Bagaimana Kuasa Penyingkiran Bekerja di Asia Tenggara

Tanah bukanlah ruang kosong yang bebas dari relasi kuasa. Ada banyak kepentingan dari berbagai aktor yang saling berkait kelindan. Dalam buku yang ditulis dengan kolaborasi dari tiga ilmuwan sosial terkemuka, yakni  Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Li, kisah penyingkiran atas akses terhadap tanah dipaparkan secara lebih detil dalam beragam kasus yang berbeda di Asia Tenggara. Dari berbagai kasus tersebut, berbagai aktor seperti masyarakat lokal, institusi negara, pihak swasta saling memainkan peran untuk memperoleh kontrol atas tanah.

Isu ini sangat penting untuk melihat bagaimana perubahan agraria yang terjadi dalam konteks kian menyempitnya akses rakyat terhadap lahan, serta berbagai respon balik atas tekanan-tekanan atas ruang hidup yang kian terancam. Di Indonesia sendiri, konflik lahan dan akses terhadap sumber daya alam masih menjadi masalah yang sulit diredam. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agaria (KPA), pada tahun 2018 terdapat 410 kasus konflik agraria, dimana 60% dari konflik tersebut didominasi oleh sektor perkebunan.[1] Tingginya angka tersebut menunjukkan kian relevannya membaca dengan cermat bagaimana proses tersebut berlangsung.

Judul Buku: The Power of Exclusion; Land Dilemmas In Southeast Asia  Penulis: Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Li

Penggunaan terminologi exclusion/penyingkiran dalam buku ini memberi perhatian pada relasi kuasa yang memainkan peran dalam menggerakkan proses eksklusi. Proses tersebut menurut buku ini merupakan interaksi dari empat kekuatan yang saling terhubung satu sama lain yakni; regulation (kebijakan), force(kekuatan), the market (pasar), legitimation (pengabsahan). Instrumen negara seringkali dikaitkan dengan penggunaan kuasa melalui regulasi untuk mengatur akses ke tanah dan pengaturannya. Adapun ancaman kekerasan terkait dengan penggunaan kuasa melalui force yang melibatkan aktor negara maupun non-negara. Sementara kerja penyingkiran melalui mekanisme ‘harga’ menjadi karakter khas dari the market.

Penulis buku ini menjelaskan bahwa pada setiap momen penggunaan produktif sebuah lahan pada salah satu aktor, maka di sisi lain merupakan hal mutlak proses itu menyingkirkan kuasa pihak lain untuk mengaksesnya. Pada titik inilah inti argumentasi buku ini mengenai dilema dalam persoalan penguasaan tanah, dimana penguasaan atas lahan di satu pihak (inclusion), maka di sisi lainnya pastilah merupakan penyingkiran (exclusion) bagi pihak lain. Namun, tidak terjebak pada logika ‘hitam-putih’, lebih jauh, buku ini justru lebih menekankan soal siapa yang mendapatkan akses, siapa yang kehilangan dari proses penyingkiran tersebut.[2] Sebagai contoh, dalam kasus pembangunan infrastruktur, pariwisata, lahan properti, dimana proses inklusi tanah untuk tujuan pembangunan itu tentunya di sisi lain, punya efek eksklusi bagi aktor lain seperti petani dan masyarakat lokal.

Baca juga:  Kisah Tiga Keluarga dalam Perubahan; Tanah, Rumah & Memoar Kehidupan Yang Hilang

Proses penyingkiran sendiri bukanlah hal baru dalam lintasan sejarah peradaban manusia. Penyingkiran selalu dimaknai sebagai proses menyingkirkan secara paksa dengan kekuatan. Marx sendiri sudah lebih dulu menjelaskan mengenai akumulasi primitif, sebuah proses historis bagaimana produsen dipisahkan dari alat produksi mereka.[3]  Dalam konteks ini, penyingkiran para petani skala kecil dalam hubungannya yang begitu lekat dengan tanah menjadi dasar utama dari seluruh proses akumulasi primitif.[4] Proses ini menandai suatu proses transisi dari sebuah corak masyarakat yang berwatak feudal menuju masyarakat dengan corak produksi kapitalis. Dari proses tersebut, kelas buruh tani tunakisma dterbentuk dan menandai sebuah proses proletarisasi di kalangan kaum tani. Dalam kasus Inggris, mekanisme perampasan itu melalui konversi tanah menjadi komoditas, yakni komodifikasi (lalu menyewakan tanah itu kepada petani kapitalis penyewa). Komodifikasi tanah ini meliputi penutupan akses atas lahan bersama: lahan yang digunakan oleh komunitas tani untuk mengembala ternak, mengumpulkan kayu bakar, memancing, berburu, serta aktivitas-aktivitas lain yang menyediakan segala sesuatu untuk subsistensi yang diperoleh melalui kegiatan budidaya.[5]

