan personal yang amat kuat. Apalagi, di sela malam-malam tersebut, di waktu amat larut atau di pagi hingga siang hari bergelut dengan misalnya Dari Puncak Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam (2019) yang ditulis dengan amat provokatif oleh seorang sejarawan, professor dan penulis brilian di Amerika yang berasal dari Afganistan, Tamim Ansary. Atau Cahaya Dari Timur Peran Ilmuwan dan Sains Islam dalam Membentuk Dunia Barat (2011) karya Jonn Freely yang mengulas dengan apik bagaimana islam telah dengan amat cemerlang menjadi pewaris dari ilmu pengetahuan dunia yang telah berkembang di antara Yunani, Mesir, India, Cina dan wilayah kuno mesopotamia. Bagaimana umat muslim mewarisi ilmu aritmatika dari Yunani, atau ilmu astronomi dari Mesir atau memperbaiki juga memberi konteks atas sastra dan filsafat Persia.
Ada sejumlah daftar dari kepustakaan berbahasa Indonesia atau terjemahan asing ke Bahasa Indonesia yang, dengan memohon izin pembaca untuk saya menuliskan beberapa yang teramat penting dan mempengaruhi saya dan juga mungkin secara langsung mempengaruhi konten dan ulasan buku ini, ingin saya tampilkan dalam pengantar pendahuluan ini. Tak banyak tapi khasanahnya sungguh luas dan membuat saya begitu luwes mempelajari dan menikmati petualangan memasuki bahasan mengenai sejarah kebudayaan islam.
Untuk lebih memudahkan, saya ingin menggolongkan bacaan tersebut ke dalam beberapa pokok yang saya anggap itulah kontribusi terkuat buku tersebut kepada saya dan ciri bahasan yang membuat saya memilihnya. Kepustakaan pertama, adalah buku-buku pengantar perguruan tinggi bertema sejarah kebudayaan Islam. Nama-nama seperti Badri Yatim, Ismail Hamzah dll dalam karyanya Sejarah Kebudayaan Islam, masa keemas an kebudayaan islam, sejarah kebudayaan islam terlengkap, dll. Bacaan ini berfungsi untuk memberi penyegaran-penyegaran ingatan atas tahun-tahun atau kebudayaan islam yang paling menonjol dan banyak diulas oleh para sejarawan. Tulisan-tulisan mereka, meski kebanyakan dengan standar akademis yang tak memadai, dengan model penceritaan yang sungguh selalu melihat kemajuan dan kemunduran seperti dalam kacamata kini tanpa mau masuk ke dalam detil sebab-sebab yang empiris dan lebih berciri kompleks (bukan simplifikasi). Ciri dari ulasan buku-buku tersebut ini adalah kurang akademis, simplistic dan bernada romantika yang tak optimis. Tak membentangkan cakrawala harapan. Semata-mata membicarakan sejarah kebudayaan Islam seperti kata Ziauddin Zardar, meletakkan kebudayaan Islam sebagai sejarah, sebagai benda di masa lalu. Untuk memberi ulasan mengenai bagaimana bermasalahnya karya-karya sejarah kebudayaan Islam tersebut saya akan siapkan sebuah capter khusus.
