Oleh: Muhammad Ridha
“Komunisme muncul secara positif di setiap bidang kehidupan publik; permulaannya harus dilihat secara harfiah di semua sisi.”
(Vladimir I Lenin)
Saya ketemu dengan Sodiqov, di usia 68 tahun, pensiunan guru kesenian dan alumni institut of art and desain di Uzbekistan. Di kedainya, di antara Mir I Arab dan Abdul Azis Madrasah, saya berbincang bersama istrinya yg juga pensiunan guru keterampilan kerja mengenai revolusi. Juga mengenai sains Islam di Masa lalu Bukhara. Sodiqov memuji T-shirt saya bergambar siluet orange Che Guevara. Dia menyebutnya dengan sepenuh upaya mengingat: “Ernesto Che Guevara!” Sambil menunjuk ke T-Shirt saya. Saya jawab “yes”. Dan lanjut dia tertawa. Dia sangat suka tertawa dan mengobrol.Sodiq begitu punya minat kepada banyak hal. Dia bertanya soal Jakarta, ibu kota Republik Indonesia. Dia mengingat Soekarno, sebagai patriot. Dan di sela-sela saya dan Sodiq ngobrol, istrinya yang juga sembari melayani pelanggan, menyela: “Che Guevara is the patriot from Cuba”.
Dan kami berdua menimpali: “iya”. Dia sambil mengembangkan senyum dari seorang perempuan berusia lanjut yang selalu cantik dan penuh energi. Saat tak ada pembeli yang dilayaninya, dia datang menceritakan Al-Khawarismi, Umar Khayam, Lenin, Stalin juga bicara soal tokoh sufi jenaka: “Hoja Masruddin”. Dia menyampaikan kampung halaman Hoja Nasruddin adalah Bukhara. Saya bilang “No Bukhara. Hoja Nasruddin From Aksyehir, Turki”. Dia menjelaskan kalau di Turki dikenal dengan Nasrettin Hotjca Efendi. Dia lebih bersemangat dan ingin menyampaikan apapun yang diketahuinya.
Di sela dialog-dialog kami dia menceritakan kariernya sebagai guru. Dan senang mengetahui jika saya juga seorang pengajar. Mereka berdua bilang “kolega. Your teacher. And we teacher.” Sambil menjual diri kami bertiga. Sambil mengembangkan senyum dan tertawa.
Saat istrinya kembali melayani konsumen, Sodiq meminta saya memberikannya, jika ada, koin mata uang yang saya miliki dari Indonesia atau dari tempat lain. Rupanya dia mengoleksi banyak koin dari berbagai tempat yang dikumpulkannya dari berbagai teman. Sesuatu yang membutuhkan minat dan energi hidup yang sungguh-sungguh.
Saat saya sedang melihat-lihat apa yang dijualnya, istrinya seperti tau apa yang ingin saya liat. Dia menunjuk sebuah miniatur Hoja Masruddin. Dan saya menyambutnya. Sembari berujar dengan penuh empati: “Nasruddin Hoja…” dan saya mengambilnya untuk dimasukkan ke kantong belanja.
Sambil berlari kecil Sodiq menuju rumahnya, di perkampungan di belakang Mir I Arab, dan kembali membawa kue dan sebotol Pepsi. Kami melanjutkan berbincang tak tentu arah hingga pukul sebelas. Tapi setiap saya bertanya kapan tokonya akan ditutup dia selalu bilang jika istri saya mengantuk dia akan pulang dan menutupnya. Dia seperti menahan saya berbincang.
Sesekali dia bertanya: “good Bukhara?” Saya akan menjawabnya “ya. Bukhara is beautiful” dengan bahasa Inggris yang gak tau benar apa tidak. haahaha. Dia mengakui telah bertanya begitu kepada Turis Pakistan, India, Malaysia, Eropa, Amerika dan banyak negara lagi yang coba disebutkannya satu-satu kepada saya.
Bersama Sodiqov dan Istrinya Di Depan Kedai/ Dok Pribadi Muhammad Ridha
Saat saya akhirnya pamit pulang dia meminta saya memberikannya koin yang saya sampaikan padanya ada di kamar hotel saya. Juga yang mengagetkan saya: dia meminta baju kos saya bergambar Che Guevara meskipun belas saya pakai. Dia bilang tak ada masalah. Ukuran saya sama dengan ukurannya. Sambil mengambil sebuah kaos bertulis Bukhara dan memeriksa ukuran baju yang saya pakai. Dan memberikan saya selembar baju kaos yang dijualnya. Kami berpisah dengan janji, besok pagi jam 9 saya akan datang ke tokonya membawa baju kaos bekas bergambar Che Guevara dan koin mata uang Singapura dan India yang ada di kantung tas kecil yang tidak ikut saya bawa ketika menuju ke tempatnya.