Nah, buku ini bisa menjadi alat analisa yang penting untuk melihat lebih detil bagaimana proses penyingkiran berlangsung dalam konteks yang terjadi di Asia Tenggara. Kian majunya kapitalisme membuat cara-cara penyingkiran tidak hanya menggunakan ‘paksaan ekstraekonomi’ tetapi juga memiliki karakteristik kekuatan-kekuatan ekonomi berupa penyingkiran yang digerakkan oleh pasar.[6] Pada titik ini, pasar misalnya sebagai salah satu elemen dalam empat kekuasan (power) yang bisa menungkinkan terjadinya proses eksklusi, menjadi perbincangan baru mengenai proses penyingkiran dengan karakter yang berbeda dengan proses akumulasi primitif yang cenderung dijalankan dengan cara koersif seperti penaklukan, perampasan, dan pembunuhan. Dengan mengutip Tomas Raffles, Marx mengambil contoh  proses akumulasi primitif yang dilakukan oleh kolonial Belanda di Indonesia digambarkan penuh dengan kebrutalan, “is one of the most extraordinary relations of treachery, bribery, massacre, and  meanness”[7] Sementata Rosa Luxemburg menyebut jika pengerahan kekuatan secara koersif sebagai jalan satu-satunya bagi kapitalisme, dan dijadikan sebagai senjata utama sejak awal kemunculan hingga perkembangannya hari ini.[8]

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Fernand Braudel (1979) bahwa ‘manakala kapitalisme diusir lewat pintu ia akan masuk lewat jendela’. Kapitalisme yang kian maju membuat proses penyingkiran kini bergerak dengan memanfaatkan berbagai instrument kekuasaan yang saling berkait, tidak hanya mengandalkan jalan kekerasan berdarah-darah, dengan ongkos sosial yang mahal. Pada salah satu bagian dari buku ini membahas soal bagaimana ledakan komoditas di pasar global bisa mempengaruhi transformasi agraria di sejumlah tempat di Asia Tenggara. Hal ini bisa dilihat dari corak khas dari kehadiran ledakan komoditas dimana seringkali mensyaratkan konversi lahan secara besar-besaran untuk produksi tanaman monokultur. Di Asia Tenggara sendiri sejak akhir abad 20 hingga awal abad 21, kekuatan pasar mulai menancapkan pengaruh dominasinya pada sektor tanaman komoditas. Hadirnya sejumlah tanaman komoditas seperti kopi, kakao, sawit, hingga karet yang mengalami lonjakan harga di pasar global membuat gairah ekonomi meningkat. Hal ini membawa banyak perubahan dalam relasi berbagai aktor yang berkepentingan atas akses terhadap lahan. Lonjakan harga kopi, misalnya, telah mengubah lansekap tata guna lahan, hingga kehidupan sosial secara umum di wilayah dataran tinggi Vietnam. Begitu pula konteks ekspansi perkebunan sawit Malaysia dan Indonesia yang menyingkirkan eksistensi etnis lokal di pulau Borneo.[9] Karena itu, proses penyingkiran yang digerakkan pasar ini membuat para petani menjadi ‘produsen komoditas skala kecil (petty commodity production). Mereka harus memproduksi kebutuhan hidup (subsistensi) mereka dengan cara bergabung dengan struktur pembagian kerja yang lebih luas dan terintegrasi ke pasar.[10]

Baca juga:  Budi Utomo: Waktu Dan Tempat

Tak hanya untuk kepentingan pertanian, lahan untuk non-pertanian juga memicu perubahan besar-besaran. Konversi lahan untuk keperluan industri, perdagangan, infrastruktur, pariwisata dan lainnya membuat lahan untuk pertanian kian menyempit. Penyingkiran melalui konversi lahan juga serupa dengan yang terjadi pada kasus lonjakan harga tanaman komoditas. Lonjakan harga tanah, dengan naiknya permintaan untuk berbagai sektor non pertanian menjadi pendorong utama peralihan tata guna lahan. Dalam konteks ini, apa yang disebut dengan proses deagrarianisasi berlangsung seiring dengan percepatan proses industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di paruh kedua abad 20 di Asia Tenggara. Hal ini dapat dilihat dengan kian menurunnya kontribusi pertanian bagi pendapatan nasional sejalan dengan makin menyempitnya lahan pertanian yang telah dikonversi. Hadirnya kantung-kantung pertumbuhan baru membuat sejumlah keluarga petani terpaksa harus beralih dari sektor pertanian untuk kelanjutan penghidupan mereka.