Himpunan karya-karya berikutnya, yang kedua, adalah karya-karya yang sifatnya ‘lebih akademis’ dan kritis atas sejarah dunia dan sejarah dunia Islam. Salah satu yang memberi kesan bahwa dunia kita saat ini tidak melulu dibentuk oleh Eropa. Tapi juga dibentuk oleh dunia islam dan dunia yang lebih majemuk disbanding menempatkannya dalam dikotomi barat dan timur semata atau negara maju dan terbelakang saja. Di antara yang paling menonjol, dan memberi pemeriksaan konseptual secara kritis atas terminology-terminologi yang digunakan oleh sejarawan atau ahli sejarah islam mengenai kebudayaan islam adalah Marshall G.S. Hodgson dalam karya monumentalnya The Venture Of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam (1999 dan 2000) (diterbitkan dalam 6 jilid dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dua jilid awal). Termasuk dalam ciri literatur ini, yang tak kalah menariknya adalah Dari Puncak Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam yang sama memeriksa konsep atau penamaan atas, misalnya wilayah Islam awal sebagai Timur Tengah yang begitu, meminjam istilah Samir Amin, eurosentris. Seolah-olah penamaan ini berasal dari seorang yang berdiri di sisi barat laut Mediterania dan melihat ke arah timur. Lalu daratan yang dibayangkan, yang berada di sisi timur mediterania disebutlah timur tengah. Juga tentu saja saya meminjam konsep Edward W Said mengenai geografi imajinatif orang-orang barat atas dunia yang mereka sebut timur. Bagi Said, dikotomi Timur dan barat oleh peradabab barat atau negeri-negeri Eropa Barat, terutama oleh para orientalis atas dunia adalah suatu yang lebih bersifat imajiner daripada menunjukkan kenyataan kompleks dari relitas timur. Bahkan ‘pentimuran’ timur dengan berbagai ciri yang disematkan, berguna dalam konteks negatifitas. Menunjukkan timur sebagai terbelakang, penuh tahayyul, eksotik, irasional untuk menunjukkan bahwa barat maju, rasional, empiris dan sejumlah kebalikan konseptual dari apa yang disematkan di ‘Timur’.
Tema bacaan berikutnya adalah karya-karya yang memberikan deskripsi lebih rinci dan akademis mengenai transmisi sains dari dunia islam ke dunia Barat, mengenai puncak-puncak pencapaian sains dan kebudayaan islam, juga bagaimana tradisi literasi seperti baca-terjemah-tulis-kritik-tulis telah begitu menyebar di dunia Islam. Puncaknya sering dikisahkan berada di kota-kota utama Islam seperti Bagdad, Andalusia, Isfahan, Cairo, atau daerah-daerah Transixonia. Buku-buku semacam ini merentang luas sebagai bacaan pelipur lara dunia Islam yang sekarang ini masih ‘tertinggal’ oleh kebudayaan-kebudayaan lain. Di Indonesia mungkin ada nama-nama seperti Nurcholis Majid dalam Islam Doktrin dan Peradaban, Nouruzzaman Siddiqi dalam Jeram-jeram peradaban Muslim atau Ismail Hamzah dalam Sejarah kebudayaan Islam, The Golden Age of Islam. Atau karya Prof. Raghib As-Sirjani berjudul Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia dan Para Pembentuk Peradaban Islam Seribu Tahun pertama karya Chase F. Robinson.
Salah satu karya monumental mengenai sejarah dan peran dunia arab dan islam pada dunia kontemporer yang tak bisa diabaikan adalah The History of Arab karya sejarawan dan guru besar sejarah Philip K Hitti. Buku yang mengulas lengkap bagaimana Islam telah menjadi etos utama bagi orang arab untuk mentransformasikan keunggulan-keunggulan sains, minat yang besar atak kebaruan dan teknologi, hasrat akan perubahan dalam cakupan yang meluas dalam waktu tak berapa lama. Buku ini telah dikutip secara luas oleh akademisi sejarah islam baik di Indonesia maupun di studi-studi sejarah kebudayan islam di manca negara.
Berikutnya, saya akan mengulas aspek-aspek yang saya pelajari dari sejumlah buku yang tidak hanya memberikan hamparan romantika dunia Islam yang cemerlang pada era klasik tapi juga merentangkan pembacaan-pembacaan kompleks mengenai mengapa dunia Islam menjadi sedemikian rudin di dunia kontemporer, kikuk dan tak bisa ikut berlari membangun kebudayaan global seperti negara-negara maju di belahan lain dan bagaimana sebaiknya masa depan dunia islam dibayangkan. Siauddin Zardar, Tamim Anzary, Ahmed T Kuru atau pemikir marxis Samir Amin. Bagian ini dikemukakan terutama untuk melihat bagaimana kebudayaan islam dan masa depannya bisa dilihat dan dicermati. Dengan model kerja seperti apa dunia baru islam dengan masa depannya akan kita tuju. Jika ini terlalu muluk dan tampak amat ambisius, tentu saja karena tendensi dari buku ini tidak pernah sekedar memberikan deskripsi atas dunia islam dan centang perenang sejarahnya, tapi juga mencoba mencari kemungkinan harapan-harapan emansipasinya.