***
Ada juga dua orang tua penjual jam tangan bekas Rusia, topi khas tentara Rusia dan peci Uzbek bermacam model. Namanya Tahrem dan Maksur. Usianya masing masing 68 dan 66 tahun. Mereka semua membuat dengan jahitan tangan yang sangat kuat kulit-kulit dan kulit bersama bulu binatang. Dia bisa menjelaskan lenin, Trotsky, Breznov atau Stalin serta Gorbacev. Dia menunjukkan jam kalung atau jam tangan bekas dengan mesin tanpa batrai yang pabriknya di Rusia sudah tutup.
Saya membeli Ka pada keduanya peci khas Uzbek pesanan teman di Indonesia. Saya membeli sebuah jam kalung berlogo pali arit dan bertuliskan singkatan nama Republik Soviet. Sesekali dia meyakinkan saya untuk membeli pecinya: “new model!” Katanya. Untuk meyakinkan jika saya membeli produk yang bagus dengan model yang baru.
Tahrem menunjukkan pin Soviet yang bermacam-macam dan menawarkannya. Dia menunjukkan jam kalung bergambar angkatan laut Soviet, angkatan udara Soviet atau bergambar Lenin, Stalin atau keduanya. Dia mengajak saya meminum teh tawar hijau di mangkuk kecil yang dituangnya dari ceret kecil keramik. Dia sungguh senang bergaul dan membincang berbagai hal. Dia seperti tidak sedang berjualan, tetapi bercerita dan berbagi ke orang-orang.
Di hari terakhir, ketika saya mengunjungi toko kali lima maksur, Tahrem tidak buka. Atau mungkin belum buka. Dia menawarkan berbagai peci yang yang dia jahit sendiri. Dia mengajak saya melihat kulit halus sapi yang sudah terjahit dengan model macam-macam sisa dijahitkan bulu binatang yang juga tergantung di sampingnya. Dia membincangkan Soviet dan partai komunis yang di kenangnya sebagai partai yang terus berjuang. Saat saya membeli sebuah jam kalung berlogo palu arit, dia memberikan saya tujuh buah peci Arab. Dia bilang “free for you. Seven Pcs” Dia bilang berikan kepada presidenmu satu buah peci itu. Sambil tertawa.
Mereka semua seperti sedang tidak berjualan dan tidak semata-mata mencari keuntungan. Dia mencari dan ingin mengenali orang-orang yang datang dengan segala latar belakang dan pengetahuannya. Suatu pemandangan menakjubkan mengenai masyarakat dan orang-orangnya yang penuh gairah dan minat kepada kehidupan, kemanusiaan dan pengetahuan.
Tahrem/Dok. Muhammad Ridha
Dan itu teramat jarang saya saksikan. Di Indonesia, atau di kampung halaman saya sendiri, minat akan segera hilang saat dewasa. Usia akan segera tergerus hanya untuk terus mencari keuntungan dan uang. Orang-orang seperti berlomba untuk mencari berbagai macam hal untuk dikumpulkannya tapi seperti kehilangan lebih banyak hal lagi dalam hidup. Saya sendiri menyadari diri yang tenggelam hanya untuk hal-hal yang sungguh tak cakap.
***
Lain lagi dengan anak kecil berusia sekira 13 tahun bernama abu bakar dan seorang bapak bernama Ahmed yang saya jumpai di kedainya di dalam madrasah Ulugh Begh. Dia begitu penuh perhatian dan sabar. abu Bakar, ketika melihat saya memasuki kedainya, datang menghampiri. Bertanya nama dan asal saya. Dan menjelaskan peci yang sedang saya amati. Dia memberikan harga dan meminta saya membelinya. Dia juga menawarkan kepada saya untuk menawar harga yang dia berikan. Ketika saya menawar sedikit tidak masuk akal, dia menjelaskan jika saya membelinya dengan harga itu, ibunya tidak akan mendapat selisih keuntungan.
