Oleh Muhammad Ridha
Ini kisah sebuah kota kaum muslim di sisi barat Mediterania, di Spanyol. Namanya Andalusia. Disematkan dari nama salah satu sub suku Visigoth yang mendiami negeri itu, suku Vandal. Lalu disebut dengan cengkok Arab sebagai al-vandalus. Atau al-Andalusia. Sejarahnya, sayang, tak panjang. Tak melewati empat abad. Lalu ambyar. Lalu negeri setelahnya pecah-pecah. Berkeping. Menyisakan kemudian hanya penggalan-penggalan kenangan tentang masa lalu gilang gemilang yang oleh seorang penulis sejarah Spanyol abad tengah, Andalusia ketika itu adalah “ornament of the world”.[1]“Kalangan Muslim Spanyol telah menorehkan catatan yang paling mengagumkan dalam sejarah intelektual pada abad pertengahan di eropa. Antara abad ke-8 dan 13 orang-orang yang berbicara dengan Bahasa Arab adalah para pembawa obor kebudayaan dan peradaban penting yang menyeruak menembus seluruh pelosok dunia”
[Philip K Hitti]
Kisah menawannya dimulai dari seorang pemuda yang terus berlari dari kejaran dinasti baru yang membunuh semua keluarganya, Abbasiyah. Bersama seluruh kekuatannya, dan beberapa pengikutnya yang masih setia, dia terus ke arah Magribi di mana ada banyak sanak keluarganya. Ibunya adalah keturunan suku Berber, di Magribi yang sekarang ini adalah Maroko. Lalu memutuskan menyeberang ke semenanjung Iberia di negeri yang telah dihuni kaum muslim beberapa dekade sebelum Abdurrahman datang. Lalu dengan pelan mengambil alih kekuasaan dari gubernur yang saat itu memang sudah sangat tidak dipercayai oleh rakyatnya sendiri. “Salah satu dari keluarga Umayyah, yaitu Abd al-Rahman melarikan diri ke Magrib. Lalu ke Andalusia, di mana di tahun 756 M dia menetap di Cordoba, memegang gelar amir. Itu adalah saat dimulainya dinasti Umayyah di Spanyol, yang menguasai Al-Andalus sampai tahun 1031 M.”[2]
Pangeran muda Abd al-Rahman ini, yang berhasil selamat dari kemelut, yang akhirnya hijrah ke seberang laut tengah ke Andalusia, berhasil memimpin Andalusia. Dia diceritakan, di akhir-akhir hidupnya, begitu mengenang kampung halamannya. Juga mungkin tempat-tempat nostalgis baginya sebagai seorang cucu di lingkungan istana kekhalifahan yang masih memimpin lalu diambil alih oleh orang lain. Lalu dirinya sendiri pergi dari kemelut. Berhasil selamat dari maut. Tapi berada jauh dari kampung halamannya. Terbuang. Tapi yang paling mencolok, yang mencerminkan kerinduannya atas Damaskus, adalah perkebunan Rusafa’. Perkebunan Rusafa’ adalah sebuah taman di kota Damaskus yang dikelilingi tembok. Di sanalah dulu keluarga Ummayah menghabiskan waktu. Kenangan atas taman itulah sehingga Abdd Al-Rahman membuat ‘Rusafa’ baru di Andalusia, sedikit keluar kota Cordoba. Di sanalah akhir-akhir hidupnya dihabiskan di antara pohon palm yang diambil dari Suriah. Sebagaimana syair yang ditulisnya sendiri di masa-masa tuanya:
Sebatang palm tegak berdiri di tengah perkebunan Rusafa,
Lahir di barat, jauh dari tanah leluhurnya.
Ku berkata kepadanya: betapa mirip kau dan aku,
terpencil dan terbuang,
Terpisah jauh dari keluarga dan teman.
Kau tlah tumbuh di tanah yang asing bagimu;
Dan aku, sepertimu, jauh dari kampung halaman.
Jejak kerinduannya kepada kampung halamannya juga terlihat pada arsitektur masjid raya Cordoba, yang dianggap sebagai arsitektur gaya Umayyah. Praktiknya mirip pembangunan masjid Umayyah di Damaskus, memanfaatkan apa yang tersedia atau mungkin diakses. Pada awalnya gedung gereja tua milik penganut Kristen dipakai separuh. Lalu dibeli sepenuhnya untuk dibangun kembali dengan menggabungkan unsur-unsur yang masih bisa diperbaiki dan yang baru. Begitu juga masjid raya Cordoba yang dibangun Abd-al Rahman. Memanfaatkan batu-batu tinggalan Kristen atau Romawi di sana, pilar-pilar dan saluran air serta pelengkung-pelengkung dengan warna merah putih bergantian tak terhitung. Sebagian mengadopsi bentuk-bentuk arsitektur lokal dan vernakular sebagian lainnya mencontoh masjid Umayyah di Damaskus.
