Oleh: Bandung Mawardi
Nama memang diucapkan dan dituliskan, tak menuntut penjelasan tuntas. Nama sudah dibuat, biografi bergerak dengan kepingan penjelasan. Kebingungan kadang terbawa sampai lama. Nama telanjur dimiliki sebagai pemberian. Ikhtiar nama memuat penjelasan-penjelasan memerlukan masa dan pengisah. Penjelasan perlahan ada meski tak berhasil sampai ke pemilik nama.Misbach Yusa Biran (1933-2012), pencerita dan tokoh perfilman, mengisahkan diri dan keluarga dalam buku berjudul Kenang-Kenangan Orang Bandel (2008). Buku cukup tebal dan membuat pembaca tertawa, sebal, terharu, bingung, dan memuji. Buku itu terbit setelah selama puluhan tahun, orang-orang terhibur dengan buku Keadjaiban di Pasar Senen. Buku memuat sketsa-sketsa kocak, membuktikan kemahiran Misbach bercerita dan mengawetkan rekaman zaman.
Ia mengenang: “Nama ayah saya agak aneh: Ayun Sabiran. Beliau sendiri tidak bisa menerangkan, kenapa namanya begitu. Kenapa ‘Ayun’? Diambil dari apa? Beliau tidak tahun dan juta tidak tahu apa artinya. Beliau tidak pernah mempersoalkannya. Kalau menuliskan namanya, beliau tulis A Sabiran.” Nama depan disingkat A. Di mulut teman dan tetangga di Rangkas, ia malah dipanggil Pak Ayun.
Bapak itu kelahiran Payakumbuh, 1911. Sekian hal lain masih misteri. “Beliau bukan saja tidak suka bercerita, tapi sama sekali tidak tertaruk untuk menjelaskan mengenai keluarganya nun di seberang sana,” tulis Misbach. Kita diajak melihat ke Sumatra.
Bapak lahir dan tumbuh dari keluarga miskin. Ia dikirim ke sekolah dengan harapan kelak mengubah nasib keluarga. Keterangan diperoleh Misbach: “Maka, pada sekitar tahun 1918, dikirimlah beliau pergi belajar ke Padang Panjang.” Di sana, Ayun Sabiran berteman dengan Malik atau Hamka. Pengisahan itu diperoleh dari surat bela sungkawa Hamka setelah Ayu Sabiran meninggal dunia. Hamka berusia tua masih selalu mengingat Ayun Sabiran. Kita menduga Ayun Sabiran bukan orang biasa. Ia tak sekadar teman masa kecil atau remaja bagi Hamka.
Di buku berjudul Kenang-Kenangan Hidup (1951), Hamka pun mengisahkan Ayun Sabiran. Buku mungkin pernah dibaca Misbach tapi tak dikutip dalam Kenang-Kenangan Orang Bandel. Hamka mengisahkan diri sebagai Malik: “Badannja ketika itu langsing, muka manis, kuning langsat, pandai mengobrol, berceritera. Pandai pepatah-pepatah adat dan disajangi didalam pergaulan. Dia tidak banjak dirumah. Dirumah menutup pikirannja sadja. Ia asjik benar membatja surat-surat kabar harian, agama-agama dan chajal sudah mulai djauh. Ah, kalau ajahnja dapat menjelami djiwanja waktu itu. Dia pergi pada kawannja Ayun Sabiran jang banjak mempunjai surat kabar harian Tjahaja Soematra, Sinar Soematra, Hindia Baroe.”
Hamka sudah suka membaca buku-buku cerita di tempat persewaan buku. Bacaan berupa surat kabar dinikmati dengan mendatangi Ayun Sabiran. Dua lelaki itu dilanda keaksaraan. Mereka berada di titian modernitas, menggerakkn ide dan imajinasi dengan huruf-huruf tertulis atau tercetak. Ayun Sabiran, nama ditulis jelas oleh Hamka sebagai teman memiliki koleksi surat kabar. Ayun Sabiran pasti suka membaca, bukan murid bodoh dan malas.
Misbach mengetahui sosok bapak dalam sepucuk surat Hamka (1974), bukan dari buku ditulis Hamka terbit masa 1950-an. Di surat, terbaca keterangan Hamka dan Ayun Sabiran berteman di pengajian Sumatra Thawalib dan Diniyah School, 1918-1922. Hamka bercerita tentang Ayun Sabiran: “Tubuhnya kecil, berparas baik, sangat penyabar, pendiam, baik hati dan pandai di kelasnya. Wajahnya selalu tersenyum.” Hamka meninggalkan Padang Panjang, tak mengetahui nasib Ayun Sabiran setelah 1922.