Dalam perkembangannya, konversi lahan pasca era pertanian berakhir di beberapa wilayah, sejumlah proses penyingkiran berlangsung dengan beragam proses-proses modernisasi dan pembangunan. Hadirnya ruang baru yang disebut dengan wilayah peri-urban merupakan salah satu bentuk khas dari proses eksklusi setelah beralih dari masyarakat agraris. Proses ekskusi ini nyaris serupa dengan yang terjadi pada tren meledaknya harga komoditas. Dalam kasus ini, konversi lahan juga terjadi dengan dorongan harga lahan yang melambung tinggi. Karakter khas urban yang hadir dari fase ini menandai sebuah proses deagrarianisasi, dimana menyusutnya kaum tani dan lahirnya proses penciptaan kelas pekerja yang didorong oleh masuknya investasi di berbagai sektor baik industri maupun jasa.

Baca juga:  Perjalanan

Praktik penyingkiran lain yang dibahas dalam buku ini yakni mengenai penyngkiran berbasis konservasi yang bekerja melalui penetapan zona konservasi. Di sejumlah wilayah di Asia Tenggara, proses ini sudah berlangsung sudah sejak cukup lama. Sejak kedatangan kolonial, legitimasi dan regulasi memanikan peran vital dalam praktik penyingkiran model ini dengan menetapkan sejumlah wilayah hutan berdasarkan peruntukannya. Nancy Peluso dan Peter Vandergeest menyebutnya sebagai ‘hutan politik’ dimana negara menetapkan kawasan tertentu sebagai hutan melalui kategori administratif.[11]

Sebagaimana, upaya dominasi kuasa di satu pihak menyisakan perlawanan di pihak lain. Kuasa penyingkiran akses atas tanah yang menggunakan berbagai macam kuasa direspon oleh rakyat dengan perlawanan dengan berbagai skala. Sejumlah praktik penyingkiran yang terjadi di berbagai wilayah Asia Tenggara tidak serta merta berlangsung dengan jalan mulus. Buku ini juga memberi catatan penting soal bagaimana respon-respon balik atas proses penyingkiran yang terjadi. Sejumlah upaya mobilisasi perlawanan juga dilakukan berbagai elemen gerakan rakyat yang penghidupannya tersingkir dengan berbagai praktek penguasaan skala besar. Mobilisasi kolektif menjadi aspek kunci untuk merespon penggunaan relasi kuasa yang berbasis pada legitimasi (seperti dalam kasus pembangunan bendungan, area konservasi, maupun perkebunan skala besar). Di Indonesia dan Vietnam misalnya, narasi etno-nasional hadir untuk membangun mobilisasi kolektif rakyat muncul bersamaan dengan makin menguatnya tekanan pada masyarakat lokal. Narasi perlawanan atas akses terhadap lahan berkisar pada hak ulayat masyarakat yang secara historis memiliki kuasa penuh atas sejumlah wilayah hutan. Klaim berbasis identitas kultural ini menjadi siasat untuk merespon balik di beberapa tempat. Berbagai mobilisasi perlawanan dengan menggunakan model lain juga mewarnai proses respon balik yang terjadi di berbagai wilayah di Asia Tenggara. Nampaknya, alat analisa yang dipaparkan beserta sejumlah contoh kasus dengan berbagai latar belakang konteks yang berbeda kian relevan hari ini. Dengan melihat makin tingginya hasrat untuk menguasai lahan untuk berbagai kepentingan kapital. Kasus Indonesia sendiri sudah cukup benderang memperlihatkan kontradiksi itu. Menggenjot infrastruktur, kemudahan investasi di sector perkebunan sawit, hingga rencana untuk menghapuskan IMB dan AMDAL dalam  rangka menarik investasi lebih besar. Rencana-rencana ambisius ini terdengar begitu membangkitkan optimisme untuk membawa kemajuan, tetapi di pihak lain ada jutaan rakyat yang bakal terancam kehilangan akses terhadap ruang penghidupannya.[]

0%