Kerinduan akan masa lalu di Damaskus, dan kenyataan dia telah menjadi pemimpin di sebuah negeri jauh, telah membuat visi kota Andalusia bergerak ke arah untuk membuktikan suatu kesuksesan atau jika tidak menandingi mereka yang telah merampas kekuasaan dari kelompoknya atau mungkin mengembalikan potongan-potongan memori di negeri asal ke negeri barunya. Dalam waktu yang tak begitu lama, wilayah ini, setelah menjadi demikian makmur, maju dan dipuja-puja di Eropa, kepemimpinannya pun menyatakan diri sebagai kekhalifahan yang terpisah dari pusat Islam yang dipimpin oleh dinasti Abbasiyah di Bagdad.
Kerinduan kreatif Abd Al-Rahman inilah yang dilanjutkan oleh para penerusnya hingga mencapai tahun-tahun amat penting yang membuat siapapun yang mengenang kota Cordoba di Andalusia akan mengingatnya sebagai, seperti istilah Maria Rosa, ‘istana memori’. Kota yang dipenuhi ingatan-ingatan tentang kejayaan, tentang arsitektur dan istana-istana, tentang jembatan-jembatan, tentang taman-taman dan kolam, tentang perpustakaan nan mewah atau jalan-jalan berpenerangan di malam hari, yang itu mungkin hanya bisa ditandingi oleh kota utama di Eropa lainnya seribu tahun setelah kota itu sendiri dikalahkan, para penduduknya yang muslim dan Yahudi diusir keluar Andalusia, hingga semua yang indah itu hanya tinggal tumpukan-tumpukan di istana memori.
Bagaimanakah gerangan kota itu hingga baik dari sisi Eropa maupun dari sisi Asia, baik dari sisi Kristen Eropa maupun dari sisi Islam dikenang sebagai kota yang penuh kenangan? Atau apakah relevansi membicarakan Andalusia di saat-saat Ketika dunia telah begitu jauh darinya? Maria Rosa, seorang akademisi dan penulis dari Yale University, memberi jawaban menarik dalam sebuah perbincangan mengenai bukunya: “Andalusia telah memberikan kenangan yang terhormat dan mulia, yaitu ketika dunia Islam berada dalam kondisi puncaknya”[3]
Sejarawan untuk dunia mediterania dan terutama sejarah kebudayaan Islam, John Freely meringkas masa keemasan dinasti Umayyah di Andalusia dengan: “Dinasti Umayyah di Al-Andalus mencapai kejayaannya di bawah pemerintahan Abd Al-Rahman III (berkuasa antara tahun 912-961), yang di tahun 929 memegang gelar khilafah, menegaskan kemerdekaan Al-Andalus dari khalifah Abbasiyah di Timur. Setelah itu dimulailah masa keemas an muslim Cordoba, yang dikenal di kalangan ahli sejarah Arab sebagai ‘pengantin Al-Andalus’. Masa keemasan berlanjut di bawah pemerintahan anak dari Abd Al-Rahman dan penerusnya yaitu Al-Hakim II (berkuasa 961-976) dan cucunya yaitu Hisham II (berkuasa tahun 976-1009)”.
“Di masa pemerintahan Al-Hakim II didirikan sebuah perpustakaan terbesar di dunia Islam di Cordoba, mengungguli perpustakaan yang ada di Bagdad dan Kairo. Perpustakaan milik khalifah dan banyak sekolah yang didirikan membuat Cordova menjadi kota untuk menuntut ilmu baik untuk penduduk Eropa Kristen maupun muslim,”[4] demikian lanjut Freely dalam bukunya yang ingin menunjukkan keunggulan kota Islam di Spanyol ini. Soal menuntut ilmu, di Andalusia memang terdapat banyak Lembaga Pendidikan hingga universitas. Menurut sejarawan Philip K Hitti beberapa kota di Andalusia mempunyai universitas. Beberapa universitas besar bisa disebutkan di sini seperti di kota Cordoba, Sevilla, Malaga dan Granada…., Kurikulumnya meliputi kajian teologi, ilmu hukum, kedokteran, kimia, filsafat dan astronomi.”[5]Salah satu peninggalan penting dari dunia intelektual muslim yang lain di Granada adalah Casa de la Ciencia (House of Science). Didirikan dengan nama La Madraza, dari kata madrasah, sekolah muslim tingkat tinggi. Cikal bakal Universitas Granada[6].