Misbach ingat bapak pernah bercerita tentang masa muda dan bacaan. Ayun Sabiran malah pernah menulis artikel dimuat di surat kabar terbitan Singapura. Artikel berisi kesadaran tanah air. Ayun Sabiran menulis dengan nama samaran, sadar ada pihak-pihak tak suka dengan tulisan mengobarkan keberanian melawan pemerintah kolonial. Nama samaran saat menulis artikel-artikel: “Jose Beron”. Nama mengesankan milik orang asing, berada di negeri jauh di Eropa. Bapak memang ikut pergerakan (politik) berakibat ditangkap Belanda, 1927. Dulu, di sana menular dan mengembang paham komunis.
Bermula nama samaran, Misbach menghormati bapak dengan mengambil alih nama untuk diri. Ada perubahan: “Nama samaran ayah itulah yang saya abadikan bersama nama saya, tapi yang kedengarannya lebih Indonesia, yakni Yusa Biran.” Pada saat mengisahkan pengalihan nama, Misbach belum perlu menjelaskan nama diri mungkin bersangkutan dengan masa sejarah di Padang Panjang. Bapak ditangkap 1927 (berusia 17 tahun), dikirim ke Boven Digoel pada 1929. Masa itu bergolak dan membara, Misbach belum dilahirkan oleh istri Ayun Sabiran. Di Boven Digoel, Ayun Sabiran menuruti hasrat seni dan intelektual sebelum asmara: “… belajar main biola, main gitar, fotografi, juga belajar bahasa Belanda dan Inggris.”
Pada 1933, Ayun Sabiran bebas. Ia telah menikah dengan Yumenah di Boven Digoel. Keputusan bebas tapi tak boleh kembali ke Sumatra Barat. Ayun Sabiran dan Yumenah memilih tinggal di Rangkas, di rumah kecil. Bapak sebagai tokoh revolusioner pulang tanpa janji bisa mendapat pekerjaan dan memenuhi nafkah kebutuhan keluarga. Pada 11 September 1933, lahirlah Misbach dalam keluarga miskin.
“Ibu sebetulnya ingin memberi nama saya Efendi, terdengar modern untuk waktu itu,” kenang Misbach. Kehendak bapak berbeda tapi beragumentasi: “Ayah berkeras ingin menamakan Misbach. Saat itu sedang populer nama H Misbach karena baru saja digantung Belanda. Ayah ingin saya jadi pejuang dan siapa tahu bisa jadi haji.”
Kita kembali lagi ke ingatan-ingatan Hamka terbit 1951. Ia pun menulis nama: H Misbach. Pada 1923, ia berencana ke Jawa tapi gagal. Malik malah kena sakit cacar, dirawat keluarga di Bengkulu. Pulanglah ia ke Padang Panjang dalam “zaman pancaroba”. Ia menerangkan: “Haji Dt Batuah dan kawannja Nafar Zainuddin telah kembali dari perlawatannja dari Tanah Djawa. Mereka mambawa paham baru (komunis). Paham baru itu terutama ditebarkan dalam kalangan murid-murid Sumatra Thawalib.” Kita menduga Ayun Sabiran termasuk pemuda dikenalkan dan digoda dengan komunisme, berkonsekuensi membawa ke Boven Digoel.
Hamka menulis kenangan saat kembali ke Padang Panjang sambil berharapan tetap bisa pergi ke Jawa: “Apakah jang komunis pada masa itu? Bentji kepada pemerintah Belanda dengan alasan Qur’an dan Hadits. Melawan penindasan kaum kafir karena pendjadjahan kaum kapitalis dan imperialis jang berlawanan dengan adjaran agama Islam.” Kita mendapat pengantar untuk mengetahui ideologi menular ke Sumatra Barat pada masa 1920-an.
Kita mengutip lagi mungkin berkaitan dengan nama anak Ayun Sabiran: “Diantara pemimpin-pemimpin beragama, jang menurut SI Merah, ialah H Misbach di Solo. Madjalahnja Medan Moeslimin banjak tersiar di Padang Pandjang.” Ayun Sabiran suka membaca surat kabar. Ia mungkin ikut menjadi pembaca Medan Moeslimin, mengenal nama tenar dan berpengaruh: H Misbach. Kita makin menduga pemberian nama Misbach mengacu tokoh gerakan politik asal Solo. H Misbach pun dibuang ke Boven Digoel. Kita menafsir bahwa Misbach menjadi nama bereferensi “zaman pancaroba” atau masa sejarah penuh pergolakan. Masa dengan tokoh-tokoh kiri dikeluarkan dari Jawa dan Sumatra demi ketertiban di tanah jajahan. Nama itu menanggungkan sejarah besar dan membara. Begitu.***
Bandung Mawardi saat ini aktif sebagai pedagang buku bekas dan tukang kliping