Saya meninggalkan Abu Bakar yang masih menawarkan pecinya tapi tak sanggup saya beli dengan harga yang ditawarkannya. Dia sama sekali tidak kesal melihat saya pergi. Hal yang di banyak tempat akan menimbulkan reaksi kecewa atau kesal.
Saat saya meninggalkan Abu Bakar, saya memasuki sebuah kedai yang memajang berbagai miniatur tokoh Soviet dan juga tokoh dunia lainnya yang dibuat sangat detil dengan tangan. Miniatur ini dibuat dari bahan tanah liat yang dibakar menjadi keramik atau gerabah. Dia membawa saya ke work shopnya dan memperlihatkan tokoh-tokoh yang sedang dibuat miniaturnya. Dia sendiri membuat dan menjual hasil kerjanya. Mungkin karena itu, selisih harga tidak begitu mahal. Meski dibuat dengan tangan. Saat saya tunjuk beberapa miniatur dia bisa menyebutkan dan menjelaskan siapa orang itu. Dia menyebut Puskins, Aristoteles, Umar Kayam, Allhawarismi, Nasruddin Hoja, lenin, Stalin, Besnov, Kruscev dan yang lain yang telah dibuat dan dipajangnya di sana.
Apakah ini cermin dari masyarakat yang ditempa oleh suatu etos komunisme yang penuh empati, solidaritas dan aspirasi akan pengetahuan? Saya ingin menjawabnya: “iya!”. Meski saya masih butu menelitinya lebih jauh. Tapi tentu saja tak masalah saya merasakan dan menyimpulkan hal yang benar-benar saya temui faktanya? Saya tarik kesimpulan dini dan saya yakini? Saya rasa tak masalah, bukan?
Di antara pertanyaan-pertanyaan itu, saya terbayang masyarakat Eropa dan Amerika yang sedang lesu darah, tak punya etos kemanusiaan dan saat ini sedang dipenuhi ketakutan akan masa depan mereka semua yang telah mempercayai suatu anjuran hidup yang berdasar pada eksploitasi dan penghisapan kepada manusia yang lain. Saat Eropa dan Amerika sedang lesu, masyarakat yang ditempa oleh komunisme, justru menunjukkan daya hidup, etos dan aspirasi kemanusiaan yang terus tumbuh.
***
Siang hari terik, pukul 11 siang, di antara lorong menuju Ulugh Begh Madrasah, saat menunggu janjian dengan Sodiq yang tak membuka tokonya sejak saya ke sana pukul 9 pagi. Saya bertemu istrinya, Syabe yang menuntun dua orang cucunya, Ali dan Sabrina. Dia memohon maaf karena lupa jika telah janjian dengan anaknya pergi ke pasar bersama. Karenanya janji membuka toko pagi jam 9 tidak ditunaikannya.
Saya mencubit pipi Sabrina dan menjabat tangannya. Begitu juga dengan Ali. syabe, menagih baju kaos yang saya janjikan. Karena Sodiq mengurus satu hal diluar, dia menitipkan itu kepada istrinya yang kebetulan melintasi saya. Maka saya serahkan sebuah buku mengenai sains Islam yang saya tulis, sebuah kaos bergambar Che Guevara dan beberapa buah koin Singapura dan India yang kebetulan saya peroleh dari perjalanan melintasi dua negara tersebut sebelum sampai ke Uzbekistan dan ke kota Bukhara ini.
Saat dia hendak berangkat, saya memintanya berfoto bersama dengan saya dan dua cucunya. “Take take”. Lalu dia pamit meminta cucunya melambaikan tangan dan berucap salam.
Hidup orang-orang yang saya jumpai ini benar-benar tak berkejaran seperti masyarakat di negeri-negeri kapitalis. Saya menyaksikan mereka mengakrabi hidup bersesama, saling bertegur sapa dan berdagang seperti sekedar sesuatu yang menempel pada hubungan sosial mereka. Seperti sebuah sambilan di antara upaya-upaya mereka membangun hubungan sosial yang akrab, penuh empati, solidaritas dan penuh aspirasi pada hal-hal tentang hidup.
Saya merasakan denyut negeri yang telah ditempa oleh kebudayaan-kebudayaan kuno Cina, Mongol, Islam dan Eropa. Saya merasakan, berada di panggung kebudayaan manusia yang paling maju hubungan sosialnya, diantara masyarakat-masyarakat lain yang bangkrut dan krisis!
***
Muhammad Ridha Merupakan Dosen Uin Alauddin Makassar