Gedung-gedung arsitektur, taman-taman kota, hingga yang lebih dalam dan seringkali lebih kompleks adalah ilmu pengetahuan dan kesusastraan yang maju juga adalah salah satu ‘istana memori’ bagi kita. Di Granada terdapat istana Al-Hambra, di Cordova ada masjid Raya Cordoba juga taman kota yang indah, dan tak terhitung rumah-rumah dengan arsitektur percampuran Spanyol, Arab ataupun Romawi. Tapi yang tak kalah mencengangkan, bagi penulis adalah dunia susastra yang diam-diam telah ‘membentuk’ dunia sastra modern Spanyol atau malah Eropa. Untuk yang terakhir ini bisa ditunjukkan dengan pengaruh kesusastraan arab dalam karya seorang pendeta Andalusia di abad ke 12 yang pindah ke London, Petrus Alfonsi, yang menulis The Priestly Tales dan Dialogue Againts the Jews yang begitu laris di Eropa dan telah menjadi bacaan kalangan elit Eropa yang sesungguhnya hanyalah kisah oral, sumbernya dari kisah seribu satu malam di Bagdad, yang menceritakan kisah bermacam-macam yang memberi hikmah. Seperti dicatat Maria Rossa “The Priestly Tales karangan Petrus, kalangan elite di dunia Latin untuk pertamakalinya dapat mencicipi suatu ‘hidangan’ yang di Andalusia telah tersedia bagi hamper setiap orang sehari-hari, dan yang telah menghubungkan Andalusia dengan seluruh wilayah kekaisaran Islam”.[7]
Yang tak kalah mencengangkan adalah dalam hal sastra Spanyol klasik yang berakar pada realisme magis ala Miguel de Cervantes[8] dalam karyanya Don Quixote de La Manca. Karya ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1605 sebelum pengusiran semua orang Yahudi dan Muslim yang selama sekitar satu abad inkuisisi dibolehkan tinggal di Andalusia tapi harus memeluk Kristen. Mereka wajib menunjukkan kekristenan mereka. Bahkan seringkali secara berlebihan karena maksud agar tidak dianggap masih menyimpan keyakinan Muslim atau Yahudi mereka dan harus dihukum mati. Karena itulah banyak di antara orang Kristen abad ke 16, di masa-masa inkuisisi adalah Muslim atau Yahudi yang bersiasat berpindah agama meski tak sepenuhnya berpindah daripada harus menerima hukuman mati. Karena itulah banyak di antara keturunan Arab Spanyol di masa-masa itu begitu gemar menunjukkan secara mencolok kekristenan mereka dengan membakar babi di halaman rumah mereka, (seperti kisah Dulcinea dalam Don Quixote-nya Cervantes yang diceritakan sebagai pemberi garam pada babi terbaik) yang seringkali, tujuannya hanya untuk menghindar dari hukuman. Di era ini banyak terjadi pembakaran buku berbahasa Arab. Atau Bahasa Romawi dengan aksara Arab yang disebut bahasa Aljamiado bagi Muslim-Kristen yang disebut orang Morisco. Bahasa Ladino, Bahasa Ibrani bercampur dengan Castille dan Arab, yang digunakan oleh orang Yahudi yang menjadi Kristen atau disebut orang converso. Kisah-kisah tragis dalam kebudayaan tengah Spanyol inilah yang banyak menjadi kritik Cervantes dalam karyanya, Don Quixote atas pembakaran-pembakaran buku berbahasa Arab juga malah pembakaran-pembakaran manusia hingga tokoh dalam kisah Cervantes tersebut menunjukkan kisah-kisah nyata yang hidup di Spanyol era inkuisisi. Lalu karya Cervantes ini menyebar ke Amerika, Lalu ke Latin Amerika lalu ke seluruh jajahan Spanyol seperti Filipina di sebelah utara Indonesia yang banyak mengirim pemukim dari Andalusia. Dan kisah Don Quixote ini dianggap sebagai karya sastra paling berpengaruh dalam kesusastraan Spanyol dan negeri-negeri jajahannya.
Dan taukah anda dari mana kisah Miguel de Cervantes berasal? Novel ini ditulis berdasarkan kisah nyata inkuisisi di Spanyol yang ditulis oleh seorang sejarawan Arab Muslim atau disebut Morisco bernama Cide Hamete Benengeli yang diberi judul “Sejarah Don Quixote dari La Mancha.”[9]Yang mengejutkan bagi penulis, sebagai pembaca novel klasik Don Quixote, adalah bahwa karya yang amat berpengaruh bagi corak sastra Spanyol dan hispanik di seluruh wilayah jajahan Spanyol di wilayah yang jauh dari jangkauan umat muslim seperti Di Karibia dan Amerika. Jejak pengaruh Muslim Andalusia merentang begitu jauh hingga ke seberang Atlantik ke Benua Amerika (baik utara maupun Latin) di ujung barat hingga ke Filipina jauh di ujung Timur peta bumi.
Sungguh makin sulit memisahkan sejarah kaum muslim Spanyol atau Al-Andalus dengan dunia modern Spanyol dan Eropa pada umumnya. Seperti disampaikan Maria Rosa dalam suatu perbincangan.
Pertanyaan: “Apakah semua yang berlangsung di Spanyol zaman pertengahan ikut membentuk kebudayaan negeri-negeri Eropa lainnya?”
Jawaban Maria Rosa Menocal: “Pengaruh yang paling gampang untuk dikenali adalah yang berbentuk materi, dan pada kenyataannya benua Eropa dibanjiri dengan segala jenis produk barang dan teknologi yang berasal dari negeri Spanyol atau melalui negeri Spanyol. Misalnya, puluhan jenis menu masakan dan makanan dan alat musik baru yang dibutuhkan dalam orchestra serta benda-benda teknologi seperti astrolabe, yang telah memungkinkan dilakukan pengukuran posisi bidang sehingga orang dapat berlayar kendati tanpa melihat daratan. Akan tetapi, apa yang harus dipahami dengan jelas oleh semua orang sekarang adalah bahwa sekarang dan sampai kapanpun hampir tidak mungkin untuk memisahkan pengaruh-pengaruh di bidang materi dan teknologi ini dari pengaruh-pengaruh budaya yang lebih luas; dan di antara sejumlah ironi dalam hal ini adalah bahwa pada sebagian besar sejarah panjang bangsa Eropa, tercatat kaum Muslimlah atau budaya Spanyol yang didominasi kaum Muslimlah yang dipandang sebagai garda depan budaya revolusioner yang dipandang oleh kelompok puritan sebagai ancaman terhadap nilai-nilai tradisional. Musik baru, filsafat yang menantang prinsip bahwa iman tidak dapat dipertanyakan dan tidak termasuk ke dalam objek penyelidikan rasional, segala macam produk teknologi tinggi, termasuk teknologi yang memungkinkan dibangunnya perpustakaan-perpustakaan yang sangat luas, semua ini dan banyak lagi yang lainnya hilir mudik berseliweran ke berbagai negara Eropa”.
Atau seperti catatan Philip K Hitti mengenai pengaruh Arab/Islam atas Spanyol di bidang musik berikut: “musik yang terukur bisa jadi merupakan kontribusi terbesar, tapi tentu saja bukan satu-satunya bangsa arab dalam cabang pengetahuan ini. Dua instrument yang telah membantu kemajuan seni musik adalah lute (dari Bahasa Arab Al-‘ud, melalui Bahasa Spanyol laud) dan rebab (dari Bahasa Arab Rabab dan Bahasa Spanyol Rabel), diperkenalkan oleh bangsa Arab ke Eropa. Rebab atau ribibe bisa dianggap sebagai cikal bakal biola yang ada saat ini. Kata rabeca masih digunakan dalam Bahasa Portugal yang berarti biola. Beberapa instrument lain yang dikenal di semenanjung ini , yang namanya diambil dari Bahasa Arab adalah trompet kuno anafil (Bahasa Prancis anafin dari Bahasa Arab Al-Nafir) dan tamborin pandero (Bahasa Arabnya Sunuj Bahasa Persianya sanj). Orang muslim pulalah yang memperkenalkan gitar ke Eropa (Bahasa Arabnya qitarah, melalui Bahasa Spanyol Guittara asalnya dari Bahasa Yunani), terompet (Bahasa Spanyolnya Albaque, dari Bahasa Arab al-buq), timbal (Bahasa Spanyol atambal, dari Bahasa Arab al-thabl) dan kanoon (dari Bahasa Arab qanun).[10]
Begitulah. Islam di abad-abad itu telah menjadi api sejarah. Menyusup masuk ke dalam relung-relung paling dalam kebudayaan Eropa dan menyulut perubahan. Wallahu a’lam bi sawab